Hari-hari berlalu setelah percakapan antara Aisyah dan Arya di perpustakaan. Perasaan Aisyah semakin terombang-ambing, seperti perahu di lautan yang tidak tahu ke mana harus berlabuh. Di satu sisi, Faris, Sahabatnya yang selalu ada, yang begitu memahami nilai-nilai hidup yang ia pegang. Di sisi lain, Arya, seorang yang mempunyai keyakinan berbeda, penuh dengan tantangan dan semangat yang tak pernah ia duga akan datang dalam hidupnya.
Setiap kali Aisyah merenung tentang keputusan yang harus diambil, bayangan Faris dan Arya selalu hadir silih berganti. Keduanya menyimpan tempat tersendiri di hatinya, tetapi dengan cara yang berbeda. Namun, ia sadar bahwa ia tidak bisa terus berada di tengah-tengah. Cepat atau lambat, ia harus memilih.
Suatu pagi, ketika Aisyah sedang duduk di beranda rumah, menatap ke arah taman belakang, ibunya, Ibu Khadijah, datang dengan senyuman hangat dan secangkir teh. Mereka duduk bersebelahan, menikmati kesunyian pagi, sebelum ibunya mulai berbicara.
"Aisyah," suara Ibu Khadijah terdengar lembut, tetapi penuh perhatian. "Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun. Apa ada yang mengganggu pikiranmu, nak?"
Aisyah tersenyum tipis, berusaha menutupi kegelisahannya. "Tidak ada, Bu. Mungkin aku cuma terlalu sibuk dengan kuliah dan tugas."
Ibu Khadijah menatap putrinya dengan pandangan yang penuh kasih sayang, seolah-olah bisa membaca pikiran Aisyah dengan jelas. "Ibu tahu lebih dari itu, Aisyah. Kamu anak yang kuat dan pintar. Tapi, kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, tidak ada salahnya untuk berbagi. Siapa tahu Ibu bisa membantu."
Aisyah terdiam sejenak, merasa bimbang apakah ia harus menceritakan kebimbangannya kepada ibunya. Namun, semakin lama ia menyimpan semuanya sendiri, semakin berat beban di hatinya. Ia tahu bahwa ibunya adalah sosok yang bijaksana dan selalu memberikan nasihat terbaik. Maka, dengan pelan, Aisyah mulai menceritakan semua yang ia rasakan—tentang perasaan Faris, tentang Arya, tentang kebingungannya di antara cinta dan iman.
Ibu Khadijah mendengarkan dengan sabar, tidak sekalipun memotong cerita putrinya. Setelah Aisyah selesai, ibunya menarik napas panjang dan memandangnya dengan pandangan yang teduh.
"Aisyah, hidup ini memang penuh dengan pilihan-pilihan sulit," kata Ibu Khadijah dengan lembut. "Terkadang, apa yang hati kita inginkan tidak selalu sejalan dengan apa yang benar menurut keyakinan kita. Ibu paham bahwa perasaanmu terhadap Arya adalah sesuatu yang sulit untuk diabaikan. Tapi, cinta sejati itu bukan hanya soal perasaan semata, nak. Cinta yang sejati haruslah berjalan beriringan dengan iman dan keyakinan kita. Kalau kamu mencintai seseorang, pastikan cinta itu tidak membuatmu jauh dari Allah."
Aisyah menundukkan kepala, menyadari kebenaran dalam kata-kata ibunya. Selama ini, ia terjebak dalam perasaan yang campur aduk, tanpa benar-benar memikirkan dampak jangka panjang dari pilihannya.
"Tapi, Bu..." Aisyah berbicara pelan. "Arya... dia bersedia belajar. Dia ingin tahu lebih banyak tentang agama kita, meskipun aku nggak yakin apakah itu cukup."
Ibu Khadijah tersenyum penuh pengertian. "Itu adalah langkah yang baik, Aisyah. Jika Arya memang tulus ingin memahami agamamu, maka beri dia kesempatan. Tapi ingat, perubahan itu harus datang dari hati, bukan karena tekanan atau cinta semata. Iman yang didasarkan hanya pada keinginan untuk menyenangkan orang lain tidak akan bertahan lama. Perjalanan iman adalah perjalanan yang sangat pribadi, dan Arya harus melalui itu sendiri."
Aisyah menatap ibunya dengan penuh rasa hormat. Nasihat itu masuk ke dalam hatinya, memberikan sedikit kejelasan di tengah kegalauannya. Meskipun ia masih belum tahu apa yang akan terjadi ke depannya, setidaknya ia punya panduan untuk melangkah lebih bijak.
