Setelah kejadian di gedung tua, Alif dan Rani tahu bahwa mereka berada di ujung tanduk. Wiliam semakin dekat, dan setiap gerak mereka terasa seperti sebuah permainan berbahaya yang melibatkan lebih dari sekadar teka-teki peta. Jika mereka tidak berhati-hati, mereka bisa saja terjebak dalam permainan manipulasinya yang licik dan mematikan. Namun, satu hal yang mereka ketahui adalah bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Peta ini, dengan semua petunjuk yang tersembunyi, adalah kunci untuk mengungkap sesuatu yang lebih besar dan lebih penting daripada sekadar artefak.
Malam itu, mereka berkumpul di gudang tersembunyi yang mereka anggap aman, berusaha merencanakan langkah selanjutnya. Rani membuka buku yang mereka temukan di bangunan tua, sementara Alif memeriksa potongan peta yang kini semakin lengkap. Di halaman yang terakhir, ada sebuah petunjuk baru yang tertulis dengan tinta pudar: "Ke tempat di mana bayangan tertidur, temukan kunci yang terbungkus gelap."
"Apa maksudnya ini?" Rani bertanya, matanya menatap tulisan itu dengan bingung. "Tempat di mana bayangan tertidur? Ini sepertinya petunjuk untuk tempat tersembunyi, tapi di mana?"
Alif terdiam, mencerna kata-kata itu. Dalam pikirannya, ia mulai merangkai kemungkinan-kemungkinan. "Aku ingat sebuah tempat yang disebut 'Taman Bayangan.' Itu adalah taman kecil di luar kota, tempatnya penuh dengan pepohonan rimbun dan hampir selalu gelap, bahkan di siang hari. Mungkin itu yang dimaksud dengan 'bayangan tertidur.'"
Rani menatap Alif dengan rasa ingin tahu. "Kau yakin itu tempat yang tepat? Tapi kenapa disebut 'kunci yang terbungkus gelap'?"
Alif mengangkat bahu, mencoba menyusun jawaban. "Mungkin ada sesuatu yang tersembunyi di sana, sesuatu yang hanya bisa ditemukan dalam kondisi tertentu. Bisa jadi itu adalah petunjuk penting, atau mungkin sebuah artefak yang lebih kuat. Kita harus segera ke sana."
Namun, sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, Alif merasakan sesuatu yang tak beres. Suara langkah kaki terdengar di kejauhan, semakin mendekat. Tidak salah lagi, mereka tahu itu adalah Wiliam. Ia tidak pernah jauh, dan kali ini, sepertinya dia siap dengan perangkap.
"Mereka ada di sini," bisik Alif, "Wiliam pasti sudah tahu kita akan ke sana. Kita harus lebih cepat."
---
Mereka memutuskan untuk berpisah, menyusun rencana darurat jika Wiliam atau Pak Arman tiba lebih dulu. Rani akan menyusuri jalan belakang menuju Taman Bayangan, sementara Alif akan mengalihkan perhatian Wiliam dengan cara yang lebih berani. Mereka berdua tahu, perjalanan ini tidak hanya tentang menemukan artefak, tetapi juga tentang bertahan hidup.
Alif menyelinap keluar dari gudang lebih dulu, berusaha memimpin Wiliam ke arah yang salah. Namun, Wiliam sudah sangat pintar dalam membaca situasi. Beberapa menit setelah Alif melangkah ke luar, Wiliam muncul di hadapannya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan.
"Alif, kau benar-benar berpikir kau bisa menghindari aku begitu saja?" suara Wiliam terdengar seperti desisan ular, penuh dengan ketenangan yang menakutkan.
Alif tetap tenang, meskipun hatinya berdebar. "Aku tahu kau pasti tahu ke mana aku pergi. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menang begitu saja."
Wiliam tersenyum tipis, matanya tetap tajam menatap Alif. "Kau harus lebih cerdik dari itu. Aku tidak mengejarmu karena aku ingin menang. Aku mengejarmu karena aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan. Kalian berdua benar-benar ingin menemukan kebenaran? Atau kalian hanya ingin bermain dengan api yang lebih besar dari yang kalian bayangkan?"
Alif menegakkan dada, merasakan ketegangan yang memuncak. "Aku tidak takut dengan permainanmu, Wiliam. Kami akan menemukan kebenaran ini, dan kami akan melindungi kota ini dari orang-orang seperti kau."
Wiliam hanya tertawa ringan. "Lihat, Alif. Aku tidak perlu takut padamu atau siapapun. Aku punya sesuatu yang kalian takkan pernah miliki: kemampuan untuk melihat lebih jauh dari sekadar apa yang ada di depan mata. Kau akan melihat bahwa kita semua hanya ada dalam satu rencana besar yang tidak bisa diubah."
Saat itu, Alif merasakan sesuatu yang tak biasa—sebuah perasaan bahwa Wiliam bukan hanya mengejar mereka karena artefak, tapi karena dia memang merasa superior. Seperti dia sudah tahu sesuatu yang lebih besar, dan mereka hanya bagian kecil dari permainan yang lebih rumit.
"Tapi jangan khawatir," lanjut Wiliam sambil melangkah mundur, "Kalian akan tahu tempat kalian dalam permainan ini segera. Aku akan memberi tahu kalian saat waktunya tiba."
Alif tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu satu hal: Wiliam tidak hanya ingin artefak ini. Dia ingin kontrol. Dan jika mereka tidak hati-hati, Wiliam akan menjebak mereka dalam jaring manipulasi yang bahkan lebih besar dari yang mereka kira.
---
Sementara itu, Rani berhasil sampai di Taman Bayangan. Tempat itu terasa sunyi dan penuh misteri, dengan pepohonan yang begitu lebat sehingga hampir tidak ada cahaya matahari yang bisa menembus. Di tengah taman, terdapat sebuah patung besar, tersembunyi di balik dahan-dahan pohon yang merunduk. Rani mendekat dengan hati-hati, merasa bahwa petunjuk berikutnya mungkin berada di sekitar sini.
Di dekat patung itu, dia menemukan sesuatu yang aneh—sebuah batu besar yang tampaknya telah dipindahkan berkali-kali, namun kini terlihat lebih stabil. Rani menunduk, mencoba mengangkat batu tersebut, dan di bawahnya, dia menemukan sebuah kotak kecil yang terbuat dari logam gelap.
Tanpa ragu, Rani membuka kotak tersebut, dan di dalamnya terdapat kunci berbentuk aneh yang terbungkus kain hitam. Di samping kunci itu, ada sebuah pesan kecil yang berbunyi: "Ini adalah kunci yang akan membuka pintu kegelapan. Jangan ragu untuk menggunakannya saat waktunya tiba."
Rani merasa ada sesuatu yang sangat penting dengan temuan ini. Kunci ini sepertinya adalah bagian dari misteri yang lebih besar. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
Wiliam.