Robby berdiri di samping Trisya yang sedang mencuci tangan.
"Aku minggu depan sudah resmi jadi suami orang," ucap Robby.
"Lalu kenapa? Aku juga sudah istri orang."
"Kau bahagia?"
"Bohong jika tidak. Punya suami sebaik bang Ardi. Sangat memanjakanku, meski sedang banyak pekerjaan ia selalu menyempatkan diri untuk menelpon menanyai kabarku."
"Kau sudah bertemu dengan mantannya Ardi?"
"Ya."
"Cantik bukan? Kuberitahu ya.. Kenapa Ardi tak pernah melihat perempuan lain? karena dia tak bisa move on dari Airin. Padahal Airin sudah meninggalkan dia."
Trisya memandang Robby.
"Jika kau tidak hamil dan harus dinikahi.. Percayalah.. Saat ini mungkin Ardi sudah kembali pada Airin."
Trisya tak menjawab.
"Kau harus siap-siap untuk ditinggalkan. Tapi harus ingat, jangan kau pikir aku nanti akan mau mengorbankan rumah tanggaku untuk menerimamu dalam hidupku."
"Siapa juga yang mau kembali padamu?" Trisya meninggalkan Robby.
Robby tersenyum.
"Aku akan mulai menghitung setelah hari kelahiran anakmu, Sya.. untuk melihat kau ditendang keluar dari rumah suamimu. Dan kupastikan kau akan kembali merayuku untuk menerima kehadiranmu.."
***
"Yang.." panggil Ardi.
Trisya yang duduk di depan lqptop tak menjawab.
"Yang.."
"Ada apa?"
"Tolong siapkan pakaian dinas abang untuk besok ya? Abang besok apel pagi."
Trisya tak menjawab.
"Yang, dengar tidak?"
"Iyaa."
"Kok begitu jawabnya?"
"Abang tidak lihat aku sedang apa??" sergah Trisya.
Ardi meninggalkan kamar tanpa bicara.
"Abang.. Mau kemana? Abang!!"
Terdengar deru motor meninggalkan pekarangan rumah.
"Kemana dia? Keluar rumah tidak bilang apa-apa. Awas aja. Aku kunci pintunya biar tidak bisa masuk," Trisya berjalan keluar kamar untuk mengunci pintu ruang tamu."
"Tidur saja dilluar," Trisya meletakkan kunci di atas rak TV.
"Ah.. Capek sekali badanku," Trisya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur .
"Eh.. Handphone bang Ardi tinggal?"
Trisya meraih handphone itu.
"Tidak dikunci?"
Trisya memeriksa isi handphone itu.
"Aku penasaran melihat isi WA nya.." Trisya membuka aplikasi Whatsapp di handphone Ardi.
"Ada dari kak Airin. 10 menit yang lalu," gumam Trisya sambil membuka chat tersebut.
"Jadi pergi, Di? Aku sebentar lagi jalan," Trisya membaca chat itu. "Tidak ada balasan dari abang? Tapi dia langsung pergi?"
Handphone itu berdering. Dari Airin.
Trisya mengangkat telpon.
"Hallo.."
"Hallo, Ardi..?"
"Istrinya!"
"Oh, Trisya.. Ardi ada?"
"Keluar kak. Handphonenya tinggal. Ada apa, kak?"
"Tidak apa-apa.. Ok, terimakasih," Airin menutup telpon.
Trisya meletakkan handphone di meja. Ia kembali duduk di depan laptop.
Teringat ucapan Robby di cafe tadi.
"Percayalah.. Dia mungkin hanya membutuhkanmu untuk tempat menyalurkan nafsu birahinya dengan cara yang halal."
"Tidak.. Robby hanya ingin membuatku sakit hati. Jangan dipikirkan," Trisya meraih laptop. "Tapi.. Bagaimana jika Robby benar? Ah.. Entahlah!"
***
Pukul 11.30 malam ketika Ardi masuk ke kamar dan melihat Trisya yang tidur di kursi dengan laptop yang masih terbuka. Kepala Trisya bersandar di meja.
Ardi menutup laptop itu. Di angkatnya tubuh Trisya dan dibaringkannya di tempat tidur.
Wanita itu terbangun.
"Abang..?"
"Kamu tertidur di kursi, makanya abang pindahkan ke tempat tidur."
"Aku mengunci pintunya, bagaimana abang bisa masuk?"
"Kan abang punya kuncinya, sayang?"
"O iya. Aku lupa kalau rumah ini rumahnya Abang. Eh, Abang tadi kemana?"
"Keluar sebentar. Tadi katanya kamu sedang tak ingin diganggu."
"Bukan menemui Kak Airin?"
"Airin?"
"Kan dia chat abang ngajak ketemu?"
"Oh, Bukan.. Itu, teman-teman nongky waktu masih 6 tahun lalu ngajak ketemuan."
"Waktu abang masih jadi pacarnya?"
