Ren membuka matanya, menatap langit-langit ruangan yang asing.
Bangkit dari tempat tidurnya, dia melirik sekitar, melihat kepada kamar sederhana tempatnya menginap.
Berjalan ke jendela kamar, Ren menyibakkan gorden, membawa lebih banyak cahaya masuk untuk menerangi kamarnya. Melihat ke luar, dia menemukan tampaknya hari sudah siang.
Mereka telah pergi, melaju dengan kuda, dan tiba di Kota Odeus sebelum pagi.
Meski awalnya mereka berniat untuk langsung mengejar orang yang terduga pengkhianat, Sir Cale berpendapat bahwa mereka harus singgah sebentar di kota, mencoba menggali informasi lebih banyak. Lagi pula, sejak awal, informasi keberadaan para pengkhianat ini tidak bisa sepenuhnya dipercaya.
Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk menginap di sebuah Bar yang memiliki fasilitas penginapan.
Menjadi yang termuda di kelompok, entah mengapa memberinya perlakuan khusus. Ren, meski ingin ikut andil dalam pengumpulan infromasi, mendapat penolakan dari Sir Cale, dan bahkan Sir Galahad.
Yang terakhir, sebagai kesatria pribadi raja, jelas memiliki koneksi yang luas, menjadikannya kandidat terbaik.
Selanjutnya, Sir Cale ikut bersamanya, keduanya yang bergerak untuk mencoba mengumpulkan lebih banyak informasi perihal pelaku terduga pengkhianat ini.
Sedangkan dua lainnya, yakni dirinya dan Sir Orum, mereka diminta untuk tetap di penginapan, beristirahat. Lagi pula, terlalu banyak tangan yang ikut campur terkadang bukan hal yang baik. Sir Cale dan Sir Galahad sudah lebih dari cukup untuk hanya sekedar mengumpulkan informasi.
Ren, entah mengapa merasa bahwa keduanya mungkin mengira dirinya masih terlalu muda, masih kurang akan pengalaman. Meski berbakat dalam pertarungan, secara keseluruhan, sebagai pemuda yang baru menginjak usia 21 tahun, memang membuatnya tak memiliki jam terbang sebanyak Sir Cale, apa lagi Sir Galahad.
Ren tak menyukai perasaan itu, gairah untuk berkompetisi masih bergejolak di dalam darah mudanya. Tapi pada akhirnya, dia tak bisa melawan otoritas dari mereka yang merupakan seniornya.
Meski sama-sama seorang Kesatria Master Pedang, Ren jelas menghormati mereka. Karenanya, dia hanya bisa dengan pasrah mundur dan memilih untuk beristirahat di kamarnya, mencoba mengisi jam tidur yang sebelumnya hilang akibat perjalanan ke kota ini.
Berjalan ke luar kamarnya, Ren turun ke lantai satu. Di sana, dia menemukan Sir Orum tengah duduk di salah satu kursi dekat konter bar.
Kedatangannya membuat kesatria senior itu menoleh kepadanya. Melirik dari atas ke bawah, Sir Orum terkekeh lucu. "Haruskah kau memakai baju besimu bahkan saat tidur?"
Ren yang berjalan mendekat, melirik kepada dirinya sendiri. Dia masih mengenakan armornya, bahkan saat sebelumnya tidur sekalipun. Meski normalnya ini tampak aneh, mengingat situasi mereka yang tengah menjalankan misi, Ren tak merasa enggan untuk menggunakannya.
"Hanya untuk jaga-jaga, jika ada sesuatu, aku bisa langsung bertindak," jawab Ren, duduk di sampingnya.
Sir Orum menggeleng, meneguk minumannya dan berkata. "Kau terlalu berlebihan, para pengkhianat itu tidak mungkin ada di penginapan ini, kau bisa sedikit bersantai."
Ren hanya mengangguk tanpa menjawab. Melihat kepada seorang pria paruh baya yang merupakan Bartender dan juga pemilik tempat ini, Ren memesan makanan dan minuman.
