Chereads / CALAMITY OF DUNGEON : Bencana Kehancuran Bumi oleh Dungeon / Chapter 2 - [VOL. 1] #2 HARAPAN YANG SIRNA

Chapter 2 - [VOL. 1] #2 HARAPAN YANG SIRNA

2 D

(002) CHAPTER 2

HARAPAN YANG SIRNA

Di saat aku tengah bersantai melihat acara komedi di televisi, aku terkejut dengan munculnya cahaya halus berwarna emas menyelimuti ruangan yang aku tempati.

"Apa ini? ".

Aku segera mengabaikan televisi dan fokus melihat fenomena aneh itu. Apa ini termasuk bencana yang dikatakan Ibu?

Segera setelah aku selesai berpikir begitu, tanah di bawah kakiku mulai bergetar. Karena tanah yang kupijaki bergetar, otomatis aku dan rumah yang berada di atasnya juga ikut bergetar. Aku segera menyadari bahwa sekarang tengah terjadi gempa. Dan aku pun langsung menyadari kalau bencana besar yang melibatkan dunia tengah terjadi saat ini.

Getaran gempa yang tadinya hanya getaran sederhana, berubah menjadi semakin kuat seiring waktu berjalan. Bahkan aku sempat melayang beberapa saat di udara karena saking besarnya gempa itu. Aku hanya bisa mempercayai ucapan orang tuaku bahwa ada sosok yang akan melindungiku. Apa malah cahaya emas yang menyelimuti rumahku ini adalah perlindungan yang dibicarakan? Ya, sepertinya begitu. Karena rumahku harusnya sudah hancur saat ini karena getaran hebat ini, namun nyatanya dia masih kuat berdiri melindungiku yang berada di dalamnya.

Setelah getaran besar gempa terus berlangsung selama sekitar 5 menit tanpa berhenti, akhirnya dia menghentikan getarannya. Gempa berhenti bersamaan dengan isi perutku yang keluar. Getaran itu membuatku mabuk dan mataku tak bisa melihat dengan benar, sehingga isi perutku memutuskan untuk keluar. Setelah selesai akan itu dan mampu menata kembali pandangan, aku langsung berlari keluar rumah dan mengecek keadaan sekitar. Dan betapa terpukulnya hatiku, semua rumah di sekitarku hancur rata dengan tanah, banyak retakan dan ngarai besar tercipta, satupun suara tak terdengar di telinga, serta satupun makhluk hidup tak terpantul di mata. Aku tahu bahwa Desa ini tak memiliki banyak penduduk, namun biasanya takkan sampai sesunyi ini.

Segera setelah itu, aku berlari untuk mengecek setiap rumah di Desa. Pertama, aku mengecek rumah Nenek Marinah yang seringkali membagi makanan padaku. Saat sampai di sana, aku tak melihat adanya tanda kehidupan. Kemungkinan besar, Nenek Marinah sudah terkubur di reruntuhan rumahnya. Karenanya, aku segera mengangkat dan memindahkan reruntuhan demi mencari sosok Nenek Marinah. Setelah mencari cukup lama, aku kembali memuntahkan isi perutku untuk kedua kalinya. Menyaksikan seonggok mayat manusia yang telah hancur kepala dan remuk tubuhnya tengah tergeletak di bawah reruntuhan, menjadi alasan utama aku kembali melakukan hal itu. Benar, beliau yang telah hilang jiwanya adalah Nenek Marinah yang sering berbagi makanan denganku. Melihat sosoknya yang mendapatkan akhir mengerikan seperti ini, seketika mataku terasa panas dan meneteskan cairan bening nan asin apabila menyentuh lidah.

Ya, aku menangis.

.....

....

Aku mengangkat dan mengurus mayat Nenek Marinah sembari menangis. Setelah meletakkan mayat beliau di rumahku, aku kembali berlari ke rumah selanjutnya sembari memasang harapan keselamatan orang-orang. Aku berharap seseorang di Desa ini masih ada yang bernafas dan dapat menjadi temanku.

