Pesan dari Arya tiba-tiba mengacaukan pikiran Aisyah. Setelah semua yang telah terjadi, setelah pengakuan Arya tentang pertunangannya, kini Arya kembali ingin bertemu untuk mengungkapkan sesuatu yang lain. Apa lagi yang bisa dikatakan Arya? Aisyah berpikir, mencoba mencerna apa yang mungkin belum terungkap, tetapi setiap kemungkinan yang ia bayangkan hanya membuat hatinya semakin berat.
Aisyah mendapati dirinya terjebak dalam dilema. Ia ingin tahu apa yang Arya maksud, namun di sisi lain, ia merasa tak sanggup lagi menghadapi lebih banyak kebenaran yang menyakitkan. Perasaan campur aduk antara rasa penasaran dan rasa sakit mulai menguasai dirinya. Apakah ia harus bertemu Arya sekali lagi? Ataukah lebih baik ia melepaskan semuanya dan menjaga hatinya agar tidak terluka lebih dalam?
Setelah beberapa menit merenung, Aisyah menatap pesan Arya sekali lagi. Arya mengatakan ini penting. Dan meskipun Aisyah tahu bahwa pertemuan ini mungkin akan membuka luka yang lebih dalam, ia merasa bahwa ia harus mendengarkan apa yang ingin dikatakan Arya. Mungkin ini adalah kesempatan terakhir untuk menutup babak yang tak pernah selesai dalam hidup mereka.
Dengan tangan yang gemetar, Aisyah mengetik balasan:
**"Baik, Arya. Kita bisa bertemu di tempat biasa sore ini."**
***
Waktu berjalan lambat sepanjang hari. Aisyah menghabiskan waktu di kelas, tetapi pikirannya terus melayang pada pertemuan dengan Arya nanti. Ia mencoba fokus pada materi kuliah, tetapi setiap kali ia menundukkan kepala untuk menulis, wajah Arya kembali muncul di benaknya. Seluruh emosi yang pernah ia rasakan—cinta, kecewa, dan kebingungan—semua kembali membanjiri pikirannya.
Ketika akhirnya jam perkuliahan berakhir, Aisyah merasa sedikit lebih tenang. Ia berjalan menuju taman kampus tempat mereka sering bertemu, tetapi kali ini langkah kakinya terasa lebih berat. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan, firasat yang mengatakan bahwa pertemuan kali ini akan mengubah segalanya—entah menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Saat ia tiba di taman, Arya sudah duduk di bangku yang sama, menunggu dengan wajah yang tampak lebih lelah daripada sebelumnya. Matanya yang sayu menatap lurus ke depan, dan Aisyah bisa merasakan ada beban besar di hatinya. Saat Arya menyadari kehadiran Aisyah, ia segera berdiri, tampak ragu-ragu sejenak sebelum kembali duduk.
Aisyah mendekat dan duduk di sampingnya, tetapi tidak ada yang berbicara. Keheningan yang begitu pekat menyelimuti mereka, hanya suara angin yang berhembus lembut di sekitar taman. Aisyah mencoba menenangkan hatinya yang berdebar, menunggu Arya untuk membuka percakapan.
Setelah beberapa saat, Arya menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara, suaranya terdengar berat, seolah-olah ia sedang berusaha keras mengumpulkan keberanian.
"Aisyah... Aku tahu ini sulit untukmu, dan aku sangat menyesal telah membuatmu melewati semua ini. Tapi ada sesuatu yang harus aku jelaskan sebelum kita bisa melangkah lebih jauh, baik bersama atau masing-masing."
Aisyah menatap Arya dengan penuh perhatian, merasa cemas dengan apa yang akan Arya katakan. "Apa yang ingin kamu jelaskan, Arya? Aku sudah merasa sangat terluka dengan semua yang terjadi, jadi jika ada sesuatu lagi yang kamu sembunyikan, lebih baik kamu katakan sekarang."
Arya menunduk, tampak malu dan penuh rasa bersalah. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku merasa aku harus jujur sepenuhnya. Keluargaku, mereka... mereka tidak hanya memaksaku bertunangan. Ada alasan di balik pertunangan itu yang belum pernah aku katakan padamu."
Aisyah merasakan kegelisahan yang semakin membesar. "Alasan? Alasan apa, Arya?"
Arya menggigit bibirnya, tampak jelas bahwa ia kesulitan untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. "Keluargaku menekan aku untuk bertunangan karena... karena mereka tahu bahwa jika aku kembali memeluk Islam, aku akan kehilangan lebih dari sekadar hubungan dengan mereka."
Aisyah terdiam, menunggu Arya melanjutkan penjelasannya.
