Airin Darmawan, dokter berparas cantik berusia 26 tahun yang mengambil spesialis Obgyn. Senyumnya merekah saat berjabat tangan dengan Trisya.
Mereka bertemu saat sama-sama memasuki sebuah tempat makan di mall.
"Cantik sekali.." puji Airin yang duduk di hadapan Trisya bersama seorang wanita tomboy yang ia panggil dengan nama Luna.
Luna adalah sahabatnya Airin yang bekerja di klinik yang sama dengan dokter itu.
"Terimakasih.. Kakak juga cantik. Maaf, boleh aku panggil kakak?" tanya Trisya.
"Tentu saja.. Aku dan Ardi seumuran."
Airin mengalihkan pandangan pada Ardi.
"Kenal dimana dengan istri?"
Ardi tersenyum.
"Ayahnya atasanku.."
"Oh.."
"Bang.. Aku ke belakang sebentar," pamit Trisya. "Perutku tidak enak. Rasanya mual.."
"Mau abang temani?"
"Tidak usah.."
"Hati- hati ya sayang.."
"Iya.." Trisya segera berlalu.
"Kenapa istrimu?"
"Hamil.."
"Oya? Selamat, otw jadi ayah."
"Terimakasih. Sebentar, mamanya Trisya telpon.." ucap Ardi saat melihat panggilan masuk di handphone Trisya.
"Hallo, Ma.."
"Ardi, kalian dimana?"
"Tadi cek kandungan Trisya, Ma.. minggu depan kan mau terbang ke Inggris. Sepulangnya makan dulu di tempat makan, setelah itu mengantar Trisya belanja kelengkapan berangkat."
"Jangan ditumpuk dalam 1 hari, nanti dia capek. Kalau kamu tidak sempat mengantar karena urusan pekerjaan, telpon mama. Biar mama yang antar."
"Nanti saya beri tahu Trisya."
"Malam ini kalian tidur di rumah saja. Banyak yang mau mama bicarakan dengan Trisya. Anak itu keras kepala. Tidak mau mendengarkan mama karena dianggapnya toxic."
"Baik, nanti pulang dari sini kami kesana."
"Ok, mama tunggu ya?" Ariana menutup telponnya.
Ardi meletakkan handphone di meja.
"Istrimu mau ke Inggris?"
"Ya. Mau study."
"Bukannya lagi hamil? Kamu yang antar?"
"Tidak. Dia berangkat sendiri."
"Loh.. Tidak khawatir?"
"Tidak apa-apa."
Trisya datang menghampiri. Ia duduk di samping Ardi.
"Mama telpon, kita disuruh tidur disana malam ini," Ardi menyodorkan Air mineral.
Trisya meneguk air itu.
"Ngapain?"
"Ada banyak yang mau dibahas mama."
Trisya tak menjawab.
"Makan dulu.."
"Tidak mau.."
"Sedikit saja. Biar perutnya gak kosong."
"Tidak mau.."
"Ayolah sayang.. sedikit."
"Coba pesan yang lain yang ga bikin eneg, Di.." usul Airin.
"Abang pesan yang baru?"
"Tidak.." Trisya menyandarkan kepalanya di bahu Ardi.
"Ibu..." panggil seorang 2 remaja putri 18 tahun yang menghampiri.
"Vina.. Rani.."
"Ibu.." kedua gadis itu memeluk Trisya. "Rindu ibu.."
"Kalian tidak datang waktu saya nikah."
"Ibu nikahnya waktu liburan.." protes Rani. "Eh, lupa.. Pak."
Kedua gadis itu menyapa Ardi yang membalas dengan senyuman.
"Ayo duduk disini.. Tidak apa-apa ya bang? Siswaku gabung disini?" tanya Trisya.
"Ya, tentu saja.."
"Tidak usah bu, tidak enak sama bapak.." tolak Rani.
"Tidak apa-apa," Ardi tersenyum.
"Trisya dosen?" tanya Airin.
"Ya.." jawab Ardi.
"Oh.." Airin memandang Trisya yang sedang berbincang dengan kedua mahasiswanya.
Telapak tangan kiri Trisya berada dalam genggaman tangan kanan Ardi.
Airin tersenyum.
Dan senyum tipis itu masih terukir di bibirnya dalam perjalanan pulang.
"Kenapa?" tanya Luna.
"Tidak apa-apa.."
"Kamu kecewa?"
"Aku tak mengira kalau terlambat untuk pulang menemuinya. Aku terakhir mendengar kabar 3 bulan yang lalu. Kalau Ardi masih sendiri. Kukejar untuk menyelesaikan semua hal agar aku bisa segera pindah kesini. Harusnya aku segera menemui dia. Tapi aku malah menunda. Berharap dia mendengar kabar kalau aku sudah disini dan datang mencariku.."
"Istrinya.. Hamilkan?"
"Ya. Langsung diberi Allah kepercayaan untuk punya anak ya? Pasti tidak mengira kalau bakal langsung jadi. Soalnya minggu depan sudah harus berangkat ke Inggris katanya."
"Tapi.. sekilas tadi aku lihat, tidak seperti hamil 5-6 minggu ya?. Sepertinya sudah masuk minggu ke 11 atau 12. Kamu tidak lihat perutnya? Itu bukan kehamilan 6 minggu"
"Ya, aku lihat.."
