Aisyah berhenti di ambang pintu keluar taman, ponsel di tangannya masih menyala menampilkan pesan dari Arya. Pesan yang singkat namun berat, seolah menyimpan kebenaran yang lebih besar dari segala pengakuan yang sudah Arya katakan sebelumnya. Rasa penasaran bercampur ketakutan merayapi hati Aisyah. Apa lagi yang belum diungkapkan Arya? Bagaimana mungkin ada sesuatu yang lebih besar dari pertunangan, tekanan keluarga, dan ancaman warisan?
Aisyah menatap pesan itu selama beberapa detik sebelum perlahan mengetik balasan:
**"Apa maksudmu, Arya? Apa lagi yang belum kamu katakan?"**
Ia mengirimkan pesan itu dengan hati yang berat. Tangannya bergetar saat ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia berharap pesan itu tidak pernah datang, bahwa ini hanyalah akhir dari segala kesulitan yang mereka hadapi. Tetapi sesuatu dalam hatinya mengatakan bahwa ini belum selesai.
Aisyah berjalan menjauh dari taman dengan langkah yang ragu, tetapi pikirannya terus dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang belum terjawab. Keheningan malam itu terasa lebih menekan daripada biasanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang menariknya kembali ke tempat Arya duduk, menunggu untuk menceritakan bagian terakhir dari cerita yang tak pernah selesai ini.
Namun, Aisyah memutuskan untuk tidak kembali. Setidaknya untuk malam ini, ia tidak ingin terjebak lagi dalam kebingungan dan drama yang melibatkan Arya. Ia butuh waktu untuk merenung, untuk menenangkan pikirannya sebelum menghadapi apa pun yang mungkin Arya sembunyikan.
***
Keesokan paginya, Aisyah terbangun dengan perasaan cemas. Malam sebelumnya ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus berputar pada pesan terakhir Arya, mencoba menebak-nebak apa yang belum terungkap. Meskipun Aisyah berusaha untuk menjaga jarak, ia tahu bahwa cepat atau lambat ia harus menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Arya telah berulang kali membuat keputusan yang menyakitkan, dan Aisyah tahu bahwa pertemuan berikutnya bisa saja menjadi penentu arah masa depan mereka—atau lebih buruk lagi, membuka luka baru yang lebih dalam.
Setelah menghabiskan waktu merenung selama beberapa jam, Aisyah memutuskan untuk menghubungi Arya dan menanyakan apa yang sebenarnya ia sembunyikan. Ia mengambil ponselnya dan mengetik:
**"Arya, aku akan menemuimu sore ini. Aku ingin mendengar apa yang belum kamu katakan."**
Aisyah mengirim pesan itu dengan perasaan tak menentu. Tak lama kemudian, balasan dari Arya datang.
**"Terima kasih, Aisyah. Aku akan menunggumu di tempat biasa. Aku benar-benar tidak bisa menyimpan ini lebih lama lagi."**
***
Sore itu, Aisyah pergi ke tempat yang telah mereka sepakati. Jantungnya berdegup kencang saat ia semakin mendekati taman yang selama ini menjadi tempat banyak kenangan bersama Arya. Setiap langkah terasa berat, dan ketakutan akan apa yang akan ia dengar terus menghantui pikirannya.
Saat Aisyah tiba di sana, Arya sudah menunggu, duduk di bangku yang sama dengan ekspresi wajah yang penuh kecemasan. Ia terlihat lebih lelah daripada sebelumnya, seolah-olah beban yang ditanggungnya semakin berat dari hari ke hari.
Aisyah berjalan mendekat dan duduk di samping Arya. Tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Hanya angin yang berhembus pelan, membawa serta suara dedaunan yang bergemerisik. Aisyah menatap Arya dengan hati-hati, menunggu kata-kata yang akan datang.
"Aku tahu kamu pasti lelah dengan semua ini, Aisyah," Arya akhirnya membuka percakapan dengan suara rendah. "Aku sudah membuatmu terlalu sering kecewa, dan aku tidak menyalahkanmu jika kamu ingin pergi sekarang."
Aisyah tetap diam, menunggu Arya untuk melanjutkan. Ia tidak ingin menanggapi terlalu cepat sebelum mendengar apa yang sebenarnya ingin Arya katakan.
Arya menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Apa yang akan aku katakan mungkin akan mengubah segalanya, lebih dari apa pun yang sudah kita lalui. Tapi aku tidak bisa terus menyembunyikannya lagi."
