Aisyah berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memperhatikan dirinya sendiri. Kerudung putih yang dipakainya terlihat sempurna, mengalir lembut di bahunya, menutupi rambut hitam panjangnya yang ia ikat rapi didalamnya. Ia menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan detak jantung yang sedikit berdebar. Hari ini adalah hari pertama kelas di semester baru, dan seperti biasa, Aisyah berusaha tampil sebaik mungkin. Bukan untuk orang lain, melainkan sebagai bentuk disiplin diri dan refleksi dari keyakinannya.
"Aisyah, cepatlah! Nanti kamu akan terlambat," teriakan ibunya dari ruang tamu terdengar jelas. Aisyah tersenyum kecil. Ibunya selalu khawatir tentang waktu, padahal ia sendiri sudah merencanakan agar datang lebih awal.
"Iya, Bu. Sebentar lagi," balasnya sambil merapikan buku-buku ke dalam tas. Sebelum keluar dari kamar, Aisyah melirik sekali lagi ke arah cermin. Bukan hanya untuk memastikan penampilannya, tetapi untuk mencari sesuatu dalam dirinya, Sesuatu yang ia sendiri belum bisa mengungkapkan dengan kata-kata.
Sesampainya di ruang tamu, Aisyah disambut senyum hangat ibunya yang sedang duduk sambil memegang segelas teh. "Sudah siap, sayang?"
Aisyah mengangguk. "Siap, Bu. Aku berangkat dulu, ya." Ia mencium tangan ibunya, seperti yang selalu ia lakukan sebelum pergi.
"Semoga hari ini lancar. Jangan lupa berdoa, ya," pesan ibunya lembut.
Aisyah tersenyum. "Pasti, Bu."
Setelah berpamitan, Aisyah melangkah keluar rumah dan menuju halte bus. Suasana pagi yang sejuk menyegarkan pikirannya, memberi sedikit ketenangan sebelum ia menghadapi rutinitas jadwal kuliah yang padat. Aisyah adalah tipe mahasiswa yang selalu disiplin, baik dalam hal akademik maupun kehidupan sehari-hari. Baginya, disiplin adalah salah satu cara menjalankan hidup sesuai dengan ajaran agama yang ia yakini. Setiap langkah yang ia ambil selalu dipertimbangkan dengan matang, sesuai dengan prinsip dan nilai yang ditanamkan keluarganya sejak kecil.
Namun, di balik ketenangan dan keanggunan itu, ada hal-hal yang seringkali membuat Aisyah bertanya-tanya. Bukan tentang agama atau keluarganya, melainkan tentang dirinya sendiri. Kadang-kadang, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya ia pahami, Bagian yang selalu ingin menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas dan kewajiban. Tapi, setiap kali perasaan itu muncul, Aisyah cepat-cepat menyingkirkannya, menganggapnya sebagai bisikan yang tidak seharusnya ia dengarkan.
Di kampus, suasana sudah mulai ramai. Mahasiswa berbondong-bondong menuju kelas mereka, beberapa di antaranya terlihat bersemangat, sementara yang lain tampak lesu. Aisyah melangkah mantap menuju kelas pertamanya hari itu, sebuah mata kuliah umum yang biasanya diikuti oleh mahasiswa dari berbagai jurusan. Ia selalu datang lebih awal, bukan hanya untuk memastikan dirinya mendapatkan tempat duduk yang baik, tetapi juga karena ia tidak suka terburu-buru.
Saat Aisyah masuk ke ruang kelas, ia melihat beberapa wajah yang sudah tidak asing lagi. Beberapa teman sekelasnya melambai ke arahnya, dan Aisyah membalas dengan senyum ramah. Di antara wajah-wajah itu, ada satu yang selalu mencuri perhatiannya, meskipun ia tidak pernah mengakuinya,Faris.
Faris adalah teman masa kecil Aisyah. Mereka tumbuh bersama di lingkungan yang sama, sekolah di tempat yang sama, dan kini melanjutkan kuliah di universitas yang sama. Bagi Aisyah, Faris adalah sosok yang selalu bisa diandalkan. Ia cerdas, sopan, dan memiliki prinsip hidup yang sama dengan Aisyah. Dalam banyak hal, mereka sangat cocok. Namun, meskipun hubungan mereka sangat dekat, Aisyah tidak pernah memikirkan Faris lebih dari sekadar sahabat.
Faris yang duduk di barisan depan, melirik ke arah Aisyah dan tersenyum hangat. Aisyah balas tersenyum dan melangkah menuju bangku kosong di sebelahnya.