"Mantanmu sepertinya kebablasan dengan putri komandannya."
"Melihat kecantikan Trisya yang sempurna, lihat bagaimana halusnya kulit istri Ardi itu. Siapa yang tak akan tergoda? Ardi juga manusia biasa yang punya hawa nafsu.."
"Lupakan saja.."
"Ah, kenapa aku terlalu lama memutuskan untuk kembali.." keluh Airin.
***
Ariana menatap Trisya yang duduk di hadapannya.
Teringat akan percakapannya sebelum Trisya menikah dan mendengar kabar kehamilan Trisya.
"Lama tak melihatmu.. Kau terlihat semakin cantik, Nak.."
"Tentu saja, Aku harus selalu terlihat cantik agar papa betah di tempatku.."
"Kau tidak perlu bersaing denganku, nak.. Meski tak resmi bercerai, aku juga tak ingin disentuh lelaki yang sudah meniduri anakku".
"Dia juga sudah tak ingin menyentuhmu! Sudahlah! Tidak usah berlama- lama! Ada apa ingin bertemu? Katamu kita tidak akan saling mengusik lagi kan?" tanya Trisya.
"Kau semakin tidak sopan!"
"Kau yang mengajariku!"
Ariana menghela nafas.
"Kapan kau mau berhenti dengan semua ini, Trisya? Apa kau tidak lelah?" tanya Ariana. "Hidupmu harusnya sudah baik jika saat itu kau melanjutkan hubunganmu dengan Robby".
"Bagaimana lagi.. Aku terlanjur mencintai suamimu".
"Kau sudah gila! Berhentilah! Ini tak akan baik untukmu!"
"Tidak.. sebelum kau menghilang dari hidupku!"
"Aku pun juga ingin kau segera menghilang! Tapi kau tak juga menghilang dari bumi ini! Aku juga berharap kau mati!"
"Kau ingin aku mati?" tanya Trisya.
Ariana menampar pipi Trisya 2 kali.
"Kenapa menamparku?" Trisya marah.
"Cuma itu yang bisa aku lakukan karena aku tak mungkin sanggup untuk membunuhmu! Aku tahu aku salah di masa lalu! Aku bahkan tak pernah ingin merubahnya! Karena harus diakui aku membencimu sejak kau lahir di dunia ini!"
"Aku juga membencimu!" ucap Trisya datar. "Hidupku mungkin tak akan seperti ini jika tak terlahir dari rahimmu!"
Ariana terdiam.
Airmatanya mengalir.
"Dalam hitungan bulan.. kau akan menjadi ibu. Kau akan menjadi ibu yang tak bisa menyebutkan siapa ayahnya pada anakmu seperti yang pernah terjadi padaku. Kau adalah single mom sepertiku dengan versi yang berbeda.."
"Aku akan ke Inggris dan mungkin akan melahirkan anak Richard disana.."
"Kau sama sekali tak merasa takut?"
"Takut apa?"
"Bukan hal mudah menjadi ibu, nak.."
"Tidak apa, selama ayahnya tak lari.. akan mudah pastinya," bantah Trisya.
Ariana tersenyum tipis.
"Tapi aku bangga.. Kau tak berniat menyingkirkan anakmu".
"Tentu saja tidak! Masa mau membuang hasil cinta ku dengan papa..?"
Ariana menghapus airmatanya. Ia meraih tasnya. Mengeluarkan amplop dari dalam tas.
"di dalam amplop itu ada uang, dan sebuah kartu atm untukmu. Aku membuat tabungan untuk hadiah pernikahanmu. Terlepas dari ketidakcocokan kita.. Tetap aku inginkan sebuah pesta terbaik untuk hari bersejarahmu. Pergilah yang jauh, jangan kembali lagi".
"Kau mengusirku? Sebegitu tak inginnya kau akan adanya aku di kota ini?"
"Jangan membuat hal bodoh lagi.. Kau sudah berapa kali terjebak pada orang yang salah?"
"Apa maksudmu?"
Ariana meraih Aldo.
"Tabungan itu mungkin tak cukup untukmu dan adikmu.. Tapi aku percaya kau adalah wanita yang tangguh!"
"Kau bicara apa?"
Ariana menyerahkan Aldo pada Trisya.
"Bawa dia. Aku percayakan adikmu padamu. Buat dia jadi laki-laki tangguh yang bisa menjagamu dan anakmu kelak".
"Aku tidak mau!"
"Jika bertemu lelaki yang mencintaimu.. Jangan kau tolak lagi! Jangan tololmu dipelihara. Percuma sekolah setinggi langit tapi bodoh dalam menjalani hidup!"
"Apa katamu??"
Ariana berdiri.
"Jaga dirimu dan adikmu baik-baik. Mungkin hanya satu kali ini saja aku bisa menyelamatkan hidupmu!"
"Mama! Apa maksudnya?"
"Dendammu sudah tuntas,nona.. Cukup sampai disini".
"Kenapa minta aku menjaga Aldo?"
"Agar kau bisa belajar saling menjaga nak.. Bahwa di dunia ini.. Jika orang tua sudah tak ada.. Kau punya tangan adikmu untuk dipegang, dan adikmu punya bahu untuk bersandar padamu".
"Apa?"
"Jadilah kakak yang baik.." saat itu Ariana meninggalkan tempat itu.