Chereads / The Golden Prince - Allen Nolleps / Chapter 8 - Bab 8. Kilauan Kegelapan

Chapter 8 - Bab 8. Kilauan Kegelapan

Suasana tegang mengalir di udara, di dalam Goa terpencil, di tengah hutan pegunungan Greenland. Empat Master Pedang, bersiap akan pertarungan mematikan mereka.

Cale memecah ketegangan dengan menjadi yang pertama bergerak. Pedangnya diselimuti cahaya biru yang memberi kesan dingin pada sekitarnya. 

Sir Galahad maju, bersiap untuk konfrontasi. Namun, Noel lebih dulu melompat padanya, — dengan Aura Pedangnya yang berwarna jingga, dia turun, menerjangnya, selayaknya sebuah komet.

Ren bergerak cepat, melompat untuk memblokir serangan Noel, pedang mereka beradu.

Di sisi lain, Sir Galahad menahan serangan Cale. Merasakan pergerakan di belakangnya, yang pertama memutar tubuh dan menebas secara horizontal.

Damien melangkah mundur, mata pedangnya hampir mengenai lehernya, tapi dia tetap berhasil menghindarinya. Kembali bergerak maju, dia menyerang, namun serangannya diblokir oleh Ren.

Melihat wajah pemuda itu, rasa sakit di mata kirinya menguat. Dengan marah, Damien kembali menyerang.

Ren dengan gesit menghindari serangannya, sebelum berbalik dan memblokir serangan lain Noel yang ditujukan pada Sir Galahad, — saat yang terakhir, tengah sibuk melawan Cale.

Situasi Ren tampak rumit, dia mencoba memberi dukungan agar Sir Galahad tidak dihadapkan pada dua Master Pedang sekaligus. Namun, kelebihan satu Master Pedang di pihak musuh membuatnya kerepotan. Dia harus menahan serangan yang satu, sebelum kembali bergerak untuk melawan satu lainnya, memberi ruang lebih pada Sir Galahad yang tengah sibuk dengan Cale.

Noel, yang serangannya selalu dibatalkan, menatap jengkel. "Damien! ayo urus bocah sialan ini lebih dulu!"

Dengan itu, Noel maju, menyerang Ren, sementara yang terakhir menahannya. Namun, Ren harus dengan sigap melompat ke samping, menghindari serangan Damien.

Mata Ren menyipit, meningkatkan fokusnya untuk waspada. Melawan dua Master Pedang, meski ini bukan pertama kalinya, tetap memberi potensi bahaya yang mematikan, dirinya harus selalu fokus pada sekitarnya.

Sementara itu, Sir Galahad tengah beradu pedang dengan Cale.

"Meninggalkan yang lebih muda untuk menanggung beban berat, tidakkah kau malu Sir Galahad," kata Cale sinis, melirik pertarungan di sisi lain.

Sir Galahad masih tampak tenang, menjawab tanpa menghentikan serangannya. "Dia tahu apa yang dia lakukan, tidak sepertimu, yang tenggelam karena rasa cemburu."

Untuk pertama kalinya, wajah Cale berkerut. Bergerak mundur, menjaga jarak, dia bertanya. "Jadi kau tahu?"

"Yang Mulia sudah menebaknya," jawabnya, sebelum bergerak maju, memberikan serangan yang ditahannya. Berhadapan wajah, Sir Galahad berkata. "Ini bukan eramu lagi Cale, sudah waktunya bagimu untuk bangun."

Rasa tak senang bergejolak di dalam hatinya. Cale meningkatkan intensitas auranya dan mendorong ke depan, membuat jarak.

"Jika Raja yang kau hormati itu bertindak sebagaimana harusnya seorang Raja, maka hari ini takkan pernah terjadi." Cale mendesis marah, mengacungkan pedangnya yang diselimuti rona biru.

Gelar Master Pedang termuda sepanjang sejarah adalah sesuatu yang dulu pernah disandangnya. 