Aisyah merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ada firasat buruk yang mulai menyelimuti pikirannya, tetapi ia tetap menatap Arya, mempersiapkan dirinya untuk mendengar apa pun yang akan diucapkan.
"Aisyah," Arya mulai, suaranya hampir berbisik, "ada alasan lain mengapa keluargaku menekanku begitu keras untuk bertunangan... dan alasannya bukan hanya tentang warisan atau bisnis keluarga."
Aisyah menahan napas, menunggu kelanjutan dari kalimat itu.
"Aku... aku pernah terlibat dalam hubungan yang dalam dan serius sebelum kita bertemu," Arya melanjutkan, suaranya semakin berat dengan setiap kata yang keluar. "Dan perempuan itu... perempuan yang sekarang menjadi tunanganku... adalah orang yang pernah aku janjikan untuk menikahinya jauh sebelum aku bertemu denganmu."
Aisyah merasakan darahnya berhenti mengalir sejenak. Kata-kata Arya bagaikan tamparan keras yang menyadarkannya dari segala harapan yang mungkin masih tersisa di dalam hatinya.
"Apa... apa maksudmu, Arya?" tanya Aisyah, suaranya nyaris tak terdengar. "Kamu pernah berjanji untuk menikahi dia sebelum kita bertemu? Lalu kenapa kamu tidak pernah mengatakan hal ini sebelumnya? Kenapa kamu tidak pernah memberi tahu aku tentang hubunganmu dengan dia?"
Arya terlihat semakin tertekan, tetapi ia terus berbicara, meskipun kata-katanya terdengar semakin pelan. "Aku... aku tidak pernah ingin memberitahumu, Aisyah, karena aku tidak ingin kamu pergi. Ketika aku bertemu denganmu, aku merasa menemukan seseorang yang bisa membawaku ke arah yang benar. Kamu membantuku melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, dan aku mulai meragukan komitmen yang aku buat dengan perempuan itu. Tapi aku terlalu pengecut untuk memberitahumu sejak awal."
Aisyah terdiam. Ada rasa sakit yang begitu mendalam di hatinya, tetapi ia mencoba memahami situasi yang sedang dihadapi Arya. Namun, semakin Arya berbicara, semakin sulit bagi Aisyah untuk menerima kenyataan ini.
"Lalu kenapa kamu kembali padanya?" tanya Aisyah, suaranya terdengar lebih tegas kali ini. "Jika kamu meragukan komitmenmu dengannya, kenapa kamu memutuskan untuk bertunangan dengannya? Apa yang sebenarnya terjadi, Arya?"
Arya menundukkan kepala, tampak malu. "Keluargaku menekan aku untuk menepati janji itu. Mereka tahu tentang hubungan masa laluku dengannya, dan ketika mereka tahu bahwa aku mulai tertarik dengan Islam, mereka merasa aku mulai menjauh dari keluarga dan nilai-nilai mereka. Mereka pikir jika aku kembali ke perempuan itu dan menikahinya, aku akan kembali ke jalur yang mereka inginkan. Mereka menggunakan perasaanku yang masih tersisa untuknya sebagai alasan, dan aku... aku menyerah pada tekanan itu."
Aisyah merasakan hatinya semakin berat. Semua yang dikatakan Arya seolah membuka luka baru, memperjelas betapa rumit dan dalamnya masalah ini.
"Kamu menyerah pada tekanan keluargamu... tapi apa perasaanmu yang sebenarnya?" tanya Aisyah. "Apakah kamu masih mencintainya? Atau kamu hanya mengikuti apa yang diinginkan keluargamu?"
Arya mengangkat kepalanya, menatap Aisyah dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Aku tidak tahu, Aisyah. Aku benar-benar tidak tahu. Sebagian dari diriku masih peduli padanya karena masa lalu kami, tetapi aku juga tahu bahwa aku sudah menemukan sesuatu yang lebih berarti ketika aku bersamamu. Aku tidak pernah merencanakan untuk jatuh cinta padamu, tetapi itu terjadi, dan sekarang aku terjebak di antara dua dunia."
Aisyah merasa jantungnya semakin berat. Arya terjebak dalam dilema antara masa lalunya dan perasaannya yang baru, tetapi di tengah-tengah semuanya, Aisyah merasa dirinya menjadi korban dari kebingungan Arya.
