Chapter 5 - Uang

"Bang, apakah itu kamu?" Tanyaku penasaran. 

Jika sosok itu bukan bang Awan, lalu siapa? Tidak mungkinkan ada orang yang salah masuk kamar. Aku terus menghitung-hitung segala kemungkinan saja bisa terjadi. 

"Bang, kok ngak jawab sih? Jangan buat Aku takut dong." Ucapku lagi. 

Tapi sosok itu cuma berdehem sembari menutup kembali pintu kamarnya. Kini hanya ada rasa takut bercampur remangnya di ruangan tanpa cahaya ini untung saja masih ada sedikit cahaya dari balik jendela kaca di samping. Ya, Aku hanya bisa mengandalkan cahaya bulan di luar sana. Mungkin bisa dikatakan kebetulan, tapi lagi-lagi Aku masih dihantui beribu-ribu kebingungan. 

Astaga Aku baru teringat jika bang Awan memang akan memberiku kejutan. Aku yakin ini pasti kejutan! Kira-kira apa ya yang bakalan bang Awan persembahkan untukku? Sedikit rasa takut itu perlahan menghilang. Aku yakin saja kalau ini adalah kejutan! Bang Awan sengaja mematikan lampunya. 

Kini sosok tinggi itu perlahan mendekatiku, diapun ikut duduk di sampingku.

"Bang, Abang bakalan ngasih kejutan apa sih buat Aku? Jangan bikin takut deh, ini ngak lucu sama sekali bang! Mana pakai acara matikan lampu lagi, kayak film horor saja!" Omel ku datar. 

Dia tak juga menjawab, namun tiba-tiba saja dia langsung maju dan menindih tubuhku. Awalnya Aku ingin menolak tapi entahlah hangat tubuhnya yang kurasa menempel di tubuhku seakan menjadi enggan untukku menolaknya. Tak seperti biasanya dia seperti ini, Aku terus mengikuti keadaan. Tak berapa lama kemudian, dia langsung mengecup bibirku dengan sangat rakusnya sehingga membuatku kewalahan. 

"Bang pelan-pelan, Aku sesak tahu ngak sih." Protes ku di sela-sela ciuman panasnya. 

Sekarang ciuman itu tak lagi di bibir tapi turun menjelajahi leher halus ku. Akupun menggeliat kegelian tapi demi Tuhan Aku tak bisa membohongi birahiku yang ikut naik juga. Aku sangat senang dan menikmatinya! Baru kali ini Aku bisa merasakan kepuasan yang tiada tara, Bang Awan benar-benar lelaki perkasa. 

Entah sudah berapa lama kami bermain-main dengan gairah ini, yang jelasnya Aku ketagihan. Setelah selesai memadu kasih, Aku berbaring memeluknya sambil tersenyum penuh kemenangan. 

Pagi harinya Aku terbangun karena sinar matahari mulai masuk pada celah-celah ventilasi di kamar itu, kubuka mataku perlahan dan kulihat Bang Awan masih tertidur pulas disampingku. Aku tersenyum lagi mengingat apa yang sudah terjadi pada kami semalam, tanpa sadar wajahku mendekat serta mendaratkan kecupan singkat pada pucuk keningnya. Tiba-tiba Aku menjadi sayang padanya, padahal sebelumnya Aku sangat enggan memulai apapun dengannya tapi sekarang permainan cinta semalam seolah mengubah segalanya. 

'Andaikan saja Bang Awan bersedia menyerahkan cintanya padaku, pasti Aku juga begitu tapi sayangnya kita harus berlainan perasaan.' Batinku dalam hati. 

Mengelus-elus perutku yang masih kecil. Rasanya kasihan pada janinku ini, kenapa dia harus tercipta dari Ayah seperti Bang Awan ini! Sudah kasar tak mau bertanggung jawab lagi. Memangnya dia pikir dia anak konglomerat? Bisa seenaknya saja mengacuhkan hal yang tidak penting menurutnya. 

Ya, ku sadari jikalau ini memang ujian setidaknya Aku bisa tegar menghadapi segalanya! Aku tidak boleh menyerah dan putus asa tentunya. Aku harus semangat menjalani hidup ini demi si janinku. Aku harus tersenyum dan berpikir positif.

Setelah malam yang melelahkan itu, Aku segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku nyalakan kran dan mencoba membasuh wajah biasa di wastafel. Kulihat setiap inci wajahku begitu banyak bekas bercinta tapi malam, Akupun berusaha menarik nafas sepanjang mungkin! Inikah yang dinamakan kejutan? Aku tersenyum bodoh!

