Setelah selesai, aku mengganti baju di kamar dan tak mendengar suara Ayah. Aku mulai berpikir sesuatu apa Ayah sedang ada di ruangan lain seperti televisi. Aku memakai celana levis pendek dan kaus putih lengan pendek karena aku memang suka pakaian pendek saat di rumah. Berbeda dengan Ayah, dia tak pernah memakai celana pendek manapun, hanya memakai celana panjang dan casual bajunya.
Aku akan berniat ke sana tapi tiba tiba perut ku benar benar berbunyi lapar. "Sepertinya aku harus memasak." Aku membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Tapi aku mencium aroma sesuatu yang sangat enak saat berjalan ke dapur. Seperti ada seseorang yang memasak.
"(Apa itu Ayah?)" aku berpikir Ayah yang memasak karena hanya ada kita di sini. Dan yang benar saja dia terlihat membelakangi ku dengan memasak di kompor.
"Ayah?" aku mendekat lalu dia menoleh dengan pakaian santai rumah yakni kaus dan celana panjang nya.
"Kau sudah selesai mandi sayang, tunggulah sebentar lagi, makanan akan siap," kata Ayah.
Namun ada sesuatu yang membuat ku ingin tertawa dan Ayah terlihat bingung menatap ku begitu.
"Apa ada sesuatu?"
"(Hehe... Celemek yang di pakai Ayah benar benar tampak cocok untuk nya.)" Aku melihat apron berwarna hitam milik Ayah yang di pakai nya, sepertinya dia baru saja membelinya karena sebelum nya hanya ada apron berwarna merah muda karena yah.... Hanya aku yang memasak, tapi kini sepertinya Ayah akan memasak.
"Hehe tidak ada apa apa," aku membalas sambil duduk di meja makan. Ayah menjadi terdiam lalu kembali fokus memasak.
Lalu aku mulai memikirkan ponsel ku, aku berdiri akan mengambil nya di kamar.
"Maaf Ayah, aku ke atas sebentar, untuk mengambil ponsel," tatap ku.
"Oh baiklah," Ayah mengangguk mengerti lalu aku berjalan mengambil ponsel dan tak di sangka sangka ada banyak pesan dari teman teman ku termasuk dari Noe.
"Astaga, sangat banyak sekali pesan nya," aku mulai membuka milik Noe terlebih dahulu. Banyak sekali chat panik di sana berbunyi begini.
"Raina.... Di mana kau?"
"Aku baru saja melihat mu tadi di gedung sekolah... Sore tadi!"
"Kau di jemput siapa itu... Pria yang terlihat berkharisma sekali... Ayah mu kah?!"
"Raina.... Jawab pesan ku.... Siapa dia!! Dia menjadi perbincangan semua orang di kelas hanya karena keluar dari mobil."
"Raina kau baik baik saja kan?"
"Haiz..... Benar benar... Dia terlalu banyak mengirim pesan.... Apa yang aku balaskan pada nya nanti, hanya karena Ayah tak pernah keluar dari mobil dan tadi itu dia keluar dari mobil dan semua orang di gedung sekolah menjadi melihat ke arah nya, Fiks... Besok aku jadi perbincangan hingga akhir hayat," aku menghela napas pasrah. Tapi Ayah tiba tiba membuka pintu kamar ku.
"Sayang, makanan sudah siap? Kau bilang hanya sebentar kemari?" tatap nya.
"Ayah.... Apa yang harus aku lakukan?" tatap ku dengan melas banget.
"Ada apa?" Ayah memasang wajah khawatir dan mendekat memegang pipi ku dengan tangan besar nya itu.
"Ayah menjadi perbincangan semua teman ku, bagaimana jika mereka menganggap aneh soal Ayah... Aku tidak mau mereka menganggap Ayah mengerikan," tatap ku, tapi Ayah menjadi mengelus pipi ku dan mencium nya di samping bibir ku.
"Jangan khawatir, cukup bilang saja kau dari keluarga Cilioen, mereka pasti akan mengerti." Ayah menatap ku dengan mencari jalan keluar dengan kalimatnya, dia benar benar bisa mengatasi hal ini.
"Sekarang tinggalkan ponsel mu sebentar, mari makan dan bersantai," kata Ayah yang memegang tangan ku.
"Baiklah," aku mengangguk meletakan ponsel ku di ranjang dan mengikuti Ayah keluar dari kamar.
"Wah..... Sangat terlihat enak," aku melihat banyak sekali makanan enak di meja yang di buat oleh Ayah.