Namun ternyata harapan tetap ingin menjadi harapan tanpa menginginkan perubahan menjadi kenyataan. 20 cahaya kehidupan yang selalu menyinari Desa yang damai ini, kini hanya tinggal tersisa satu cahaya kecil saja, yaitu aku. Aku mengenal semua orang yang ada di Desa ini, jadi aku memutuskan untuk mengumpulkan semua mayat mereka dan mengistirahatkan mereka dengan layak. Namun dalam jajaran mayat warga desa, terdapat 2 wajah yang tak aku kenal. Sepertinya mereka adalah anak dari Nenek Aminah dan istrinya yang tengah mengunjungi orang tuanya.

Setelah mengumpulkan mayat selama 1 harian penuh, aku memutuskan untuk beristirahat. Mulai besok aku akan menggali banyak lubang untuk pemakaman semua keluarga berhargaku yang telah kehilangan nyawa karena bencana kejam Gempa Dunia ini. Saat aku ingin menggeletakkan tubuhku, terdengar suara teriakan anak kecil meminta pertolongan. Dia meminta tolong dan terkadang menangis dengan suara yang keras. Aku yang mendengar itu, segera mengurungkan niatku untuk beristirahat, lalu langsung bergerak membawa penerangan dan alat keselamatan menuju sumber suara. Dan ternyata sumber suara itu berasal dari reruntuhan rumah Nenek Aminah. Di tempat suara itu tersebar, sedang teringkuk tubuh seorang anak kecil yang terus mengeluarkan air mata, di tempat yang sulit di jangkau di dalam retakan baru.

"Apa kamu baik-baik saja Dek..!? ". (Aku)

Aku langsung mencoba berbicara dengan anak tersebut dengan senter yang kuarahkan ke tempat dia berada. Melihat diriku, dia menambah debit air mata dan volume suaranya. Mungkin itu jawaban kebahagiaan darinya karena aku berhasil mendengar harapannya. Aku juga merasa senang karena ada orang yang selamat selain diriku..

"Siapa nama kamu..? ". (Aku)

Tanyaku sembari menyiapkan alat penyelamatan. Aku mengikatkan kain pada tali tambang, agar dia bisa menaiki kain itu lalu aku akan menariknya dengan tambang.

".....A-aku... Se-Selia... ". (Selia)

Jawabnya dengan air mata yang terus mengalir.

"Oh, Selia ya? Nama yang bagus. ". (Aku)

Aku terus mengajaknya mengobrol sembari menyiapkan alat penyelamat.

"Selia kelas berapa sekarang? ". (Aku)

"...Ke-kelas 4.. ". (Selia)

"Oh.. Udah kelas 4 ya? Anak kelas 4 itu biasanya udah pinter. Walaupun sendirian, dia nggak bakal nangis. Selia anak yang pinter kan? ". (Aku)

Saat aku bertanya begitu, Selia mulai menenangkan tangisannya.

"..Ya, Selia udah nggak.. nangis lagi.. ". (Selia)

"Ya, Kakak tau kalau Selia itu anak yang pinter. ". (Aku)

Setelah percakapan sederhana itu, aku akhirnya selesai merakit tali penyelamat untuk Selia.

"Oke, sekarang Kakak akan mengeluarkan Selia dari situ. Selia tangkap ini ya? ". (Aku)

Aku melemparkan kain yang telah diikatkan pada tali itu ke tempat Selia. Dan dia pun menangkapnya.

"Bagus, sekarang bentangkan kainnya dan duduklah di atasnya. ". (Aku)

Dia melakukan apa yang aku perintahkan.

