Keesokan harinya, Aisyah bangun dengan perasaan yang bercampur aduk. Pesan dari Arya semalam masih terngiang di benaknya, membangkitkan berbagai pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Mengapa Arya tiba-tiba ingin bertemu lagi setelah perpisahan yang begitu jelas? Apakah ia telah berubah pikiran, atau ada hal lain yang lebih mendesak?
Aisyah merasa bingung, bahkan sedikit takut. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi dalam pertemuan ini, tetapi hatinya terasa berat. Meski masih terluka oleh perpisahan mereka, ada bagian dari dirinya yang ingin memahami lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi pada Arya sejak keputusan besar itu diambil.
Setelah shalat Subuh, Aisyah menghabiskan beberapa saat dalam keheningan, berdoa agar pertemuan ini membawa kejelasan dan bukan rasa sakit tambahan. Di dalam doanya, ia memohon kekuatan, agar apa pun yang terjadi, ia bisa menerimanya dengan lapang dada.
Pagi itu, Aisyah merasa cemas. Pikirannya terus-menerus berputar, dan ia kesulitan untuk fokus pada rutinitasnya. Bahkan, makan pagi yang biasanya ia nikmati kini terasa hambar. Namun, ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang akan terjadi, itu adalah bagian dari takdir yang harus ia hadapi.
Ketika waktu mendekati siang, Aisyah memutuskan untuk pergi ke tempat yang Arya sebutkan dalam pesannya—taman kampus yang biasa mereka kunjungi. Taman itu selalu menjadi tempat mereka berbicara secara mendalam, dan kali ini, suasana yang biasanya menenangkan terasa penuh dengan ketegangan yang tidak biasa.
Aisyah tiba di taman dengan jantung yang berdebar. Ia melihat Arya sudah duduk di bangku yang sama seperti sebelumnya, memandang lurus ke depan dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Arya tampak lebih kurus, lebih lelah, seperti seseorang yang telah berjuang dengan perasaannya selama berhari-hari.
Aisyah berjalan perlahan ke arah Arya. Ketika Arya menyadari kehadirannya, ia berdiri, meskipun gerakannya tampak kaku. Tidak ada senyuman atau sapaan hangat seperti biasanya—hanya keheningan yang membentang di antara mereka.
"Arya," kata Aisyah dengan suara lembut, meskipun ia merasakan kekhawatiran yang terus meningkat. "Apa yang terjadi? Mengapa kamu ingin bertemu?"
Arya menatap Aisyah dengan tatapan yang dalam, seolah-olah sedang mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Untuk beberapa saat, ia tidak mengatakan apa pun, hanya memandang Aisyah dengan mata yang penuh perasaan.
"Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana," Arya akhirnya berbicara, suaranya pelan dan penuh tekanan. "Aku tidak ingin membingungkanmu lebih dari ini, tapi setelah perpisahan kita, ada sesuatu yang terus menghantuiku. Sesuatu yang tidak bisa aku abaikan."
Aisyah mengerutkan kening. "Apa maksudmu? Bukankah kamu sudah membuat keputusan untuk kembali pada keluargamu?"
Arya mengangguk, tetapi kemudian menundukkan kepala. "Ya, aku memang kembali pada keluargaku, dan aku mencoba menjalani hidupku sesuai dengan harapan mereka. Tapi semakin lama, semakin aku merasa bahwa aku telah membuat kesalahan. Keluargaku masih belum menerima sepenuhnya, meskipun aku mencoba memperbaiki hubungan kami. Namun, hati kecilku... hatiku tidak tenang, Aisyah."
Aisyah menatap Arya dengan penuh perhatian. "Apa maksudmu? Apa yang tidak tenang?"
Arya menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. "Keputusan untuk meninggalkan Islam... rasanya seperti aku mengkhianati diriku sendiri. Sejak aku meninggalkan keyakinan itu demi keluargaku, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Ada kekosongan yang tidak bisa diisi dengan apa pun, tidak peduli seberapa keras aku mencoba. Aku merasa seperti orang yang terjebak di antara dua dunia—di satu sisi, keluargaku, dan di sisi lain, keyakinan yang pernah aku pelajari dan mulai aku yakini sebagai kebenaran."
