'A-Aku mati?' Ren bergumam lembut di dalam hatinya.Dia tak bisa melihat apapun, tidak bahkan tubuhnya sendiri. Yang memenuhi pandangannya hanya cahaya terang putih keemasan.Meski agak pening, Ren masih dengan jelas mengingat kenangan terakhirnya, itu adalah momen ketika dirinya tertimpa oleh reruntuhan Goa.Tanpa keraguan, batu besar itu pasti telah menimpanya. Fakta bahwa saat ini dirinya tak merasakan sensasi sakit apapun, menunjukkan kemungkinan yang besar bahwa dirinya tak selamat.Ren mencoba untuk menoleh ke sekitar, tapi dia tak yakin apakah dia benar-benar telah menoleh atau tidak, karena pandangannya tak berubah, tetap sama. Lebih buruk lagi, dia tak merasakan bahwa kepalanya bergerak — bukan hanya kepala, tapi anggota tubuh lainnya pun sama.Ren tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri, seolah-olah jiwa dan raganya telah terpisah, hanya menyisakan kesadarannya yang entah ada dimana.'Sepertinya aku benar-benar mati.' Gumaman lembutnya bergema di ruang hampa yang terang itu.Ren mengingat kembali perjalanan hidupnya... Dirinya hanya anak dari keluarga biasa, ayahnya bekerja sebagai pedagang kecil dan ibunya hanya ibu rumah tangga yang sesekali membantu sang ayah.Mereka memiliki kehidupan yang baik, meski tak kaya, tapi cukup baik dalam perihal ekonomi. Bahkan, di musim tertentu, bisnis ayahnya akan mendapat lonjakan keuntungan, membuat keluarga mereka memiliki uang berlebih.Mereka tak kesulitan makan dan memiliki rumah yang nyaman. Bahkan, ayahnya masih mampu untuk memasukkannya ke Akademi Kesatria, sebuah instansi pendidikan milik keluarga kerajaan.Siapapun yang berprestasi di sana, memiliki kesempatan besar untuk bekerja langsung melayani keluarga kerajaan.Itu merupakan tempat yang bergengsi dan mahal, bahkan di kalangan masyarakat kelas atas sekalipun.Lebih dari setengah ekonomi keluarganya dialokasikan untuk biaya pendidikannya. Padahal, dengan uang sebesar itu, mereka mampu membeli rumah besar di kawasan elit, atau ayahnya, bisa saja mengembangkan bisnisnya lebih besar.Tapi nyatanya tidak, mereka lebih memilih hidup sederhana dan memberikan sebagian hartanya untuk masa depan anak mereka.Ren menghabiskan sebagian besar waktunya di akademi, dirinya berlatih dengan giat. Kegigihan dan bakatnya dalam berpedang tampak menonjol, membuatnya cukup dikenal di lingkungan akademi.Hidupnya berjalan dengan baik, sampai ketika musibah itu terjadi.Di penghujung masa belajarnya, cuaca dingin berkepanjangan melanda kerajaan. Ibu kota kerajaan adalah yang terdampak paling buruk.Di masa itu, Ren telah banyak berkirim surat dengan keluarganya, menanyakan kabar. Surat balasan orang tuanya selalu menjawab bahwa segala sesuatunya berjalan baik dan mereka aman-aman saja.Tentu, itu bohong, tapi waktu itu dirinya tak tahu.Berada di akhir masa belajarnya, Ren sibuk dengan urusannya, ditambah lagi, pernyataan berulang orang tuanya di setiap surat, yang selalu menekankan dirinya untuk selalu fokus pada akademinya, membuat Ren tak memikirkan lebih jauh.Sampai suatu hari, ketika dia mengirim surat perihal kelulusannya dari akademi, balasan yang datang bukanlah surat balasan, melainkan berita atas penemuan mayat keduanya oleh kurir pengirim surat.Sebagai akademi bergengsi milik keluarga kerajaan, tempat itu menjadi lokasi yang nyaman dan aman bagi para siswa, membuat Ren tak benar-benar memahami betapa mengerikannya cuaca dingin yang berkepanjangan itu.Di luar, tanpa sepengetahuannya, banyak orang yang tewas akibat cuaca dingin tersebut. Mayoritas adalah masyarakat kelas bawah yang tak memiliki kemampuan untuk membeli berbagai hal penyokong kehidupan di kondisi tersebut, termasuk keluarganya.Cuaca ekstrem membuat bisnis ayahnya harus tutup, membuat ekonomi keluarga mereka merosot secara signifikan. Ayahnya bekerja serabutan, sebelum tak lama jatuh sakit karena cuaca dingin.Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa, dia tak terbiasa bekerja. Ayahnya tahu itu, jadi dia memaksakan diri untuk terus bekerja meski dalam keadaan sakit.Namun nyatanya, di belakang ayahnya, ibunya memaksa diri untuk bekerja juga. Sayangnya, sebagai seorang wanita, fisiknya lebih lemah, yang membuatnya mudah jatuh sakit.Keduanya ditemukan di kamar, berbaring dalam keadaan beku, terlelap di keabadian, dalam pelukan satu sama lain.Hari kelulusannya diwarnai oleh kepergian kedua orang tuanya.Prestasinya di akademi, membawanya masuk menjadi prajurit di Istana, sesuatu yang seharusnya membanggakan. Sayangnya, yang bersangkutan tak merasakan gairah apapun.Dia tak bangga, senang atau bahagia karenanya. Rasanya kosong, hampa dan dingin.Ren menenggelamkan dirinya dalam pelatihan dan tugas, berlatih dan bekerja keras dengan intensitas yang berlebihan.Dirinya menjadi anomali di ketentaraan, etosnya yang luar biasa mendapat perhatian positif dari sekitarnya, banyak yang mencoba untuk mengenalnya. Namun, sifat dingin dan kecenderungan anti sosialnya, membuat mereka menilai negatif Ren.Syukurnya itu tak berlangsung lama, karena di sepanjang tugas, Ren telah banyak menyelamatkan orang, baik itu sesama rekan prajurit atau warga sipil.Namanya mulai naik, dan mereka juga mulai mengetahui latar belakangnya, menyadari dari mana sumber sifat dinginnya itu.Ren telah dikenal di ketentaraan sebagai prajurit yang menjanjikan, para Kesatria juga mulai memperhatikan prajurit muda itu.Puncak ketenarannya adalah ketika dia mampu melakukan terobosan, menjadi seorang Master Pedang.Pelatihan keras yang awalnya ditunjukkan untuk pelarian diri atas kesedihannya, justru membuatnya berkembang begitu pesat dan mampu menjadi seorang Master Pedang di usianya yang bahkan belum genap 20.Dirinya diangkat sebagai Kesatria Kerajaan Artia, mendapatkan penghormatan dan ketenarannya melejit pesat.Statusnya yang baru kini membuatnya bisa berinteraksi dengan tokoh-tokoh kelas atas kerajaan. Para Kesatria, bangsawan, pejabat tinggi dan keluarga kerajaan — termasuk permata terindah Kerajaan Artia, Sang Putri Emas, Alicia Von Artia.Untuk pertama kalinya, sejak dia terjebak di ruang cahaya ini, Ren merasakan rasa sakit — bukan secara fisik, melainkan hatinya serasa ditusuk pedang.Menyebut nama itu, Ren tak bisa tidak mengingat sumpah yang telah diucapkannya.Dia sudah menjanjikan dirinya untuk kembali padanya, kembali dengan selamat. Namun sekarang... jangankan untuk kembali selamat, tubuhnya mungkin sudah tidak berbentuk lagi.Ren tak bisa membayangkan bagaimana respon gadis itu atas berita kematiannya.Sejenak, bayangan Alicia terbentuk di hadapannya.Dia melihat gadis itu tengah duduk di tempat tidurnya, menyembunyikan wajahnya di balik kedua lututnya — tubuhnya bergetar dengan setiap isak tangis yang terdengar.Ren membuka mulut, mencoba untuk memanggilnya, tapi tidak ada apapun yang keluar darinya, hanya keheningan.Dirinya bahkan tak yakin bahwa dia masih memiliki mulut, lagi pula, dirinya saat ini hanya sebatas sisa kesadaran tanpa wujud fisik apapun.Namun, detik berikutnya, Ren melihat Alicia mengangkat kepalanya, menatap langsung padanya.Mata gadis itu memerah, meneteskan air mata, dengan kantung matanya yang menghitam — mata itu menatap tajam padanya. Alicia membuka mulutnya, berkata dengan dingin. "Pembohong."Sekali lagi, Ren merasakan hatinya seperti ditusuk pedang.Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi rasa sakit di hatinya membuatnya tergagap, tak tahu harus berkata apa.Detik berikutnya, bayangan Alicia memudar, dengan kata-kata terakhirnya yang bergema di sekitarnya.Ren mencoba mengejar dan berteriak, tapi itu tak menghasilkan apapun. Tak peduli seberapa keras dia berusaha, dirinya masih tak bergerak dan tak bersuara.Tanpa daya, dia hanya bisa melihat bayangan Alicia memudar, bersama suara gemanya yang perlahan menghilang.Sesaat sebelum bayangan Alicia sepenuhnya menghilang, cahaya di lingkungan sekitarnya menguat, itu semakin terang, sampai pada titik dia merasa buta, kegelapan kini mengganti seluruh penglihatannya.***Di suatu tempat, seorang wanita berjalan tertatih-tatih. Dia menggunakan pedang sebagai tongkat bantunya untuk berjalan, setiap langkah akan membuat wanita itu meringis karena rasa sakit — tubuhnya menginginkan istirahat, tapi dia dengan keras kepala terus berjalan.Tak kuasa akan rasa sakitnya, wanita itu tumbang di balik salah satu pohon. Menyenderkan punggungnya, dia mengelap wajahnya dari noda darah.Dia terduduk, mencoba mengatur nafas, sayangnya itu bukanlah hal yang mudah. Tubuhnya terasa keram, dengan rasa sakit yang menyengat, beberapa anggota tubuhnya berkedut dan gemetar karena rasa sakit itu.Di saat yang sama, dia merasa lemas dan tak berenergi, seolah dirinya baru saja melalui pertempuran yang panjang. Dan memang, pada faktanya, itulah yang baru saja dilaluinya.Wanita itu berniat untuk beristirahat sejenak, namun, tiba-tiba dia mendengar suara..."Kau yakin dia ke sini?""Aku melihatnya dengan jelas, wanita itu berjalan ke arah sini.""Kau yakin? kau tidak salah kan?""Sial! apa kau pikir ada lagi wanita berambut pirang di antara para pemberontak? aku tidak mungkin salah!"Suara dua orang pria terdengar, membuat wanita itu tegang, sepertinya dirinya telah diikuti oleh keduanya.Wanita itu menggenggam pedangnya lebih kuat, bersiap untuk menyerang jika mereka telah tiba di posisinya.Setiap detik, langkah kaki mereka semakin dekat. Kedua pria itu berjalan dengan langkah hati-hati, menatap sekitar dengan waspada, sambil mengarahkan moncong senjata mereka, bersiap menekan pelatuknya saat berhasil menemukan targetnya.Di saat jarak keduanya hanya berkisar beberapa langkah lagi, suara tembakan terdengar, membuat wanita itu terkejut dan tubuhnya menegang."Sial! apa yang-"Suara tembakan kedua kembali terdengar, membuat pria itu tak bisa menyelesaikan kata-katanya.Wanita itu memaksa diri untuk bangun, berbalik dan menemukan kedua pengejarnya telah jatuh ke tanah, tewas dengan luka di kepala.Sesaat kemudian, dari belakangnya, para pelaku penembakan muncul. Wanita itu berbalik dengan waspada, mengacungkan pedangnya, namun..."Tuan Putri! ini kami!""Astaga, syukurlah kami berhasil menemukanmu!""Ugh... yang tadi itu hampir saja.""Syukurlah kami tepat