Keesokan malamnya, Alif dan Rani kembali ke museum setelah jam buka. Mereka sudah menyiapkan rencana yang matang untuk masuk tanpa diketahui. Alif membawa senter kecil, sarung tangan, dan notebook, sementara Rani menyelipkan kamera di tasnya, bersiap untuk mengabadikan apa pun yang mencurigakan.
Mereka berdua berhasil menyelinap melalui pagar belakang museum yang kebetulan sedikit rusak. Dalam senyap, mereka masuk ke lorong-lorong kosong, memanfaatkan cahaya bulan yang masuk melalui jendela-jendela tinggi.
"Kamu yakin kita tidak tertangkap kamera CCTV?" bisik Rani dengan hati-hati.
Alif mengangguk. "Sudah kupelajari tata letak kamera keamanan di sini. Yang penting kita menghindari lorong utama. Kamera hanya terpasang di beberapa titik strategis, dan kalau kita tetap di bagian samping seperti ini, kita aman."
Setelah berjalan menyusuri lorong-lorong gelap, mereka sampai di ruangan di mana patung itu sebelumnya dipajang. Ruangan itu kini kosong, dan rak pajangan hanya diterangi lampu kecil yang memantulkan bayangan temaram. Alif mengarahkan senter kecilnya ke lantai, mencari jejak-jejak yang mungkin tertinggal.
"Lihat ini, Rani." Alif menunjuk jejak langkah kecil yang terlihat di lantai. "Jejak ini lebih jelas daripada tadi malam. Sepertinya ada seseorang yang sengaja menyelinap masuk dan keluar dari sini."
Rani mengamati jejak-jejak itu. "Tapi dari bentuknya, sepertinya jejak sepatu yang sama yang kita lihat kemarin."
Alif mengangguk, menyadari hal yang sama. Jejak itu tampaknya milik orang yang mereka curigai kemarin, mungkin Pak Arman. Jejak itu mengarah ke pintu kecil di belakang ruangan, yang terlihat jarang digunakan. Mereka mendekati pintu itu dengan hati-hati.
"Menurut peta yang kupelajari, pintu ini seharusnya mengarah ke gudang bawah tanah museum," bisik Alif sambil mengamati engsel pintu yang tampak berkarat.
Rani terlihat ragu, tetapi dia tetap mengikuti Alif yang memutar gagang pintu dan membukanya perlahan. Derit pintu yang membuka memecah keheningan malam. Mereka memasuki tangga batu yang melingkar ke bawah, menuju ke dalam kegelapan gudang.
Alif menyalakan senternya, memperhatikan setiap langkah mereka. Bau pengap menyambut mereka di gudang bawah tanah itu. Di sana terdapat rak-rak tua berisi barang-barang antik, peti kayu, dan kotak-kotak yang tampak sudah lama tidak tersentuh.
"Lihat ini, Alif," bisik Rani sambil menunjuk salah satu kotak yang tergeletak di pojok ruangan. Kotak itu terlihat lebih baru daripada barang-barang lainnya dan sedikit terbuka, seolah ada seseorang yang terburu-buru meninggalkannya.
Mereka berdua mendekati kotak itu dan menemukan beberapa kertas usang yang tampaknya adalah peta kota tua. Peta itu dipenuhi tanda-tanda dan catatan yang tampak dibuat dengan tangan.
Alif mengambil salah satu peta itu dan mengamati dengan seksama. "Rani, lihat ini. Ada tanda yang menunjuk ke empat lokasi berbeda di kota."
"Empat lokasi?" Rani memperhatikan peta itu dengan serius. "Kamu pikir ini berhubungan dengan empat artefak yang kita baca kemarin?"
"Bisa jadi. Jika benar begitu, mungkin ini adalah petunjuk untuk menemukan artefak-artefak lain yang hilang," jawab Alif, berusaha tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. "Dan kalau Pak Arman mencari artefak-artefak itu, kemungkinan besar dia juga tahu tentang peta ini."
Saat mereka tengah mengamati peta, terdengar suara langkah kaki dari arah tangga. Alif dan Rani saling bertatapan, menyadari bahwa mereka tidak sendirian di sana.
"Kita harus sembunyi!" bisik Alif panik, sambil menarik Rani ke balik tumpukan peti di sudut ruangan.
Dalam senyap, mereka mengintip dari balik peti, melihat bayangan seorang pria yang turun ke gudang. Alif mencoba mengenali wajah pria itu, dan matanya melebar saat ia menyadari siapa yang berdiri di sana—Pak Arman, pria mencurigakan yang bekerja di museum beberapa tahun lalu.
Pak Arman tampak sibuk mengobrak-abrik rak-rak, seakan mencari sesuatu yang ia tinggalkan. Rani memegang erat kameranya, mencoba mengambil gambar Pak Arman dari sudut yang aman tanpa ketahuan. Namun, tiba-tiba, Pak Arman menghentikan kegiatannya dan memutar kepalanya ke arah mereka, seolah menyadari keberadaan seseorang di dalam ruangan.
Napas Alif dan Rani tertahan. Mereka berusaha untuk tidak membuat suara sekecil apa pun. Pak Arman tampak ragu, lalu melangkah mendekati sudut ruangan tempat mereka bersembunyi.
Rani menggenggam lengan Alif, ketakutan. Jika mereka tertangkap, entah apa yang mungkin dilakukan Pak Arman pada mereka.
Namun, sebelum Pak Arman sampai ke tempat persembunyian mereka, terdengar bunyi ketukan di atas, membuat Pak Arman menghentikan langkahnya. Seolah menyadari bahwa ada orang lain yang mungkin mendengar keberadaannya, Pak Arman buru-buru meninggalkan gudang, meninggalkan Alif dan Rani dalam keheningan yang menegangkan.
Mereka menunggu beberapa menit setelah Pak Arman pergi, memastikan keadaan benar-benar aman, sebelum keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Alif, kita harus keluar dari sini sekarang. Sebelum dia kembali," bisik Rani, masih gemetar.
Alif mengangguk. Dia melipat peta yang mereka temukan tadi dan menyimpannya di dalam jaketnya. "Ayo, kita pergi. Kita harus mempelajari peta ini lebih lanjut. Mungkin ini petunjuk yang kita butuhkan untuk mengungkap misteri ini."
Dengan hati-hati, mereka naik kembali ke atas, mengendap-endap melewati lorong museum, hingga akhirnya berhasil menyelinap keluar melalui pintu belakang. Setelah merasa aman, mereka berjalan pulang dengan cepat, menyimpan peta dan rasa penasaran yang semakin dalam.
Malam itu, mereka sadar bahwa misteri ini lebih besar dari yang mereka kira. Jika Pak Arman benar-benar mengincar artefak-artefak yang hilang, mereka harus bertindak cepat sebelum benda-benda bersejarah itu jatuh ke tangan yang salah.
Alif menggenggam peta yang tersimpan di saku jaketnya, merasakan dorongan untuk memecahkan teka-teki ini. Di satu sisi, dia merasakan ketakutan, namun di sisi lain, rasa penasarannya semakin besar. Ini bukan lagi sekadar penyelidikan kecil. Mereka telah masuk ke dalam pusaran misteri yang tak bisa mereka abaikan begitu saja.