Chapter 4 - Aneh

Melihatnya membelakangiku saat tidur, Aku seperti merasa bersalah tapi Aku juga tak mungkin mengikuti keinginan gilanya. Suami mana yang merelakan isterinya di jamah oleh lelaki lain kalau bukan Bang Awan si brengsek itu. Hatiku serasa perih karena ternyata bang Awan benar-benar tak mencintaiku. Diam-diam kuhapus airmata yang mengalir lembut dikedua belah pipiku. 

Keesokan harinya. Aku bangun dengan hati yang masih sepenuhnya terasa sakit dan kulihat kesamping bang Awan masih terbuai oleh mimpi-mimpinya. Aku segera beranjak kekamar mandi, ku pandangi wajahku di cermin, mataku merah serta bengkak. Mungkin efek menangis yang hampir semalaman, aku lelah. Tiba-tiba saja perutku terasa mual dan akupun muntah-muntah. 

Perutku terasa diaduk-aduk, karena muntah terus menerus membuat tulang kaki dan lenganku bergetar, aku lemah. Pandanganku seakan menjadi ganda serta berkunang-kunang. Rasanya aku tak kuat lagi menahan berat tubuhku sendiri dan.. 

"Asti!" 

Bang Awan memanggil namaku dan memeluk tubuhku dari belakang. 

"Kamu kenapa?" Tanyanya lagi. 

Tapi bibirku seakan berat untuk menjawab, aku hanya bisa terdiam. Mencoba menetralkan kondisi tubuhku. Bang Awan segera membawaku kembali ke kamar. Membaringkan diriku keatas tempat tidur, kulihat bang Awan mulai mengelap keringat yang membasahi wajahku. Dia juga mengambilkan air minum dan meminumkannya pelan-pelan. 

"Terimakasih bang." Hanya kalimat itu yang sanggup keluar dari bibirku. 

"Abang akan antar kamu periksa ke dokter! Soalnya kalau Abang lihat-lihat kondisi kamu itu sedang ngak baik." Ujarnya sedikit perhatian. Aku hanya mengangguk. 

Dirumah sakit

Kami berdua dipersilahkan masuk setelah beberapa menit mengantri. Kami duduk menghadap seorang dokter berjenis kelamin wanita. Dokter itu tersenyum sambil memegang sebuah pulpen di tangan kanannya. 

"Ada keluhan apa?" Tanyanya. 

"Begini dok, saya sedang hamil dan setiap pagi saya muntah-muntah terus, apa ada obat buat mencegah muntah ya dok?"

"Ada, hanya sedikit meringankan karena rata-rata wanita hamil mengalami gejala morning sickness ya bu dan saya akan resep kan obatnya."

Aku hanya mengangguk pelan, ku lirik bang Awan yang sejak tadi hanya diam serta tak ku dengar suaranya. Ah ternyata dia sedang asyik bercinta dengan ponselnya. Dia seakan tak perduli oleh kondisiku atau hanya ingin sekedar tahu bagaimana proses wanita hamil. 

"Nah ini resep obatnya ya bu." Dokter itu menyodorkan selembar kertas putih ke hadapanku. 

"Apa ada keluhan lagi bu?"

Aku menggeleng. 

"Oke, usahakan dalam kehamilan yang pertama ini ibu harus tetap rileks, jangan banyak pikiran dan juga tetap jaga mood ya bu."

"Iya dok."

"Dan bapaknya juga harus dukung isterinya agar tetap kuat ya pak." Kali ini pandangan Dokter beralih pada suamiku. Suamiku pun segera menoleh tersenyum dan mengangguk. 

Setelah itu Aku beranjak bangun mengucapkan terimakasih kepada dokter itu lalu keluar dari ruangan. Bang Awan mengikuti ku dari belakang. 

"Bang." Ucapku pelan ketika posisi kami sejajar. 

"Hmm." 

Bang Awan masih fokus pada ponselnya. Aku kesal melihat dia yang ngak perduli sama Aku tapi apa yang bisa kulakukan? 

"Bisa ngak sih, Abang itu simpen dulu ponsel Abang sebentar!"

"Ada apa emang? Abang sedang berbisnis, jadi kamu ngak usahlah ngurusin Abang kalau lagi main ponsel! Lagian nih ya Abang ngak selingkuh kok, tenang saja."

"Aku cuma pengen diperhatiin Bang, ngak lebih kok."

"Ngak usah cerewet lah." Bang Awan langsung berjalan mendahuluiku. 

Aku terdiam dan hanya bisa mengelus perutku pelan. Aku sedih bisakah pernikahan ini di pertahankan? Lalu bagaimana nasib janin yang ada didalam kandungan ku ini. 

