Terlihat kami berjalan di pinggir kota yang ramai. Aku mendekap tangan Ayah yang berjalan di sampingku. Dia nampak sangat tampan di publik ini meskipun tanpa pakaian formalnya.
Di sana aku melihat banyak sekali couple-couple yang bersama dan memakai baju yang sama. Aku jadi terpikirkan sesuatu.
"Ayah, bagaimana jika kita membeli baju couple?" tawarku.
"Tak masalah, Sayang, belilah apapun yang kamu suka," balasnya. Seketika hatiku benar-benar senang banget deh... Hehe... Punya Ayah berjabat tinggi memang menyenangkan banget, ya. Kebutuhan kami pun juga tidak banyak karena kami hanya dua orang, jadi ya... senantiasa banyak uang.
Sesampainya di pusat perbelanjaan, Ayah melihat sekitar seperti baru masuk ke tempat itu, sementara aku memilih baju kaus di sampingnya.
"(Hm... Warna ini lebih bagus.)" Aku memegang warna hitam di tangan kanan dan warna biru di tangan kiri. Lalu aku menoleh pada Ayah. Aku ingin menempelkan baju itu ke tubuh Ayah untuk melihat apakah ukurannya sesuai, tapi rupanya aku tak sampai dengan tubuh Ayah yang besar dan tinggi.
Aku bahkan hampir berjinjit dan berusaha.
Ayah yang melihat itu menjadi tertawa kecil. "Haha, kau benar-benar pendek, Sayang," dia bercanda sambil mengambil dua baju itu dari tanganku.
"Hiz... Itu karena Ayah saja yang tinggi, benar-benar tinggi." Jangan heran dan kaget jika tinggi Ayahku 195 cm. Tinggi banget, iya kayak dinosaurus.
Tapi meskipun begitu, Ayah adalah pria yang terlihat bagus di mata orang-orang atau yang disebut juga sebagai good looking.
"Sepertinya ini agak kecil," kata Ayah yang menempelkan baju tadi di tubuhnya.
"Hm... Sepertinya begitu, mungkin lebih besar lagi, ya..." Aku mulai mencari baju lebih besar dan menemukannya, tapi ada gambar imut di kaus berwarna hitam itu.
Gambar itu adalah kucing chibi yang tertidur.
"Ini sangat imut... Ayah harus beli ini," kataku dengan bersemangat. Dia menghela napas panjang dan mengangguk. Dia benar-benar mau menerima pilihanku.
"Bagaimana dengan baju couple yang kau bicarakan tadi?" tatap Ayah. Seketika aku baru ingat.
"Oh iya, hm... Mari kita cari... Bagaimana jika warna merah muda?" tawarku.
"Kenapa warna merah muda?" Ayah memasang wajah bingungnya.
"Bukan masalah kok, aku hanya suka warna ini, tapi apa Ayah akan mau?"
"Jika kau mau menjadikan Ayah terlihat aneh nantinya." Ya ampun, balasnya begitu. Entah dia sedang bercanda dalam bicara atau apa, ini membuatku tertawa sendiri.
"Hehe, baiklah, mari kita cari warna netral saja, seperti... putih. Lihat, Ayah, di sini tertulis My Love Baby." Aku menunjukan dua baju yang manis bertuliskan itu tadi.
Ayah terdiam sebentar. "Baiklah, itu tidak apa-apa," balasnya. Lalu aku menjadi tersenyum senang. Tapi pandanganku teralihkan ketika melihat boneka-boneka manis yang tersusun dalam satu rak.
Apalagi aku melihat boneka kucing di sana. Ya ampun, aku pengen banget, tapi agak malu untuk bilang sama Ayah yang saat ini sudah mengeluarkan kartunya di kasir, dan aku berdiri di sampingnya.
Rasanya ingin ke sana, biarkan Ayah peka mau nawarin aku boneka, tapi sepertinya Ayah tidak melihat apa-apa, dia hanya fokus membayar.
"(Haiz... Kapan-kapan saja lah.)" Aku menghela napas pasrah. Tapi tak disangka-sangka, Ayah memegang pundakku membuatku menoleh padanya.
"Bukankah kau suka boneka? Kenapa tidak memilih dan ambil... Ayah akan menemanimu," tatapnya. Di saat itu juga aku benar-benar tak percaya dengan apa yang aku dengar, Ayah benar-benar peka banget.
