Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya bagi Aisyah. Hatinya bergetar mendengar keputusan yang harus dihadapi Arya—memilih antara keluarganya atau keyakinannya, sebuah keputusan yang terlalu berat untuk ditanggung siapa pun, terlebih Arya yang masih berada dalam fase awal perjalanan spiritualnya. Aisyah merasa seperti terjebak di antara dua arus yang berlawanan: di satu sisi, ia ingin mendukung Arya untuk tetap teguh dengan keputusannya memeluk Islam; di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan rasa sakit yang Arya alami akibat ancaman keluarganya.
Setelah panggilan telepon itu, Aisyah mencoba menenangkan diri, tetapi pikirannya terus melayang pada percakapan mereka. Arya harus memilih, dan ini bukanlah keputusan sederhana. Hubungan Arya dengan keluarganya sudah renggang sejak keputusan Arya untuk mempelajari Islam, dan sekarang, dengan kakaknya yang masih dalam masa pemulihan dari kecelakaan, keluarga Arya menjadi lebih sensitif terhadap perubahan yang dialami oleh Arya.
Aisyah memutuskan untuk tidak mengganggu Arya malam itu, memberinya ruang untuk merenung sendiri. Meskipun keputusannya mungkin akan mengubah segalanya, Aisyah berdoa agar Arya diberi kekuatan dan kebijaksanaan dalam menghadapi situasi ini.
Keesokan harinya, Aisyah terbangun dengan perasaan was-was. Sepanjang malam ia tidak bisa tidur nyenyak. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan Arya dengan ekspresi tegang dan suara beratnya saat mengatakan bahwa ia harus memilih terus menghantui benaknya. Aisyah merasa tidak berdaya. Ia ingin berada di sisi Arya saat ini, tetapi ia juga tahu bahwa ini adalah perjalanan pribadi yang harus Arya hadapi sendiri.
Pagi itu, Aisyah pergi ke masjid kampus untuk shalat Dhuha dan mencari ketenangan. Setelah shalat, ia duduk dalam keheningan, menundukkan kepala dan berdoa dengan sepenuh hati, meminta petunjuk kepada Allah agar diberikan kekuatan untuk menerima apa pun hasil dari keputusan Arya. Ia menyadari bahwa meskipun ia ingin Arya tetap memeluk Islam, ia tidak bisa memaksakan hal itu. Keputusan Arya harus datang dari hati yang tulus, bukan dari tekanan atau rasa bersalah.
Setelah berdoa, Aisyah merasakan sedikit ketenangan. Ia memutuskan untuk tetap melanjutkan harinya seperti biasa, mencoba menjaga dirinya sibuk dengan perkuliahan dan aktivitas kampus. Namun, setiap kali ponselnya bergetar, ia langsung meraihnya dengan harapan akan menerima pesan dari Arya. Tetapi hingga siang hari, belum ada kabar.
Sementara itu, di tempat lain, Arya berhadapan dengan keluarganya yang menuntut jawaban. Malam sebelumnya adalah malam yang panjang baginya. Orang tuanya, terutama ayahnya, menekan Arya dengan keras untuk meninggalkan keputusannya memeluk Islam. Mereka merasa dikhianati oleh anak yang mereka besarkan, dan ancaman untuk memutuskan hubungan dengan Arya terasa nyata.
Di rumah sakit tempat kakaknya dirawat, situasi semakin tegang. Kakaknya yang masih dalam kondisi lemah juga merasa kecewa pada Arya. Mereka semua percaya bahwa keputusan Arya untuk pindah agama telah mengguncang harmoni keluarga. Ibu Arya, yang biasanya lembut, menangis sepanjang malam, dan Arya merasakan beban emosional yang sangat besar. Dia berada di persimpangan jalan antara keluarganya, yang telah bersamanya sepanjang hidup, dan keyakinannya, yang masih baru ia kenal tetapi terasa benar di hatinya.
"Arya," kata ayahnya dengan nada yang lebih tegas daripada biasanya, "ini bukan hanya tentang keyakinanmu. Ini tentang keluargamu, tentang kami yang membesarkanmu dengan nilai-nilai yang kami percaya. Jika kamu tidak kembali ke jalan kami, jangan harap kami akan menerimamu kembali sebagai bagian dari keluarga."
Arya terdiam, hatinya bergolak. Selama ini, ia sudah tahu bahwa keluarganya mungkin tidak akan menerima keputusannya, tetapi ancaman yang begitu langsung membuatnya merasa terjebak. Ia mencintai keluarganya, dan tidak ada yang lebih ia inginkan selain melihat keluarganya bahagia dan bangga padanya. Tetapi pada saat yang sama, ia merasa semakin kuat bahwa Islam adalah jalan yang tepat untuk hidupnya. Keputusan untuk meninggalkan Islam bukanlah sesuatu yang bisa ia lakukan hanya untuk menyenangkan keluarganya.