Setelah mandi kulihat Bang Awan tengah berdiri tegap di depan sebuah cermin yang ada di kamar. Dia tengah menyisir rambutnya sambil sesekali membubuhinya dengan minyak. Semerbak tercium sangat harum. Aku jadi mual berusaha menutup hidungku dengan telapak tanganku. 

"Kenapa?" Tanya Bang Awan pelan di tengah-tengah kegiatannya. 

"Mual."

Dia cuma tersenyum lalu menoleh ke arahku. 

"Hari ini Abang pengen kasih kejutan ke kamu!"

"Maksudnya?"

Bang Awan tak menjawab tapi dia segera membuka kantong plastik putih yang tergeletak di atas nakas, Aku memperhatikannya saja. Setelah itu dia mengeluarkan kain berwarna merah maron yang berlipat rapi. 

"Pakai baju ini!" Dia melemparkannya ke arahku secara tiba-tiba. 

Untungnya Aku meresponnya cukup baik dan mulai membuka lipatan itu perlahan, yah sebuah dress indah yang elegan. Sebagai seorang wanita tentu saja Aku sangat menyukainya. Mataku berbinar-binar memandangi lembaran lembut itu. 

"Apa ini mahal Bang? Bajunya bagus banget Bang. Buat siapa baju ini Bang?" Tanyaku sambil tersenyum girang. 

"Ya, tentu saja buat kamu. Memangnya kamu pikir ada wanita lain dirumah ini selain kamu?" Dia masih tersenyum tapi kali ini ekspresinya terlihat dingin. 

Aku tak begitu memperdulikannya. 

"Ayo dipakai bajunya setelah ini kita akan keluar, Abang akan bawa kamu ke hotel buat bulan madu. Pasti kamu belum pernahkan ngerasain tidur di ranjang hotel yang empuk dan nyaman!"

Aku mengangguk polos dan tak banyak tanya, segera kutarik baju itu untuk ku kenakan. Malam ini kalau ditanya tentu saja Aku bahagia. Dibelikan baju, diajak jalan-jalan lalu tidur di hotel. Aku sudah membayangkannya hal-hal indah itu.

Bang Abang kini duduk menungguku di atas ranjang. Cepat-cepat ku ganti baju. Tak sampai 3 menit, Aku sudah rapi. Diapun melangkah lalu menarik tanganku, kami pergi menggunakan taksi ke hotel perdana, awalnya Aku tak berpikir macam-macam tapi ketika kupikirkan baik-baik lagi aku menjadi heran. Apakah Bang Awan hanya bermaksud mengajakku pindah tidur ke hotel? Wah ternyata seleranya tinggi juga. 

Bang Awan tak memberikan penjelasan apa-apa saat itu, yang kutahu dia hanya diam sepanjang perjalanan, bukankan kah seharusnya dia merasa bahagia malam ini? Aku tak ingin tahu! Semakin Aku memikirkannya semakin pusing saja kepalaku. 

Sesampainya di kamar hotel. 

Ruangan itu tampak elegan dan nyaman, AC nya menyebar sangat baik, segala macam perabotan tersusun amat rapi. Lampunya pun cukup untuk membuktikan sebuah keromantisan. Aku tersenyum sambil duduk di ranjang, membelai, merasakan halusnya seprai yang terpasang. 

"Gimana? Nyaman kan kamarnya?" Tanya Bang Awan pelan. Dia hanya berdiri memandangiku. Lagi-lagi Aku cuma mengangguk merasakan kemewahan kamar ini. 

"Oh Iya Abang keluar dulu bentar."

"Mau apa Bang?"

"Beli cemilan di minimarket."

"Iya." Jawabku singkat. 

Bang Awan langsung menghilang di balik pintu. Akupun membaringkan tubuhku dan ah rasanya enak sekali, ku coba memejamkan mataku sejenak. Menikmati kelelahan serta penatnya hidupku namun tiba-tiba saja. 

PET

Lampu didalam kamar mati, sedetik kemudian terdengar kenop pintu di putar. Aku segera menoleh, pintu terbuka setengah, sesosok tubuh tinggi muncul dan berdiri tegap di depan pintu. Kupikir itu adalah Bang Awan. Tapi ku perhatikan dengan sungguh-sungguh, kalau sosok itu bukanlah bentuk dari tubuh Bang Awan, ataukah sosok tersebut adalah petugas hotel yang ingin memeriksa keadaan? Ya mungkin saja, pikirku menenangkan perasaanku sendiri.