"Beneran, Ayah?!" Aku menatap tak percaya.
Lalu dia mengangguk. Aku mulai melihat apa yang ada di rak dan menemukan sesuatu yang aku suka, yakni boneka kucing yang sangat manis dan bercorak telon itu. "(Ini sangat manis.)" Aku memeluk boneka yang ukurannya normal itu.
Ayah yang ada di sampingku terlihat menengadah melihat rak atas. Dia tanpa ada apa-apa mengambil sesuatu dari sana yang rupanya boneka kucing yang besar. Di tangan Ayah, pastinya itu hanya boneka besar biasa, tapi menurutku itu boneka yang sangat besar, bahkan hampir sebadan ku.
Entah apa yang membuat Ayah mengambil itu, tapi dia mengatakan sesuatu. "Beli yang besar saja sekalian."
Semua barang sudah masuk ke mobil. Kami melanjutkan jalan-jalan. Di pinggir jalan ada toko kecil yang bertuliskan toko kue.
"Ayah, apa hari ini makan kue tidak apa-apa?" tatapku.
"Tentu," Ayah membalas, dan kami masuk ke sana. Di dalam, aku benar-benar terpesona melihat banyak sekali kue manis, tapi Ayah, saat sudah masuk, ponselnya berbunyi. Dia menoleh padaku dan berkata sesuatu.
"Sayang, Ayah harus mengangkat telepon dulu. Pilihlah sesuatu dulu," balasnya.
Wajahku menjadi kecewa. Hal itu membuat Ayah tidak nyaman padaku, lalu Ayah memberikan kartu hitam padaku. Tahu kartu hitam? (Kartunya para Sultan, hehe)
"Untuk apa?" Aku masih menatapnya dengan kecewa.
"... Peganglah ini, belilah sesuatu dulu," kata Ayah. Lalu dia pergi setelah memberikan kartu itu.
"(Haiz... Ayah pikir kartu seperti ini bisa menggantikan kehadiranmu. Aku hanya ingin kita memilih roti bersama... Tapi ya sudah lah, pekerjaannya memang sibuk.)" Aku pasrah saja dan mulai memilih kue meskipun hatiku masih kecewa. Kadang inilah yang tidak enak saat memiliki Ayah yang sibuk.
Setelah membeli kue, aku berjalan keluar. Kue yang aku beli sangat imut karena berbentuk kucing.
Saat kusadari, hari benar-benar sudah hampir sore. Sepertinya kami terlalu sibuk memilih barang saat di pusat perbelanjaan tadi.
Kini waktunya untuk pulang. Tapi aku sama sekali tidak melihat Ayah untuk pulang bersama. Seharusnya dia menunggu ku di luar toko kue ini, tapi tak ada.
Aku mulai memasang wajah kecewa dan menghela napas panjang.
"Sepertinya belum ada satu hari aku menikmatinya." Aku mulai berpikir bahwa Ayah sudah pergi untuk panggilan bekerja, tapi tak disangka-sangka Ayah terlihat datang dari sisi lain jalan membawa minuman dingin.
"Sayang, kau sudah selesai?" Dia mendekat memberikan minuman itu. Aku menerima nya dengan bingung. Kupikir Ayah pergi.
"Minumlah itu, kau pasti lelah seharian... Jadi, apa yang kau beli?" tatap Ayah. Dia seperti mengalihkan topik yang akan aku bicarakan soal kenapa Ayah masih ada di sini.
Aku tidak peduli, yang penting Ayah benar-benar ada di sini. "Aku membeli kue berbentuk kucing, lihat, lucu bukan?" Aku menunjukannya dengan wajahku yang kembali tersenyum.
"Baiklah, apa hari ini putri kecil sudah senang?" tatapnya sambil membelai kepalaku.
"Ya, aku sangat senang hari ini... Terima kasih Ayah," balas ku. Dari sana aku tak sengaja melirik ke orang yang lewat, mereka juga sedikit melihat kami dengan ekspresi wajah yang berbeda. Mereka mungkin menganggap kami manis ada juga yang menganggap aneh, dengan dilihat dari ekspresi wajah mereka.
Memang nya kami aneh di mana, tak apa apa orang lain menilai ku sebagai apa. Yang penting aku menikmati ini dengan penuh kesenangan, jika merasa iri yah terserah hehe.