Beberapa hari kemudian, Aisyah memutuskan untuk menemui Arya lagi. Kali ini, ia ingin berbicara lebih terbuka tentang apa yang ada di pikirannya. Mereka sepakat untuk bertemu di kafe kampus, tempat yang biasa mereka kunjungi bersama.
Ketika Aisyah tiba, Arya sudah menunggu di sana dengan secangkir kopi di tangannya. Ia tersenyum hangat begitu melihat Aisyah masuk. Setelah mereka duduk, Arya langsung bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang penting ingin disampaikan Aisyah.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Aisyah?" tanya Arya dengan nada serius.
Aisyah menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya sebelum berbicara. "Iya, Arya. Aku ingin kita bicara lebih serius soal hubungan kita."
Arya meletakkan cangkirnya, menatap Aisyah dengan penuh perhatian. "Aku siap mendengarkan."
Aisyah memulai dengan hati-hati, "Arya, aku sangat menghargai niat baikmu untuk mencoba memahami agama dan keyakinanku. Itu bukan hal yang mudah, dan aku tahu kamu melakukannya dengan tulus. Tapi, aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri. Perbedaan kita sangat besar, terutama dalam hal iman. Aku tidak ingin memaksakan kamu untuk berubah hanya demi aku."
Arya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku paham, Aisyah. Tapi aku tidak merasa dipaksa. Aku ingin tahu lebih banyak tentang keyakinanmu karena aku ingin bisa memahami hidupmu lebih dalam. Ini bukan sekadar untuk memenangkan hatimu, tapi karena aku mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dalam hidup yang perlu aku pahami."
Aisyah menatap Arya dengan penuh rasa hormat. Ketulusan Arya menyentuh hatinya, tetapi ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. "Aku senang mendengar itu, Arya. Tapi kita juga harus realistis. Perubahan ini butuh waktu, dan aku tidak ingin kita membuat keputusan terburu-buru. Kalau kamu benar-benar ingin memahami Islam, lakukan itu untuk dirimu sendiri, bukan karena aku. Karena hubungan yang dibangun di atas dasar iman harus kuat, bukan hanya berdasarkan cinta semata."
Arya mengangguk pelan, menyadari beratnya keputusan ini. "Aku mengerti, Aisyah. Aku akan belajar, dengan waktu dan dengan hati yang tulus. Tapi tolong, jangan tinggalkan aku. Aku ingin kita tetap bersama, meskipun jalan kita mungkin belum jelas."
Aisyah tersenyum tipis, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. "Aku tidak akan pergi, Arya. Kita akan lihat bagaimana perjalanan ini membawa kita ke depan."
Percakapan mereka berakhir dengan sebuah pemahaman yang belum sepenuhnya tuntas, tetapi memberi mereka harapan. Aisyah tahu bahwa perjalanannya dengan Arya belum selesai, namun ia juga harus mempertimbangkan perasaan Faris yang masih setia menunggu di sisi lain.
Beberapa minggu kemudian, Faris memutuskan untuk mengajak Aisyah bertemu lagi. Kali ini, ia ingin lebih serius berbicara tentang masa depan mereka. Mereka bertemu di taman kampus, tempat yang sering mereka kunjungi dulu, tanpa ada bayangan Arya di antara mereka.
"Aisyah," Faris memulai, "Aku tahu kita sudah lama berteman, dan aku tidak ingin merusak hubungan itu. Tapi aku juga tidak bisa terus menunggu tanpa tahu di mana posisiku. Aku butuh kejelasan."
Aisyah menatap Faris dengan mata yang penuh rasa bersalah. Ia tahu bahwa Faris pantas mendapatkan jawaban, tetapi hatinya masih terpecah antara dua pilihan yang sama sulitnya. Ia menarik napas dalam, merasa bahwa saatnya untuk bersikap jujur pada diri sendiri dan Faris.
"Faris, aku benar-benar menghargai perasaanmu. Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki, dan aku tahu bahwa kamu akan selalu ada untukku. Tapi perasaanku masih sangat bingung. Aku tidak ingin memberimu harapan palsu, tapi aku juga belum bisa mengambil keputusan saat ini. Aku butuh waktu, Faris."
Faris menundukkan kepala, merasa kecewa tetapi juga mengerti. "Aku paham, Aisyah. Tapi aku tidak bisa menunggu selamanya. Kalau memang kamu tidak bisa memberikan jawaban, mungkin aku harus mundur."
Aisyah terkejut mendengar kata-kata Faris. Hatinya terasa sakit, tetapi ia juga tahu bahwa Faris berhak atas kejelasan. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak bisa lagi ditunda.