'Astaga, kenapa jejak ini menggambarkan bahwa Aku seperti seorang pelacur yang haus akan gairah?' Batinku kesal. 

Bagaimana Aku bisa keluar dalam keadaan begini? Lihat saja, tak ada ruang kosong tanpa kecupan manis itu. Akupun terus mendengus kesal. Tak lama kemudian kudengar ketukan halus di pintu luar toilet. Pandanganku kini beralih ke pintu itu, mungkin saja orang yang mengetuk pintu adalah bang Awan dengan langkah tanpa semangat aku berjalan mendekati pintu lalu memutar kenop. Benar dugaanku, bang Awan tengah berdiri tegap. 

"Ada apa bang?" Tanyaku. 

Dia tak menjawab, malah memandangiku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Kemudian perlahan dia mengambil dompet dari saku celananya. Tapi niatnya berubah dalam seketika. 

"Jangan lama-lama di toilet dan segera ambil pakaian di atas nakas karena ngak mungkin kamu pulang dengan keadaan yang amburadul."

"Bukannya...."

"Sudahlah Asti, Aku sedang malas berdebat denganmu! Turuti saja kemauanku, apapun itu."

Yah, bang Awan langsung memotong pembicaraan ku padahal aku belum selesai berbicara. Aku cuma mau bilang bukankah semua ini adalah salahnya. Lihat saja wajah itu, ada seribu kemuraman yang sepertinya bang Awan sembunyikan, lalu apa gunanya percintaan panas semalam.

"Baiklah."

Aku kembali menutup pintu toilet dan segera melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda lagi. 

Beberapa menit kemudian, Aku dan Bang Awan sampai juga di kontrakan kesayangan kami. Bang Awan tak lagi banyak bicara tapi dia segera melemparkan tubuhnya ke kasur empuk di kamar, Aku terus memandangi nya saja hingga diapun menegur. 

"Kamu kenapa? Ngak pernah lihat orang baring-baring ya?"

Aku tak menjawab tapi langsung menundukkan wajahku pelan. Ku lirik bang Awan dan dia masih terus saja menatapku. Aku jadi serba salah tapi pada akhirnya ku beranikan juga untuk menatapnya lagi. 

"Abang kenapa? Semenjak pulang dari hotel, sepertinya Abang berubah, apa sikapku ada yang salah ya?" Tanyaku datar. 

Dia menggeleng lalu melambaikan tangan ke arahku. Akupun berjalan mendekatinya.

"Ini, uang belanja buat kamu." Ujarnya sambil meletakkan segepok uang di hadapanku. 

Tentu saja mataku terbelalak tak percaya, darimana bang Awan bisa mendapatkan uang sebanyak itu. 

"Abang ngepet?" Tanyaku penasaran. 

"Gila kamu ya! Zaman sekarang kalau ada cara yang ngak membahayakan buat apa pakai cara takhayul begitu! Kalau ngomong di jaga mulutmu!" Tandasnya kesal. 

Aku tak berani menjawab, takutnya dia akan semakin kesal padaku. Ujung-ujungnya dia bakalan ngamuk atau bahkan menampar pipiku sekalian. Ah tidak! Aku pakai cara aman saja lagipula aku tak ingin menyinggungnya. 

"Mau terima atau ngak?" Tanyanya lagi karena melihat reaksiku yang hanya diam, tak kunjung juga mengambil uang itu. 

"Ambil uangnya, kamu ngak mau?" Dia mengulang pertanyaannya. 

"Kalau status uang itu belum jelas, Aku tidak akan mengambilnya."

"Sok suci banget sih kamu!" Bang Awan tersenyum sinis, entahlah apa yang akan di dalam pikirannya saat ini. 

"Jangan bilang Aku tidak menafkahi kamu, karena Aku sudah berusaha mencarikan kamu uang!" Katanya kesal. 

Aku masih tetap pada pendirianku, tak juga bergeming mengambil gepokan uang tersebut. 

"Kamu juga tak berhak memaksaku untuk mengambil uang itu, sebelum kamu jujur darimana kamu mendapatkan uang ini bang!"

Bang Awan tak menjawab, dia segera mengambil uang itu lagi dan menyelipkannya di saku celananya. Ku telan Saliva yang sedari tadi serasa menghambat di tenggorokanku.