"Ayah sangat hebat, membuat makanan banyak dan terlihat enak," tatap ku dengan senang memujinya. Ayah hanya tersenyum dan duduk di hadapan ku.
Setelah selesai makan, aku duduk di sofa melepaskan tubuh dengan santai. "Huf..... Sangat kenyang," aku memegang perut ku dengan rasa kenyang, makanan tadi benar benar tiada duanya.
Lalu Ayah selesai mencuci piring dan duduk di samping ku, lengan nya menjadi bantal di kepala ku sambil mengambil remot nya.
Aku semakin mendekat kan tubuh ku dengan hangat nya tubuh Ayah dan lengan nya yang ada di belakang kepala ku, panjang seperti melingkari ku.
Tangan Ayah satunya menyalakan TV dengan remot yang ia bawa.
"Kamu ingin melihat sesuatu, Sayang?" tatap nya pada ku, benar benar pengertian sekali menawarkan aku untuk menonton televisi.
"Aku ingin film, Ayah."
"Genre apa yang akan kita tonton?"
"Hm.... Aku baru ingin melihat yang seram seram," kata ku lalu Ayah berpikir seperti terlihat memikirkan film bagus akan di putar. Hehe dia nampak serius berpikir.
"Bagaimana jika film zombie?" tatap nya lalu aku mengangguk setuju. Ayah mulai memutar film itu di televisi dan kami mulai melihat nya bersama. Dengan keadaan lampu rumah itu yang gelap karena hanya televisi yang menyala aku merasakan merinding dan kedinginan di paha maupun pinggang ku.
Mungkin karena ini ruangan terbuka dan di luar sana malam yang dingin juga.
"(Ini mulai tidak nyaman.) Ayah, aku sangat kedinginan," tatap ku lalu Ayah juga menoleh pada ku dari televisi.
"Apa kau perlu selimut?"
"Aku akan mengambilnya di kamar," aku berdiri.
"Apa kau yakin berani?" Ayah mulai menggoda dan menakut-nakutiku hanya karena rumah yang gelap tanpa lampu itu.
"Hmp... Aku sangat berani kok," aku langsung pergi ke kamar.
Aku berjalan ke lorong dan masuk ke kamar untuk mengambil selimut. Saat aku mengambilnya, ponselku menyala dalam kegelapan, membuatku tertarik untuk membukanya.
Rupanya pesan dari Noe lagi. Kali ini dia bertanya sesuatu. "Raina... Besok ayo jalan-jalan berdua saja."
"Jalan-jalan? Hm... Sepertinya menyenangkan, tapi aku ingin menghabiskan waktu bersama Ayah..." Aku bingung harus menjawab pesan itu bagaimana.
Kesempatan bersama Ayah pastinya akan hilang jika besok aku pergi meninggalkannya. Mungkin aku tidak akan pergi. Aku membalas pesan Noe dengan menolak lembut ajakannya. Seketika Noe mengirim emot sedih.
"Hehe, maaf ya Noe," aku tertawa kecil sendiri melihat emot lucu itu lalu meletakkan ponsel dan berjalan pergi membawa selimut. Mari lanjutkan nonton filmnya.
Kami terlihat menonton film bersama, dengan aku yang mendekat ke Ayah, sama seperti posisi duduk tadi, tapi kali ini ada selimut yang menutupi tubuhku.
"Aku rasa di bagian saat ada virusnya itu, dokter wanita itu yang salah," kataku di akhir film.
"Kenapa kau berpikir dia yang salah?" Ayah mulai menatap.
"Yah, karena dia sengaja menebarkan virus itu... Oh iya, bicara soal menebar... Ayah, jika seseorang menebarkan hal buruk tentang kita, apa yang harus kita lakukan?"
"Memangnya hal buruk apa yang akan disebarkan?"
"Entahlah, itu pemikiran mereka sendiri... Tapi jika kita tidak mengurus hal itu nanti, mereka akan mengganggu lebih."
"Jangan khawatir, kau tidak perlu memikirkan hal itu. Buktinya hingga hari ini, tak ada sesuatu yang terjadi pada keluarga kita," kata Ayah sambil membelai kepalaku.
Aku mulai berpikir sesuatu. Rasanya aku ingin tanya soal Ibu pada Ayah. "Ayah..." Aku memberanikan diri. "Kenapa tidak ada Ibu di sini... Apa Ayah sengaja melakukan hal ini?" Aku menatap dengan penasaran bercampur khawatir, tapi Ayah hanya diam. Dia seperti tak mau memberitahukan segalanya padaku, ini seperti sebuah rahasia kecil.