Rata-rata mereka yang berbakat dalam berpedang, hanya mampu menerobos setelah berusia lebih dari 30 tahun — jarang yang bisa menjadi Master Pedang pada usia di bawah 30.

Cale, mampu melakukan terobosan dan menjadi Master Pedang di usia 26 tahun, membuat dirinya dipenuhi oleh pujian dan kehormatan.

Sayangnya, dia tidak bisa menikmati posisinya terlalu lama, karena lima tahun setelahnya, sebuah keajaiban terlahir.

Seorang pemuda berusia 19 tahun, yang bahkan belum genap 20 tahun, mampu melakukan terobosan dan menjadi Master Pedang. 

Prestasi ini belum pernah terdengar sebelumnya, menjadikannya sebagai keajaiban paling cemerlang di kerajaan.

Cale tahu siapa orang itu, pemuda itu sebelumnya hanya prajurit biasa. Hidup bagaikan di menara gading, membuatnya tak pernah memperhatikan apa yang ada di bawahnya.

Bahkan ketika pemuda itu mulai membuat namanya sendiri di ketentaraan, dirinya tak pernah peduli — kenapa harus peduli pada satu prajurit yang kebetulan sedang naik daun. 

Dia sendiri adalah bintang yang bersinar, seorang jenius yang terkenal, seorang Master Pedang termuda sepanjang sejarah — Cale hidup dengan kepalanya yang dipenuhi oleh kebanggaan.

Sampai suatu hari, pemuda yang tak penting itu berhasil melakukan terobosan dan menjadi Master Pedang di usianya yang begitu muda. Secara instan mencuri gelarnya, dan mematikan kilauannya.

Meksi orang-orang masih menghormatinya, jenis rasa hormatnya berbeda dari sebelumnya, itu tak sama lagi — atau lebih tepatnya, itu sudah teralihkan, menjadi milik orang lain, orang yang namanya kini tak mungkin dia abaikan, Ren Moretti, itulah dia.

Kiluannya begitu menyilaukan. Di satu sisi, itu membuat seluruh penduduk kerajaan merasa dianugrahi oleh pelita harapan. Namun, di sisi lain, seperti halnya cahaya yang akan selalu memiliki bayangan dibaliknya, Cale merasa bahwa hidupnya kini berada di dalam kegelapan, di balik bayang-bayangnya.

Hal ini diperparah setelah pemuda itu dipasangkan dengan Putri Kerajaan, Alicia Von Artia.

Menjadi tunangan dari Putri yang dijuluki Putri Emas, membuat namanya semakin melambung. Bahkan dia kini memiliki julukannya sendiri, Pangeran Emas.

Ini membuat ketenarannya naik ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, seolah Tuhan telah secara langsung memberkatinya.

Hal yang membuat Cale merasa lebih pahit adalah fakta bahwa setelah menjadi calon menantu Raja, Raja sendiri tampak menunjukkan pilih kasihnya. 

Raja Arthur terkenal akan kebijaksanaannya, kecuali pada putrinya sendiri, Raja tegas dan memperlakukan secara adil orang-orangnya. Namun, sejak sepeninggalan istrinya, Ratu Selena, kebijaksanaan Raja mulai dipertanyakan.

Beberapa yang tak senang akhirnya membentuk kelompok sendiri, mencoba mencari peruntungan dan akhirnya melakukan kudeta — meski berakhir dengan kegagalan.

Cale adalah salah satu dari mereka yang tak senang dengan perubahan Raja. Akhirnya, dia menemukan cara untuk menyalurkan kecemburuan yang selama ini terpendam di kedalaman hatinya, yakni dengan melakukan kudeta.

Tentu, dia tak sebodoh yang lain, dirinya bisa menutupi jejak pengkhianatannya dan justru muncul sebagai pahlawan. Ini membuat Raja, meski memiliki kecurigaan tertentu, tak bisa membuat keputusan ekstrem, tanpa bukti kuat yang menyertainya.