"Keluargaku memiliki... bisnis besar, dan mereka berencana menyerahkannya padaku. Tapi ada syaratnya, Aisyah. Mereka hanya akan mewariskannya jika aku tetap setia pada keyakinan mereka dan menikah dengan orang yang mereka pilih. Kalau aku tidak menurut, bukan hanya mereka yang akan memutuskan hubungan dengan aku, tapi juga mereka akan mencoret namaku dari segala rencana bisnis keluarga."
Aisyah merasa jantungnya berdebar lebih keras. Bisnis keluarga? Warisan? Ia tidak pernah menduga bahwa keputusan Arya untuk meninggalkan Islam dan bertunangan dengan orang lain memiliki konsekuensi sebesar itu. Aisyah tidak bisa berkata-kata. Ini jauh lebih kompleks dari yang ia bayangkan.
Arya melanjutkan, suaranya terdengar semakin lelah dan penuh tekanan. "Aku terjebak, Aisyah. Keluargaku mengancam akan memutus semua hubungan jika aku tetap pada keyakinan ini. Dan meskipun aku ingin kembali ke Islam, aku takut kehilangan segalanya. Bukan hanya keluargaku, tapi juga masa depanku, warisan yang selama ini mereka rencanakan untuk aku ambil alih."
Aisyah terdiam, merasa semakin bingung. "Jadi, kamu memilih keluargamu dan warisan itu di atas keyakinanmu? Di atas hubungan kita?"
Arya menatap Aisyah dengan tatapan yang penuh rasa bersalah. "Aku tidak tahu lagi, Aisyah. Aku berada di tengah tekanan yang begitu besar. Aku merasa kehilangan arah, dan aku tidak bisa melihat jalan keluarnya. Aku tahu ini salah, aku tahu ini bukan jalan yang benar, tapi aku tidak tahu bagaimana cara melawannya."
Aisyah menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berkecamuk. "Arya, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku mengerti tekanan yang kamu hadapi, tapi keputusan untuk memilih keyakinanmu tidak seharusnya bergantung pada hal-hal seperti warisan atau tekanan keluarga. Ini adalah tentang siapa dirimu, tentang apa yang kamu yakini. Kalau kamu merasa ini adalah jalan yang benar, kamu harus memperjuangkannya, bukan meninggalkannya hanya karena ancaman kehilangan materi."
Arya terdiam, menundukkan kepala dalam-dalam. "Aku tahu, Aisyah. Aku tahu. Tapi kenyataan ini terlalu berat bagiku. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku, tapi di sisi lain, aku juga merasa kehilangan diriku sendiri."
Aisyah menggelengkan kepala, merasa sedih dan marah sekaligus. "Arya, kamu harus membuat pilihan. Jika kamu memilih untuk tetap bersama keluargamu demi warisan dan bisnis mereka, maka aku tidak bisa ada di sampingmu. Aku tidak bisa menjadi bagian dari hidup yang penuh kebohongan dan ketidakpastian ini."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Arya terlihat seperti seseorang yang telah kehilangan segala harapan, terjebak dalam dilema antara keluarganya dan keyakinannya, antara masa depan yang telah direncanakan untuknya dan jalan yang mungkin ia yakini sebagai kebenaran.
Aisyah berdiri dari bangku, merasa bahwa ini adalah akhir dari segalanya. "Arya, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini jika kamu tidak bisa menentukan di mana hatimu berada. Aku tidak bisa hidup dengan seseorang yang terus terombang-ambing di antara dua dunia. Kamu harus membuat keputusan yang jelas."
Arya menatap Aisyah dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku tahu, Aisyah. Aku tahu aku telah mengecewakanmu. Aku hanya butuh waktu..."
Aisyah menggelengkan kepala. "Waktu tidak akan mengubah apa pun jika kamu tidak berani mengambil sikap. Aku akan pergi sekarang, Arya. Aku berharap kamu bisa menemukan kedamaian dalam hidupmu. Tapi sampai kamu tahu apa yang benar-benar kamu inginkan, jangan mencariku lagi."
Aisyah berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Arya yang masih duduk di bangku, terdiam dalam rasa bersalah dan kebingungan. Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kebingungan Arya.
Namun, saat ia hampir mencapai pintu keluar taman, ponselnya kembali bergetar. Ada pesan lain dari Arya.
**"Aisyah, ada satu hal lagi yang belum aku katakan. Sesuatu yang jauh lebih besar dari apa pun yang telah kukatakan sebelumnya. Kita harus bertemu lagi... Aku mohon."**
Aisyah berhenti di tempat, tubuhnya membeku. Apa lagi yang belum dikatakan Arya? Apa yang bisa lebih besar dari semua pengakuan yang baru saja ia dengar?