Setelah nyeletuk dengan kata perintah, Bang Awan tiba-tiba melemparkan selembar uang 50 ribu dihadapku. Tentu saja rasanya Aku tak terima, tadi dia bilang bahwa Aku disuruh ngutang dulu di warung bu siti. Ini kok tiba-tiba melempar uang untuk beli rokok. Aku ingin marah tapi sekali lagi kutahan amarah itu. Dengan perasaan yang menggebu-gebu akhirnya kupungut juga uang itu. Akupun berbalik pergi hanya sekedar membelikannya rokok.
Di perjalanan pikiranku kemana-mana, Aku masih bingung akan perlakuan bang Awan terhadapku sehingga tak kusadari ada mobil yang hampir saja menyerempet. Tak hanya itu genangan air yang sengaja dihindari ternyata memercikkan air ke seluruh bajuku.
Wuih, Aku kesal! Bayangkan saja air kotor dijalanan itu meninggalkan pulau-pulau indah yang menjijikkan. Aku ingin marah tapi pengendara mobil Avanza itu tiba-tiba berhenti. Aku masih terus berjalan.
"Mbak!"
Teriak seseorang dari dalam mobil, suara itu, ya suaranya sangat familiar di telingaku. Aku menoleh.
"Bajunya kotor ya?" Tanyanya lagi.
Aku yang tadinya kesal dan ingin sekali marah, seakan tak tega untuk melontarkan kata-kata makian ku. Alhasil Aku cuma tersenyum.
"Bisa dicuci." Jawabku seadanya.
Dia masih melirikku, memperhatikan dari ujung kaki hingga kepalaku, lalu pria yang tak kutahu wajahnya karena dia menggunakan masker mengeluarkan uang 200 ribu.
"Ambil uang ini, anggap saja sebagai ganti rugi! Karena saya tidak punya waktu buat belikan mbak baju."
"Apa!" Aku mengerutkan kening. Yang benar saja memangnya tampangku sama percis kayak pengemis ya? Pria itu seakan menghinaku.
"Kenapa? Apa masih kurang? Biar saya tambah lagi," lanjutnya dingin.
Dia mengeluarkan uang lagi dan menyodorkannya kepadaku.
"Ambil saja! Saya sedang terburu-buru dan kalau masih kurang uangnya, mbak bisa menghubungi saya di nomor kontak itu." Dia memberikan uang dan menyisipkan sebuah kartu nama.
Tapi karena rasa kesal ku yang dia anggap seperti pengemis seakan membuatku jijik untuk menerima uang serta kartu itu. Tak kusangka dia nekat juga dan segera melemparkan uang serta kartunya. Lalu tanpa persetujuanku diapun menjalankan kembali mobilnya.
Aku terheran sambil memperhatikan keadaan di jalan. Sepi belum ada kendaraan yang lewat dan karena Akupun butuh uang untuk berbelanja akhirnya uang itu ku pungut juga. Ku baca kertas putih yang dia lemparkan tadi.
"Dion Pratama."
---
Malam itu hujan turun rintik-rintik, membasahi bumi yang ku pijak. Hawa dingin seakan menusuk hingga ke tulang, tapi tidak menyiratkan nyaliku untuk mandi. Aku keluar dari kamar mandi dan melihat bang Awan sedang terbaring di ranjang. Dia menoleh ku sejenak lalu perlahan bangkit dari ranjang itu.
"Kamu ngapain dingin-dingin begini mandi?" Tanyanya pelan.
"Gerah."
"Sini, duduk disamping abang." Dia menepuk kasur di sampingnya memerintahkan Aku untuk duduk.
"Aku mau ganti baju dulu."
"Ngak usah."
"Aku udah kedinginan dan pengen cepet ganti baju."
"Biar abang hangatkan." Ujarnya.
Aku terdiam, tak bergeming memandangi wajah pria yang telah menikahi ku ini. Hatiku seakan perih menghadapi sikap bang awan yang seringkali berubah-rubah dan membuatku tak mengerti. Tapi akhirnya ku dekati juga dia, aku duduk disampingnya dengan handuk yang masih melilit, membungkus tubuhku.
Dia perlahan mengangkat tangan kanannya serta membelai pundakku. Serasa merinding akan elusan lembut itu, wajar saja, Aku hanya manusia biasa yang tak bisa menghindar dari nafsu berat suamiku.
Kalau sudah merayu begini pasti dia ada maunya.
"Ada yang ingin Abang omongin ke kamu." Ucapnya datar. Masih terus mengelus pundakku.
"Apa?" Tanyaku pelan sambil menyingkirkan tangannya. Rasanya seperti tidak sudi jika disentuh olehnya.
"Kenapa tangan Abang disingkirkan? Kamu ngak sudi ya jika Abang sentuh?"
Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaan nya. Ku akui saja pertanyaannya memang betul tapi lagi-lagi Aku harus berbohong.
"Ngak kok bang, kamu kan suamiku jadi apa alasanku berpikiran seperti itu."
Bang Awan tak menjawab dan hanya mengangkat alis sedikit. Lalu tangan itu melorotkan handuk yang ku kenakan, aku tak menolak. Sekarang dihadapannya aku benar-benar berpenampilan polos. Diapun langsung mendorongku kebelakang. Adegan suami isteri itu terjadi lagi.
"Abang pengen ngomong apa tadi?" Tanyaku setelah rutinitas kami selesai.
Tubuhku tidak lagi sepolos tadi, karena selimut sudah menutupi hampir seluruh tubuhku, begitu juga dengannya.
"Kamu kan tahu zaman sekarang ngak ada kerjaan yang enak, semuanya butuh otak dan tenaga kan? Jadi Abang pengen Kamu saja yang kerja."
"Maksud abang?"
"Abang pengen kamu menghasilkan uang dengan menjual tubuh kamu."
"Ya ampun bang! Abang apa-apaan sih, tega banget ya Abang bilang begitu ke Aku. Apa Abang udah bosan sama Aku! " Kejut ku yang sangat syok mendengarnya.
Kenapa bang Awan sangat tega ingin menjual tubuhku? Ya, kuakui Aku memang bukan wanita tipe dia dan dia juga mengatakan bahwa dia tidak bisa mencintaiku. Di mana akal pikirannya? Seharusnya dia melindungi isterinya bukan malah menjadikan isterinya sebagai mata pencaharian baginya. Tuhan ujian apalagi ini?
"Aku tidak butuh uang bang! Aku lebih sudi menjadi babu ketimbang harus menjual diri!" Marahku lagi.
"Jika kamu ngak butuh uang, kamu mau beli makanan pakai apa? Lagian kerjaan begituan enak! Udah di puasin dapet uang lagi!"
"Aku ngak mau!" Tolak ku keras.
"Ya udah kalau kamu ngak mau!" Jawab bang Awan ketus kemudian dia berbaring membelakangi ku.
Mendengar apa yang ditawarkan bang Awan padaku tadi. Rasanya seperti tersambar petir di siang hari, bayangkan saja di saat kondisi ku sedang hamil tiba-tiba dia menyuruhku untuk bekerja dan pekerjaan itu bukannya menyelamatkan sang isteri tapi malah menghancurkan isterinya sendiri.
'Bang Awan apa yang ada di pikiranmu? Kenapa hati nuranimu sangat busuk, Aku memang istrimu tapi setidaknya kamu menjagaku bukannya menyengsarakan Aku bang!' Batinku sedih.