Sementara Bartender itu masuk ke dapur untuk membuatkan pesanannya. Ren melirik ke sekitar Bar yang sepi, mereka telah menyewa seluruh tempat ini.
Tak lama, Bartender itu kembali, membawa pesanannya. Ren melirik makanannya, melihat beberapa potongan daging yang dililit dengan roti dan dilumuri saus — dengan tambahan dua buah kentang di sisinya yang sudah terbuka isinya, juga dilumuri oleh saus yang sama.
Ren menelan ludahnya, tampilan dan aromanya terlihat lezat. Dia segera menyantapnya dan tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.
Puas dengan apa yang disantapnya, Ren melirik kepada Bartender. "Ini benar-benar enak, kau sungguh pandai membuatnya Tuan... em, boleh aku tahu namamu?"
Senyum tipis terbentuk di wajah pria paruh baya itu. "Namaku Juna, Tuan Kesatria. Dan terima kasih atas pujianmu, pujian anda adalah sebuah kehormatan bagiku Tuan Pangeran Emas, aku hanya memasak masakan yang menjadi kebanggaan kami, penduduk Kota Odeus."
Alis Ren terangkat, bertanya dengan penasaran. "Oh? jadi yang kumakan barusan ini adalah Balkiva? makanan khas Kota Odeus?"
Juna tersenyum bangga. "Benar Tuan, itu makanan khas kami, yang terbaik dan terenak di dunia."
Ren tersenyum melihat antusiasmenya. Meski terdengar berlebihan, dirinya harus mengakui bahwa makanan ini memang lezat. Namun, ini sebenarnya bukan pertama kalinya Ren memakan makanan ini.
"Aku tidak mengerti, aku sudah pernah memakan Balkiva di ibukota, tapi kenapa sangat berbeda? Daging itu, bukankah seharusnya dipisah dari rotinya? kenapa digabung menjadi satu?"
Mendengar pertanyaan Ren, Bartender itu menunjukkan wajah tak senang. "Tuanku, tolong jangan samakan kami dengan para kapitalis itu. Mereka hanya mementingkan keuntungan, sementara kami melihat Balkiva sebagai budaya kami, bukan sebagai komoditas dagang."
Ren tersenyum kecut mendengarnya. "Lalu bagaimana dengan sausnya, ini terasa lebih sedap?"
Juna kembali tersenyum. "Tuanku, mengingat kota ini berdekatan dengan pegunungan Greenland, tempat yang menjadi sumber terbaik akan rempah-rempah, kami disini mendapatkan bahan terbaik dan yang paling segar — ini dibuat langsung oleh penduduk asli sini, tolong jangan samakan dengan saus yang dibuat di dapur para kapitalis itu."
Ren menggelengkan kepalanya, tak kuasa akan jawabannya yang begitu bangga dan sinis pada para pedagang di ibu kota.
Mengobrol sebentar, pintu Bar terbuka dan Ren melihat dua orang yang baru saja masuk, memakai jubah yang menutupi tubuh dan wajah mereka.
Di dalam, keduanya segera membuka tudung jubah dan menunjukkan wajah masing-masing, itu adalah Sir Cale dan Sir Galahad.
Saat keduanya berjalan mendekat, Juna berinisiatif bertanya. "Apa kalian ingin makan atau minum sesuatu Tuan-tuan?"
Sir Cale menoleh, tersenyum ramah. "Tentu, aku ingin memesan privasi, jadi... bisa tolong beri kami privasi Tuan?"
Wajah Bartender berubah serius, dia tahu bahwa apa yang akan para kesatria ini bicarakan adalah sesuatu yang penting. "Baiklah Tuan, kebetulan aku harus mengurus persediaan untuk hari esok, aku akan kembali lagi nanti."
Dengan itu, dia berjalan pergi ke belakang, meninggalkan keempatnya sendirian.
Ren bertanya dengan serius. "Bagaimana situasinya Sir Cale?"
