Setelah mendengar keputusan Arya, Aisyah duduk terdiam, hatinya terasa seolah-olah hancur berkeping-keping. Kata-kata Arya bergema di dalam dirinya, menciptakan rasa sakit yang semakin dalam. Ia tidak pernah berpikir bahwa hari ini akan datang—hari di mana Arya harus memilih antara dia dan keluarganya, dan Arya memilih keluarganya. Aisyah tahu bahwa keluarga adalah bagian yang sangat penting bagi Arya, tetapi tetap saja, mendengar keputusan itu langsung dari mulutnya membuat dunia Aisyah terasa runtuh.
Mata Aisyah yang berkaca-kaca menatap Arya, mencoba memahami perasaan pria di hadapannya. Arya tampak sangat tertekan, seperti seseorang yang telah mengambil keputusan yang menghancurkan hatinya sendiri. Namun, di dalam hati Aisyah, ia tahu bahwa keputusan ini lebih dari sekadar tentang mereka berdua—ini tentang perjalanan hidup yang begitu kompleks, antara cinta, keyakinan, dan hubungan keluarga.
"Arya...," suara Aisyah bergetar saat ia berusaha berbicara. "Apakah ini benar-benar keputusan yang kamu inginkan? Apakah kamu sudah mempertimbangkan semuanya?"
Arya menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah taman yang kini mulai dihiasi oleh sinar matahari sore. "Aku sudah mempertimbangkannya, Aisyah. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, dan mungkin ini bukan keputusan yang kamu harapkan. Tapi aku tidak bisa... Aku tidak bisa hidup dengan memutuskan hubungan dengan keluargaku. Mereka telah menjadi segalanya bagiku, dan meskipun aku tahu bahwa Islam adalah jalan yang benar, aku tidak bisa menjalani hidup ini tanpa dukungan mereka."
Aisyah merasa tangannya gemetar. Sejenak ia ingin memeluk Arya, memberikan penghiburan yang mungkin mereka berdua butuhkan saat ini, tetapi ia tahu bahwa perasaan sakit di dalam dirinya terlalu mendalam. Arya telah memilih, dan dalam pilihannya, Aisyah merasa ditinggalkan. Namun, di balik rasa sakit itu, Aisyah juga tahu bahwa ini bukanlah hal yang mudah bagi Arya. Ia menyaksikan betapa berat beban yang dipikul pria yang duduk di hadapannya.
"Kamu tahu, Arya," Aisyah mulai berkata, meski suaranya masih bergetar, "aku selalu ingin yang terbaik untukmu. Selama ini, aku merasa kita sudah melalui begitu banyak hal bersama. Perjalanan ini tidak mudah untuk kita berdua. Tapi jika keputusanmu adalah kembali kepada keluargamu, aku tidak akan menghalangimu. Aku tidak bisa memintamu memilih antara keluarga dan aku, karena aku tahu itu adalah pilihan yang sangat sulit."
Arya menundukkan kepalanya. "Aku mencintaimu, Aisyah. Ini bukan tentang perasaan yang hilang, tapi tentang tanggung jawabku sebagai anak. Aku tidak bisa melupakan bagaimana keluargaku telah membesarkanku, bagaimana mereka selalu ada untukku selama ini. Mungkin ini terdengar egois, tapi aku tidak bisa membiarkan mereka pergi."
Air mata yang selama ini ditahan Aisyah akhirnya jatuh, namun ia tetap mencoba menjaga nada bicaranya tetap lembut. "Aku mengerti, Arya. Mungkin ini adalah jalan yang harus kita hadapi. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan pernah membenci pilihanmu. Aku hanya berharap, suatu saat, kamu bisa menemukan kedamaian dengan dirimu sendiri."
Keduanya duduk dalam keheningan yang panjang. Tidak ada kata-kata yang mampu menghapus rasa sakit yang mereka rasakan saat itu. Aisyah tahu bahwa hubungan ini sudah berada di ujung, dan meskipun ada keinginan untuk mempertahankannya, kenyataan telah membawanya pada perpisahan.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Arya akhirnya berdiri. "Aku pikir... ini adalah perpisahan kita, Aisyah. Aku sangat menyesal. Aku berharap segalanya bisa berbeda, tapi aku harus kembali ke keluargaku."
Aisyah menatap Arya, mencoba mengumpulkan kekuatan terakhir untuk tersenyum. "Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari, Arya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu."
Arya tampak tersiksa, tetapi ia tahu tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Setelah mengucapkan salam perpisahan terakhirnya, ia berjalan pergi meninggalkan Aisyah di taman itu, meninggalkan segalanya—kenangan, harapan, dan cinta yang dulu mereka bangun bersama.