"Ini bukan sekadar tentang perasaan, Arya," kata Aisyah akhirnya, suaranya tegas meskipun hatinya bergetar. "Ini tentang keputusan yang harus kamu buat. Kamu tidak bisa terus berada di antara dua dunia ini. Kamu tidak bisa terus membawa aku ke dalam kebingungan ini sementara kamu belum selesai dengan masa lalumu."
Arya menatap Aisyah dengan tatapan putus asa. "Aku tahu, Aisyah. Aku tahu aku harus membuat keputusan, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku tidak ingin kehilangan keluargaku, aku tidak ingin kehilangan masa laluku, tapi aku juga tidak ingin kehilanganmu."
Aisyah menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. "Arya, kamu harus memilih. Jika kamu ingin tetap bersama keluargamu dan bertunangan dengan perempuan itu, aku tidak bisa menjadi bagian dari hidupmu. Tapi jika kamu ingin menjalani hidup yang baru, kamu harus melepaskan masa lalumu dan komitmen yang pernah kamu buat."
**Bab 13: Pilihan yang Lebih Besar (Lanjutan)**
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Aisyah menunggu Arya untuk berkata sesuatu, namun dia tetap diam, terjebak dalam konflik batin yang semakin dalam. Seolah dunia berhenti sejenak saat Aisyah menunggu jawaban yang sepertinya tak kunjung datang. Namun, ia tahu bahwa Arya harus memilih, dan ia tak bisa terus hidup di tengah kebingungan ini.
Waktu seolah melambat saat mereka duduk di bangku itu. Arya mengangkat kepalanya, menatap Aisyah dengan mata yang penuh penyesalan dan kebingungan. "Aisyah... aku tahu kamu benar. Aku harus memilih. Tapi apa pun yang aku pilih, aku akan kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupku."
Aisyah mengangguk, suaranya terdengar lebih tenang daripada yang ia rasakan di dalam hatinya. "Aku mengerti, Arya. Tapi kamu tidak bisa terus berada di antara dua dunia ini. Kamu tidak bisa terus membohongi dirimu sendiri atau aku. Kamu harus memilih jalan yang benar-benar kamu yakini."
Arya menggigit bibirnya, terlihat semakin tersiksa oleh situasi yang dihadapinya. "Aku mencintaimu, Aisyah. Aku tahu itu. Tapi keluargaku... mereka bagian dari hidupku yang tidak bisa aku lepaskan begitu saja. Mereka akan hancur jika aku meninggalkan pertunangan ini, dan aku tidak tahu apakah aku bisa menanggung rasa bersalah itu."
Kata-kata Arya seolah menyayat hati Aisyah. Ia tahu betapa sulitnya melepaskan ikatan keluarga, tetapi di saat yang sama, Aisyah tidak bisa menunggu lebih lama untuk Arya memutuskan. "Arya, aku tidak memintamu untuk memilih aku atas keluargamu. Yang aku minta hanyalah kejelasan. Apakah kamu ingin hidup dalam kebingungan ini, atau kamu siap untuk memilih hidup yang kamu yakini benar?"
Arya menunduk, lalu perlahan mengangguk. "Kamu benar. Ini bukan hanya soal perasaan. Ini tentang jalan hidup yang aku pilih. Dan aku sadar, semakin aku bertahan di antara keduanya, semakin aku melukai kita berdua."
Aisyah menunggu, memberikan Arya ruang untuk berbicara lebih lanjut. Ia tahu bahwa ini adalah momen yang sangat sulit bagi Arya, dan apapun keputusan yang akan diambilnya, itu akan mengubah segalanya.
Arya menghela napas panjang, seolah menyiapkan dirinya untuk mengucapkan sesuatu yang sangat berat. "Aisyah, aku tidak bisa membuat keputusan ini sekarang, dan aku tidak ingin membuatmu menunggu lebih lama lagi. Aku perlu waktu untuk menemukan siapa diriku sebenarnya. Aku perlu waktu untuk mencari tahu apa yang benar-benar aku inginkan. Jika aku memilih untuk kembali ke keluargaku dan bertahan dengan pertunangan ini, itu adalah jalan yang aku pilih. Tapi jika aku merasa bahwa aku ingin menjalani hidup yang berbeda... aku akan datang kepadamu. Tapi aku tidak ingin kamu menunggu dalam ketidakpastian."
Aisyah merasakan hatinya hancur mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang sudah lama harus diambil. "Aku mengerti, Arya. Aku tidak bisa terus menunggu jika kamu sendiri belum yakin. Kamu harus menyelesaikan semuanya, baik dengan keluargamu, pertunanganmu, atau dengan dirimu sendiri. Aku tidak ingin hidup dalam bayang-bayang kebingungan ini."
