"Kenapa?"
"Yah, kali aja bosan hidup jadi orang miskin teruskan? Lagian pekerjaan ini sangat menguntungkan dan bikin kamu keenakan juga! Aku jamin kamu ngak akan rugi."
Aku tersenyum lalu menjawab. "Kerja apa emang bang?"
Bang Awan, kini menatapku. "Kita omongin nanti pas mau tidur, sekarang lebih baik adek masak dulu! Perut abang udah keroncongan dari tadi."
"Ya udah bang, aku ke dapur dulu." Pamit ku pelan, sebenarnya Aku masih penasaran akan pekerjaan yang bang Awan tawarkan dan jika memang pekerjaan itu bisa menghasilkan uang yang banyak, tentu saja Aku senang.
Tapi, kenapa dia hanya menyuruhku? Apa bukan dia saja yang bekerja. Oke, Aku tak perlu ragu. Aku yakin bang Awan pasti memberikan pekerjaan yang baik untukku.
Sesampainya di dapur, aku mulai mengolah bahan yang tadi ku bawa dari warung Bu Siti. Tak sampai satu jam menu telur kecap sudah jadi dan segera ku panggil bang Awan untuk menikmati menu sarapan yang ku buat, tentu saja rasa sakit ku tadi sudah agak mendingan.
"Bang, habis sarapan ini. Aku mau kerumah Bu Siti lagi." Ucapku di tengah-tengah sarapan yang sedang kami santap.
"Mau apa?" Tanyanya sambil menyendok kan nasi kedalam mulutnya.
"Ada keperluan sedikit bang."
"Ngak usah lama-lama."
"Oke."
Satu jam kemudian.
Kami berdua sudah selesai makan dan tentu saja bekas piring yang kotor sudah dicuci, aku langsung pamit kerumah Bu Siti. Ku samperin Bu Siti yang masih duduk antusias di warungnya.
"Asti, sini. Kamu bilang tadi mau bayar hutang dan ibu punya pekerjaan buat kamu."
"Iya Bu. Kerja apa bu."
"Sini." Lambaiannya padaku. Aku menurut saja, lalu bu Siti perlahan mendekat dan membisikkan sesuatu di telingaku.
"Tapi bu."
Aku ingin menolak dengan pekerjaan yang Bu Siti tawarkan tapi aku seakan tak kuasa, Aku sudah kadung janji tadi. Akhirnya ku setujui saja permintaan dari Bu Siti.
"Kalau kamu ngak keberatan, ibu akan antar kamu masuk kedalam." Kata Bu Siti lagi.
Sejenak Aku terdiam, tapi pada akhirnya aku mengangguk saja.
"Ini kamarnya." Ujar Bu Siti segera.
Sambil membuka pintu kamar tersebut, ku lihat keadaannya, ini adalah sebuah kamar besar yang mewah. Dan disitu ada sesosok tubuh pria yang tengah terbaring tanpa daya.
'Ya Tuhan siapa dia? Dia sedang tidur apa jangan-jangan sosok pria itu adalah mayat? Tuhan, tolong hamba, tidak mungkin bu Siti otaknya tidak waras karena menyimpan mayat di dalam kamar.' batinku takut. Aku ingin protes, tapi bibirku serasa kelu.
"Nanti ibu tambah upahnya." Bu Siti terus menatapku penuh harap. Mungkin dia pikir jangan sampai aku menolak, apalagi sekarang kan aku lagi butuh uang.
"Maaf bu sebelum saya benar-benar menyetujui pekerjaan yang ibu tawarkan saya ingin mengajukan pertanyaan terlebih dahulu, bolehkan bu?" Tanyaku pelan.
Wanita disampingku hanya mengangguk.
"Siapa dia bu?" Tanyaku lagi.
Bu Siti malah tersenyum, dan tentu saja Aku keheranan.
"Dia adalah Gala anak ibu yang sudah dua tahun koma."
"Ma-maksud ibu?"
"Kalau ibu ceritain akan panjang ceritanya jadi lebih baik kamu tinggal bilang mau atau enggak, karena satu hari yang lalu orang yang bekerja memandikan Gala pulang kampung jadi ya ibu agak kerepotan juga. Ngak ada yang jagain warung." Jelas Bu Siti panjang lebar.
Aku benar-benar ngak tahu kalau bu Siti ternyata punya anak yang sedang koma di kamarnya. Yang kutahu hanya suami Bu Siti yang katanya kerja ngak pulang-pulang, begitulah kata tetangga dikontrakan ku.
"Bukannya saya menolak sih bu tapi saya ini bukan isteri anak ibu lagian kalau bang Awan tahu, dia bakalan marah sama saya bu."
"Ibu mohon Asti, sekali ini saja dan seterusnya ibu ngak akan suruh kamu lagi tapi hari ini ibu benar-benar sibuk." Mohon bu Siti pelan sembari mengambil jari tanganku untuk dia genggam.
"Kalau cuma sepuluh ribu saya akan bayar saja bu, jadi saya ngak perlu menebusnya dengan bekerja memandikan anak ibu yang koma itu."
"Iya kamu betul Asti, uang sepuluh ribu itu jumlahnya kecil dan ngak ada apa-apanya tapi ibu janji akan bayar kamu satu juta untuk sekali memandikan."
Aku diam sejenak. 'Apa? Satu juta? Apa aku ngak salah dengar? Tentu saja itu upah yang gede, cuma kerja mandiin orang yang lagi sakit.' batinku seakan tak percaya.
"Maaf bu saya ngak bisa." Tolak ku pelan dan aku ingin segera pergi dari kamarnya.
Bu Siti tak bergeming, dia hanya berdiri terpaku menatap kepergianku. Sepulang dari rumah Bu Siti pikiranku jadi tak karuan, ada rasa sedikit bersalah karena menolak pekerjaan yang beliau tawari. Tapi tidak mungkin juga Aku bisa menerima dengan mudahnya lagian uang sepuluh ribu aku masih sanggup membayarnya.
"Adek ada keperluan apa ke warung Bu Siti?" Tanya Bang Awan tiba-tiba.
Aku terkejut karena saat ini pikiranku sedang melayang kemana-mana.
"Kenapa? Kok diam saja." Celetuk Bang Awan lagi.
"Eh, Abang tanya apa tadi? Bisa diulang ngak?" Tanyaku setengah linglung.
"Susah ya punya isteri yang pura-pura tuli!"
"Aku ngak pura-pura tuli bang emang kenyataannya Aku ngak denger!"
Bantah ku yang tak terima karena dikatakan pura-pura tuli.
"Sudahlah ngak perlu dibahas! Lagian aku merasa ngak begitu penasaran sama semua hal yang kamu lakuin."
Aku tak menjawab tapi dari nada bicaranya bang Awan sepertinya kesal padaku.
"Belikan rokok!"