waktu."Empat orang muncul dari balik semak-semak. Menatap wajah-wajah yang familiar itu, membuat sang wanita lega, dia dengan lemas terjatuh, namun mereka dengan sigap menangkapnya lebih dulu."Tuan Putri! kau baik-baik saja?""Ya ampun! kami harus segera membawamu kembali!"Wanita yang disapa Tuan Putri itu menggelengkan kepalanya. "Jangan, masih ada beberapa yang tertinggal, aku harus kembali dan menyelamatkan mereka."Mendengarnya, keempatnya saling berpandangan, ekspresi mereka tampak rumit."T-Tuan Putri, kondisimu buruk, lebih baik kita-""Berhenti Cindy, jangan katakan itu," sela Tuan Putri. "Mereka rela untuk ikut dalam misi berbahaya ini, karenanya aku harus melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan mereka."Cindy menundukkan kepalanya, bergumam dengan lemah. "Tapi kau sudah melakukan yang terbaik."Keempatnya melihat Tuan Putri mereka bangkit, berdiri dengan susah payah. Menatap keempatnya, wanita itu berkata dengan senyum lembut. "Terimakasih untuk yang sebelumnya, tapi kalian harus kembali, aku akan-""Tidak! Yang Mulia!"Salah satu dari keempatnya menyela."Kau harus segera kembali, Yang Mulia."Tuan Putri menggeleng. "Tidak Leo, aku sudah bilang, masih ada-""Tapi ini adalah perintah Tuan Hilman." Leo memotong.Penyebutan nama itu membuat Sang Putri terdiam. Mendapatkan perhatiannya, Leo melanjutkan. "Tuan Hilman lah yang mengirim kami ke sini. Dia mengatakan bahwa anda pasti akan memaksakan diri dan terlibat dalam bahaya, kami diminta untuk membawamu kembali, Yang Mulia."Eskpresi Sang Putri tampak berkonflik, dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba berhenti di tengah. Menghela napas berat, dia berkata. "Tidak Leo, bahkan jika itu dia, aku akan tetap-""Kami yang akan melakukannya."Pria lainnya, mengutarakan pendapatnya."Aku dan Leo bisa mencoba menyusup ke dalam, untuk menemukan rekan kami yang masih selamat. Sementara anda, Yang Mulia, bisa kembali bersama Cindy dan Varel.""Eliot, aku juga bisa ikut bersamamu." Pemuda lain bernama Varel menolak.Eliot menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, jika ada bahaya di perjalanan, maka Cindy sendiri akan kesulitan, lebih baik kau ikut dengannya, mengamankan Yang Mulia."Leo mengangguk setuju. "Itu benar, aku dan Eliot sudah cukup, lagi pula, kami tidak berniat bertempur, hanya mencari rekan kita yang lain."Varel menghela napas berat, sebelum akhirnya setuju.Leo kini mengalihkan pandangannya pada Sang Putri, yang masih terlihat ragu. Leo membungkuk dan berkata. "Yang Mulia, mohon kembalilah, kondisi anda tidak memungkinkan, kami tidak ingin sesuatu terjadi pada anda, ketahuilah, keberadaan anda sangat berharga bagi kami."Sang Putri melihat kepada tubuhnya sendiri. Pakaiannya berantakan dengan noda darah dimana-mana, ada yang miliknya, namun sebagian besar itu adalah milik orang lain, milik musuhnya.Dia sudah mencapai batasnya, jika dia memaksakan diri, mungkin kondisinya akan lebih buruk lagi. Terlebih, dalam kondisinya saat ini, dari pada membantu, dia mungkin lebih banyak memberi masalah.Dengan berat hati, wanita itu menerimanya. "Baiklah, aku akan kembali, kalian berdua harus berhati-hati, segera kembali setelah kalian menemukan yang lainnya."Leo tersenyum, dia membungkuk. "Sesuai perintahmu, Yang Mulia!"Dengan itu, kelimanya terbagi menjadi dua kelompok. Varel dan Cindy akan membawa Tuan Putri kembali ke markas, sementara Leo dan Eliot pergi, mencari rekan mereka yang mungkin tertinggal dan masih selamat.