Kata-kata Arya membuat Aisyah terdiam. Ia bisa melihat betapa tersiksanya Arya, berada di tengah dilema yang sangat berat. Meskipun perpisahan mereka sudah terjadi, Aisyah tidak bisa mengabaikan rasa simpati dan empati yang ia rasakan terhadap Arya.
"Apakah ini berarti kamu ingin kembali memeluk Islam?" tanya Aisyah dengan hati-hati, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di dalam pikiran Arya.
Arya menatap Aisyah dengan tatapan yang kosong. "Aku tidak tahu, Aisyah. Aku ingin, tapi aku takut. Aku takut bahwa jika aku mengambil langkah itu lagi, keluargaku akan benar-benar meninggalkanku. Aku sudah kehilangan mereka sekali ketika aku mencoba mempelajari Islam, dan aku tidak yakin apakah aku bisa menanggung rasa sakit itu lagi."
Aisyah merasakan getaran emosional di dalam dirinya. Ia tidak tahu harus merasa senang atau justru semakin khawatir mendengar pergulatan batin Arya. Keinginan Arya untuk kembali memeluk Islam adalah sesuatu yang Aisyah harapkan, tetapi pada saat yang sama, ia mengerti bahwa ini bukanlah keputusan yang mudah bagi Arya. Tekanan dari keluarganya sangat besar, dan Aisyah tahu betapa sulitnya melawan perasaan bersalah terhadap orang-orang yang telah membesarkan kita.
"Arya, aku tahu bahwa ini sangat berat untukmu," kata Aisyah dengan lembut. "Kamu berada dalam posisi yang sangat sulit, dan aku tidak bisa membayangkan betapa tertekannya kamu saat ini. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—keputusan spiritualmu adalah sesuatu yang harus datang dari hatimu sendiri. Aku tidak bisa memberimu jawaban, dan keluargamu juga tidak bisa memaksakan apa pun. Hanya kamu yang tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan."
Arya mengangguk, meskipun ekspresinya tetap suram. "Aku tahu, Aisyah. Tapi semakin lama aku berpikir, semakin aku merasa terjebak. Setiap malam aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang benar? Apa yang seharusnya aku lakukan? Dan aku tidak bisa menemukan jawabannya."
Keheningan menyelimuti mereka. Aisyah mencoba mencerna semua yang baru saja dikatakan Arya. Ia ingin membantu, ingin memberikan nasihat yang bisa membuat Arya merasa lebih baik, tetapi ia juga tahu bahwa tidak ada jawaban yang mudah untuk situasi ini.
Setelah beberapa saat, Arya berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah. "Aku merasa... kehilangan arah. Aku mencoba menjalani hidup yang diinginkan oleh keluargaku, tapi rasanya semakin hampa. Dan semakin aku menjauh dari Islam, semakin aku merasa jauh dari diriku sendiri."
Aisyah merasa hatinya teriris mendengar pengakuan Arya. Ia bisa merasakan betapa dalam pergulatan batin yang Arya alami. Namun, sebelum ia bisa merespons, Arya melanjutkan, "Itulah kenapa aku menghubungimu, Aisyah. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak bisa sepenuhnya melupakan apa yang kita alami. Tidak hanya tentang hubungan kita, tapi juga tentang perjalanan spiritual yang kita jalani bersama. Aku tahu aku telah menyakitimu, dan aku tidak pantas meminta ini... tapi aku butuh bantuanmu."
Mendengar permohonan Arya membuat Aisyah semakin bingung. "Bantuan? Bantuan seperti apa, Arya?"
Arya menatap Aisyah dengan mata yang penuh dengan kebingungan dan rasa putus asa. "Aku butuh kamu untuk membantuku menemukan jalanku kembali. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, dan aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku ingin kembali memahami Islam, tapi aku takut aku tidak akan bisa kuat menghadapinya tanpa dukunganmu."