"Ya.. "
"Handphone mu tinggal. Aku tak sengaja membacanya."
"Oh.."
"Abang tidak marah??"
"Masa marah?"
"Aku membaca chatmu?"
"Yaa.. Tidak apa. Kan tidak ada hal yang aneh?"
"Aku tidak percaya."
"Sudah malam.. Tidurlah."
Trisya menarik lengan Ardi .
"Bang.."
"Ya.."
"Aku minta maaf soal tadi.."
Ardi merengkuh pinggang Trisya.
"Kenapa minta maaf? Harusnya abang yang minta maaf sudah mengganggu kamu menyelesaikan pekerjaan."
Ardi membelai rambut Trisya. Wanita itu menatap mata Ardi.
"Ada yang ingin aku tanyakan," ucap Trisya.
"Soal apa?"
"Kenapa kau setelah putus dengan kak Airin tidak punya pacar bang? Kau tidak mau pacaran lagi karena masih mencintai kak Airin?" tanya Trisya.
"Maksudnya?"
"Meski putusnya karena ditinggalkan tapi pasti ada membekas di hatimu kan? Misalnya..Ciumannya yang mungkin tak bisa kau lupakan?" tebak Trisya.
"Tidak ada ciuman di bibir," bantah Ardi.
"Oya..? Masa?"
"Pikiranmu ini.." Ardi menjentik dahi trisya.
"Aduh.." Trisya mengusap dahinya. "Sakit.."
Ardi mencium dahi Trisya.
"Sudah malam, istirahatlah.."
"Abang?"
"Ada yang mau diselesaikan. Besok berkasnya harus sudah di depan meja papa."
"Tapi kau punya pekerjaan rumah yang belum selesai," Trisya memeluk Ardi. "Menidurkan permaisuri."
Ardi tertawa.
"Permaisuri kan bisa tidur sendiri?"
"Tidak bisa kalau belum diceritakan sebuah dongeng.." Trisya menatap wajah Ardi. "Aku punya sebuah kritikan untukmu."
"Kritikan?"
"Ya.."
"Apa?"
"Kenapa kau menyimpan nama istrimu di handphone dengan tulisan Trisya Monica?"
"Kan benar? Itu nama kamu?"
"Aku istrimu bang.. bukan temanmu. Apa lagi mantanmu. Apa salahnya menggantinya dengan sebutan Sayangku, istriku, atau apalah yang menunjukkan aku ini bukan teman. Tapi istri. BINI, Bang.. Bini!"
Ardi tertawa.
"Iyaa.. nanti abang ganti," janji Ardi.
"Kau ini..Tidak ada romantisnya sama sekali," gerutu Trisya.
Ardi meraih dagu Trisya, mendaratkan ciuman di bibir perempuan yang sedang menggerutu panjang itu.
"Mmm.." Trisya mendorong Ardi. "Kau ini.."
"Katanya mau yang romantis?"
"Yaa.. Tapi bukan seperti ini.."
"Lalu seperti apa?"
"Ntahlah.. Kau ini," Trisya mengalungkan lengannya di leher Ardi lalu mencium bibirnya.
"Tadi katanya tidak seperti ini.. Sekarang kenapa malah dimulai lagi?"
Trisya tertawa.
"Kau membuatku selalu ingin memelukmu."
Ardi kembali mencium Trisya sebelum akhirnya duduk di sisi Trisya.
"Tidurlah.. Abang selesaikan pekerjaan sambil menjagamu sampai tertidur.
"Boleh sambil memelukmu?" tanya Trisya.
"Tentu saja, sayang.."
"Kapan kita ke rumah ibumu?"
"Tunggu abang libur, ya?"
"Ah, abang ini. Nanti tiba-tiba bilang, Yang.. abang ada kerjaan. Mau penangkapan. Pending dulu ya perginya?"
Ardi tertawa.
Trisya memeluk pinggang Ardi.
"Terimakasih ya sayang, membuat hidupku jadi lebih baik. Entah kenapa aku tak dari dulu saja melihatmu. Malah terjerumus entah kemana-mana baru dipertemukan denganmu. Itupun tak spesial. Karena aku masih bersama papa."
"Terimakasih saja pada malam yang mempersatukan kita. Walaupun itu berawal dari sebuah perbuatan dosa. Tapi semoga endingnya selalu berada di jalan Allah ya?"
"Terimakasih imamku.. mau menerimaku apa adanya," bisik Trisya.
"Terimakasih bidadariku.. menjadikan hidupku sempurna dengan adanya bayi di dalam rahimmu.." Ardi mengelus perut Trisya.
"Nanti anaknya mau dikasih nama apa, bang?"
"Kalau lelaki.. Arsya."
"Kalau perempuan?"
"Disya.."
"Kenapa nama itu?"
"Kan penggalan nama kita sayang?"
Trisya tertawa.
"Kau ini.."