"Yah... aku dan Sir Galahad sudah memastikan, informasi itu memang benar, kedua orang itu adalah Sir Damien dan Sir-"
"Jangan sebut mereka dengan gelar Sir." Sir Galahad memotong Sir Cale. "Mereka bukan lagi seorang Kesatria, hanya pengkhianat yang menunggu hukuman."
Sir Cale mengangguk ringan. "Tentu Sir Galahad." lalu melanjutkan. "Kedua pengkhianat ini, Damien dan Noel, terlihat bergerak ke arah timur."
Berjalan ke salah satu meja pelanggan, Sir Cale mengeluarkan gulungan kertas dan menyibakkannya di atas meja.
Ren dan yang lainnya mendekat, melihat kepada peta. Sir Cale menunjuk. "Kemungkinan mereka berniat untuk melewati pegunungan Greenland dan tiba di Kerajaan Samoris."
Ren mengerutkan kening. "Kenapa harus melewati pegunungan? ada jalan yang lebih mudah untuk masuk ke Kerajaan Samoris, mereka bisa melewati sungai."
Sir Cale mengangguk. "Dugaanku adalah mereka berniat untuk mengelabui kita. Jika dipikir dengan akal sehat, untuk pergi ke Kerajaan Samoris, maka jalan paling mudah adalah melalui jalur sungai. Namun, mereka memilih rute pegunungan yang lebih sulit, itu artinya, mereka berharap kita tidak menyadari kepergian mereka, dengan memilih opsi rute yang kita pikir tidak akan mereka lalui."
Sir Orum tersenyum tipis. "Tapi sialnya rencana mereka tetap saja diketahui. Kurasa keberuntungan keduanya sudah berakhir."
Ren mengangguk. "Jadi, bagaimana sekarang? kita pergi saat ini juga?"
Si Cale menggeleng. "Kita akan berangkat saat malam tiba, masih ada beberapa jam sebelum itu, aku akan beristirahat dulu."
Ren mengerutkan keningnya, menoleh kepada Sir Cale yang berjalan naik ke lantai dua. "Serius? kami sudah tahu dimana mereka, bukankah sebaiknya kita berangkat sekarang dan selesaikan semua ini secepat mungkin?"
Sir Cale menoleh, tersenyum lucu. "Tenang Tuan Pahlawan, pergerakan kita akan lebih senyap jika dilakukan di malam hari, jadi itu adalah pilihan terbaik, juga, Sir Galahad telah setuju."
Ren mengalihkan pandangan, menatap kesatria tua itu. "Benarkah?"
Sir Galahad mengangguk. "Di perjalanan, kami telah mendiskusikannya, dan memang, yang terbaik adalah bergerak di malam hari."
Ren menghela napas berat. Melihat raut kecewanya, Sir Cale menggodanya. "Aku tahu kau ingin secepatnya berada di pelukan Putri Alicia, tapi tidak ada salahnya untuk sedikit bersabar bukan?"
Kata-kata dan kedipan matanya membuat Ren malu dan kesal. Dirinya tak menjawab, hanya mengalihkan pandangan ke arah lain. Sir Cale terkekeh lucu sebelum berjalan ke lantai dua.
Dia menunggu dengan sabar. Meski jantungnya berdetak kencang, tegang akan pertempuran yang akan terjadi.
Waktu berlalu sampai akhirnya matahari terbenam dan siang berganti malam.
Suara langkah kaki terdengar dan Ren memperhatikan Sir Cale turun dengan setelan siap tempurnya. Tak lama, Sir Galahad dan Sir Orum juga tampil dengan persiapannya.
Masing-masing mengenakan jubah. Sir Cale bertanya. "Kalian siap?"
Yang lain mengangguk dan dengan itu, keempatnya berjalan keluar.
"Semoga berhasil Tuan-tuan," sapa Juna, pemilik Bar, saat melihat keempatnya pergi.
Ren sejenak berhenti, berbalik dan menyapa balik. "Terima kasih atas suguhannya Tuan Juna."
Juna membungkuk ringan. "Sudah menjadi tugasku Tuan Kesatria."