Kini, dengan dia yang telah menunjukkan warna aslinya, Cale harus memastikan bahwa rencananya berhasil. Tak peduli bahkan jika ada sedikit interferensi dari Raja, yang menempatkan kesatria pribadinya, untuk melindungi targetnya — untuk membunuh Pangeran Emas, Ren Moretti.

Meningkatkan Aura Pedangnya, Cale bergerak maju dengan niat membunuh. Sir Galahad melakukan hal yang sama saat pedangnya berkobar akan rona merah, tampak seolah terbakar.

Di sisi lain, Ren menahan gempuran dari kedua Master Pedang, Damien dan Noel. 

Setiap kali dia menahan atau menghindari satu serangan, dirinya harus siap akan serangan lain yang datang setelahnya — keduanya bekerjasama untuk menjatuhkannya.

"Hahaha... sekarang situasinya berbalik Bocah!" Damien tertawa senang, matanya berkilat akan emosi gelap. "Kemari! aku akan mencongkel matamu!"

Mengabaikan teriakan gilanya, Ren fokus pada area sekitarnya, memblokir serangan Damien, sebelum bergerak ke sebelah kirinya, melepaskan tebasan, namun digagalkan oleh Noel. 

Damien meludah kesal, ini sudah yang kesekian kalinya, bajingan itu selalu bergerak ke sisi kirinya. Luka di matanya mempersempit lingkup pandangnya, dan hal itu dimanfatkan oleh musuh. Syukurnya, ada Noel disini, membuat pihaknya justru lebih unggul.

"Kenapa kau tak menyerah saja Nak," kata Noel, beradu pedang dengannya. "Seperti Orum, yang saat ini tubuhnya sudah tak lagi punya kepala."

Dahi Ren mengerut, sementara senyum Noel melebar, tahu bahwa kata-katanya telah menarik perhatiannya.

"Kau tahu, dia sangat terkejut saat tiba-tiba Cale menusuk perutnya dari belakang."

Tangan Ren mengeras, matanya menyipit. Namun, Noel melanjutkan dengan senang, sambil tak berhenti melepaskan serangan. "Sebelum dia mati, aku sempat mengajaknya beralih pihak, namun kau tahu apa jawabannya?"

"Hehe... dia bilang: Aku lebih baik mati disini dari pada menjadi pengkhianat seperti kalian, setidaknya, aku mati dengan kehormatanku sebagai seorang Kesatria," terkekeh, Noel mencibir. "Mati dengan kehormatan? bukankah itu konyol?"

"Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan, apakah mati di tengah hutan antah berantah ini adalah sebuah kehormatan? itu sungguh konyol bukan?"

"Tutup mulutmu!" Ren berseru marah, melepaskan serangan kuat yang membuat Noel mundur. "Kau dan mulut kotor sialanmu itu! tidak punya hak bicara soal kehormatan!"

Ren marah, mengetahui rekan sesama kesatrianya gugur. Sir Orum bukan pengkhianat, pengorbanannya adalah buktinya. Melihat orang seperti itu direndahkan tepat di depan wajahnya, Ren merasa ingin mencabik-cabiknya.

Tak peduli dengan ledakkannya, Noel tersenyum sinis. "Kau harus tahu bagaimana kelanjutannya. Orum, setelah tahu bahwa dirinya tak mungkin menang, hanya terduduk pasrah dengan lukanya. Tak ingin membiarkannya lebih menderita, aku memberinya kematian cepat, memenggalnya tanpa rasa sakit, kau seharusnya berterimakasih padaku Nak."

Mata Ren melebar, hatinya dipenuhi akan amarah. 

Damien menikmati ekspresi sulit pemuda itu, dia tersenyum. "Tak perlu khawatir Ren, aku juga akan memberimu kematian yang cepat, tentu setelah aku mencongkel matamu, hahaha..." 