Arya menatap Aisyah dengan tatapan yang penuh rasa sakit. "Aku minta maaf, Aisyah. Aku tidak pernah bermaksud melukaimu. Kamu adalah orang yang membuatku melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan aku tidak akan pernah melupakan itu. Tapi aku tidak ingin memaksakan diriku padamu atau membuatmu menunggu keputusan yang mungkin tidak akan pernah datang."
Aisyah menelan perasaan yang semakin menekan dadanya. "Aku menghargai kejujuranmu, Arya. Dan aku berharap yang terbaik untukmu. Tapi aku harus melindungi diriku juga. Jika kamu benar-benar ingin kembali padaku suatu hari nanti, aku berharap itu adalah keputusan yang telah kamu yakini sepenuhnya."
Arya mengangguk pelan, tampak hancur oleh pilihan yang harus ia buat. "Aku mengerti, Aisyah. Terima kasih atas segalanya. Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan untuk memahami diriku lebih baik."
Keduanya terdiam lagi, tetapi kali ini ada perasaan yang berbeda. Ada perpisahan yang nyata di antara mereka, perasaan bahwa keputusan yang diambil ini akan mengubah segalanya. Aisyah tahu bahwa mungkin ini adalah akhir dari segalanya, tetapi juga mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru—bagi mereka berdua.
***
Malam itu, Aisyah pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Meski hatinya terluka oleh perpisahan yang tak terelakkan, ia juga merasakan ketenangan yang aneh. Seolah-olah akhirnya ia bisa melepaskan beban yang selama ini menghantuinya. Arya telah membuat keputusannya untuk tidak memaksakan hubungan mereka, dan kini, Aisyah bisa melanjutkan hidup tanpa harus terus-menerus menunggu kepastian yang tak kunjung datang.
Namun, malam itu, saat Aisyah berdoa di atas sajadah, perasaannya tak bisa sepenuhnya tenang. Ia memohon petunjuk kepada Allah, meminta kekuatan untuk menghadapi segala kemungkinan di masa depan. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan meskipun Arya mungkin tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya, Aisyah berharap bahwa suatu hari nanti ia akan menemukan seseorang yang bisa bersamanya dengan keyakinan yang teguh.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Aisyah mencoba melanjutkan rutinitasnya. Ia kembali fokus pada studinya, berusaha menikmati setiap momen bersama teman-temannya, dan menjaga hatinya agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Namun, jauh di dalam hati, ia tahu bahwa perasaan untuk Arya belum sepenuhnya hilang. Ada bagian dari dirinya yang masih mengharapkan bahwa suatu hari Arya akan datang dengan jawaban yang lebih jelas, dengan hati yang lebih yakin.
***
Suatu sore, saat Aisyah sedang sibuk menyelesaikan tugas di perpustakaan, ponselnya bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Aisyah mengerutkan kening, merasa aneh karena tidak mengenali pengirimnya. Namun, saat ia membuka pesan itu, tubuhnya langsung tegang.
**"Aisyah, ini aku, Farah. Aku tahu kamu dan Arya pernah dekat. Aku tidak tahu apakah kamu tahu tentang pertunangan kami, tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku ingin bicara denganmu. Tolong, aku butuh bantuanmu."**
Aisyah membeku. Farah? Tunangan Arya menghubunginya? Apa yang sedang terjadi? Mengapa Farah, tunangan Arya, tiba-tiba ingin berbicara dengannya? Aisyah merasa kepalanya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja ia baca. Ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu yang lebih besar dari yang ia pikirkan.
Aisyah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Haruskah ia menanggapi pesan itu? Ataukah lebih baik ia menjauh dan tidak terlibat lebih dalam dalam masalah ini? Tapi rasa penasaran yang semakin besar mulai menyelimuti dirinya. Apa yang sebenarnya terjadi antara Arya dan Farah? Dan mengapa Farah mencari Aisyah untuk bicara?
Aisyah menatap pesan itu lagi, lalu menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa apapun yang akan terjadi setelah ini, itu akan membuka pintu ke rahasia yang lebih dalam.
Dengan tangan yang gemetar, Aisyah mengetik balasan:
**"Baik, Farah. Kita bisa bicara. Kapan dan di mana kita bisa bertemu?"**
Jawaban datang dengan cepat, dan malam itu, Aisyah mempersiapkan dirinya untuk pertemuan yang bisa mengubah arah hidupnya sekali lagi.