"Tadi malam abang kemana?" tanya Trisya.
"Airin telpon, mobilnya mogok. Tempatnya sepi. Ia minta tolong ditemani sampai teknisi servis datang," jawab Ardi.
"Kenapa harus abang? Kenapa bukan orang klinik? Satpam klinik kan ada?"
"Tidak tahu.. Abang hanya membantu selaku abdi negara yang harus membantu saat warga butuh bantuan."
Trisya merengut.
"Tidak terjadi apa-apa?"
"Tidak dong sayang.."
"Bener?"
"Iyaa.. "
"Aku tidak percaya."
"Astaga. Masa tidak percaya?"
"Cium aku dulu."
Ardi tertawa.
"Kok malah tertawa? Abang ini.."
Ardi mencium Trisya.
"Sekali lagi," pinta Trisya.
Ardi mencium Trisya sekali lagi.
"Abang ke kantor ya?" Pamit Ardi.
"Hati-hati ya bang."
"Iya.. sayang."
***
Robby menghampiri meja dimana Airin duduk menunggunya.
"Ada apa?"
"Aku tiba-tiba teringat ceritamu tentang hubungan tak wajar Trisya dengan ayah tirinya yang adalah atasannya Ardi."
"Ya.. Pernah kuajak lari tapi dia tidak mau."
Mata Robby menerawang, mengingat kejadian malam itu.
Robby menunggu di seberang jalan. Ia melihat Trisya memghampirinya.
"Robby.."
Keduanya berpelukan. Robby mencium bibir gadis itu dengan penuh kerinduan. Sudah lebih 2 bulan ia tak bertemu Trisya sejak hubungan mereka berakhir.
"Kupikir kamu tak akan keluar.. Kau tak menjawab pesanku.."
"Pesan?"
"Ya,kamu hanya membacanya.. Aku berpikir mungkin menunggu bang Richard tidur dulu. Ya Tuhan, aku merasa seperti di film. Melarikan perempuan yang punya hubungan dengan komandannya, sekalipun itu mantan pacar, tapi rasanya seperti melarikan istri orang."
Robby memandang Trisya yang terdiam.
"Ada apa?"
Trisya memandang ke jendela kamarnya melihat Richard yang masih berdiri di tepi jendela itu.
"Trisya? Kamu lihat apa?" Robby menoleh ke arah Trisya memandang, Tidak terlihat apapun disana.
"Kamu.. tak ingin meninggalkan rumah yang seharusnya menjadi milikmu ini?" tanya Robby hati-hati.
"Tidak.." jawab Trisya.
"Ayo, sudah malam.." kata Robby.
"Rob.." Trisya menarik tangan Robby.
"Ada apa?"
"Aku tak bisa pergi.."
"Apa?"
"Maaf.. Aku tak bisa pergi," ucap Trisya.
Robby menatap Trisya.
"Kenapa?"
"Aku tak bisa meninggalkan papa.."
Robby tercengang mendengar ucapan Trisya.
"Aku harus mengakui 1 hal padamu.. Aku menggunakanmu hanya untuk sebuah kesenangan. Agar tak lagi bertemu mama. Aku ingin menjadikanmu alasan untuk tak lagi bertemu mama dengan mengatakan aku menikah denganmu. Tapi itu tak membuat ku nyaman. Tak ingin membuatmu kecewa karena aku tak pernah mencintaimu. Aku menggunakan papa untuk membalas sakit hatiku pada mama. Tapi aku salah.. Aku jatuh cinta yang sebenarnya pada papa. Lelaki yang sangat menghargaiku, memanjakanku, memperlakukanku layaknya seorang putri. Hal yang tak pernah bisa kudapatkan dari siapapun. Papa membuat aku merasa menjadi seorang manusia sejati.. Papa melakukan banyak hal yang mungkin dianggap orang lain gila. Dia mempertaruhkan nama baiknya dan jabatannya untuk menghapus airmataku.. Aku mencintainya meski aku tahu aku tak bisa memilikinya. Dan aku tak akan pernah meninggalkannya".
"Trisya.. Tapi dia itu.."
"Tanpa aku mungkin harimu akan lebih bersinar.. tapi aku tanpa papa,mungkin akan redup selamanya. Aku mau menemani papa sampai akhir hayatnya meski tak akan pernah diakui sebagai istri".
Robby menghembuskan nafas mengingat peristiwa malam itu. Ia menatap Airin.
"Aku sungguh tak pernah mengira kalau dia yang kupikir tak ingin meninggalkan Bang Richard justru tiba-tiba memutuskan untk menikah dengan Ardi. Tidak pernah terlihat punya hubungan tiba-tiba dikejutkan oleh berita kalau mereka akan menikah. Ardi juga membuat pengakuan kalau dia sudah menghamili Trisya."