***Ren perlahan membuka matanya, kegelapan perlahan berganti dengan seberkas cahaya. Wajahnya berkerut tak nyaman, dia merasa telah terjebak dalam kebutaan untuk waktu yang lama.Butuh satu menit penuh untuk matanya kembali terbiasa dengan cahaya, ketika dirinya bisa melihat, Ren menatap sekitarnya dengan bingung, tempat ini sangat kacau.Ren melihat lingkungan sekitarnya, yang seperti aula luas, berbentuk lingkaran, tampak begitu berantakan — seolah baru saja terjadi bencana alam, berbagai perabotan hancur dimana-mana, serpihan kaca dan lembaran kertas berhamburan.Ren menyipitkan matanya saat dia mencium bau darah yang menyengat. Berkedip beberapa kali untuk mendapatkan kejelasan penglihatan, Ren kini melihat bahwasannya, ada banyak tubuh manusia berserakan.Beberapa utuh, beberapa hanya bagian tubuh tertentu yang tergeletak begitu saja. Noda darah mewarnai sekitarnya, di lantai, bahkan di tembok ruangan.Ren menyadari dirinya berdiri tepat di tengah ruangan aula luas yang melingkar ini. Melirik ke bawah, segera matanya melebar saat menemukan dimana dia berdiri.Seluruh tempat ini begitu asing baginya, namun, tempat dia berpijak saat ini adalah sesuatu yang familiar, ini adalah panggung batu dengan hiasan ukiran, tempat dimana dia mengalami fenomena ganjil sebelumnya.Ren dengan jelas mengingat bagaimana tubuhnya membeku, tidak bisa bergerak saat pola ukir panggung batu ini, tampak bercahaya setelah meyerap Aura Pedangnya.Spontan, Ren segera melompat dan menjauh. Syukurlah, tidak ada sesuatu yang ganjil, dirinya dengan selamat mendarat beberapa langkah dari panggung batu tersebut.Melihat lebih teliti, Ren menemukan bahwa panggung batu itu tampak seperti sebuah altar, ditambah dengan pola ukir yang menghiasinya, tempat itu tampak seperti altar kuno.Ketika Ren sibuk mengamati altar di depannya, sebuah suara terdengar.Ren mengalihkan pandangannya untuk menatap sudut tertentu, dimana sebuah lemari yang jatuh tampak terangkat."Agh! sial! aku seharusnya langsung membunuh wanita itu seperti yang diperintahkan."Seorang pria dengan seragam warna hijau dan aksen merah, keluar dari lemari yang jatuh, berseru marah atas sesuatu.Ren menatap penasaran dan bertanya. "Hei, kau baik-baik saja?"Pertanyaan Ren membuat pria itu membeku, dia menatap balik, meliriknya dari atas ke bawah, sebelum meludah kesal. "Berengsek! kau bagian dari mereka!"Ren tak mengerti kenapa pria itu tampak marah. Dirinya hanya berdiri, memperhatikan bagaimana pria itu dengan terburu-buru, melirik ke sekitarnya, sebelum mengambil semacam tongkat.Ren berjalan mendekat, mengangkat kedua tangannya, membuat gestur untuk meredakan ketegangan. "Hei, tenanglah, aku hanya ingin-"Suara ledakan keras berbunyi dan asap putih keluar dari moncong tongkat aneh yang disodorkan pria itu padanya. Ren tak mengerti kenapa dia melakukannya. Namun, detik berikutnya dia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.Melirik ke bawah, Ren menemukan armor ringannya tampak bolong di bagian dada, dan di saat yang sama, dia juga merasakan rasa sakit, persis di area itu."Belum mati? sial! aku seharusnya mengincar kepalanya!"Berseru marah, pria berseragam hijau kembali mengoprasikan senjatanya, memasukkan sesuatu ke dalamnya.Ren tidak tahu benda apa itu, tapi yang pasti, itu adalah