Ren berbalik dan pergi, dia mengambil kudanya dan memacunya, mengikuti yang lain.
Tidak seperti di ibukota, Kota Odeus sedikit lebih tertinggal. Jarang ada bangunan tiga lantai disini, mayoritas hanya bangunan satu dan dua lantai — dan jalannya tidak semulus di Kota Emerald, tapi masih cukup baik.
Ren melihat beberapa penduduk kota yang berjalan lalu-lalang. Beberapa kereta kuda juga lewat di jalan yang sama dengannya.
Tak lama, pemandangan kota mulai berganti dengan pepohonan, mereka mulai keluar dari kota dan memasuki jalan menuju pegunungan Greenland.
Berada di luar kota, kami tak lagi memiliki sumber penerangan. Jalan sulit terlihat, namun kami tetap melaju. Lagi pula, tak mungkin untuk membawa lampu minyak, cahaya yang dihasilkan pasti akan memberi tanda dan membuat pergerakan mereka diketahui.
Jalan berbatu mulai beralih ke jalan tanah, deretan pohon semakin banyak dan rumah-rumah penduduk semakin jarang, sampai akhirnya, mereka tak menemukan satu pun lagi.
Ren merasa jalan mereka mulai menanjak, tanda sudah memasuki kaki bukit pegunungan Greenland.
Waktu berlalu dan kini mereka sudah memasuki area dalam pegunungan.
Pohon begitu lebat, seolah tak pernah tersentuh tangan manusia, juga, tak ada lagi jalan kota yang lebar, itu telah lama diganti oleh jalan setapak yang membuat kuda mereka sendiri sulit bergerak — jalan ini umumnya dilalui oleh penduduk lokal yang tinggal di desa-desa dekat kaki bukit.
Jika ada satu hal yang bisa disyukuri, itu adalah fakta bahwa malam ini bulan tampak lebih terang.
Meski tak sebaik penerangan lampu minyak, itu masih memberi mereka penglihatan pada jalan dan area sekitar dengan cukup baik.
Juga, melihat ke atas, Ren menemukan langit malam dipenuhi gemerlap bintang, — terutama ada 12 titik cahaya, bersinar lebih terang dari yang lain.
"Berhenti," seru Sir Cale dengan suara berbisik.
Ren dan yang lainnya, menghentikan kuda mereka. Sir Cale turun, dan bergerak ke sebuah pohon. Berlutut, dia tampak mengambil sesuatu.
Berbalik, menoleh kepada yang lain, Sir Cale berkata. "Kemarilah dan lihat ini."
Turun dari kuda, Ren mendekat, melihat tangan Sir Cale yang tampak sedang menggenggam segumpal abu.
"Itu bekas pembakaran?" tanya Ren saat dia mengerti apa yang terjadi.
Mengangguk, Sir Cale menjelaskan. "Ini adalah abu bekas pembakaran. Kelihatannya, ada orang yang beristirahat disini dan membuat api."
"Mungkinkah itu mereka?" tanya Sir Galahad.
Sir Cale mengangguk. "Seharusnya begitu, abunya masih hangat, jadi ini belum lama dibuat — dan karena kita berada di area dalam pegunungan, seharusnya ini bukan hasil dari warga lokal."
"Begitu." Sir Galahad mengangguk, berpikir sejenak sebelum membuat keputusan. "Ayo ikat kuda, dan mulai berjalan kaki dari sini, mereka harusnya tak jauh."
Sir Cale mengangguk setuju. Dan yang lainnya juga tak keberatan.
Mengikat kuda, keempatnya mulai berjalan dengan cermat, memperhatikan sekitar dengan waspada, berharap tak meninggalkan jejak lain yang mungkin ada.
Hampir dua jam kemudian, Sir Cale memberi gerakan tangan, tanda untuk berhenti, sebelum menunjuk ke suatu arah.
Ketiganya terdiam, mengalihkan pandangan untuk melihat ke arah yang ditunjuk.