Sementara Damien tertawa, Ren menutup matanya, menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya kembali.

Kini wajahnya berubah dingin, sementara mata kuningnya tampak kusam, seolah tak ada emosi di dalamnya. Aura Pedangnya menyusut, tak hilang, namun itu berubah, tampak seperti lapisan tipis kain transparan berwarna keemasan.

Lapisan tipis itu tak hanya menyelimuti pedangnya, namun hampir seluruh tubuhnya juga terselimuti olehnya.

Perasaan tajam yang mencekik terasa di sekitarnya. Bahkan, Damien dan Noel, yang berjarak beberapa meter darinya, bisa merasakan perubahan itu.

Wajah keduanya berubah serius, terutama Noel, karena dirinya tahu apa itu, dan bahkan secara pribadi pernah mengalaminya sebelumnya.

"Berhati-hatilah Damien," kata Noel dengan nada serius.

Sebelumnya, saat menjalankan bagiannya di aksi kudeta. Noel dan rekannya, Edmund, tampak unggul melawan Sir Ren. Lagi pula, yang terakhir dipaksa bertarung melawan dua Master Pedang sekaligus.

Namun, ada satu momen dimana situasi mereka terbalik, menyebabkan kematian Edmund, dan dirinya yang terpaksa melarikan diri.

Ren bergerak, melesat begitu cepat, sampai Damien terkejut akan kecepatannya. Noel, yang sudah pernah mengalaminya, lebih siap dari Damien. Dia maju sambil memperkuat Aura Pedangnya, menahan serangan Ren, namun masih terhempas beberapa meter akibat benturan.

Damien bangkit dari keterkejutannya dan menerjang, bersiap melakukan serangan. Namun, Ren dengan cepat tiba di depannya lebih dulu, menghancurkan momentum Damien, saat yang terakhir terpaksa mengganti haluan untuk bertahan.

Perubahan dadakannya ini membuatnya tak siap, Damien terhempas kuat menabrak dinding Goa. 

Tubuhnya kesakitan, tapi dia harus segera bergerak karena Ren sudah mendekat padanya, bersiap melakukan serangan mematikan.

Melompat tinggi, Damien menghindari serangan Ren yang mengenai dinding Goa. Ren tak berhenti, dengan cepat dia melompat tinggi, menebas secara vertikal. Namun, sekali lagi, Damien menghindar dengan memutar tubuhnya di udara. Serangannya hanya mengenai langit-langit Goa, serpihan batunya berjatuhan.

Ren harus mengurungkan niatnya untuk menyerang lagi saat Noel menerjangnya, menyerangnya dengan Aura Pedang jingganya.

Menahan serangan, Ren memutar diri dan jatuh di panggung kecil batu yang dia temukan sebelumnya. Menatap kedua Master Pedang di depannya, dia mengambil posisi, mengacungkan pedangnya yang diselimuti lapisan tipis Aura Pedangnya, Aura Pedangnya yang telah dia modifikasi.

Ini adalah salah satu kemampuannya, dirinya bisa memadatkan Aura Pedangnya, setipis mungkin sampai dari luar, itu tampak seperti lapisan kain transparan keemasan.

Meski secara penampilan, ini tidak semengerikan Aura Pedang yang berkobar liar, secara kekuatan, ini sangat berbahaya.

Kekuatan pedangnya sangat ditingkatkan, menjadi begitu tajam. Lebih buruk lagi, karena dirinya tak hanya melapisi pedangnya, melainkan juga hampir seluruh tubuhnya, Ren juga mendapat peningkatan kekuatan fisik — tubuhnya diperkuat dan indranya dipertajam.

Tentu, ini datang dengan resikonya sediri. Dalam mode ini, Ren akan secara konsisten mengeluarkan Aura Pedangnya dalam jumlah besar, akan mempercepat gejala Demam Aura.

