Chapter 6 - Membuntut

"Eh bang... "

Dengan cepat Aku angkat bicara, sebenarnya Aku juga butuh uang itu tapi sekali lagi aku masih ragu akan status uang itu. Tidak mungkin aku akan bisa menerima dengan senang hati, bagaimana jika uang itu hasil dari bang Awan mencuri dan merampok? Bagaimana jika polisi menyusutnya? Bang Awan pasti akan di penjara, lihat saja uang itu bukan uang seribuan tapi ratusan.

"Kenapa? Kamu ngak mau Terima uang inikan jadi ya sudah aku saja yang pegang uang ini." Jawabnya datar.

"Tapi bang."

"Apa?"

"Abang jujur saja ngak usah bohong sama Aku karena Aku kan istri abang jadi buat apa merahasiakan semua hal dari Aku." Bantah ku pelan, semua ini harus jelas, aku memang bodoh tapi pikiranku masih waras akan hal-hal yang begini.

Bang awan malah tersenyum kecut. "Setelah ini hidup kamu akan berubah."

"Maksud abang apa?" Tanyaku heran, bang awan tak menjawab dia malah pergi dari hadapanku, Aku jadi terenyuh melihat perubahan sikapnya yang tiba-tiba berubah tak kasar seperti kemarin-kemarin. Apakah itu ada hubungannya sama uang segepok yang dia Terima. Aku masih penasaran tapi Aku mencoba untuk tidak memikirkan nya karena jika terus-menerus ku pikirkan tidak akan habis-habisnya dan belum tentu juga Aku bisa menemukan jalan keluarnya.

Aku ke dapur bermaksud untuk masak karena ku rasa perutku sudah keroncongan sejak tadi dan tentu saja si janinku juga tak sabar ingin makan. Tapi ketika ku lihat keadaan di dapur Aku menjadi bingung bukan saja air minum yang habis tapi beras juga ternyata habis.

Aku segera berjalan ke ruang tamu berharap bisa menemukan bang Awan namun ternyata bang awan benar-benar pergi entah kemana. Aku menghela nafas berat tak kuasa menahan rasa beban ini. Ketika langkah ku ingin masuk lagi kedalam tiba-tiba bang awan datang membawa bungkusan di kantong berwarna merah.

"Nih, sarapan buat kamu jadi mulai sekarang kamu ngak perlu repot-repot buat masak." Ucapnya langsung.

Aku tersenyum, begitu perhatian sekali dia. Pikirku kagum. Bang awan memberikan kantong itu kepadaku dan tentu saja aku menerima nya dengan senang hati. Kamipun sarapan bersama.

Ketika malamnya tak seperti biasa bang Awan tidur lebih awal dan bahkan dia tidur membelakangi ku. Entahlah Aku merasa ada yang tidak beres, apa itu masih ada kaitannya dengan uang segepok itu? Ah kenapa Aku terus menerus memikirkan nya, Aku masih selalu dihantui rasa penasaran akan uang segepok itu, Aku ingin tahu.

"Em bang." Panggilku kala itu. Sambil merapatkan selimut ku yang sengaja ku tarik hingga kedada.

"Hem." Jawabnya pelan.

"Ada yang ingin ku tanyakan sama abang."

"Tentang apa?" Bang awan masih belum bergerak atau lebih tepatnya tak juga berbalik menatapku.

"Tentang uang itu." Ucapku terus terang.

"Sudahlah, suatu hari nanti kau akan tahu sendiri."

"Kenapa sih abang ngak jujur aja, sebenarnya ada apa?" Lawanku kesal.

"Asti, harusnya kamu bersyukur karena aku sudah berusaha membahagiakan kamu dengan memberimu uang sebanyak itu, tapi kamu malah menolaknya jadi sekarang apa pentingnya Aku harus menjelaskan semuanya ke kamu. Apapun resikonya, Toh akan tetap Aku yang akan menanggungnya."

"Tapi bang Aku ngak bisa, coba bayangkan saja kalau seandainya uang itu adalah hasil curian, sudah pasti kamu akan masuk penjara jadi bagaimana denganku dan calon bayi kita?"

"Oh kamu menuduhku menjadi pencuri ya? Kamu senang kalau suami kamu seorang pencuri? Jika ku akui Aku memang seorang pencuri apakah kau takut kehilanganku? Mulai detik ini Aku berjanji tidak akan menyentuhmu lagi."

"A-apa maksudmu bang?" Aku benar-benar tak percaya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut bang abang.

"Asti mulai sekarang Aku lebih memilih uang daripada kamu, haha..." Bang Awan tertawa lepas.

Hatiku sakit mendengarnya. "Apa ini artinya abang mau ceraikan Aku ya? Apa salahku bang? Apa?" Jawabku sesak sejak tadi ingin rasanya ku menangis Sekuat-kuatnya.

Aku masih tak bisa mencerna kata-kata bang awan dengan baik, apakah dia mau menceraikan aku? Iya tapi apa salahku selama ini? Padahal setelah malam panas itu aku benar-benar bahagia.

Sekali lagi ku tegaskan Aku adalah orang yang paling beruntung dan bahagia, rupanya aku salah. Kenapa keadaan harus berubah dalam hitungan detik.

"Aku... "

Belum selesai bang awan berbicara tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dia segera mengangkat telponnya.

"Baiklah. Aku ganti baju dulu." Ujar bang Awan menyambut telponnya. Setelah itu dia menutupnya lagi tapi kali ini gerakannya melemah.

"Siapa yang telpon?" Tanyaku langsung. Dia tak menjawab hanya menatapku pelan. Bertambah sakit hatiku lagi-lagi ada sesuatu yang bang awan sembunyikan dariku.

Bang awan memasukan ponselnya kedalam saku, kemudian berbalik menuju kamar. Aku diam saja memperhatikan gerak-geriknya dari jauh, rasa penasaran membuncah di hatiku, mau kemana dia? Apakah Aku harus mengikutinya?

Tak lama kemudian bang Awan keluar lagi dari kamar dan ku lihat penampilannya sudah rapi, dia mengenakan batik hijau di padukan dengan celana panjang jeans.

"Bang, abang mau kemana? Kenapa harus pergi selarut ini?" Tanyaku datar.

"Kamu tidur aja dulu, lagian abang masih ada kepentingan mendesak." Sahutnya menjawab pertanyaanku.

"Aku ikut ya." Pintaku tanpa ragu-ragu.

"Gila kamu ya, ini tuh urusan Aku, ngak ada kerjaan apa?!" Bentaknya kemudian.

Aku tak menjawab hanya diam saja sampai bang awan hilang dari pandanganku, tapi karena rasa keingintahuanku akhirnya ku beranikan diri untuk mengikutinya. Di kejauhan bang awan tampak menghentikan sebuah taxi, tanpa menunggu lama ku hentikan juga tukang ojek yang kebetulan ada di belakang.

"Bang, bang berhenti. Tolong ikutin mobil itu bang." Ujarku tergopoh.

Abang ojek itu mengangguk saja dan mempersilahkan aku naik.