"Selamat pagi," sapa Faris.
"Pagi," jawab Aisyah singkat.
"Kamu kelihatan siap sekali hari ini," ujar Faris sambil menatap buku-buku yang Aisyah bawa.
Aisyah tersenyum tipis. "Seperti biasa. Kita harus selalu siap, bukan?"
Faris mengangguk setuju. "Betul. Aku juga siap menghadapi semester ini. Akan ada banyak tantangan yang menunggu."
Mereka berbicara sebentar sebelum kelas dimulai. Saat dosen masuk, percakapan mereka terhenti dan fokus beralih pada materi kuliah. Namun, di tengah-tengah pelajaran, pikiran Aisyah mulai melayang. Di satu sisi, ia merasa nyaman berada di dekat Faris, seperti selalu ada rasa aman yang menyelimutinya. Namun di sisi lain, Aisyah merasa ada sesuatu yang kurang, sesuatu yang tidak ia temukan dalam hubungan mereka selama ini.
Setelah kelas usai, Aisyah segera membereskan barang-barangnya. Ia berencana langsung menuju perpustakaan untuk mengerjakan tugas yang baru diberikan oleh dosen. Namun, sebelum ia sempat beranjak pergi, seorang mahasiswa yang belum pernah ia lihat sebelumnya menghampirinya.
"Hai, maaf, Apakah kamu yang namanya Aisyah?" tanya pria itu dengan senyum ramah. Dia memiliki rambut hitam yang sedikit acak-acakan, dengan penampilan yang sedikit berbeda dari kebanyakan mahasiswa di kampus ini. Aisyah tidak pernah melihatnya sebelumnya.
"Iya, benar. Maaf, kamu siapa?" jawab Aisyah dengan sopan, meskipun sedikit bingung.
"Arya," pria itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Namun, saat melihat Aisyah hanya tersenyum dan tidak menyambut uluran tangannya, Arya cepat-cepat menarik tangannya kembali. "Oh, maaf. Saya baru pindah ke kampus ini. Tadinya saya pikir ingin menyapa beberapa teman baru, tapi mungkin saya terlalu bersemangat."
Aisyah tersenyum sedikit. "Tidak apa-apa. Selamat datang di kampus ini, Arya."
Arya tersenyum lebar. "Terima kasih. Saya tadi duduk di belakang, dan kebetulan mendengar namamu disebut beberapa kali. Kamu sepertinya mahasiswa yang cukup populer di sini."
Aisyah terkekeh kecil. "Ah, tidak juga. Saya hanya mahasiswa biasa."
Faris yang berada di dekat mereka, memperhatikan percakapan itu dengan penuh perhatian. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi ada perasaan aneh yang mengganggu pikirannya. Siapa pria ini, dan mengapa dia begitu mudah mendekati Aisyah?
Setelah percakapan singkat itu, Arya pamit dan meninggalkan kelas. Faris mendekati Aisyah dengan tatapan penuh tanda tanya. "Kamu kenal dia?"
Aisyah menggeleng. "Tidak,Baru saja bertemu."
Faris mengangguk pelan, meskipun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Namun, ia tidak ingin terlihat terlalu curiga. "Hati-hati saja. Kamu tahu, banyak orang baru di kampus, dan kita tidak selalu tahu niat mereka."
Aisyah tersenyum, menyadari bahwa Faris mungkin sedikit khawatir. "Tenang saja, Faris. Aku tahu bagaimana menjaga diriku sendiri."
Setelah pertemuan singkat itu, Aisyah tidak terlalu memikirkan Arya. Bagi Aisyah, dia hanyalah mahasiswa baru yang kebetulan menyapanya dengan ramah. Namun, kehidupan di kampus mulai sedikit berubah setelah Arya hadir. Arya adalah sosok yang berbeda dari kebanyakan mahasiswa yang Aisyah temui. Dia terbuka, percaya diri, dan tidak segan-segan menunjukkan sisi kreatifnya.
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, Aisyah dan Arya semakin sering bertemu. Awalnya hanya sekedar sapaan ringan saat berpapasan di kampus, tetapi perlahan percakapan mereka semakin panjang. Arya sering kali mengajak diskusi tentang hal-hal yang menurut Aisyah menarik, tetapi berbeda dari apa yang biasanya ia bicarakan dengan Faris atau teman-temannya yang lain.
Di sisi lain, Faris mulai merasa ada yang berubah. Setiap kali ia mengajak Aisyah bicara, ada sesuatu yang terasa berbeda. Faris merasa hubungan mereka tidak sehangat dulu. Meskipun Aisyah masih bersikap seperti biasa, ada jarak yang mulai terbentuk antara mereka.
