Setelah mendapatkan petunjuk dari lokasi pertama, Alif dan Rani tahu mereka harus bergerak cepat. Peta yang mereka miliki masih menunjukkan tiga titik lainnya, dan jika Pak Arman sudah bergerak, mereka harus mempercepat langkah sebelum pria itu berhasil menemukan semua artefak.
Pagi itu, Alif dan Rani berkumpul di rumah Alif untuk membahas strategi mereka. Di meja, peta, catatan, dan gambar simbol dari lokasi pertama terpampang rapi. Mereka mempelajari setiap detail yang ada di sana, berharap bisa menemukan petunjuk tambahan.
"Kita harus pergi ke lokasi kedua hari ini," kata Alif dengan nada serius. "Jika kita terlalu lambat, Pak Arman mungkin akan menemukan artefak berikutnya sebelum kita."
Rani mengangguk setuju, tetapi tampak sedikit ragu. "Tapi kita tahu betapa berbahayanya berurusan dengan orang seperti Pak Arman. Apa kita benar-benar siap untuk ini?"
Alif menghela napas, merenung sejenak. "Aku mengerti kekhawatiranmu, Rani. Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika kita menyerah, artefak-artefak berharga itu akan hilang selamanya, dan mungkin akan digunakan untuk sesuatu yang jahat."
Rani terdiam, berpikir dalam-dalam. Setelah beberapa saat, dia tersenyum kecil dan menepuk bahu Alif. "Kau benar. Kita sudah sejauh ini, dan kita harus menyelesaikan apa yang kita mulai. Lagipula, aku tidak akan membiarkanmu melakukan ini sendirian."
Alif tersenyum lega. "Terima kasih, Rani. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu."
Dengan tekad yang semakin kuat, mereka merencanakan perjalanan ke lokasi kedua, yang berada di selatan kota, di sebuah gedung kolonial tua yang kini berfungsi sebagai cagar budaya. Tempat ini tidak terawat dengan baik dan jarang dikunjungi orang, menjadikannya lokasi yang sempurna untuk menyembunyikan artefak.
Mereka mempersiapkan peralatan dengan lebih teliti kali ini. Selain senter dan kamera, mereka membawa kompas, sarung tangan, dan masker untuk berjaga-jaga dari debu di gedung tua tersebut. Setelah semuanya siap, mereka berangkat dengan sepeda motor Alif, menyusuri jalan kota yang sepi pada pagi hari.
Ketika tiba di gedung kolonial itu, suasana terasa hening. Bangunan tua itu menjulang dengan dinding-dinding yang sudah mulai pudar dan retak. Beberapa bagian ditumbuhi tanaman liar, menambah kesan misterius pada tempat tersebut.
Mereka melangkah masuk dengan hati-hati, melewati koridor yang gelap dan penuh dengan jejak waktu. Aroma lembap dari dinding yang berjamur memenuhi udara, dan lantai kayu di bawah kaki mereka berderit pelan. Alif mengeluarkan peta dan menunjukkan ke arah ruangan di sisi kanan, yang menurut peta, adalah salah satu titik yang harus mereka periksa.
"Di sini," bisik Alif, menunjuk pintu yang setengah terbuka. Mereka melangkah masuk ke dalam ruangan, yang tampaknya dulu adalah ruang penyimpanan. Di dalamnya, hanya ada lemari kayu tua dan meja yang sudah lapuk.
Rani melihat-lihat di sekitar, tetapi tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. "Sepertinya kosong," katanya dengan kecewa.
Namun, Alif menolak untuk menyerah. Dia memeriksa dinding dan lantai dengan teliti, berharap menemukan sesuatu yang tidak terlihat pada pandangan pertama. Setelah beberapa menit, dia menyadari bahwa salah satu papan lantai sedikit berbeda dari yang lain.
"Rani, lihat ini," panggil Alif sambil mengetuk papan lantai itu. Suaranya terdengar agak hampa, seolah-olah ada ruang kosong di bawahnya.
Rani segera mendekat, memperhatikan dengan cermat. "Mungkin ini semacam pintu rahasia?"