Sebuah kondisi bagi mereka yang terlalu berlebihan menggunakan Aura Pedangnya.

Di sisi lain, Noel tampak gelisah. Dia tahu situasinya menjadi buruk bagi pihaknya. Musuhnya telah mengeluarkan kartu asnya, membuat mereka terpojok, dia harus memikirkan solusi.

Mendengar pertarungan Cale di belakangnya, Noel meludah kesal. Dalam rencana awal, Galahad seharusnya tidak ada di dalamnya. Jika semuanya berjalan lancar, saat ini seharusnya mereka tengah mengeroyok bocah itu, tiga lawan satu. 

Noel yakin, selama mereka bertiga bekerjasama, bahkan jika Ren menggunakan kemampuannya yang secara signifikan meningkatkan kekuatannya, mereka pasti masih akan keluar sebagai pemenang.

Namun, sekarang semuanya kacau, dirinya harus menghadapinya bersama rekan yang tak bisa bertarung secara maksimal. Damien terluka, bahkan jika dia sepenuhnya sehat, dia masih belum bisa menjadi rekan yang cukup untuk menghadapi Ren dalam mode ini.

Dia membutuhkan Cale untuk menahannya. Sebagai yang terkuat diantara ketiganya, Cale harusnya bisa menahan monster ini lebih baik.

Namun, timbul satu pertanyaanya, siapa yang akan menahan Galahad?

Damien terlalu lemah, terutama dalam kondisinya yang tengah terluka. Maka hanya ada satu jawaban.

"Cale! mari bertukar posisi!" seru Noel. "Kau akan menahan Ren! sementara aku akan menahan Galahad!"

"Apa yang kau rencanakan?" Damien bertanya tak senang atas perubahan yang mendadak.

Mengabaikannya, Noel bergerak mundur, sementara Cale masuk lebih dalam ke dalam Goa.

Sir Galahad tentu mengejarnya, namun Noel lebih dulu memblokir serangannya. Mereka beradu pedang beberapa kali sampai Noel berhasil menggiringnya agak menjauh dari Goa.

"Kau urusanku Galahad, aku akan menahanmu sebentar."

"Cale bisa menahanku karena dia memang kuat." Sir Galahad menyipitkan matanya. "Tapi kau lebih lemah darinya, Noel."

Wajah Noel berubah muram. "Aku harus melihatnya dengan mata kepalaku sendiri Galahad."

Sir Galahad menggeleng. "Dan harga untuk tahu itu adalah nyawamu."

Mengatakan demikian, dia bergerak maju, dan Noel bersiap akan konfrontasi.

Di sisi lain, Cale, mengambil alih posisi Noel. Setibanya, dia langsung menahan serangan Ren yang ditujukan pada Damien.

Cale sedikit terhempas ke belakang, matanya melebar karena terkejut akan kekuatan musuhnya. Namun dengan cepat dia kembali tenang. Menatap pemuda di depannya, dia tersenyum. "Apa ada yang ingin kau katakan Ren?"

Ren dengan wajah dinginnya, menggeleng ringan. "Tidak ada gunanya bicara dengan pengkhianat."

"Haha... itu kata-kata yang kejam." Cale terkekeh, sebelum sorot matanya berkilat tajam. "Terutama karena itu datang dari orang yang menjadi penyebab semua ini."

Ren mengerutkan keningnya sejenak, sebelum bersiap karena kedua musuhnya sudah bergerak padanya.

Cale meningkatkan kekuatan Aura Pedangnya, membuat area sekitarnya terasa begitu dingin.

Saat pedang mereka beradu, Cale masih menjadi pihak yang kalah. Dirinya terdorong lebih jauh dan dengan cepat menghindar pada serangan lain yang datang.

Ren lebih kuat dan lebih cepat dari yang dia tahu. Menatap lekat-lekat padanya, dia melihat tubuh Ren tampak bercahaya, seolah ada lapisan kain transparan yang menyelimutinya.

