Chereads / Know Me, Please / Chapter 17 - Selamat jalan Mama

Chapter 17 - Selamat jalan Mama

"Mama tadi belanja untukmu, susu dan buah-buahan. Mama juga memasakkan sayuran seafood dan sop ayam. Kamu belum makan kan?" tanya Ariana.

"Tidak usah repot-repot. Kalau aku ingin sesuatu, biar bang Ardi saja yang membelikan."

"Tidak baik sering makan masakan seperti itu. Kamu sedang hamil?"

"Ya.."

"Ardi mana?"

"Belum pulang."

Ariana melihat jam di dinding. Sudah jam 8 malam.

"Makanlah.."

"Tunggu abang pulang."

"Jangan ditunggu. Pekerjaan suamimu itu sama dengan papa. Bisa jadi dia pulang tengah malam."

Trisya tak menjawab.

"Mama ambilkan piring untukmu.. sekalian memotongkan buah dan menyiapkan susu untukmu."

"Jangan baik padaku.." ucapan Trisya menghentikan langkah Ariana.

Ia menoleh.

"Jangan baik padaku. Kau harus ingat, aku di masa lalu adalah pesaingmu. Orang yang menyakitimu dengan merebut suamimu."

Ariana tak menjawab, ia berjalan ke dapur.

Trisya menundukkan wajahnya, memandangi cincin yang ia letakkan di kalungnya sebagai lionten. Cincin itu pemberian Ariana di hati pernikahannya. Ariana menitipkan pada Ardi untuk memberikan kepada Trisya.

"Yang.." panggil Ardi.

Trisya menoleh, Ardi sudah berdiri di sampingnya.

"Abang.." Trisya mencium tangan Ardi. "Aku tidak dengar abang pulang."

"Kamu melamun. Memikirkan apa?"

"Memikirkanmu.. Aku pikir abang pulangnya masih lama."

"Kenapa? Sudah rindu saja?" Ardi merangkul Trisya dari belakang. "Sini abang beri satu hadiah.."

"Hadiah apa?"

Ardi menunjukkan sebuah box kecil.

"Apa itu?"

"Satu ciuman dulu."

Trisya mencium pipi Ardi.

"Aku mau lihat."

Ardi menyembunyikan box itu di balik punggung.

"Abang.. Sini."

"Ciumannya mana?"

"Kan sudah."

"Tidak disitu."

"Nanti di kamar.. Sini hadiahnya, bang. Aku mau lihat."

"Kalau di kamar hitungannya beda."

"Kau ini mesum,bang ." Trisya mendorong tubuh Ardi, namun lelaki itu mendekap lebih erat ke pelukannya.

"Mesum dengan istri sendirikan tidak apa-apa," Ardi mencium bibir Trisya.

"Hei, di belakang ada mama." bisik Trisya.

Ardi melepaskan pelukannya.

"Sya, kecap dimana? Eh, Ardi sudah pulang?" tanya Ariana.

"Baru pulang , Ma.." jawab Ardi.

"Sudah makan?"

"Mandi dulu, Ma.."

"Makan saja dulu. Temani Trisya.." Ariana menghidangkan masakannya berikut potongan apel di meja.

Ardi bergegas masuk ke kamar.

"Papa tahu mama kesini?" tanya Trisya.

"Papa keluar kota."

"Oh, abang tidak ada bilang."

"Kamu... dan bayi di dalam perutmu, sehat?" tanya Ariana.

"Ya.."

"Ini sudah berapa bulan? Masuk 7 ya?"

"7 bulan 1 minggu."

"Boleh mama merabanya?"

Trisya tak menjawab.

"Kamu cantik sekali, Nak.." ucap Ariana sambil mengusap perut Trisya. "Sudah USG?"

"Semalam.."

"Apa kata dokter?"

"Laki-laki.. Dan dia sehat di dalam sana."

Ariana tersenyum.

"Dia bergerak.." ucap Ariana.

"Masa?"

"Kamu tidak tahu?"

"Tidak pernah kurasakan."

"Dia akan semakin aktif di bulan depan."

Trisya menatap Ariana.

"Apa.. Melahirkan itu sakit?"

"Tidak.. Kenapa? Kamu takut? Tidak apa-apa. Ardi pasti mendampingi kamu. Nanti.. kalau papa sudah pulang, kita adakan acara 7 bulan ya?"

"Abang bilang pengajian di rumah saja. Mendoakan biar nanti persalinan lancar.'

"Iya.. Nanti acaranya di rumah mama."

"Bicarakan sama abang."

Ariana menatap Trisya, ia mengusap kepala Trisya.

"Dalam hitungan 2 bulan lagi kamu sudah jadi ibu. Maafkan mama, sepanjang hidupmu tak busa memberi contoh bagaimana menjadi ibu yang baik. Semoga kamu bisa belajar dari ibu mertuamu dqlam cara mendidik anak."