Kata-kata Arya membuat Aisyah terdiam sejenak. Hati kecilnya ingin langsung mengatakan bahwa ia akan membantu Arya dengan segala cara, tetapi ia juga tahu bahwa keputusan ini tidak bisa dianggap remeh. Aisyah tidak ingin Arya merasa bahwa satu-satunya alasan ia kembali kepada Islam adalah karena ia, karena itu hanya akan membuat hubungan mereka lebih rumit di masa depan.
"Arya, ini adalah perjalanan yang sangat pribadi," kata Aisyah akhirnya, dengan nada yang penuh kehati-hatian. "Aku bisa membantumu, tentu saja. Tapi kamu harus benar-benar yakin bahwa ini adalah sesuatu yang ingin kamu lakukan, bukan karena aku atau siapa pun. Aku tidak ingin kamu merasa tertekan atau terpaksa. Keputusan ini harus datang dari hati yang tulus, dan aku akan mendukung apa pun yang kamu pilih."
Arya menundukkan kepala lagi, seolah-olah sedang merenungkan kata-kata Aisyah. "Aku tahu. Aku tidak ingin terburu-buru, tapi aku merasa bahwa aku tidak bisa melalui ini sendiri. Dan kamu adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahami apa yang aku rasakan."
**Bab 11: Pertemuan yang Tak Terduga (Lanjutan)**
Aisyah terdiam, menatap Arya yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Di satu sisi, Aisyah merasakan keinginan yang kuat untuk membantu Arya kembali ke jalan yang pernah ia pilih, tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ini adalah perjalanan yang sangat pribadi. Keterlibatannya harus datang dari niat tulus untuk mendukung, bukan memaksakan.
Setelah beberapa saat, Aisyah menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berbicara. "Arya, aku tahu kamu sedang mengalami kebingungan yang luar biasa. Tapi aku juga harus jujur, aku tidak ingin hubungan kita menjadi alasan utama kamu untuk kembali memeluk Islam. Keyakinan itu harus datang dari hatimu sendiri, bukan dari ketergantungan atau keinginan untuk memperbaiki apa yang telah terjadi di antara kita."
Arya menatap Aisyah dengan mata yang penuh harap, tetapi ada keraguan di sana. "Aku mengerti, Aisyah. Aku tidak ingin membuatmu merasa bahwa aku hanya kembali ke Islam karena kamu. Namun, aku tidak bisa mengabaikan apa yang kita alami bersama, dan bagaimana itu mempengaruhiku. Aku tahu aku membuat keputusan yang salah ketika aku meninggalkan Islam, dan aku tidak bisa mengabaikan rasa kehilangan itu."
Aisyah mengangguk, mencoba memahami dari sudut pandang Arya. "Kamu harus yakin dengan apa yang kamu inginkan, Arya. Jika kamu merasa ada sesuatu yang hilang, dan keyakinan itu adalah jawabannya, maka kamu harus mengejarnya dengan penuh ketulusan. Tapi aku juga harus melindungi diri kita dari mengulangi kesalahan yang sama. Aku tidak ingin kita masuk dalam situasi yang lebih membingungkan jika kamu belum benar-benar siap."
Arya terdiam, merenungkan kata-kata Aisyah. Di wajahnya terpancar kebingungan yang mendalam, tetapi juga ketulusan yang nyata. "Aku paham, Aisyah. Aku tidak ingin membuat situasi ini lebih sulit dari yang seharusnya. Mungkin aku butuh lebih banyak waktu untuk benar-benar memahami ke mana aku akan melangkah. Tapi aku tahu satu hal: Aku tidak ingin menjalani hidup ini dengan rasa hampa lagi. Dan aku merasa Islam bisa mengisi kekosongan itu."
Aisyah mendengarkan dengan seksama. Hatinya bercampur aduk antara keinginan untuk membantu Arya dan kekhawatiran bahwa keputusan ini belum sepenuhnya matang. Tetapi ia juga tahu bahwa perjalanan spiritual adalah sesuatu yang terus berproses. Tidak ada yang bisa memaksa atau mempercepatnya.