Juga, ada perasaan tajam mencekik saat dia berada di dekatnya. Cale tahu, pedang Ren saat ini begitu tajam. Tanpa Aura Pedangnya sendiri, pemuda itu pasti bisa memotongnya menjadi dua bagian dengan mudah.

Meski pahit, Cale harus mengakui bahwa pemuda ini memang layak disebut Master Pedang termuda sepanjang sejarah. Cale tidak tahu apa yang Ren lakukan untuk itu, tapi ini jelas menjadi bukti akan betapa berbakatnya dia.

Tapi, ini tidak sepenuhnya buruk. Cale juga tahu, bahwa peningkatan kekuatan ini datang dengan resikonya sendiri. energi aura yang dibutuhkan pasti tidak sedikit, dan ini akan mempercepat gejala Demam Aura.

Akan ada waktunya baginya untuk kehilangan semua kekuatan itu dan masuk dalam kondisi kelelahan ekstrem, dengan seluruh otot tubuhnya yang menegang — sesuatu yang biasa disebut sebagai Demam Aura.

Mata Cale berkilat atas kesadaran, kini dia tahu kenapa Noel meminta untuk berganti posisi, yang terakhir tak berharap dirinya menang, hanya ingin bertahan sampai musuh jatuh karena ulahnya sendiri.

Tahu apa yang harus dilakukan, Cale mengganti gaya bertarungnya, dia cenderung menjadi pasif, hanya fokus bertahan dan menghindar. Tentu ini tak mudah, musuh terlalu kuat dan cepat, dirinya masih terluka di beberapa titik.

Bahkan bantuan Damien tak memberi banyak perubahan, terutama ketika orang itu lebih sering terhempas dan menabrak dinding Goa.

Untuk yang entah ke berapa kalinya, Damien bangkit, setelah menabrak dinding Goa. Tubuhnya menjerit akan rasa sakit, tapi dia tetap memaksakannya untuk bangkit. 

Menatap Cale dan Ren yang tengah bertarung sengit, dia meludah kesal, bingung dengan bagaimana terlibat akan pertarungan yang begitu intens itu.

Meski dirinya adalah seorang Master Pedang, dia tak sekuat keduanya. Lagi pula, tak seperti mereka, keduanya adalah jenius di eranya masing-masing.

Damien memperhatikan dengan seksama, melihat apakah ada peluang untuk menyerang.

Ketika dia memperhatikan, Damien melihat sesuatu yang menarik. Cale lebih banyak menghindar, membuat serangan Ren hanya mengenai dinding Goa atau langit-langitnya.

Setiap serangan Ren sangat kuat, itu langsung mengguncang Goa dan membuat serpihan bebatuan jatuh ke bawah.

Damien mengarahkan pedanganya ke dinding Goa di belakangnya. Dari cahaya yang dipancarkan oleh rona Aura Pedangnya, Damien melihat ada banyak jejak kehancuran dan retakan yang saling terjalin. Dan setiap Ren memukul dinding Goa, retakan sedikit bertambah. 

Damien, meningkatkan intensitas Aura Pedangnya dan menyerang dinding Goa, membuat retakannya bertambah besar. 

Senyum kejam terbentuk di wajahnya saat sebuah ide gelap terbesit di kepalanya.

Ren yang sibuk bertarung dengan Cale, merasakan Damien datang padanya, melepaskan serangan. Dengan mudah, Ren menahannya dan bersiap menyerang balik. Namun Damien melompat ke samping, bahkan sebelum dirinya melepaskan serangan.

Ren mengejarnya, Damien langsung melompat tinggi, membuat serangannya hanya mengenai dinding Goa. 

Melompat balik untuk mengejarnya, Ren menebas, namun Damien kembali menghindar yang membuat serangannya hanya mengenai langit-langit Goa.

Damien tertawa, menatap Cale. "Cale! kumpulkan Aura Pedangmu dan bersiaplah untuk satu serangan kuat!"