"Ada apa denganmu? Kenapa hari ini terlihat aneh?"

"Tidak apa-apa, mama hanya sangat bangga melihatmu sejauh ini bisa menjadi istri yang baik. mestinya juga akan bisa menjadi ibu yang baik Jangan seperti mama."

"Jika anakmu ini sudah lahir, izinkan mama belajar menjadi nenek yang baik untuknya."

"Ya.."

"Kau akan.. kau akan menemaniku saat dia lahir?"

"Tentu saja.."

"Awas jika kau ingkar janji ya, Ma?"

Ariana memeluk Trisya.

"Terima kasih, Nak.."

***

"Bang.." panggil Trisya

"Yaa."

"Dia bergerak."

"Siapa?"

"Anak lelakimu ini.. Dia menendangku."

"Oya?"

"Sini.." Trisya menarik lengan Ardi agar meraba perutnya.

"Tidak terasa apa-apa."

"Tetap saja letakkan disana.. Nah, itu.. Dia bergerak."

"O iya.."

"Tadi juga bergerak saat diraba mama."

"Oya?"

"Mama bilang nanti akan menemaniku saat proses persalinan."

"Mama pasti melakukannya untuk anak perempuannya."

"Tapi kenapa aku merasa takut?"

"Takut kenapa?"

"Tiba-tiba melihat dia bicara sebaik itu. Seumur hidupku dia tak pernah melakukan hal yang benar untukku."

"Kata siapa? Itu hanya pikiranmu."

"Dia membenciku. Katanya aku ini anak sial."

"Tidak boleh begitu."

Handphone Trisya berdering.

"Nomor siapa ini?" Trisya membaca nomor tidak dikenal yang masuk.

"Sini, biar abang yang angkat."

Trisya menyerahkan handphone pada Ardi.

"Hallo.."

"Selamat malam.. Ini benar nomor handphone nya anak dari ibu Ariana Dewi?"

"Iya.."

"Maaf dengan siapa ini? Karena di handphone ibu hanya tertulis dengan sebutan Gadisku.."

"Saya suami anaknya."

"Baik, izin ingin melaporkan bapak. Ibu Ariana mengalami lakalantas dengan sebuah truk, dan mohon maaf sebelumnya, ibu dinyatakan meninggal di tempat. Kami sudah menghubungi pak Richard Adrian suami beliau namun beliau tidak bisa dihubungi. Karena itu kami memutuskan menghubungi nomor terakhir yang dihubungi ibu yaitu anaknya beliau."

"Ini dengan siapa?"

"Saya Bribda Andi Arifin, mohon maaf dengan bapak siapa saya bicara?"

"Ipda Rifki Ardiansyah. Ibu dibawa kemana?"

"Siap. Rumah sakit Harapan, Bang."

"Baik, saya dan istri segera kesana."

"Siap, bang.."

Ardi memandang Trisya.

"Ada apa? Telpon dari siapa? Wajahmu kenapa seperti itu..?" tanya Trisya.

"Telpon dari polisi yang menangani lakalantas. Katanya.. Mama mengalami kecelakaan dengan mobil truk. Mama meninggal di tempat."

Trisya terdiam.

"Yang..?"

"Itu mungkin penipu.." ucap Trisya. "Masa kau tidak paham, bang.? Nanti ujung-ujungnya minta uang."

Ardi menatap Trisya.

"Dia mana mungkin meninggal," suara Trisya bergetar, ada airmata menggantung disudut matanya."Perempuan itu.. Tak ada yang bisa menumbangkannya. Bahkan pernah kubuat sehancur hancurnya, dia masih bisa berdiri kokoh dan berjalan seakan tak pernah ada yang terjadi. seterluka apapun tak bisa membuat dia sakit. Mana mungkin dia bisa meninggal. Si penelpon pastilah orang yang sedang membuat tipuan jahat untuk mendapatkan uang."

Ardi mengulurkan tangannya memeluk Trisya.

"Jika menangis bisa membuatmu lega.. lepaskan saja tangisnya, sayang.." bisik Ardi.

Trisya diam, dan beberapa saat kemudian tangis wanita itupun pecah.

"Dia memang pembohong! Dia hanya bisa membuat aku sakit hati setelah melontarkan janji! Dia selalu membuat janji palsu untukku!" teriak Trisya. Mana janjinya yang mau mengadakan acara 7 bulan untukku?? Mana katanya yang mau menemani aku persalinan? KENAPA DIA TAK PERNAH BERHENTI MENYAKITIKU! Jika dia memang tak menyukaiku, kenapa membiarkan aku tumbuh menjadi seperti hari ini??"

Ardi mengelus-elus kepala Trisya.

"Mama bukan sedang membohongimu. Mama hanya tak bisa melawan takdir yang sudah digariskan Tuhan, sayang.."

"Kenapa takdirku harus seperti ini?"