Ren, awalnya tak melihat apapun, sebelum matanya akhirnya menangkap sebuah titik cahaya di kejauhan.
"Itu? apa itu cahaya api?" tanyanya.
Sir Cale mengangguk. "Seharusnya itu mereka, keduanya mungkin sedang berjalan sambil membawa lampu minyak, atau sekedar beristirahat dan membuat api."
Sir Galahad mengangguk, berkata dengan dalam. "Sudah waktunya untuk menyelesaikan misi ini, ayo."
"Tunggu," seru Sir Cale, membuat ketiganya berhenti. "Tidakkah kita harus membuat rencana, tentang bagaimana menghadapi mereka?"
"Perlukah itu? kita hanya perlu membunuh mereka bukan?" Sir Orum bertanya, meletakkan pedangnya ke bahunya.
"Tidakkah kami harus memikirkan beberapa rencana untuk mengantisipasi jika sesuatu terjadi? Misalnya, bagaimana jika mereka langsung melarikan diri dengan berpencar?"
"Itu sederhana, kita hanya perlu berpisah dan ambil masing-masing kepala mereka." Sir Orum mencibir.
"Yah baiklah, kalau begitu, mari ambil bagian atas setiap buruan. Aku dan Sir Ren akan mengincar Noel, Sir-"
"Tidak." Sir Galahad memotong Sir Cale. "Sir Ren akan bersamaku, kau bisa bersama dengan Sir Orum, Sir Cale."
Sir Cale tak langsung membalas, menatap Sir Galahad sebelum berkata dengan tenang. "Sir Galahad, maafkan aku, aku agak tidak setuju dengan pengaturan anda. Anda dan Sir Ren adalah Master Pedang terkuat di kerajaan kita, bukankah akan adil jika kalian masing-masing mengisi kelompok yang berbeda."
Ren mengangguk. "Aku setuju, akan lebih seimbang jika-"
"Tidak." Sir Galahad kembali memotong. "Tak perlu memikirkan keseimbangan kelompok, karena pada akhirnya, pertempuran akan menjadi dua lawan satu."
Si Galahad menatap Sir Cale. "Juga... sebagai jenius di eramu, kau seharusnya tidak masalah untuk melawan satu Master Pedang seorang diri bukan, Sir Cale? Terlebih dengan bantuan Sir Orum, kemenanganmu sudah dipastikan, jadi tak penting adanya keseimbangan, karena sejak awal, pertempuran sudah tidak seimbang."
Sir Cale tak langsung merespon, dia berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju. "Kau benar Sir Galahad, maka aku akan bersama Sir Orum. Mari kita berpisah dan menyergap mereka dari dua sisi yang berbeda."
Sir Galahad mengangguk. "Mari lakukan itu. Ambil posisi dan menyerang secara bersamaan tepat satu jam dari sekarang."
Sir Cale menangguk. Dengan itu, kami berpisah. Sir Cale bersama Sir Orum, berjalan ke arah timur, sementara dirinya dan Sir Galahad, pergi ke arah barat.
Di saat mereka telah terpisah jauh, Ren menanyakan sesuatu yang telah dia tahan selama ini. "Sir Galahad, bolehkah aku tahu, apa alasanmu untuk pengaturan ini?"
Sir Galahad melirik padanya. "Apa sebenarnya yang ingin kau tahu?"
"Kau tahu apa yang aku maksud," jawab Ren dengan ekspresi serius. "Kau tampak menjaga jarak dengan Sir Cale, adakah sesuatu yang aku tidak tahu disini?"
Menatap pemuda di sampingnya, Sir Galahad menghela napas berat. "Ada kemungkinan dia...."
"Dia?" Ren memiringkan kepalanya.
Sir Galahad melanjutkan dengan nada yang dalam. "Ada kemungkinan bahwa Sir Cale... juga seorang pengkhianat."
Mata Ren melebar, suaranya terbata. "A-Apa? kau serius?"
