Alif dan Rani melanjutkan pencarian mereka dengan hati-hati setelah pertemuan tak terduga dengan Wiliam. Keadaan semakin tegang. Mereka menyadari bahwa mereka bukan hanya berjuang melawan waktu dan musuh fisik, tetapi juga melawan permainan pikiran yang dimainkan oleh orang-orang seperti Wiliam. Setiap langkah yang mereka ambil kini penuh dengan ketidakpastian.
Hari berikutnya, mereka menuju lokasi ketiga yang ditandai di peta: sebuah bangunan tua yang dulunya merupakan pusat administrasi kota, kini dibiarkan terbengkalai dan hampir tidak dikenal lagi. Pintu-pintu besi yang besar sudah berkarat, dan dinding-dinding bangunan itu penuh dengan coretan-coretan yang sulit dibaca. Mereka tahu bahwa ini adalah salah satu tempat yang mungkin menyimpan petunjuk penting, tetapi bagaimana caranya untuk menemukannya?
"Mari kita mulai dari lantai atas," kata Alif, mengingatkan Rani bahwa banyak benda berharga biasanya tersembunyi di tempat yang kurang terjangkau. Mereka memanjat tangga kayu yang berderit menuju lantai atas yang gelap. Setiap langkah mereka terasa berat, seolah-olah bangunan itu memeluk mereka dengan kehancurannya yang semakin mendalam.
Setelah beberapa menit menyusuri ruangan yang kotor dan penuh debu, mereka menemukan sebuah ruang besar yang dulunya tampak seperti kantor utama. Di salah satu sudut ruangan, mereka melihat sebuah meja kayu besar yang tampak lebih terawat dibandingkan dengan yang lainnya.
"Coba lihat ini," kata Rani, menunjuk ke sebuah buku tebal yang tergeletak di atas meja. Di sampulnya terdapat lambang kota mereka yang pudar.
Alif membuka buku tersebut dengan hati-hati. Halaman-halaman pertama berisi catatan-catatan kuno tentang sejarah kota, namun pada halaman-halaman terakhir, ada beberapa catatan yang lebih menarik. Terdapat sebuah gambar yang menunjukkan simbol-simbol yang mirip dengan yang mereka temukan sebelumnya, serta tulisan yang berbunyi: "Hanya yang melihat dengan mata hati yang akan mengerti."
"Apa maksudnya ini?" tanya Rani, bingung.
"Ini mungkin petunjuk untuk mencari sesuatu di sekitar sini. Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi," jawab Alif, mencoba berpikir lebih dalam.
Namun, sebelum mereka sempat memeriksa lebih lanjut, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Cepat-cepat, mereka menyembunyikan buku tersebut dan bersembunyi di balik rak buku yang sudah roboh. Tiba-tiba, Wiliam muncul di ambang pintu.
"Kalian benar-benar berpikir bisa menghindar dariku?" suara Wiliam yang tenang itu membuat Alif dan Rani terkejut. "Kalian tidak tahu seberapa jauh aku bisa mengejar kalian. Aku selalu tahu di mana kalian berada."
Alif dan Rani menahan napas, menyadari bahwa Wiliam tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kemampuan untuk melacak mereka. Mereka tahu mereka harus berpikir cepat jika ingin keluar dari situasi ini.
Dengan langkah-langkah yang terhitung hati-hati, Alif mengangguk ke arah Rani. "Kita harus berpisah. Kau pergi lewat pintu belakang, aku akan mengalihkan perhatiannya."
Rani mengangguk ragu-ragu, namun ia tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain. Dengan sigap, Rani bergerak menuju pintu belakang, sementara Alif berusaha untuk tetap berada di depan Wiliam, agar dia tidak menyadari kepergian Rani.
Wiliam mengamati Alif dengan pandangan tajam. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kalian rencanakan?" katanya dengan nada mengejek. "Aku sudah tahu kalian akan datang ke sini. Tidak ada yang bisa kalian sembunyikan dariku."
Alif berusaha tetap tenang. "Kau mungkin tahu banyak hal, Wiliam, tapi itu tidak berarti kau bisa mengendalikan semuanya."
Wiliam tersenyum tipis. "Aku bukan hanya mengendalikan, Alif. Aku memanipulasi. Kalian hanya alat dalam permainan besar ini."
Tiba-tiba, sebuah suara datang dari arah belakang. Wiliam menoleh, dan dalam sekejap, Alif melihat kesempatan itu. Dengan secepat kilat, ia melompat ke arah Wiliam, menendang sebuah rak buku yang jatuh ke arah kakinya.
"Pergi!" teriak Alif pada Rani yang sudah berada di luar ruangan, "Lari sekarang!"
Rani segera berlari keluar dari pintu belakang, membawa buku dan petunjuk yang mereka temukan. Sementara itu, Wiliam terjatuh setelah rak buku itu mengenai kakinya, tetapi dia segera bangkit, matanya menyala penuh amarah.
"Jangan kira aku akan membiarkan kalian lari begitu saja!" teriak Wiliam, suara kemarahannya menggema di ruang itu.
Alif berlari mengikuti Rani, merasakan napasnya yang mulai memburu. Mereka berdua berlari secepat mungkin melalui lorong-lorong gelap bangunan tua itu, menyadari bahwa Wiliam akan segera mengejar mereka.
---
Setelah keluar dari bangunan itu, mereka berdua berlari ke tempat aman yang sudah mereka tentukan sebelumnya—sebuah gudang tua di pinggir kota yang sering mereka gunakan untuk berlindung. Mereka berhenti sebentar, napas terengah-engah, dan saling berpandangan dengan cemas.
"Ini semakin berbahaya," kata Rani dengan wajah pucat. "Wiliam tahu banyak tentang kita, dan sepertinya dia tahu setiap langkah yang kita ambil."
Alif mengangguk, matanya penuh tekad. "Dia memang licik. Tapi kita tidak akan berhenti sampai kita menemukan seluruh peta. Wiliam mungkin lebih kuat dan lebih pintar, tetapi kita punya sesuatu yang dia tidak punya—keinginan untuk melindungi sejarah kota ini."
Rani tersenyum kecil. "Kau benar. Kita akan melawan segala cara untuk mengungkap kebenaran."
Dengan hati yang lebih kuat dari sebelumnya, mereka berdua bersiap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Perang ini baru saja dimulai, dan mereka tahu bahwa untuk memenangkan pertarungan ini, mereka harus lebih cerdik dan lebih berani daripada sebelumnya.