Sepeninggal Arya, Aisyah merasa dunia di sekitarnya berubah menjadi sepi. Taman yang biasanya memberikan rasa damai kini terasa dingin dan hampa. Ia duduk sendirian di bangku itu, merenungi setiap momen yang telah ia lalui bersama Arya. Setiap senyuman, tawa, dan bahkan pertengkaran kecil mereka kini terasa jauh di masa lalu, seolah-olah itu semua hanyalah mimpi.
Aisyah mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa sakit di dadanya terlalu besar. Keputusan Arya telah mengguncang hidupnya. Meskipun ia tahu bahwa ini mungkin adalah yang terbaik untuk Arya, perasaan kehilangan itu begitu kuat hingga ia merasa sulit untuk menerima kenyataan.
Ketika malam tiba, Aisyah memutuskan untuk pulang. Jalanan yang biasanya ia lewati terasa lebih panjang, lebih sunyi. Sesampainya di kamarnya, ia tidak bisa menahan air matanya lagi. Tangisnya pecah, membanjiri pipinya saat ia merasakan kehilangan yang begitu besar. Dalam keheningan malam, ia berdoa, memohon agar Allah memberinya kekuatan untuk melalui semua ini.
"Aku percaya, Ya Allah... jika ini adalah jalan yang Engkau takdirkan untukku, maka berikanlah aku kekuatan untuk melaluinya," bisik Aisyah dalam tangisnya.
Beberapa minggu berlalu setelah perpisahan itu, dan Aisyah mencoba menjalani hari-harinya dengan normal. Meski luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh, Aisyah tahu bahwa ia harus terus maju. Perlahan, ia mulai kembali fokus pada studinya dan kegiatan kampus, mencoba menemukan makna baru dalam hidup tanpa Arya di sisinya.
Faris, yang selama ini selalu ada sebagai sahabat, tetap memberikan dukungan penuh kepada Aisyah. Meskipun Faris tahu bahwa hati Aisyah masih terluka, ia tidak pernah memaksa Aisyah untuk bercerita tentang perasaannya. Ia selalu ada ketika Aisyah membutuhkan tempat untuk berbicara atau sekadar mengalihkan pikirannya dari rasa sakit.
Suatu hari, Faris mengajak Aisyah untuk pergi ke acara sosial kampus. "Aku tahu kamu butuh waktu sendiri, Aisyah, tapi aku pikir kamu juga butuh keluar dan bersosialisasi sedikit. Bagaimana kalau kamu ikut aku ke acara ini? Tidak ada tekanan, hanya sekadar berbincang-bincang dengan teman-teman."
Aisyah berpikir sejenak sebelum akhirnya setuju. Mungkin, pikirnya, ini adalah kesempatan untuk melupakan sejenak luka di hatinya. Mereka pergi ke acara tersebut bersama-sama, dan Aisyah merasa sedikit lebih baik. Berada di tengah teman-teman yang peduli padanya membantu Aisyah untuk sementara melupakan kesedihannya.
Namun, di tengah acara itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Aisyah sedang berbicara dengan seorang teman ketika ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. Awalnya, Aisyah ragu untuk membukanya, tetapi dorongan hati membuatnya membaca pesan itu.
"Aisyah, ini aku, Arya. Maafkan aku menghubungimu tiba-tiba setelah perpisahan kita, tapi aku merasa ada sesuatu yang harus aku sampaikan. Ada sesuatu yang penting yang kamu perlu tahu... Aku tidak bisa menjelaskannya lewat pesan. Bisakah kita bertemu besok di tempat biasa?"
Jantung Aisyah berdetak lebih cepat setelah membaca pesan itu. Apa yang Arya maksud? Mengapa setelah semua yang terjadi, Arya tiba-tiba ingin bertemu lagi? Ada apa dengan perubahan sikap ini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya, dan perasaannya campur aduk antara rasa ingin tahu, khawatir, dan kebingungan.
Setelah beberapa detik berpikir, Aisyah membalas pesan tersebut dengan singkat, "Aku akan datang."
Namun, di dalam hatinya, Aisyah tidak tahu apa yang akan ia hadapi esok hari. Arya telah membuat keputusan untuk kembali pada keluarganya, jadi mengapa ia tiba-tiba ingin bertemu lagi? Apa yang sebenarnya terjadi?
Pertemuan esok hari mungkin akan membawa jawaban, atau justru menambah luka baru di hatinya.