Faris berusaha mengabaikan perasaan itu, tapi semakin hari, semakin sulit untuk diabaikan. Terlebih lagi, setiap kali ia melihat Aisyah bersama Arya, perasaan cemburu yang tak terduga mulai muncul. Faris tidak pernah merasa cemburu sebelumnya, karena ia selalu yakin bahwa ia dan Aisyah memiliki hubungan yang khusus. Namun, kehadiran Arya mulai mengguncang keyakinannya.
Sementara itu, Aisyah sendiri mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Meski ia sangat menghargai Faris, perasaannya terhadap Arya perlahan-lahan mulai tumbuh. Bukan cinta,setidaknya belum, tetapi ada sesuatu yang berbeda setiap kali ia berbicara dengan Arya. Arya membuka perspektif baru yang tidak pernah Aisyah pertimbangkan sebelumnya. Meski ia tahu bahwa Arya adalah seorang non-Muslim, perbedaan agama itu tidak serta-merta menghalangi percakapan mereka. Justru, perbedaan itulah yang membuat diskusi mereka semakin menarik.
Suatu hari, setelah perkuliahan usai, Aisyah duduk di taman kampus untuk membaca buku. Udara sore yang sejuk membuat suasana begitu damai. Saat itulah Arya tiba-tiba muncul dan menghampirinya.
"Hai, Aisyah. Lagi baca buku apa?" tanyanya sambil tersenyum. Arya selalu muncul dengan senyum cerah yang tak pernah gagal menarik perhatian Aisyah.
"Oh, ini buku filsafat Islam," jawab Aisyah sambil menunjukkan sampul buku yang sedang ia baca.
"Menarik," jawab Arya. "Aku selalu kagum dengan cara pandang Islam terhadap kehidupan. Di keluargaku, kami tidak terlalu mendalami agama, jadi aku sering penasaran dengan pandangan-pandangan yang berbeda."
Aisyah menatap Arya dengan sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Arya akan berbicara tentang agama. Biasanya, mereka berbicara tentang hal-hal umum seperti film, buku, atau kehidupan kampus. Tapi kali ini, pembicaraan mereka mulai menyentuh topik yang lebih serius.
"Setiap agama punya pandangannya sendiri tentang kehidupan," ujar Aisyah hati-hati. "Dan menurutku, itu adalah bagian dari keindahan keberagaman. Kita semua punya cara sendiri untuk memahami dunia ini."
Arya mengangguk setuju. "Benar. Dan mungkin justru di situlah letak keajaiban kehidupan. Kita bisa belajar dari satu sama lain meskipun berbeda. Aku sering berpikir, apa yang akan terjadi jika semua orang punya pandangan yang sama? Dunia pasti jadi sangat membosankan, kan?"
Aisyah tertawa kecil. "Mungkin saja. Tapi perbedaan juga bisa jadi sumber konflik, Arya. Itulah mengapa penting bagi kita untuk saling menghormati dan memahami."
Arya menatap Aisyah dengan penuh kekaguman. "Kamu benar. Kadang aku merasa, meskipun berbeda agama, kita bisa belajar banyak dari cara berpikir dan cara hidup orang lain. Dan aku merasa banyak belajar dari kamu, Aisyah."
Aisyah merasakan sedikit kehangatan di hatinya. Kata-kata Arya membuatnya merasa dihargai, bukan hanya sebagai teman, tetapi sebagai seseorang yang membawa nilai-nilai penting dalam hidupnya. Namun, bersamaan dengan itu, ia juga merasakan sedikit kekhawatiran. Sejauh mana hubungan ini akan berkembang? Bagaimanapun, perbedaan agama mereka bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.
Ketika hari mulai menjelang senja, Arya pamit. Aisyah menatap kepergian Arya dengan pikiran yang penuh. Hubungan mereka memang belum melangkah ke arah yang lebih serius, tetapi Aisyah tahu, ada sesuatu yang berkembang di antara mereka. Sesuatu yang sulit dijelaskan, tapi tak bisa diabaikan.
Sementara itu, di sisi lain kampus, Faris merasa semakin tidak tenang. Setelah beberapa kali melihat Aisyah dan Arya bersama, ia mulai merasakan ancaman yang nyata terhadap hubungannya dengan Aisyah. Meski Aisyah tidak pernah memberikan isyarat bahwa ia tertarik pada Arya, Faris tahu ada perubahan dalam sikap Aisyah.