"Dengar, Sayang, saat kau bertambah dewasa nanti, kau akan mengerti kenapa bisa seperti ini," tatapnya dengan wajah yang menyembunyikan sesuatu. Aku memang sudah tahu dari awal akan hal ini. Rasanya agak aneh sekali Ayah memiliki rahasia keluarga yang tidak aku ketahui. Aku bahkan tak memiliki Kakek maupun Nenek, Paman maupun Bibi. Sudah sangat jelas bahwa darah Cilioen adalah darah tunggal dalam sejarah ini, jadi aku menganggap kami berdua adalah darah yang penting.
Tapi aku hanya ingin tahu bagaimana keluarga Cilioen terbentuk dan kenapa mereka menyebut Ayah mengerikan, padahal Ayah sangat lembut di sini. Meskipun aku tahu dia terlalu banyak menggunakan wajah datar dan dingin di hadapan banyak orang.
Hari selanjutnya, aku terbangun dan membuka mata. Aku sadar posisi tidurku sangat nyaman karena lengan Ayah yang menjadi bantal dan memelukku. Aku tersenyum pagi sambil menoleh ke wajah Ayah yang masih tertidur. Ya ampun, aku mulai berpikir, Ibu pasti beruntung memiliki suami tampan sepertinya.
"Ayah... Pagi," aku duduk dan mencium pipi Ayah. Dia membuka mata disusul senyuman manis itu, meskipun matanya terlihat masih mengantuk. Sepertinya tadi malam aku tertidur di pangkuan Ayah saat di sofa, dan pastinya Ayah membawaku ke tempat tidur.
"Tidurlah sedikit lagi," kata Ayah sambil menarikku untuk kembali ke posisi awal. Tapi kali ini aku menghadap padanya.
"Haiz, Ayah... Baiklah," aku membalas dengan membelai pipi Ayah yang sudah tertutup mata dengan malas.
"Eh, oh iya, Ayah, ayo kita jalan-jalan," tawarku dengan bersemangat, berharap dia mau menyetujuinya. Aku baru ingat soal rencanaku kemarin.
Ayah terlihat kembali menutup mata dan membukanya kembali. Ia bangun duduk sambil menarikku.
"Uwaaah..." Aku terkejut karena Ayah menarik dan menciumku.
"Baiklah, siap-siaplah," kata Ayah. Seketika aku langsung senang.
"(Semudah itu kan...) Ayah, saat jalan-jalan nanti... Apa yang akan Ayah kenakan?" Aku penasaran dengan penampilan Ayah.
"Apa maksudmu?"
"Baju... Baju yang akan Ayah kenakan?"
"... Karena kau bertanya, apa yang cocok untuk Ayah?" Ayah menatapku dengan wajah main-mainnya.
"Hm... Ayah pasti akan memakai jas itu lagi... Masa kita mau jalan-jalan pakai baju formal? Ini jalan-jalan, Ayah, bukan ke kantor. Cepat pakai yang lebih pantas," aku beranjak dari ranjang dan membuka lemari baju Ayah karena kami memang ada di kamar Ayah.
"Mari kita lihat... Di mana baju yang cocok?" Aku mencoba mencari kaus dan celana panjang yang biasa. Tapi yang aku lihat hanyalah jas, setelan, dan baju-baju resmi lainnya. Seketika wajahku menjadi bosan. "Haiz... Ayah sama sekali tak memiliki baju santai."
"Ayah sedang memakainya," kata Ayah. Aku menoleh dan baru sadar bahwa Ayah sedang memakai baju santai.
"Aku tahu itu, tapi masa Ayah akan pakai baju itu lagi? Untuk menggantinya, apa Ayah memiliki kemeja?"
"Hanya ada kemeja putih di sana," balas Ayah. Lalu aku menemukan kemeja putih dan celana yang sama.
"Baiklah, ini. Sementara pakai ini dulu, kita akan membeli baju santai," aku meletakkan baju yang telah dipilih tadi di ranjang. Ayah masih duduk di ranjang.
"Apa kau yakin, Sayang? Apa ini akan cocok?"
"Tentu saja, itu adalah model anak muda... Ayah pun pasti akan terlihat lebih muda... Lagipula aku akan senang jika kita menghabiskan waktu bersama. Aku akan sangat bersyukur jika Ayah mau melakukan hal yang aku suka, yakni selalu di sisiku," kataku sambil mendekat dan memegang kedua pipi Ayah, lalu mencium pipinya.
Dia tersenyum kecil. "Baiklah, jika itu memang kemauan putri kecilku," katanya. Ya ampun, dia bilang putri kecil terus. Umurku saja sudah 18 tahun, hehe.