"Jika itu yang kamu rasakan, Arya, aku akan mendukungmu," kata Aisyah dengan lembut. "Tapi kamu harus berjalan dengan langkahmu sendiri. Aku akan selalu ada di sini jika kamu butuh seseorang untuk bicara atau butuh dukungan. Tapi keputusan untuk kembali memeluk Islam harus datang dari dirimu sendiri."
Arya menunduk, tersenyum lemah. "Terima kasih, Aisyah. Aku tahu aku banyak meminta darimu, dan aku sangat menghargai kesabaranmu. Aku akan mencoba menemukan jalanku, dan ketika aku siap, aku berharap kamu masih ada di sisiku."
Aisyah tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum kecil dan memberikan Arya anggukan pengertian. Meski hatinya masih penuh pertanyaan, ia merasa lega telah jujur dengan dirinya sendiri dan dengan Arya.
***
Beberapa hari berlalu, dan Aisyah kembali menjalani hari-harinya. Meski pertemuan dengan Arya membawanya ke dalam pusaran emosi yang mendalam, ia tetap berusaha menjaga keseimbangan dalam hidupnya. Ia tidak ingin terlalu terbawa oleh harapan yang mungkin hanya akan membawa kekecewaan di kemudian hari.
Arya tidak menghubunginya selama beberapa hari berikutnya, dan Aisyah merasa itu adalah hal yang baik. Ia ingin memberikan Arya ruang untuk benar-benar merenungi keputusan yang ia ambil. Selama waktu itu, Aisyah juga mendekatkan dirinya kepada Allah, memohon petunjuk agar diberi kekuatan untuk menghadapi apapun yang akan terjadi di masa depan.
Namun, di balik semua ketenangan yang ia coba pertahankan, Aisyah tidak bisa sepenuhnya menghilangkan kekhawatirannya. Ia tahu bahwa meskipun Arya berusaha menemukan jalannya kembali, tekanan dari keluarga Arya masih sangat kuat. Dan itu bisa saja menghalangi Arya dari membuat keputusan yang benar-benar ia inginkan.
Suatu malam, saat Aisyah sedang bersiap-siap untuk tidur, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Arya.
**"Aisyah, aku butuh bicara denganmu. Aku telah memikirkan ini selama beberapa hari terakhir, dan aku merasa ada sesuatu yang harus kamu ketahui."**
Aisyah merasakan dadanya berdebar. Pesan itu singkat, tetapi cukup untuk membuatnya gelisah. Apa yang ingin Arya sampaikan? Apakah Arya telah menemukan jawabannya? Ataukah ada sesuatu yang lain yang lebih serius?
Aisyah membalas pesan itu dengan singkat, "Kapan dan di mana kita bisa bertemu?"
Tidak butuh waktu lama sebelum Arya membalas. **"Besok di tempat biasa. Ada hal penting yang harus aku jelaskan kepadamu."**
Kata-kata itu, "hal penting", membuat Aisyah semakin cemas. Ada firasat dalam dirinya bahwa pertemuan ini akan membawa kabar besar, tetapi ia tidak bisa memutuskan apakah itu kabar baik atau buruk. Malam itu, Aisyah berjuang untuk tidur, pikirannya dipenuhi oleh spekulasi tentang apa yang akan Arya katakan padanya esok hari.
***
Keesokan harinya, Aisyah pergi ke tempat biasa mereka bertemu—taman kampus yang telah menjadi saksi banyak percakapan penting di antara mereka. Arya sudah menunggu di sana, duduk di bangku dengan wajah yang serius. Dari kejauhan, Aisyah bisa melihat ekspresi tegang di wajahnya, dan itu membuat kegelisahan Aisyah semakin meningkat.
Setelah Aisyah duduk di samping Arya, ada keheningan yang cukup lama sebelum Arya akhirnya mulai berbicara.
"Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku harus memberitahumu sekarang," kata Arya dengan nada datar.
Aisyah mengernyit, menunggu Arya melanjutkan.