"Benarkah itu anaknya Ardi? Atau untuk menutupi skandal pak Richard?"
"Aku belum melihat anaknya Trisya. Orang bilang sudah 3 bulan sejak dia melahirkan bayi prematur itu."
"Reza sudah melihat bayi itu.. Katanya mirip sekali dengan Ardi."
"Oya?"
"Lihat.. itu mereka kan?"
Robby menoleh ke arah yang ditunjuk Airin.
Ardi yang menggendong bayinya masuk sambil menggandeng lengan Trisya.
"Ardi..!" Panggil Robby.
Ardi menoleh.
"Sini..!"
Ardi terlihat berjalan bersama Trisya menuju meja mereka.
"Dari mana?" sapa Robby.
"Dari rumah. Nyonya ini minta makan disini. Katanya sudah rindu keluar rumah."
"Duduklah.." sapa Airin.
"Kak Airin kenal Robby?" tanya Trisya.
"Kenal, dulu karena dikenalkan Ardi saat mereka ngumpul karena Ardi pulang pendidikan."
"Waktu itu aku sudah jadi polisi ya Rin, dan Ardi baru menyelesaikan pendidikannya."
"Iya.. Dan waktu itu kamu bilang, 2 tahun jadi polisi tapi pangkatmu masih jauh di bawah Ardi."
"Aku telpon teman-teman biar kesini. Kapan lagi kan ngumpul bareng-bareng?" tanya Robby.
"Eh, next time saja Rob.. Lagi bawa bayi gini, kasihan nanti."
"Kan tidak apa-apa, Yang lain mungkin juga ingin melihat anakmu. Tenang, kita di ruang ber- AC."
Ardi memandang Trisya.
"Terserah abang saja.."
"Ok, tapi mungkin aku tidak bisa lama."
"Nah.. begitu. Kapan kita bisa reuni lagi kan? Sesama para casis waktu itu?"
Selang beberapa saat kemudian..
"Bang.. Aku ke belakang sebentar," pamit Trisya.
"Ya.."
Trisya segera pergi.
"Istrimu cantik sekali, Di.." ucap Reza. "Kenal dimana?"
"Anak atasanku."
"Serius?"
"Ngapain bohong.."
"Anakmu mirip sekali denganmu ya, Di.." ucap wanita yang duduk di samping Reza.
Namanya Dira.
"Oya?"
"Cepat pertumbuhannya ya Di? Padahal lahirnya prematur. Pakai susu bantu?" tanya Airin.
"Tidak. Hanya Asi eksklusif. Alhamdulillah ASI istri banyak."
"Kau rajin bantu memompanya mungkin?" canda Andri.
Ardi tertawa.
"Lihat dia tertawa, berarti benar."
"Mana ada?"
"Eh.. Kenapa dia? Menangis?"
"Sudah rewel, mungkin ngantuk."
Trisya datang menghampiri.
"Kenapa, bang?"
"Ngantuk mungkin.."
"Haus barangkali. Dia belum minum susu," Trisya meraih Arsya dari gendongan Ardi.
"Kalau begitu aku sama istri pulang dulu," pamit Ardi. "Kabari kapan kalian kumpul ya?"
"Siap."
Ardi menggandeng Trisya pergi.
"Cantik dan anaknya komandan. Cukup berani juga dia mengambil resiko menghamili anak komandannya," ucap Reza.
"Tahu dari mana dia menghamili anak komandannya?" tanya Dira.
"Baru berapa bulan dia menikah anaknya sudah lahir?"
"Kan prematur."
"Tetap saja tidak sesuai hitungan bulan."
Robby tersenyum mendengar ucapan Reza.
"Dulu istrinya itu mantanku.."
"Serius Rob?"
"Serius.. ingin kunikahi, tapi Trisya menolakku."
"Oya? Karena Ardi?"
"Tidak. Katanya waktu itu ingin melanjutkan studi. Tapi ternyata 4 bulan setelah putus ku dapati dia mau menikah dengan Ardi."
"Berarti memang sudah ada hati juga lah dengan Ardi. Buktinya jadi.." Reza tertawa.
"Aku tidak mengira kalau seorang Ardi ternyata bisa juga tergoda untuk berbuat mesum," ucap Arnold. "Tapi wajar sih.. cantik sekali,kulitnya pun bagus."
"Bodynya bagus.. Apalagi sering mengenakan baju seksi. Apa tidak menggoyah iman yang melihat?" ucap Robby.
"Haha.. Dia masih teringat mantan. Awas, istrimu kalau tahu bisa marah."
"Sudah.. kalian ini bicara tentang Ardi, tidak memikirkan kalau disini ada mantannya Ardi," tegur Dira.