"Abang.. Abang mau dimasakin apa buat sarapan?" tanya Trisya.
Ardi tak menjawab.
"Abang.." panggil Trisya sambil mengetuk pintu kamar mandi. "Bang!"
Pintu kamar mandi itu dibuka, Ardi keluar.
"Terserah kamu saja."
"Aku sudah masak nasi goreng," Trisya mengikuti Ardi ke kamar.
"Kalau sudah masak kenapa masih bertanya Trisya Monica?"
Trisya tertawa.
"Jangan emosi dong, ayah.." Ia memberikan kemeja pada Ardi. "Ayah juga setiap kali ditanya selalu jawabnya terserah."
"O iya, kak Tari tanya. Kamu jadi butuh pengasuh untuk Arsya?" Ardi mengenakan kemejanya.
"Kata papa tidak usah. Biar nanti bu Rahmi disini saja."
"Tidak enak nyusahin papa, yang.."
"Tidak apa-apa. Papa kan tidak merasa disusahkan. Atau begini saja.. bu Rahmi disini biar hanya kalau aku mengajar saja," Trisya mengancingkan kemeja Ardi.
"Nanti biar ibu kesini saja kalau kamu sudah aktiv mengajar."
"Tidak enak nyusahin ibu, bang.. Ah, andai mama ada.." Trisya tak melanjutkan ucapannya.
Ardi memandang Trisya.
"Aku bahkan tidak sempat minta maaf sudah menyakiti mama.. padahal saat aku masih berpikir anak ini adalah anaknya papa sehingga aku harus pindah dengan alasan study untuk bisa melahirkannya..Mama memikirkanku. Dia memberiku semua tabungannya dan menitipkan Aldo. Bukan karena egois ingin menyingkirkan aku.. Tapi mama ingin membalas pengkhianatan papa dan menyingkirkan orang yang ia anggap sudah merusak hidup anak perempuannya."
Ardi mengulurkan tangannya memeluk Trisya.
"Mama tahu kamu sudah menyesali betapa buruknya hubungan kalian pada masa itu."
"Tapi dia belum mendengar aku mengucapkan penyesalan.."
"Doakan mama setiap hari di setiap sholat."
Trisya memandang Ardi.
"Ayo, sarapan. Nanti abang terlambat," Ardi menggandeng bahu Trisya.
"Ya.."
Handphone Ardi berdering.
"Ya..Wah, saya masih di rumah, minta tolong Bayu saja boleh ya bu? Iya bu.. Baik, nanti saya periksa jika sudah tiba di kantor.. Sama- sama bu.."
Trisya memandang Ardi.
"Siapa yang telpon?"ia menghidangkan sepiring nasi goreng di hadapan Ardi.
"Ibunya tersangka."
"Ooh.."
"Kamu tidak makan?"
"Iya.."
***
Malam itu...
Trisya baru saja selesai menyiapkan menu makan ketika handphonenya berdering.
"Hallo.."
"Hai sayang.. Aku menunggu jawabanmu."
"Jawaban apa? Kau bukannya yang menelpon tadi malam?"
"Sudah kukatakan..Aku merindukanmu. Mari kita bertemu. Aku sudah memesan sebuah kabar termewah untuk merayakan malam ini denganmu."
"Apa maksudmu?"
"Kau tak membaca chat yang aku kirimkan? Oh, aku tahu.. pasti suamimu yang membaca. Dia pasti menghapusnya karena kukatakan aku lebih kuat dibanding dia."
"Kau siapa? Tidak usah mengusikku!"
"Aku sudah mencari tahu siapa suamimu."
"Kau mau apa?"
"Mari kita bertemu dulu malam ini."
"Tidak!"
"Nama.. Ipda Rifki Ardiansyah. Sebelumnya berada di satuan..."
"Yang.." terdengar panggilan Ardi dari luar.
Trisya segera menutup telpon. Ia memblokir nomor tersebut dan segera berjalan membuka pintu.
"Abang kenapa baru pulang?" Trisya mencium tangan Ardi.
"Banyak sekali berkas yang harus diselesaikan," Ardi melangkah masuk.
"Aku baru selesai masak. Abang mau makan?"
"Mandi dan sholat Maghrib dulu. Nanti waktunya habis."
"Ya.. Aku siapkan makan malamnya. Eh, Arsya bangun lagi."
Trisya mengikuti Ardi ke kamar.
"Anak mama kenapa?" Trisya menggendong bayinya. "Haus lagi?"
Ia duduk di sisi ranjang agar bisa menyusui Arsya.
"Kenapa?" tanya Ardi.
"Haus.. Hari ini entah sudah berapa kali dia menyusu."
Ardi tersenyum sembari mengusap rambut Trisya.