Cale tak tahu apa maksudnya. Namun, pria itu tampak memiliki rencana, jadi dia melakukannya, mengumpulkan Aura Pedangnya, membuat rona birunya berkobar lebih liar.

Ren menyipitkan matanya, merasa tak nyaman atas sesuatu, terutama saat dia melihat Damien mundur. Tanpa pikir panjang, Ren maju dengan cepat.

Damien sudah sampai di tempat Cale, dia segera merasakan bahaya yang datang. Namun, Cale bergerak maju, melepaskan serangan kuat dari Aura Pedang yang telah dikumpulkannya.

Pedang Ren dan Cale beradu, keduanya terhempas jauh. Cale terlempar ke mulut Goa, sementara Ren terhempas lebih dalam, berdiri di panggung kecil batu melingkar.

"Apa selanjutnya?" Cale bertanya pada Damien.

Yang terakhir tak menjawabnya, hanya menyeringai. Damien meningkatkan Aura Pedangnya, langsung menebas dinding Goa dengan kuat. 

Cale awalnya menatap bingung pada tindakan Damien, bertanya-tanya apa maksudnya. Namun, setelah melihat bagaimana Goa berguncang, dengan bebatuannya yang berjatuhan, Cale menyadari apa maksudnya.

Cale bukan satu-satunya yang sadar, wajah Ren membeku saat dia menyadari apa yang musuhnya rencanakan, mereka mencoba menguburnya!

Ren dengan cepat meningkatkan kekuatannya, memusatkannya di kakinya, bersiap untuk melesat kedepan.

Damien yang melihat perubahan Ren, menjadi panik. "Sial! cepat hancurkan Goa ini!"

Dengan cepat, Damien melepaskan serangan untuk menghancurkan Goa. Cale juga melakukan hal yang sama, dia meningkatkan Aura Pedangnya dan menebas dinding Goa.

Serangan beruntun keduanya membuat Goa berguncang dan retakan semakin besar.

Energi auranya yang berwarna kuning keemasan, tampak menyala lebih terang saat Ren memusatkannya di kakinya, menerangi area sekitarnya, termasuk pada panggung kecil tempatnya berdiri. 

Tanpa Ren sadari, energi auranya menyalakan ukiran hiasan pada panggung tersebut. 

Ukiran tali-tali mozaik kuno tampak menyala dengan rona keemasan. Itu menjalar, sedikit demi sedikit meluas ke seluruh area panggung yang berdiameter lima meter.

Saat Ren hendak menerjang ke depan, wajahnya membeku saat menemukan tubuhnya tidak bisa bergerak. 

Menoleh ke bawah, Ren baru melihat anomali yang ada di sekitarnya.

Dia saat ini tengah berdiri di sesuatu yang memiliki pola ukiran, dan pola itu tampak menyala akan rona emas yang familiar, itu adalah Aura Pedangnya sendiri. 

Ren tak bisa bergerak, tampak terkunci, seolah rona keemasan di lantai dan di tubuhnya saling terikat.

Guncangan Goa semakin kuat, dan pada akhirnya, bebatuan besar mulai jatuh ke bawah.

Hati Ren membeku. Dia menatap ke atas, kepada batu besar yang akan jatuh menimpanya. Namun, sebelum batu itu benar-benar mengenainya, cahaya tempat dia berpijak menguat, menyelimuti tubuhnya dengan cahaya keemasan.

Di sisi lain, Cale dan Damien sudah berada di luar, menatap kehancuran Goa di depan mereka.

"Hahaha... kau pasti mati! hahaha..." Damien tak kuasa menahan tawa, melihat hasil dari rencananya.

Berbeda dengan Damien, Cale dengan tenang melirik sekitar, tak menemukan siapapun.