"Baik, Kakak akan mengangkat Selia sekarang. Selia pegangan yang kuat ya. ". (Aku)

"Ya, Kak. ". (Selia)

Aku pun langsung mengeluarkan tenagaku untuk mengangkat Selia dari dalam retakan. Aku memang sudah merasa sangat kelelahan karena pencarian mayat tadi seharian, namun masih ada beberapa sisa tenaga dalam tubuhku. Jadi hanya untuk sekedar mengangkat seorang anak, aku masih mampu. Dan akhirnya, aku berhasil mengeluarkannya dengan selamat. Aku merasa sangat senang karena ada seseorang yang berhasil selamat dari bencana gila itu. Aku pasti akan melindungi gadis kecil bernama Selia ini.

Namun aku tak pernah melihat wajahnya di Desa ini. Apa mungkin dia adalah cucu Nenek Aminah yang tengah berkunjung? Yah., itu masuk akal saja karena dia berada di dalam rumah Nenek Aminah. Aku langsung menghampirinya sesaat setelah dia sampai di permukaan

"Kamu baik-baik saja, Selia? Apa ada yang sakit? ". (Aku)

Saat aku bertanya begitu, dia segera menunjukkan keadaan kaki kanannya. Terdapat luka yang cukup besar di bagian punggung kakinya. Menurut penjelasannya, saat gempa bermula, kakinya tertimpa rak piring dan tak bisa digerakkan. Setelah itu, dari bawah tubuhnya muncul retakan yang terus membesar dan berakhir menelan seluruh tubuhnya. Untung saja dia masih bisa berpijak pada tanah yang tersisa dari retakan. Namun kemudian sebuah panci jatuh dan mengenai kepalanya, sehingga dia pingsan di tempat. Itulah alasan mengapa aku tak bisa menemukan sosoknya saat pencarian siang tadi.

Selia bercerita sembari aku yang sedang melakukan perawatan terhadap kakinya. Untung saja aku membawa berbagai peralatan keselamatan dan kotak p3k bersamaan. Jadi aku bisa meminimalisir efek luka milik Selia.

Setelah selesai dengan itu semua, aku kembali ke rumah dengan menggendong Selia di bagian depan. Kami kembali memulai obrolan.

"Oh ya, Kakak belum memperkenalkan diri ya? Nama Kakak Noval, panggil aja Kak Noval. ". (Aku)

"Ka-Kak Noval? ". (Selia)

"Ya, Selia. ". (Aku)

Dia kemudian sedikit memasang wajah tersenyum walau bagian mata dan pipinya masih basah akan air mata. Dan lalu, mungkin karena telah datang ketenangan dan kelelahan secara bersamaan, Selia langsung menutup matanya dan terlelap tidur. Aku meletakkannya di atas kasurku, sedangkan aku tidur di sampingnya.

Selamat tidur.

...

...

...

Keesokan harinya, aku terbangun terlebih dahulu dan segera menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Aku menyiapkan roti, susu, dan mie instan, sementara itu Selia sudah membuka matanya saat aku sampai di kamar.

"Selia, kamu sudah bangun? ". (Aku)

Dia bangun dengan memasang wajah yang terlihat masih mengantuk.

"Kak Noval membawa makanan. Bagaimana kalau kita makan bersama? ". (Aku).

Dia mengangguk dengan kesadaran yang mungkin masih belum lengkap seutuhnya. Karena kakinya masih tidak bisa digerakkan, dia tetap berada di atas kasur.

Kami makan dengan lahap tanpa melakukan pembicaraan. Sepertinya Selia sangat kelaparan, karena dia makan dengan sangat lahap. Yah.., itu wajar saja sih. Selama sehari semalam dia tak mengunyah apapun dan terjebak di antara situasi hidup dan mati. Aku senang dia berhasil selamat.

Sarapan selesai. Hari ini aku berencana untuk menggali banyak lubang dan mengistirahatkan semua warga Desa dan juga orang tua Selia. Dan sudah saatnya bagiku untuk menjelaskan hal ini kepadanya, walau hatiku menolak berkompromi.

"Kak Noval.., apa yang terjadi.. dengan papa dan mama Selia?.. ". (Selia)

Ya, pertanyaan ini akhirnya tiba juga.