Kami sampai di rumah pada waktu suasana malam yang hujan. Aku tahu hujan saat aku sudah selesai mandi, melihat dari kaca jendela memperlihatkan angin hujan yang deras.
"Haiz benar benar deh, untung nya tadi tidak hujan," kata ku sambil menghela napas putus asa.
Oh ya, saat itu aku sedang ada di ruang tengah dengan Ayah yang duduk di sofa menonton televisi. Aku membelakanginya karena melihat hujan dari jendela tadi.
"(Ini benar benar sangat terasa dingin, apa karena AC nya?)" Tubuh ku mulai menggigil. Mungkin karena baju dan celana ku yang pendek lalu aku memikirkan sesuatu sebentar.
Di saat itu Ayah menoleh pada ku dengan remot yang ada di tangan nya, memanggilku dengan sebutan manis itu. "Sayang, kau mau berdiri di sana terus? Sebentar lagi pasti akan ada petir."
"Memang nya kenapa kalau ada petir, Ayah?" Aku menoleh dengan bingung, kenapa Ayah bertanya begitu, ini aneh.
"Kau akan takut petir dan menangis nantinya," balas nya sambil menatap ke televisi.
"Ha... Kenapa... Aku tidak takut sama sekali, Ayah jangan mengejek ku!!" Aku mulai mengambek dengan ejekan nya itu, aku sama sekali tidak takut tuh.
"Baiklah, jika kau menangis nanti, jangan harapkan Ayah bisa memeluk mu karena kau tidak takut petir."
"(Hah Ayah bilang begitu, dia benar benar main main banget!!....) Huu aku tidak akan memeluk Ayah sampai petir benar benar datang, titik!!" Aku marah dengan menyilang tangan.
"Ho... Baiklah sayang, mari kita taruhan," Ayah menatap mulai mengajak ku bercanda.
"Hmp..." Aku masih mengambek dan membuang muka tapi tiba tiba petir menyambar kencang.
"Akhhhhhhh!!!!" Aku terkejut dan berteriak sambil menutup kedua telingaku, teriakan ku sangat lah kencang dan aku berlari ke arah Ayah yang duduk di sofa. Aku melompat memeluk leher nya. Tangan ku benar benar sangat kencang memeluk nya dengan masih berteriak sambil menutup mata.
"Matikan itu.... Matikan itu!!" Aku masih berteriak dengan sangat sangat takut.
Ayah hanya tersenyum kecil mengangkat satu lengan nya memeluk ku yang masih gemetar.
Sambil berkata dengan nada merendahkan. "Siapa yang menang sekarang?"
Hiz..... Rasanya gemes banget aku pengen gigit leher nya Ayah. Hingga aku benar benar menggigitnya. Ayah tak bereaksi apa apa karena dia memang kuat.
"Ke.... Kenapa tidak sakit!!" Aku benar benar bingung sambil menatap nya. Leher nya sudah berbekas dan hampir berdarah.
"Sekarang biarkan Ayah bertanya, sekarang siapa yang menang?" dia benar benar menatap ku seperti memprovokasi ku.
"Hmp..... Baiklah, Ayah menang," aku membalas dengan rasa yang masih tidak terima. Posisi ku benar benar aneh karena aku menghadap Ayah dengan di pangku oleh nya, sangat dekat.
"Tapi saat kita masih membuat syarat tantangan, Ayah lupa bilang bahwa jika kau kalah, beri Ayah ciuman," tatap nya.
"Ciuman.... Itu mudah, karena aku suka ciuman pada Ayah jadi aku bonus kan ini," aku memegang kedua pipi Ayah dan mendekatkan wajah ku. Aku mencium bibir Ayah yang terdiam lalu aku kembali menatap nya.
"Itu sangat manis, terima kasih Sayang," kata Ayah. Itu ciuman yang paling nge pas banget di bibir kami berdua. Ya ampun aku ingin melakukan nya lagi tapi aku tidak mau melewati batas di depan Ayah ku.
Kapan kapan saja lah. Tapi tiba tiba ponsel Ayah berbunyi membuat nya mengambil nya. Tak sebentar dia menatap ke pesan di ponsel, lalu kembali menatap ku.
"Sayang, malam ini Ayah akan full bekerja. Kau akan baik baik saja bukan?" tatap nya dengan khawatir. Lalu aku mengangguk. Begitulah Ayah akan kembali bekerja sibuk, aku tak tahu harus apa selain mengangguk.