sesuatu yang berbahaya.Ren sedikit mengeluarkan Aura Pedangnya, melapisi pedangnya dengan rona keemasan, sebelum dengan cepat bergerak maju, memotong senjata aneh itu.Melihat kekuatan super Ren dan bagaimana senjatanya dibelah dua, pria itu terjatuh ke lantai, menatapnya dengan ketakutan. "M-Master Pedang?"Ren menatapnya, menghilangkan Aura Pedangnya. "Sekarang, mari kita bicara dengan damai ya." Berjongkok untuk berhadapan dengan wajahnya, Ren melanjutkan. "Tolong jelaskan, apa sebenarnya yang terjadi disini? juga dimana tempat ini?"Mendengar pertanyaannya, pria yang ketakutan itu tampak membeku sesaat, sebelum wajahnya berubah muram, berseru marah. "Apa kau sedang bercanda sialan?! Kalianlah para pemberontak yang menyusup kemari!" Senyum gelap terbentuk di wajahnya saat dia melanjutkan. "Tunggu saja, tentara bantuan Republik akan membakar kalian semua sampai mati! hahaha..."Ren mengerutkan keningnya, tidak mengerti apapun yang dibicarakan orang ini, pemberontak? Republik? tidak ada satu pun yang dipahaminya."Baiklah, sekarang jawab, dimana ini-"Sebelum Ren bisa menyelesaikan pertanyannya, suara tembakan yang sama persis seperti sebelumnya terdengar. Di saat yang sama, percikan darah mengotori wajahnya, sementara pria berseragam hijau itu terkapar di lantai, dengan darah segar mengalir dari kepalanya.Ren dengan waspada menatap kepada sumber suara, menemukan bahwasannya, di sisi lain aula, tepatnya di pintu keluar, berdirilah seseorang, tampak mengarahkan senjata aneh itu padanya.Selepas tembakan pertama, pria itu tampak mencoba mengisi kembali kekuatan senjata anehnya. Ren sudah bersiap bergerak untuk menerjang ke arahnya, namun segera, pria lain datang."Berhenti Eliot! pastikan dulu siapa yang kau tembak!"Pria bernama Eliot itu menghentikan gerakannya, menatap padanya, mencoba melihat lebih jelas, sebelum berbalik kepada rekannya. "Leo, dia tidak memakai seragam militer, tapi pakaiannya agak aneh."Mendengar itu, Leo menatap pada Ren, dia berjalan mendekat. "Hai kawan! apa kau bagian dari kelompok relawan?"Sekali lagi, Ren tak mengerti apa yang dia maksudkan. Menggelengkan kepala, Ren mengangkat kedua tangannya sebagai bentuk damai, sebelum menjawab. "Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang kau maksud dengan relawan, bisa tolong beri aku penjelasan? sebenarnya dimana ini?"Keduanya, Leo dan Eliot saling berpandangan. Mereka berjalan mendekat dengan langkah hati-hati, sambil menatap pria asing di depannya.Melihat lebih jelas, keduanya menemukan pria asing itu mengenakan armor ringan yang tampak elegan, sambil membawa sebuah pedang.Leo menyipitkan matanya. "Pakaian itu tampak familiar, seingatku Tuan Galahad sering memakai armor seperti ini dalam pertempuran."Eliot menatap terkejut. "Jadi dia rekan?"Leo mengangkat bahunya. "Entahlah, tapi... kelihatannya dia bukan musuh.""Kau yakin?""..."Dahi Eliot berkerut saat rekannya tidak menjawab. "Jangan plin-plan begini, bagaimana jika dia musuh?""Tidak, aku yakin bahwa dia bukan musuh, dia..."Leo kesulitan menjawab, dia sendiri tidak mengenal orang ini, namun... entah mengapa, wajah orang itu tampak akrab. Rambut hitam dan mata emas itu, dia merasa seperti pernah melihatnya, tapi tidak ingat dimana itu. Satu hal yang pasti, rasa keakraban ini memberinya perasaan damai yang aneh."Dia apa?" Eliot bertanya.Leo menghela napas. "Eliot, kumohon, percaya