"Ah.. Itu, sebenarnya.. Kemarin, karena bencana gempa, semua warga Desa dan orang tua Selia,.. sudah pergi ke tempat yang jauh.. ". (Aku)

Ah, aku sangat tidak suka menjelaskan hal ini.

"Begitu ya?... Apa Selia suatu hari bisa bertemu mama papa lagi..? ". (Selia)

Tanyanya sembari berlinang air mata.

"Untuk saat ini dan di dunia ini,.. Selia mungkin belum bisa menemuinya.. Tapi suatu hari nanti di tempat yang berbeda, Selia pasti bisa menemui mereka... ". (Aku)

Mendengar ucapanku, Selia mulai menderaskan air matanya kembali. Aku mendekatinya dan mengelus rambutnya untuk menenangkannya.

...

"Kalau begitu, Kak Noval mau menggali lubang dulu. Kakak ingin sesegera mungkin mengistirahatkan semuanya. Selia istirahat saja di sini, saat siang Kak Noval akan kembali. Kalau lapar, makan saja roti yang ada di meja ya? ". (Aku)

"Baik, Kak Noval. ". (Selia)

Jawabnya sembari tersenyum, walau wajahnya terlihat seperti ingin mengungkapkan sesuatu.

Aku pergi menuju halaman luas yang berada di utara rumahku dengan membawa cangkul, linggis, dan pengki sekitar pukul setengah 6 pagi. Rencananya aku akan kembali ke rumah saat pukul 12 siang. Mayat semua orang aku letakkan di depan rumah dalam keadaan yang telah aku balut dengan kain masing-masing dari mereka. Semoga Selia tidak keluar dari rumah. Aku tak ingin dia kembali menangis melihat keadaan mendiang orang tuanya.

Sesampainya di tempat, aku memulai pekerjaanku. Ini mungkin akan menjadi pekerjaan yang panjang karena aku harus menggali lubang sedalam 1.5 meter dengan jumlah mencapai 21 buah. Terlebih, aku harus segera merampungkan pekerjaan ini sebelum mayat semua orang membusuk. Yah.., walaupun aku tahu itu hal yang mustahil. Mayat manusia dapat membusuk hanya dalam waktu 1 sampai 2 hari. Mereka telah menjadi mayat kemarin, berarti waktu yang tersisa hanyalah hari ini saja. Sebenarnya aku bisa saja membuat lubang yang besar dan menempatkan mereka secara bersamaan. Namun aku akan merasa tidak enak pada mereka yang sudah berbuat baik padaku dan pada Selia yang ingin mengunjungi makam orang tuanya. Yah.., aku akan berjuang.

.....

Beruntungnya aku, tanah di halaman ini sangatlah lunak sehingga memudahkanku untuk mengeruk tanahnya. Dan untung saja, stamina dan kekuatanku terbilang tinggi. Sehingga penggalian lubang menjadi pekerjaan yang lebih cepat dari perkiraan. Penggalian 1 lubang dapat terselesaikan dalam waktu kurang dari 1 jam. Sehingga saat waktu menunjukkan pukul setengah 12 siang, aku telah menyelesaikan sebanyak 8 lubang. Dan saat aku sedang memulai penggalian lubang ke-8, ada suara yang memanggilku.

"Kak Noval... ". (Selia)

Suara kecil itu berasal dari Selia yang berjalan dengan bantuan tongkat sembari membawa tas yang sepertinya berisi makanan. Dia mengejutkanku.

"Selia!? Kenapa kamu ada di sini!? Apa ada masalah!? ". (Aku)

Aku seketika meletakkan cangkulku ke tanah dan datang menghampiri dia yang berusaha untuk berjalan.

"Ah tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin mengantarkan makan siang untuk Kak Noval. ". (Selia)

Jawab Selia dengan senyuman manis.

"Aduh, Kakak senang dengan perasaanmu, tapi bukankah kakimu masih sakit? Padahal kamu tidak usah repot-repot. ". (Aku)

Ucapku sembari membantunya berjalan.