Dia tak pernah memikirkan bahwa Sir Cale adalah seorang pengkhianat. "Bagaimana mungkin? dia adalah salah satu orang yang berjasa besar dalam memberantas kudeta sebelumnya, bagaimana bisa?"
Sir Galahad menggeleng. "Sudah kubilang, ini hanya kemungkinan, aku sendiri juga tidak yakin."
"Tidak tahu? lalu apa yang membuatmu berpikir bahwa Sir Cale adalah seorang pengkhianat?"
Ren hampir tidak mempercayai telinganya, bagaimana bisa seorang kesatria senior sepertinya, menilai rekannya sendiri sebagai pengkhianat, yang bahkan dirinya sendiri tidak yakin akan hal itu.
"Sir Galahad, kau tidak bisa asal menebak, bagaimana jika itu salah."
Sir Galahad menatapnya dengan serius. "Bukan aku yang membuat tebakan itu Sir Ren, tapi Rajalah yang membuatnya."
Wajah Ren membeku, terkejut akan wahyu yang datang. "R-Raja? maksudmu Raja Arthur mencurigai Sir Cale sebagai pengkhianat? Kenapa? Yang Mulia seharusnya tahu dengan jelas jasa Sir Cale dalam kudeta sebelumnya."
Sir Galahad menjawab. "Aku tidak benar-benar tahu apa yang Raja pikirkan. Tetapi, Yang Mulia pernah mengatakan padaku bahwa sikap Sir Cale yang bertindak aktif dan lebih berinisiatif dari pada sebelumnya, membuatnya curiga."
Ren mengerutkan keningnya. "Bukankah itu hal yang bagus? inisiatifnya adalah wujud dari loyalitasnya bukan?"
Sir Galahad mengangguk setuju. "Kau benar, tapi... tahukah kau apa yang Raja katakan padaku selanjutnya?"
Ren menatap tegang, melihat Sir Galahad melanjutkan. "Raja berkata: Inisiatifnya memang menunjukkan loyalitasnya, tapi di saat yang sama, dia juga terlihat seperti orang yang mencoba menutupi kesalahannya, seperti seseorang yang ingin menyembunyikan bangkai dengan membangun taman bunga di atasnya."
Ren menelan ludahnya, mengerti apa yang dikatakan Raja. "Jadi begitu, aku mengerti." Ren melirik Sir Galahad dan melanjutkan. "Lalu bagaimana dengan Sir Orum? dia... tidak mungkin seorang pengkhianat juga bukan?"
Sir Galahad menggeleng. "Aku tidak tahu, Raja menaruh curiga ke banyak orang, meski tidak separah Sir Cale, Yang Mulia memintaku untuk tetap berhati-hati."
Ren mengangguk dalam pengertian. "Aku mengerti, sekarang aku tahu kenapa Raja dengan keras kepala ingin kau ikut dalam misi."
Melirik kepada pemuda di sampingnya, senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Tentu saja, lagi pula, ayah mana yang akan mengirim calon suami putrinya untuk mati di tengah jalan."
Ren tersenyum pahit. "Aku tidak selemah itu Sir Galahad."
Sir Galahad menggeleng. "Kau mungkin tidak lemah, tapi kau jelas kurang pengalaman, dan itu sudah cukup untuk membunuhmu."
Ren tak menjawab, hanya menelannya dalam diam, terus berjalan menyusuri hutan. Tak lama, Sir Gahalad kembali bicara.
"Berhati-hatilah Nak. Malam ini, mungkin bukan kita yang memburu pengkhianat..." berhenti sejenak, Sir Galahad melanjutkan dengan ekspresi muram. "Mungkin... kitalah yang diburu oleh para pengkhianat."
Jantung Ren berdetak kencang, dahinya sedikit berkeringat karena tegang. Mencengkram kuat pedangnya, Ren menutup mata dan menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri dan mempersiapkan mentalitasnya pada skenario terburuk yang mungkin terjadi.
Matanya berkilat dingin saat dia membuka kembali, dirinya telah siap untuk pertempuran berdarah yang akan datang.