"Aku... aku butuh waktu untuk berpikir," kata Arya akhirnya dengan suara bergetar.
Ayahnya mendengus tidak puas. "Berapa lama lagi kamu akan berpikir, Arya? Kami sudah memberikanmu cukup waktu. Ini adalah hidupmu, ya, tapi ini juga keluarga kita. Kamu tidak bisa mengkhianati kita seperti ini."
Malam itu, Arya kembali ke apartemennya sendiri dengan perasaan hancur. Kepalanya penuh dengan kata-kata keluarganya. Seiring waktu berlalu, tekanan dari mereka semakin membesar. Ia merasa kesulitan untuk berpikir jernih. Hatinya dipenuhi konflik, dan untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan untuk mendalami Islam, Arya merasa ragu. Ragu bukan tentang Islam itu sendiri, tetapi tentang apakah ia mampu menjalani hidupnya sebagai seorang Muslim tanpa dukungan dari keluarganya. Apakah ia benar-benar siap untuk kehilangan mereka?
Arya duduk di kursi di ruang tamunya, memandang kosong ke luar jendela. Di luar, dunia terus berjalan, tetapi di dalam hatinya, waktu seolah-olah berhenti. Ia mengambil ponselnya, menatap nomor Aisyah, dan berpikir untuk menghubunginya. Namun, ia merasa belum siap. Ia belum siap memberi tahu Aisyah tentang pergolakan besar yang sedang ia alami.
Hari berikutnya, Aisyah masih belum mendengar kabar dari Arya. Kegelisahannya semakin memuncak, tetapi ia mencoba tetap sabar. Di kelas, ia berusaha fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya selalu kembali pada Arya. Saat jam makan siang, ia duduk sendirian di sudut kafetaria, mengaduk-aduk makanannya tanpa nafsu.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Arya. Aisyah dengan cepat membuka pesan tersebut, jantungnya berdebar kencang.
"Aisyah, aku harus bertemu denganmu. Ini sangat penting. Aku di taman kampus sekarang."
Aisyah segera berdiri, meninggalkan makanannya dan bergegas menuju taman kampus. Jarak yang biasanya terasa dekat kini terasa begitu jauh, setiap langkah yang ia ambil dipenuhi dengan kecemasan tentang apa yang akan Arya katakan.
Setibanya di taman, Aisyah melihat Arya duduk di bangku yang biasa mereka gunakan. Wajahnya tampak pucat, lebih lelah daripada yang pernah Aisyah lihat sebelumnya. Aisyah berjalan mendekat dengan hati-hati, merasa bahwa percakapan ini mungkin akan menjadi yang terberat dalam hubungan mereka.
"Arya..." kata Aisyah pelan, ketika ia duduk di sebelah Arya. "Apa yang terjadi?"
Arya menunduk, tidak langsung menjawab. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. Aisyah bisa merasakan betapa beratnya beban yang Arya bawa.
"Aku harus membuat keputusan," Arya akhirnya berbicara dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Keluargaku... mereka memaksaku untuk memilih. Dan aku sudah memikirkannya selama dua hari terakhir ini. Aku tahu apa yang benar di dalam hatiku, tapi aku juga tahu apa yang akan terjadi jika aku membuat keputusan itu."
Aisyah merasa tenggorokannya tercekat. "Apa yang kamu maksud, Arya? Apa yang kamu putuskan?"
Arya mengangkat kepalanya, menatap Aisyah dengan mata yang penuh kesedihan dan kebingungan. "Aisyah, aku mencintaimu. Aku mencintai keyakinan ini. Tapi aku tidak bisa kehilangan keluargaku. Mereka adalah bagian dari hidupku sejak aku lahir. Aku tidak siap untuk mereka pergi dari hidupku."
Air mata mulai menggenang di mata Aisyah. Ia tahu apa yang akan Arya katakan berikutnya, tetapi ia tidak siap mendengarnya.
"Aku... aku memutuskan untuk kembali pada keluargaku, Aisyah. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku tidak bisa hidup dengan pilihan ini jika itu berarti aku harus memutus hubungan dengan mereka."
Aisyah terdiam. Kata-kata Arya menggema di dalam dirinya, seperti dentuman yang menghancurkan segala harapannya. Arya telah memilih—dan itu bukan mereka.
Dengan suara yang hampir tak terdengar, Arya melanjutkan, "Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hubungan ini setelah keputusanku. Aku takut kita harus mengakhiri semuanya..."