Hari berikutnya, Alif dan Rani tiba di bangunan tua di pusat kota, bangunan yang mereka yakini memiliki akses ke lorong bawah tanah menuju lumbung di tepi sungai. Bangunan itu sudah lama tidak digunakan, tampak usang dan kumuh, namun sisa-sisa arsitektur kolonialnya masih terlihat di beberapa bagian. Alif dan Rani melangkah dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang lain yang melihat mereka.
"Bangunan ini benar-benar tua, ya," bisik Rani saat mereka masuk ke dalam.
Alif mengangguk sambil melihat sekeliling. Di dalamnya, bangunan itu dipenuhi debu dan sarang laba-laba, dengan dinding yang mulai retak. Mereka menyusuri ruangan-ruangan kosong yang sepi, mencari tanda atau petunjuk yang mungkin mengarah ke lorong bawah tanah.
Setelah beberapa saat, Alif melihat sebuah tangga kecil di pojok ruangan belakang. Tangga itu tampak berbeda dari tangga-tangga lainnya karena tersembunyi di balik pintu kayu yang hampir tertutup debu. Mereka saling berpandangan, yakin bahwa inilah pintu masuk yang mereka cari.
"Ini dia, Rani. Mungkin ini jalan masuknya," bisik Alif dengan antusias.
Rani mengangguk, lalu membuka pintu kayu tersebut dengan hati-hati. Di balik pintu itu, mereka menemukan sebuah lorong yang menurun dengan dinding bata yang tampak sudah sangat tua. Mereka berdua menyalakan senter, dan dengan hati-hati, mereka mulai menuruni tangga menuju lorong bawah tanah yang gelap dan sempit.
Lorong itu terasa dingin dan sunyi. Suara langkah kaki mereka bergema di sepanjang dinding bata yang rapuh. Semakin jauh mereka berjalan, udara semakin lembab, dan aroma tanah yang lembap memenuhi ruangan. Cahaya senter mereka hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, membuat lorong itu terasa semakin panjang dan misterius.
"Sebenarnya, menurut peta yang kita lihat, lorong ini harusnya mengarah langsung ke lumbung dekat sungai," kata Alif sambil mencoba tetap tenang meskipun ia merasakan sedikit ketegangan.
"Semoga saja tidak ada yang menghalangi jalan kita," Rani menanggapi, suaranya terdengar sedikit bergetar.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka sampai di sebuah persimpangan. Di sana, lorong itu bercabang menjadi dua arah yang berbeda. Alif mengamati dinding lorong tersebut, berharap menemukan tanda yang bisa membimbing mereka ke arah yang benar. Di salah satu dinding, dia melihat sebuah simbol yang mirip dengan yang ada di medali mereka, tanda bahwa mereka ada di jalur yang benar.
"Kita ikuti simbol ini," kata Alif yakin.
Mereka mengikuti lorong yang dipenuhi tanda-tanda simbol serupa, yang tampak semakin jelas saat mereka berjalan lebih dalam. Setelah beberapa saat, lorong itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil dengan langit-langit rendah. Di dalam ruangan tersebut, terdapat sebuah pintu kayu tua dengan ukiran rumit yang terpatri di permukaannya.
"Ini pasti pintu menuju ruangan tersembunyi itu," gumam Rani dengan suara kagum, melihat ukiran di pintu yang tampak begitu detail meskipun usianya jelas sudah sangat tua.
Alif mencoba membuka pintu itu, namun terasa terkunci rapat. Mereka memeriksa sekitar, dan di salah satu sisi dinding, Rani melihat sesuatu yang menarik: sebuah mekanisme kuno yang tampak seperti kunci rahasia.
"Lihat ini, Alif," kata Rani sambil menunjukkan mekanisme tersebut. "Mungkin kita perlu mengaktifkan ini untuk membuka pintu."