saja, aku yakin dia bukan musuh."Eliot, meski ragu, pada akhirnya memilih untuk mempercayai rekannya. Keduanya akhirnya tiba di depan orang itu.Ren, yang sedari tadi hanya berdiri diam, mengamati keduanya. Berbeda dari pria berseragam sebelumnya, pakaian mereka tampak lebih kasar, seperti warga sipil di pedesaan."Siapa namamu?" tanya Leo."Ren," jawabnya. "Ren Moretti."Dahi Leo tampak berkerut, dia merasa pernah mendengar namanya. Sementara itu, Eliot memeriksa mayat pria berseragam yang sebelumnya ditembaknya. "Sial Leo! Ini Kolonel Jeiden! kami mendapatkan jackpot!"Leo mengalihkan pandangannya, melihat Eliot yang menunjuk kepada mayat di bawahnya. Melihat seragamnya, Leo mengenalnya sebagai seragam perwira, dan bukan sembarang perwira, itu adalah perwira bintang dua! seorang Kolonel!"Aku yakin, yang lain akan sangat senang dengan berita-"Di tengah kebahagiaan Eliot, suara tembakan kembali terdengar, itu tampak jauh, tapi ketiganya dengan jelas mendengarnya."Pasukan bantuan mungkin telah tiba, ayo segera pergi," kata Leo, menatap Ren dan melanjutkan. "Kau ikutlah dengan kami, kita akan pergi dari sini."Ren tidak menolaknya, dia butuh seseorang untuk memberinya penjelasan, dan orang ini tampak lebih kooperatif ketimbang yang pertama.Ketiganya berjalan ke pintu keluar aula, di sana, Ren menemukan pria lain terduduk, bersandar dengan lemah, tampak terluka.Leo merangkul pria itu, sebelum kembali bergerak.Berada di luar, Ren menyipitkan matanya saat melihat area sekitar yang tak kalah kacaunya dengan yang di dalam aula. Ada banyak pagar kawat besi, yang tampak menjadi sekat dengan bangunan tenda besar di dalamnya. Ada jejak kehancuran di banyak tempat, bahkan mayat dan darah berserakan dimana-mana."Tempat apa sebenarnya ini?" Ren bertanya.Leo melirik heran padanya, merasa aneh dengan ketidaktahuannya. "Kita ada di salah satu pusat penelitian militer milik Republik, tepatnya di tengah Pegunungan Greenland."Ren mengerutkan keningnya, dia tak tahu apa itu pusat penelitian militer milik Republik, tapi dia mengenal Pegunungan Greenland.'Tunggu, jika ini berada di Pegunungan Greenland, maka Cale dan yang lainnya seharusnya tak begitu jauh dari sini,' pikir Ren dengan perasaan gembira.Menatap Leo, dia bertanya. "Lalu apa kau tahu kabar para pengkhinat itu?""Pengkhianat?""Iya, pengkhianat, mereka adalah pelaku atas kudeta terhadap keluarga kerajaan. Ah, benar, kerajaan yang aku maksud adalah Kerajaan Artia." Ren tak lupa menjelaskan kerajaan mana yang dia maksud, khawatir bahwa pria ini bukan berasal dari Kerajaan Artia.Leo mengerutkan keningnya dengan bingung, bukan hanya dia, Eliot yang di belakang juga sama. Yang terakhir akhirnya berinisiatif menjawab. "Tuan Ren, aku tidak tahu kenapa kau menanyakan ini, tapi... peristiwa itu telah lama terjadi, sekitar sepuluh tahun telah berlalu sejak itu. Dan untuk Kerajaan Artia... itu sudah tidak ada lagi."Ren seketika berhenti di tempat.'Eh? apa?' pikirnya dengan linglung. Sejenak dirinya tak bisa berpikir, seolah-olah otaknya berhenti bekerja, tak bisa memproses wahyu yang baru saja didengarnya.------------------------------Halo semua... di sini Author pengen bilang bahwa karya ini akan hiatus dulu entah untuk berapa lama... wkwk agak sibuk dengan dunia nyata aku wkwk...Btw makasih ya buat yang udah baca sampai sini... bisa kasih komentarnya perihal cerita ini... thank you🥰