Dengan hati-hati, mereka mencoba mengangkat papan tersebut. Setelah beberapa usaha, papan itu akhirnya terangkat, memperlihatkan sebuah ruang kecil di bawah lantai. Di dalamnya, terdapat sebuah kotak besi kecil yang tampak berkarat. Alif mengambil kotak itu dengan perlahan dan meletakkannya di atas meja.
Mereka saling berpandangan dengan penuh antisipasi. Dengan hati-hati, Alif membuka kotak itu dan menemukan sebuah benda kecil berbentuk bulat—sebuah medali perunggu yang tampak kuno, dengan simbol-simbol yang mirip dengan yang mereka lihat di lokasi pertama.
"Ini… ini pasti salah satu artefak yang dicari Pak Arman," bisik Rani dengan suara penuh keheranan.
Namun, sebelum mereka bisa merenungkan temuan mereka lebih jauh, terdengar suara langkah kaki dari luar ruangan. Alif dan Rani saling memandang, ketakutan. Langkah itu semakin mendekat, dan mereka tahu mereka harus cepat bertindak.
"Cepat, Rani, sembunyikan kotaknya," bisik Alif.
Rani segera menyelipkan kotak itu ke dalam tasnya, lalu mereka bersembunyi di balik lemari kayu tua di sudut ruangan. Mereka menahan napas, berusaha tetap tenang meskipun jantung mereka berdetak kencang.
Pintu terbuka perlahan, dan dari celah kecil, mereka bisa melihat sosok pria yang masuk ke ruangan. Sosok itu tidak lain adalah Pak Arman. Dia tampak mengamati sekeliling ruangan, seolah-olah mencurigai ada orang lain di sana.
Alif dan Rani mencoba sekuat tenaga untuk tidak bergerak atau mengeluarkan suara. Mereka tahu bahwa jika Pak Arman menemukan mereka, akibatnya bisa sangat berbahaya. Pak Arman perlahan mendekat ke arah mereka, seolah-olah merasa ada sesuatu yang ganjil di ruangan itu.
Namun, tiba-tiba terdengar suara dari arah koridor. Pak Arman tampak terkejut, lalu berbalik dan keluar dari ruangan untuk memeriksa sumber suara tersebut. Alif dan Rani saling berpandangan, menyadari ini adalah kesempatan mereka untuk melarikan diri.
"Cepat, kita harus keluar dari sini," bisik Alif sambil menggenggam tangan Rani dan berlari keluar ruangan. Mereka bergerak secepat mungkin melalui koridor gelap itu, berusaha mencapai pintu keluar tanpa menarik perhatian.
Ketika mereka akhirnya berhasil keluar dari gedung itu, mereka segera berlari ke arah sepeda motor Alif. Nafas mereka masih terengah-engah ketika Alif menyalakan mesin dan segera melaju menjauh dari tempat itu.
Setelah merasa cukup jauh, mereka berhenti sejenak di taman kecil di pinggiran kota. Mereka duduk di bangku taman, berusaha menenangkan diri setelah pelarian yang mendebarkan itu.
"Nyaris saja," gumam Rani sambil mengusap wajahnya yang masih pucat.
Alif mengangguk, merasakan hal yang sama. "Aku juga tidak menyangka kita akan berhadapan langsung dengan Pak Arman. Dia benar-benar tidak main-main."
Rani mengeluarkan kotak besi kecil dari tasnya dan membuka kembali. Mereka memandangi medali kuno di dalamnya, merasa seolah-olah benda itu memiliki kekuatan tersembunyi yang menarik mereka lebih dalam ke misteri ini.
"Kita harus menyelidiki lebih jauh tentang medali ini," kata Alif dengan suara yang mantap. "Ini adalah kunci untuk mengungkap misteri artefak-artefak ini. Mungkin ada petunjuk di dalam simbol-simbolnya."
Rani mengangguk, kembali bersemangat. "Benar, Alif. Kita sudah menemukan dua artefak, dan itu berarti kita sudah berada di jalur yang benar. Kita tidak boleh berhenti sekarang."
Dengan medali yang baru mereka temukan, Alif dan Rani tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang. Mereka belum tahu bahaya apa lagi yang menanti di lokasi berikutnya, namun mereka siap menghadapi semua itu demi mengungkap rahasia di balik artefak-artefak bersejarah ini.