Matanya menyipit saat dikejauhan, dia melihat sesosok tubuh yang tumbang. Berjalan mendekat dengan waspada, Dahi Cale berkerut saat melihat tubuh Noel tergeletak, dengan kepalanya yang sudah tidak terpasang, itu tergeletak beberapa meter dari tubuhnya.

Damien mendekat, meludah kesal saat melihat mayat Noel. "Cih! dia mati? sayang sekali, lalu dimana Galahad?"

Cale juga memiliki pemikiran yang sama. Keduanya melirik sekitar tapi tak menemukan siapapun.

"Sial! Dia mungkin melarikan diri! kita harus coba mengejarnya, seharusnya dia belum jauh dari sini," kata Damien.

Cale mengangguk, mereka mulai bergerak. Namun, sejenakt Cale melirik ke belakang, kepada Goa yang telah hancur. Menatap tangannya, Cale berpikir. 'Dia sudah mati, aku sudah bebas dari bayangannya sekarang.'

Walau sudah merasa dirinya menang, Cale tak sepenuhnya merasa senang. Dia lebih suka membunuh musuhnya dengan tangannya sendiri, dari pada harus melakukan trik kotor.

Tentu, bukan berarti dia tak menerima hasil seperti ini, dia hanya merasa tak puas. Dirinya senang atas kematiannya, tapi ada sesuatu yang mengganjal, yang membuat rasa senangnya kurang lengkap.

Dia pasti akan sangat puas jika bisa mencabik-cabik Ren dengan tangannya sendiri. Tapi, dirinya tahu bahwa itu mungkin adalah hal yang mustahil, terutama setelah dia merasakan sendiri kekuatannya.

Dalam mode Ren yang seperti itu, Cale tahu bahwa dirinya takkan pernah menang, bahkan jika dia dibantu oleh Damien sekali pun.

Musuhnya terlalu kuat. Bahkan sebenarnya, jauh di dalam, Cale merasa bahwa jika pertarungan terus dilanjutkan, dia dan Damien lah yang akan terbunuh.

Sungguh keajaiban, di situasi terdesak mereka, Damien datang dengan sebuah ide, dan mereka mampu melakukannya, menghancurkan Goa dan mengubur Ren.

Ini benar-benar sebuah berkah. 

Cale manatap ke langit malam, ada banyak kilauan bintang yang ikut menerangi gelapnya malam. Dari semua itu, ada dua belas titik cahaya yang bersinar paling terang, bersinar akan warna keemasan.

Cale mengerutkan keningnya, cahaya dua belas bintang itu mengingatkannya pada Ren. Namun, itu tak penting lagi, karena kini, Sang Pengeran Emas sudah tiada.

***

Jauh di Istana Kerajaan, Alicia terbangun dari tidurnya dengan sentakan kuat. Jantungnya berdetak kencang sementara tubuhnya penuh akan keringat. 

Alicia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan mengatur napas. Butuh beberapa menit baginya untuk menenangkan diri, meski jantungnya masih berdetak kencang.

Alicia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan terbata ke jendela kamarnya, membukanya, membiarkan tubuhnya diselimuti oleh dinginnya angin malam.

Menatap di kejauhan, Alicia melihat ibu kota yang kini penuh akan cahaya, tidak seperti malam sebelumnya yang gelap karena hujan lebat.

Namun, gemerlap cahaya itu tidak membantu menangkan hatinya, dirinya masih merasa gelisah entah kenapa. 

Menatap ke langit malam, Alicia melihat banyaknya bintang yang bertaburan. Matanya fokus pada dua belas bintang yang bersinar keemasan, itu mengingatkannya pada seseorang.

Pancaran bintang itu entah kenapa membuat hati Alicia jauh lebih tenang. 

Melihat punggung tangannya, Alicia berkata terbata. "N-Nggak apa-apa, Ren sudah ja-janji, dia pasti bakal pu-pulang besok atau lusa."

Meski mengatakan demikian, Alicia tak bisa menghentikan tangannya yang gemetaran, dan air matanya yang mengalir.