"Tidak apa Kak. Lagian, aku merasa kesepian di rumah sendirian. Tapi kalau Selia mengganggu, Selia akan pulang. ". (Selia)

Ucapnya dengan wajah yang sedikit murung.

"Ah tidak tidak! Selia sama sekali tak mengganggu. Kakak hanya khawatir sama keadaanmu saja. Terimakasih karena sudah mengantarkan makan siang untuk Kakak. ". (Aku)

"Ya, sama-sama Kak. ". (Selia)

Wajahnya pun kembali tersenyum bahagia.

Yah begitulah. Sepertinya aku harus mengambil istirahat lebih awal dari rencana.

...

Kami duduk di bawah pohon besar yang masih berdiri kokoh di tepi halaman, walau di sekitarnya banyak retakan-retakan kecil. Selia membawa banyak roti dan juga air mineral di dalam tasnya. Kami mulai menyantapnya bersama.

Kami menyantap makanan sembari berbincang. Selia berkata kalau hal yang paling ia takuti adalah kesendirian. Dia sangat takut ditinggalkan oleh semua orang. Nampaknya dia masih trauma akan kejadian kemarin. Terlebih, dia ditinggalkan oleh orang tua dan Neneknya di waktu yang bersamaan. Untuk gadis berusia 10 tahun, dia malah bisa dibilang kuat karena sekarang sudah bisa tersenyum padaku.

"Kak Noval tidak perlu menyembunyikan keberadaan orang tuaku dengan kain. ". (Selia)

Yah, aku sempat terkejut saat dia mendadak berkata seperti itu sih.

"Aku takkan bersedih lagi karena kepergian mereka. Aku malah berterimakasih kepada Kak Noval karena mau mengurus jasad mama papa Nenek dan semua orang. Aku senang karena Kak Noval yang baik ini sudah menyelamatkanku. ". (Selia)

Melihat gadis kecil seperti Selia berbicara begitu, entah kenapa itu membuatku merasa malu pada diriku dulu.

"Terimakasih Selia. Kakak juga senang karena kamu masih selamat dan menjadi teman Kakak saat ini. Sejujurnya Kakak akan merasa takut apabila semua orang di Desa meninggalkan Kakak sendirian. Keberadaanmu benar-benar membuat Kakak bahagia. Kakak berjanji akan melindungi Selia dari sekarang dan seterusnya. ". (Aku)

Selia kemudian menunjukkan kelingkingnya dan mengisyaratkan sebuah perjanjian.

"Janji? ". (Selia)

"Ya, Janji. ". (Aku)

Kami berdua pun saling mengaitkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian.

...

Aku melanjutkan pekerjaanku dengan ditemani Selia yang duduk di bawah pohon besar tadi. Dan pada saat waktu menunjukkan pukul 4 sore, aku memutuskan untuk berhenti dengan keseluruhan 14 lubang tergali. Setelah itu kami berdua pulang ke rumah, tepatnya hanya Selia. Aku masih harus mengisi 14 lubang itu dengan 14 mayat, sehingga kepulanganku menjadi pukul 6 sore. Sekarang tinggal tersisa 7 buah mayat yang mulai mengeluarkan bau busuk. Semuanya pasti akan aku tuntaskan esok hari.

Keesokan harinya, aku kembali melanjutkan penggalian. Dan 7 lubang itu pun rampung sebelum jam makan siang datang, sehingga aku pulang untuk makan siang di rumah. Di tengah jalan, aku bertemu Selia yang sudah membawakan makan siang dengan tas.

"Eh? Kak Noval sudah kembali? ". (Selia)

Kami pun mengobrol di tengah jalan.

"Ya, ternyata pekerjaannya lebih cepat selesai dari perkiraan. ". (Aku)

"Padahal Selia mau bawakan makan siang lagi buat Kak Noval. ". (Selia)

"Begitukah? Kalau begitu, bagaimana kalau kita kembali ke pohon besar yang kemarin? ". (Aku)

"Bolehkah, Kak? ". (Selia)

"Ya, tak masalah. Kamu sudah berjalan sampai sini, tak enak kalau aku mematahkan perjuanganmu. ". (Aku)

Dan juga, Selia juga pasti ingin mengunjungi makam ayah dan ibunya. Karena itu, kami pergi lagi ke pemakaman untuk makan siang.