Pada suatu malam, Faris memutuskan untuk bertemu dengan Aisyah. Mereka bertemu di kafe kampus yang biasa mereka kunjungi. Faris terlihat serius, berbeda dari biasanya.
"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Faris dengan nada rendah setelah mereka memesan minuman.
Aisyah menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa itu?"
Faris terdiam sejenak, seolah-olah sedang mencari kata-kata yang tepat. "Kamu dan Arya... aku sering melihat kalian bersama akhir-akhir ini. Aku nggak bermaksud cemburu atau apa, tapi aku merasa perlu bertanya—apakah ada sesuatu di antara kalian?"
Aisyah tersentak. Ia tidak menyangka Faris akan menanyakan hal ini secara langsung. Sejenak, ia merasa bingung harus menjawab apa.
"Kami hanya teman, Faris. Tidak lebih," jawab Aisyah akhirnya, meskipun di dalam hatinya, ia sendiri tidak yakin apakah jawaban itu sepenuhnya benar.
Faris mengangguk, tetapi raut wajahnya tidak menunjukkan kepuasan. "Aku tahu, Aisyah. Tapi, sebagai teman, aku hanya ingin kamu berhati-hati. Arya mungkin baik, tapi dia tidak seiman dengan kita. Aku khawatir perbedaan ini bisa membawa masalah di kemudian hari."
Aisyah menghela napas panjang. Ia tahu kekhawatiran Faris bukan tanpa dasar. Namun, ia juga merasa bahwa Arya adalah sosok yang baik, dan hubungannya dengan Arya tidak seharusnya diputuskan hanya karena perbedaan agama.
"Aku mengerti kekhawatiranmu, Faris. Tapi aku percaya, selama kita menghormati satu sama lain, semuanya bisa berjalan baik," jawab Aisyah dengan nada lembut.
Faris menatapnya dalam-dalam. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Aisyah."
Aisyah tersenyum tipis. "Aku tahu, Faris. Dan aku sangat menghargai itu."
Percakapan mereka berakhir dengan sedikit kecanggungan. Faris tahu, meskipun Aisyah mengatakan bahwa ia dan Arya hanya berteman, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan itu. Dan itu membuatnya semakin gelisah.
***
Hari-hari berikutnya, Aisyah mulai merasakan dilema yang semakin besar. Di satu sisi, ia menghargai pertemanannya dengan Arya yang membawa banyak hal baru dalam hidupnya. Di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan perasaan Faris dan juga ajaran agamanya yang menekankan pentingnya memilih pasangan hidup yang seiman.
Setiap kali ia berdoa, Aisyah selalu memohon petunjuk dari Allah agar diberikan kemudahan untuk memahami apa yang sebenarnya ia rasakan. Namun, semakin hari, perasaannya terhadap Arya semakin sulit diabaikan. Ia tidak bisa mengingkari bahwa Arya membuatnya merasa berbeda—lebih hidup, lebih bersemangat, dan lebih bebas. Tapi, apakah perasaan ini pantas? Apakah perasaan ini akan membawa kebahagiaan atau justru penderitaan?
Sementara itu, Arya juga merasakan sesuatu yang tumbuh dalam hatinya. Setiap kali ia bersama Aisyah, ia merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Meskipun ia tahu bahwa perbedaan agama mereka adalah hal yang serius, Arya tidak bisa menahan perasaannya. Ia mulai menyadari bahwa ia jatuh cinta pada Aisyah.
Namun, Arya tahu bahwa ini bukanlah cinta yang mudah. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa Aisyah adalah seorang Muslim yang taat, dan perbedaan agama mereka bisa menjadi penghalang besar. Arya mulai bertanya-tanya, apakah perasaan ini sepadan dengan pengorbanan yang mungkin harus ia lakukan? Atau, apakah lebih baik baginya untuk mundur sebelum semuanya menjadi lebih rumit?
Hari-hari terus berlalu, dan baik Aisyah maupun Arya terjebak dalam pergolakan batin yang semakin dalam. Mereka tahu bahwa apa pun keputusan yang mereka ambil, akan ada harga yang harus dibayar—baik dalam bentuk perasaan, keyakinan, maupun hubungan mereka dengan orang lain.
Dan di sisi lain, Faris masih berjuang dengan perasaannya. Ia tidak ingin kehilangan Aisyah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan perasaannya. Di dalam hatinya, ia hanya bisa berharap bahwa Aisyah akan memilih jalan yang tepat—jalan yang tidak akan membuatnya terluka di kemudian hari.