"Kamu hebat.. Bayi yang awalnya sekecil itu bisa sebesar ini dalam hitungan 3 bulan.."
"Ayahnya juga hebat, mau ikut berjaga menggantikan mamanya menjaga Arsya."
Handphone Ardi berdering. Ia segera berjalan keluar kamar.
"Hallo.."
"Di.. Ngopi yuk."
"Aku baru pulang, Ted. Kasihan istri, seharian di rumah jaga anak."
"Ajak saja istrimu.."
"Kasihan, anak juga masih 3 bulan."
"Oh, ok.."
"Salam dengan yang lain ya?"
"Ya.."
Ardi menyimpan handphonenya.
Trisya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang.
"Baik sekali sayangku ini, mau menolak ajakan temannya untuk meluangkan waktu untukku," Trisya mencium punggung Ardi.
Ardi tersenyum mengelus lengan Trisya.
"Arsya sudah tidur?"
"Sudah. Abang mau makan?"
"Ya.. lapar sekali," Ardi merangkul bahu Trisya. "Ayo.."
Ardi menarik Trisya menuju meja makan.
"Bang.."
"Ya.." Ardi menarik kursi untuk Trisya duduk.
"Kau menghapus pesan yang dikirim orang itu padaku?" tanya Trisya.
"Ya.." Ardi duduk.
"Kau marah?"
"Tidak."
"Benar?" Trisya memandang wajah Ardi.
"Tidak padamu, tapi iya.. Marah padanya."
"Kenapa?"
"Karena mengusikmu."
"Kau akan mencarinya?"
"Pasti."
"Aku mencintaimu.. Dunia dan Akhirat," ucap Trisya.
Ardi menarik Trisya duduk di pangkuannya.
"Janji ya? Harus menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu. Kita bersama sampai jannah."
Trisya mencium Ardi.
"Iyaa.. Abang juga harus selalu disampingku."
"Iya sayaang.."
"Makannya mau sekarang atau diganti makanan yang lain?" Bisik Trisya di telinga Ardi.
"Sepertinya..." Ardi menggendong Trisya. "kamu lebih membuatku kenyang.."
Trisya tertawa.
"Sudah lapar sekali kau ternyata ya, bang.."
***
Pukul 11 malam ketika handphone Ardi berdering.
"Hallo.."
"Ardi.. Bisa bantu aku?" tanya Airin.
"Ada apa?"
"Aku tadi pulang dari visit pasien. Jalan ke rumahnya sangat sepi. Di tengah jalan mobilku mogok. Sumpah, disini sepi sekali. Aku tidak berani pulang bahkan untuk memesan taxi."
"Kenapa tidak telpon orang untuk membantu mengurus mobilmu? Kan ada layanan 24 jam?"
"Please.."
Ardi menghela nafas.
"Share lok.."
"Terimakasih ya?"
Ardi memandang Trisya yang sedang tidur. Di tariknya selimut utk menutupi tubuh Trisya. Di raihnya kaos yang terletak di sandaran tempat tidur dan mengenakannya.
Perlahan ia berjalan keluar dari kamar.
Ardi masuk ke dalam mobil dan melihat lokasi yang di share oleh Airin. Ia menyalakan mesin mobil dan segera meninggalkan pekarangan rumah.
Tidak lama ia sampai di tempat dimana Airin menunggu. Ardi berjalan menghampiri mobil Airin.
Ia mengetuk kaca mobil itu. Airin membuka pintunya dan segera keluar.
"Terimakasih sudah mau datang.. Aku sudah menelpon servis mobil 24 jam. Mereka katanya sedang menuju kesini. Bisakalh kita menunggu mereka datang?" Airin mengikuti Ardi masuk ke dalam mobilnya.
"Aku tidak bisa lama. Istriku tidak tahu aku pergi. Dan aku tidak mau berbohong jika ia terbangun dan tak melihatku."
"Istrimu apa tidak marah jika kamu jujur mengakui kesini tengah malam untuk menolongku?"
"Mungkin akan marah.. Tapi lebih baik jujur dari pada berbohong. Aku kan tidak pernah melakukan hal salah selama ini.. Dalam arti kata, aku tak pernah terlibat dengan wanita lain."
Airin tersenyum. Ia memandang photo Trisya yang menggendong bayinya di dasboard.
"Istrimu cantik sekali. Eh, kenapa hanya photo istrimu dengan anak?"
Ardi memandang photo Trisya.
"Biar kemanapun aku pergi menggunakan mobil ini.. Aku selalu ingat, ada 2 harta paling berhargaku yang menungguku pulang ke rumah."
"Pasti bahagia memiliki suami setia sepertimu.."
"Aamiin."