"Aisyah...," Arya menghela napas panjang, tampak sulit untuk mengucapkan kata-kata yang ada di pikirannya. "Setelah mempertimbangkan semuanya, aku merasa ada satu hal yang belum aku katakan. Hal yang aku sembunyikan, karena aku takut itu akan merusak semuanya."
Aisyah semakin bingung. "Apa maksudmu, Arya? Apa yang kamu sembunyikan?"
Arya menunduk, menatap tanah di bawah kakinya. "Aku...," suaranya bergetar. "Aku telah membuat keputusan penting sebelum kita berpisah dulu. Sesuatu yang aku tidak pernah berani katakan karena aku takut apa yang akan terjadi jika kamu mengetahuinya."
Hati Aisyah mulai berdebar lebih kencang. Apa yang Arya sembunyikan selama ini? Rasa takut mulai merayap di dalam dirinya.
"Apa yang kamu maksud, Arya? Tolong jelaskan," desak Aisyah dengan nada penuh kekhawatiran.
Arya mengangkat kepalanya, menatap Aisyah dengan mata yang penuh penyesalan. "Aku... aku telah bertunangan."
Kata-kata itu langsung menghantam Aisyah seperti badai yang tak terduga. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya seakan berhenti sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.
"Bertunangan?" bisik Aisyah, hampir tidak bisa mempercayai telinganya. "Kapan... kapan itu terjadi?"
Arya menundukkan kepala, tidak bisa menatap Aisyah. "Beberapa minggu setelah kita berpisah... keluargaku mengatur semuanya. Mereka berpikir bahwa pernikahan ini akan memperbaiki hubungan kami, dan aku merasa tertekan untuk setuju. Aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu."
Aisyah merasakan udara di sekitarnya semakin berat. Rasa sakit yang begitu mendalam melanda dirinya. Arya, orang yang ia cintai, telah bertunangan dengan orang lain? Dan selama ini ia tidak tahu apa-apa? Pikirannya berputar, tidak bisa menerima kenyataan itu.
"Kenapa kamu tidak pernah bilang, Arya?" tanya Aisyah, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan. "Kenapa kamu membiarkan aku berpikir bahwa ada kesempatan untuk kita? Kenapa kamu tidak jujur sejak awal?"
Arya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tampak sangat putus asa. "Aku tidak bisa, Aisyah. Aku tidak ingin melukaimu lebih dari ini. Tapi sekarang... aku tidak bisa menyembunyikannya lagi."
Aisyah merasa dunia di sekitarnya runtuh. Semua harapan yang ia bangun setelah pertemuan mereka sebelumnya kini hancur berkeping-keping. Arya telah bertunangan. Dan meskipun Arya mengatakan ia ingin menemukan jalannya kembali ke Islam, kenyataan bahwa ia sudah terikat dengan orang lain membuat segala sesuatunya jauh lebih rumit.
**Bab 11: Pertemuan yang Tak Terduga (Lanjutan)**
"Arya..." bisik Aisyah, suaranya nyaris tenggelam oleh rasa sakit yang tiba-tiba menelannya. "Bagaimana bisa kamu melakukan ini padaku? Bagaimana bisa kamu tidak memberitahuku tentang pertunangan itu, padahal kamu tahu apa yang kita alami?"
Arya menatap Aisyah dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Aisyah, aku benar-benar minta maaf. Aku... aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya. Semuanya terjadi begitu cepat, dan aku terjebak dalam situasi yang tidak bisa aku kendalikan. Keluargaku menekan aku untuk bertunangan setelah perpisahan kita, dan saat itu aku merasa kehilangan arah. Aku takut jika aku memberitahumu, kamu akan semakin terluka. Tapi aku juga tidak bisa terus berbohong."
Aisyah merasa dadanya sesak, seolah-olah seluruh beban dunia sedang menghimpitnya. Semua yang ia harapkan, semua perasaan yang ia bangun sejak pertemuan mereka sebelumnya kini hancur berkeping-keping. Arya, orang yang ia cintai dan yang pernah ia percayai, kini sudah terikat dengan orang lain. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu dalam, dan ia tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu tahu betapa beratnya perpisahan kita, Arya. Dan sekarang kamu mengatakan ini, setelah semua yang telah kita bicarakan?" Suara Aisyah bergetar, air mata yang tak tertahankan mulai mengalir di pipinya.