"Kak kalau boleh tahu, mana makam mama dan papa? Aku ingin bertemu mereka berdua. ". (Selia)

Aku berjalan menuntun Selia dan menunjukkan letak makam orang tuanya.

"Ini makam ayah dan ibu Celia, lalu itu adalah makam Nenek Aminah. Maaf, aku belum menanyakan nama ayah dan ibumu, jadi aku belum memberi nama di nisan mereka. ". (Aku)

"Terimakasih Kak Noval. Nama papa adalah Bani Nafradi, dan mama adalah Azfa Nafradi. Izinkan aku yang menulis nama mereka. ". (Selia)

"Ya, tentu saja. Ini catnya. ". (Aku)

Aku menggunakan papan kayu untuk dijadikan sebagai nisan dan menulis nama dan tanggal kematian mendiang menggunakan cat hitam.

Setelah selesai menulis nama ayah dan ibunya, Selia mengepalkan kedua tangannya untuk berdoa.

"Papa, Mama, ini Selia. Selia sangat bersyukur karena Selia masih bisa bernafas. Itu semua berkat Kak Noval yang sudah menyelamatkan Selia. Kak Noval adalah orang yang sangat baik yang sudah menggalikan kubur papa dan mama. Aku sangat bahagia karena dipertemukan dengan Kak Noval. Kalian berdua tidak usah khawatir. Kak Noval berkata akan melindungi Selia dari sekarang dan seterusnya. Kalian berdua cukup awasi saja kami dari langit tanpa perlu merasa khawatir. ". (Selia)

Mendengar ucapan Selia, mataku sedikit berlinang. Dia benar-benar anak yang kuat. Kalau itu aku, mungkin sudah tak bisa berkata sambil tersenyum seperti itu.

"Pak Bani, Bu Azfa, saya berjanji akan melindungi Selia dengan nyawa saya sebagai taruhannya. Bapak dan Ibu bisa tenang beristirahat di alam sana. ". (Aku)

Ini janjiku, aku takkan pernah melanggarnya apapun yang terjadi.

...

...

Setelah makan siang aku melanjutkan pekerjaanku yang terakhir. Aku membawa semua mayat yang tersisa di rumahku dan menguburnya lalu memberikan nisan di atasnya. Tentu saja sembari diawasi oleh Selia dari pohon besar.

Selepas aku menyelesaikan pemasangan nisan, aku melambaikan tanganku ke tempat Selia berada. Dia pun membalas lambaianku dengan lambaian dan senyuman.

"Okelah, sekarang kita hanya tinggal kembali ke rumah. Akhirnya aku bisa menguburkan semua warga Desa. Aku sangat bersyukur akan itu. ". (Aku)

Aku berbicang dengan diri sendiri.

Namun kemudian, terdengar suara bergemuruh dari tempat Selia berada. Dan saat aku menolehkan kepalaku ke arahnya, betapa terkejutnya diriku dengan apa yang kusaksikan. Tanah yang diduduki Selia mulai retak bersamaan dengan pohon besar yang mulai tenggelam ke dalam bumi.

"Eh? Selia? Apa yang terjadi!? ". (Aku)

Aku yang panik langsung berlari ke tempatnya berada dan berusaha menjangkau tangannya.

"KAK NOVAAAL...!!! ". (Selia)

Selia memanggil keras namaku sembari berusaha menjangkauku yang sedang berlari dengan tangannya.

Aku terus berusaha berlari menyelamatkannya sembari terus berteriak memanggil namanya.

"SELIA! SELIA! SELIA! ". ((Aku)

Aku takkan membiarkanmu pergi meninggalkanku!

Aku pasti akan menyelamatkanmu!

"KAK NOVAAAAAL...!!! ". (Selia)

***