Alif memeriksa mekanisme itu dan mencoba memutar salah satu bagian yang menonjol. Saat dia memutar mekanisme tersebut, terdengar suara gemeretak pelan, dan pintu kayu itu pun terbuka perlahan, mengungkapkan sebuah ruangan yang gelap dan penuh debu.
Di dalam ruangan itu, mereka menemukan beberapa peti kayu yang sudah tua, serta berbagai gulungan kertas yang tampak rapuh. Namun, di antara benda-benda tersebut, ada sebuah kotak besi kecil dengan ukiran simbol yang sama seperti yang ada di medali mereka.
"Mungkin ini yang kita cari," kata Alif sambil membuka kotak itu dengan hati-hati.
Di dalamnya, mereka menemukan selembar peta tua dan sebuah buku kecil yang tampak seperti jurnal. Alif membuka jurnal itu, membaca halaman-halaman yang penuh dengan tulisan tangan yang teratur. Isi jurnal tersebut menceritakan tentang perjalanan seorang pejabat kolonial yang menyimpan benda berharga di beberapa lokasi tersembunyi di kota ini.
"Apa ini berarti ada lebih dari satu lokasi yang menyimpan benda berharga?" tanya Rani heran.
Alif membaca lebih lanjut, dan menyadari bahwa benda-benda berharga yang dimaksud di jurnal itu adalah beberapa artefak kuno yang dipercaya memiliki nilai sejarah besar. Pejabat tersebut menyembunyikannya di lokasi-lokasi tertentu di sekitar kota, agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah.
"Jadi, ini bukan sekadar harta," kata Alif serius. "Ini lebih dari itu. Artefak-artefak ini mungkin menyimpan sejarah yang ingin dilindungi."
Namun, sebelum mereka bisa membaca lebih jauh, mereka mendengar suara langkah kaki dari arah lorong. Seseorang sedang mendekati ruangan tersebut. Mereka berdua saling memandang dengan cemas.
"Pak Arman…?" bisik Rani dengan nada khawatir.
Alif langsung menutup kotak besi itu dan memasukkannya ke dalam tasnya. Mereka kemudian mematikan senter mereka dan bersembunyi di balik salah satu peti kayu, berharap agar orang yang datang tidak menyadari kehadiran mereka.
Langkah kaki itu semakin mendekat, dan akhirnya sosok Pak Arman muncul di pintu ruangan tersebut. Dia membawa sebuah lentera, dan tampak jelas bahwa dia sedang mencari sesuatu. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius dan penuh tekad, seolah-olah dia tahu bahwa benda berharga itu berada di tempat ini.
Pak Arman memeriksa ruangan dengan cermat, memperhatikan setiap sudut dan peti yang ada di dalamnya. Alif dan Rani menahan napas, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun.
Setelah beberapa saat, Pak Arman tampak frustrasi. Dia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa mereka dengar, lalu akhirnya meninggalkan ruangan, membawa lenteranya dan menghilang di lorong.
Begitu suara langkahnya menghilang, Alif dan Rani keluar dari tempat persembunyian mereka. Mereka merasa lega, namun juga semakin waspada.
"Kita tidak punya banyak waktu," bisik Alif. "Pak Arman mungkin akan kembali, dan dia tahu sesuatu yang kita belum tahu."
Rani mengangguk. "Kita harus segera meninggalkan tempat ini dan memeriksa peta yang kita temukan."
Dengan cepat, mereka keluar dari ruangan itu dan menyusuri lorong yang sama untuk kembali ke permukaan. Mereka tahu, petualangan mereka baru saja semakin rumit. Kini, mereka tidak hanya harus mengungkap rahasia artefak, tetapi juga harus berlomba dengan waktu untuk menemukan semua lokasi sebelum Pak Arman.
Mereka meninggalkan bangunan tua itu dengan hati yang berdebar-debar, siap untuk langkah selanjutnya dalam petualangan yang semakin mendalam ini.