Arya mencoba menjelaskan, meskipun kata-katanya terdengar hampa. "Aisyah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Tapi keluargaku... mereka terus menekan aku, dan aku merasa tidak punya pilihan lain."
Aisyah menggelengkan kepala, air matanya terus mengalir. "Lalu kenapa kamu datang kembali kepadaku, Arya? Kenapa kamu meminta bantuanku untuk menemukan jalanmu kembali, padahal kamu sudah bertunangan dengan orang lain? Kamu membuatku berharap, padahal kamu tahu kenyataannya."
Arya terlihat semakin putus asa. "Aku tidak bermaksud membuatmu berharap, Aisyah. Aku benar-benar ingin kembali ke Islam. Tapi aku... aku tidak bisa menghadapi keluargaku sendirian, dan aku tidak tahu harus bagaimana dengan pertunangan ini. Semuanya terasa salah, dan aku merasa tersesat."
Aisyah terdiam sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar. Ia merasa seperti telah dikhianati dua kali—pertama ketika Arya meninggalkannya untuk keluarganya, dan sekarang dengan kenyataan bahwa Arya telah bertunangan tanpa memberitahunya. Rasa sakit itu begitu kuat hingga ia merasa seolah-olah tubuhnya lemah, hampir tak mampu menahan beban emosional ini.
"Arya, kamu tidak hanya tersesat, tapi kamu juga membuatku tersesat bersamamu. Aku tidak bisa memahami bagaimana kamu bisa berada di dua dunia ini, memohon bantuanku untuk kembali ke Islam sementara di sisi lain, kamu sudah memiliki komitmen dengan orang lain."
Arya terdiam, tidak ada lagi yang bisa ia katakan untuk membela diri. Aisyah bisa melihat betapa hancurnya Arya, tetapi itu tidak mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Perasaan campur aduk, antara kecewa, marah, dan rasa kehilangan yang mendalam, menguasai Aisyah.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang," kata Arya akhirnya, suaranya pelan dan penuh penyesalan. "Aku benar-benar tidak tahu."
Aisyah menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berkata. "Aku pikir kamu perlu waktu untuk menyelesaikan ini sendiri, Arya. Aku tidak bisa berada di antara dirimu, keluargamu, dan pertunanganmu. Kamu harus memilih jalanmu dengan jujur, tanpa melibatkan aku di tengah-tengah kebingunganmu."
Arya menatap Aisyah dengan tatapan putus asa. "Jadi, kamu ingin aku pergi?"
Aisyah menggelengkan kepala perlahan, tetapi tetap dengan tatapan tegas. "Aku tidak ingin kamu pergi, Arya. Tapi aku juga tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini. Kamu harus menyelesaikan semua ini dengan keluargamu dan pertunanganmu, sebelum kamu bisa menemukan jalanmu sendiri."
Keheningan yang menyakitkan kembali menyelimuti mereka. Arya terdiam, menyadari bahwa ini mungkin adalah akhir dari segalanya. Tidak ada yang bisa ia katakan atau lakukan untuk memperbaiki situasi saat ini. Ia telah terjebak dalam pilihannya sendiri, dan sekarang ia harus menghadapi konsekuensinya.
"Baiklah," kata Arya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku akan pergi. Tapi Aisyah, tolong ingat bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku hanya mencoba menemukan jalan yang benar, meskipun aku tahu aku telah membuat banyak kesalahan."
Aisyah tidak menjawab. Ia hanya menatap Arya untuk terakhir kalinya sebelum Arya berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan taman dengan langkah yang lambat dan penuh penyesalan. Aisyah hanya bisa duduk di bangku itu, merasakan hampa yang tak terelakkan, seolah-olah sebagian dari dirinya juga pergi bersama Arya.
***
Hari-hari berlalu dengan perasaan yang masih sulit untuk diterima oleh Aisyah. Setiap kali ia berpikir tentang pertemuannya dengan Arya, rasa sakit itu kembali datang. Pertunangan Arya adalah sesuatu yang tak pernah ia duga, dan kenyataan bahwa Arya menyembunyikan hal itu membuat Aisyah merasa dikhianati.
Faris, yang selalu ada sebagai sahabat, merasakan perubahan dalam diri Aisyah. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, meskipun Aisyah tidak langsung menceritakan semua yang terjadi. Suatu sore, ketika mereka duduk di kafetaria kampus, Faris akhirnya memutuskan untuk berbicara.
"Aisyah, ada apa denganmu belakangan ini? Kamu kelihatan sangat berbeda. Aku tahu ini bukan karena tugas kuliah atau tekanan dari kampus. Ada yang terjadi, kan?" tanya Faris dengan lembut, tatapan matanya penuh perhatian.
Aisyah terdiam sejenak, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. Ia belum pernah berbicara dengan siapa pun tentang pertunangan Arya, tetapi kini ia merasa sudah saatnya untuk membuka diri.
"Arya... dia bertunangan," kata Aisyah pelan, suaranya bergetar.
Mata Faris membesar, terkejut dengan pengakuan itu. "Apa? Arya bertunangan? Kapan itu terjadi?"
Aisyah menceritakan segalanya kepada Faris—tentang pertemuannya dengan Arya, tentang bagaimana Arya tidak pernah memberitahunya sampai saat terakhir, dan tentang kebingungan yang Arya alami. Faris mendengarkan dengan tenang, meskipun ia bisa merasakan betapa dalam luka yang dialami Aisyah.
"Jadi, Arya kembali ke keluarganya, lalu bertunangan dengan orang lain tanpa memberitahumu?" tanya Faris, mencoba memastikan ia memahami situasi dengan benar.
Aisyah mengangguk pelan. "Ya, itulah yang terjadi. Aku merasa dikhianati, Faris. Aku pikir masih ada kesempatan bagi kami setelah semua yang kami lalui, tapi kenyataannya berbeda."
Faris merasakan amarah dan simpati pada saat yang bersamaan. Ia tidak bisa percaya bahwa Arya, seseorang yang telah melalui banyak hal dengan Aisyah, bisa menyembunyikan sesuatu yang begitu penting. "Aisyah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Ini benar-benar tidak adil bagimu."
Aisyah menunduk, air mata mulai mengalir lagi. "Aku hanya tidak tahu bagaimana harus melanjutkan ini. Hatiku masih terasa sakit, dan aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan Arya. Tapi di sisi lain, aku juga tahu bahwa dia sedang berjuang dengan dirinya sendiri."
Faris menghela napas panjang. "Kamu tidak harus memutuskan semuanya sekarang, Aisyah. Kamu butuh waktu untuk menyembuhkan diri. Dan jika Arya memang benar-benar berjuang dengan dirinya sendiri, itu adalah perjalanannya yang harus ia selesaikan sendiri. Kamu sudah cukup kuat menghadapi semua ini, tapi kamu juga harus menjaga dirimu sendiri."
Aisyah tersenyum lemah, merasa terhibur oleh kata-kata Faris. "Terima kasih, Faris. Aku tahu kamu selalu ada untukku, dan aku sangat menghargainya."
Faris tersenyum lembut. "Kapan pun kamu butuh seseorang, aku akan selalu ada di sini. Kita akan melalui ini bersama."
Namun, di balik percakapan mereka yang menenangkan, sebuah pesan lain datang ke ponsel Aisyah, pesan dari Arya:
**"Aisyah, ada sesuatu yang belum aku katakan saat kita terakhir bertemu. Aku harap kamu bisa bertemu denganku sekali lagi. Ini penting, dan aku tidak bisa membiarkan kamu pergi tanpa kamu tahu hal ini."**
Aisyah terdiam, membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Apa lagi yang Arya sembunyikan? Dan apakah ia siap menghadapi lebih banyak kenyataan yang menyakitkan?