Bab 1: Tangan Emas
Di tengah lembah yang tenang dan subur, ada sebuah desa kecil bernama Desa Tanjala. Desa ini dikelilingi oleh hamparan hijau yang memukau dan pegunungan megah yang menjulang tinggi. Tanjala dikenal karena kedamaian dan keharmonisannya, serta sebagai satu-satunya tempat di dunia di mana tumbuh Kayu Merbalu sejenis kayu langka yang sangat kuat, tahan hama, dan memiliki serat indah yang menjadikannya sangat berharga.
Penduduk Desa Tanjala sepenuhnya bergantung pada Kayu Merbalu sebagai sumber penghidupan mereka. Namun, mereka tidak menjual kayu ini dalam bentuk mentah. Sebaliknya, mereka mengolahnya menjadi berbagai kerajinan tangan yang bernilai tinggi. Barang-barang kerajinan dari Kayu Merbalu terkenal akan keindahan dan keawetannya, membuatnya diminati oleh banyak orang dari luar desa. Menjual kayu ini dalam bentuk mentah akan membuat mereka rugi besar, namun masih saja ada oknum yang menjual bahan mentah secara ilegal. Keterampilan mengolah kayu menjadi esensial bagi kelangsungan hidup di desa ini.
Di tengah desa ini, hiduplah seorang pemuda bernama Aji, yang dikenal dengan julukan Tangan Emas. Aji adalah pengrajin yang sangat berbakat, dan hasil karyanya selalu menarik perhatian dan pujian dari banyak orang. Ia menciptakan berbagai barang dari Kayu Merbalu dengan dedikasi tinggi, mencurahkan seluruh perhatiannya untuk memastikan setiap detail sempurna. Karyanya sering kali menjadi yang paling dicari, membuatnya menjadi sosok yang dihormati di desa.
Namun, bukan hanya bakatnya yang membuat Aji terkenal. Kebaikan hati Aji juga membuatnya disayangi oleh semua orang. Ia selalu siap membantu siapa saja yang membutuhkan, entah itu memperbaiki alat, membantu mengolah kayu, atau sekadar memberikan nasihat bijak. Setiap pagi, saat matahari terbit di balik pegunungan, Aji sudah memulai harinya dengan bekerja keras dan membantu orang lain. Kebaikannya tidak hanya terlihat dari apa yang dilakukannya tetapi juga dari bagaimana dia memperlakukan setiap orang dengan rasa hormat dan perhatian.
Di rumah, Aji menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan bersama istri tercintanya, Lestari, dan anak laki-laki mereka yang ceria, Saka. Keluarga kecil ini adalah tempat di mana cinta dan kebahagiaan melimpah ditemukan. Tawa Saka yang riang dan perhatian Lestari memberikan keseimbangan yang sempurna dalam hidup Aji.
Namun, di balik kedamaian dan senyuman yang terlihat, muncul rasa iri dari sekelompok orang di desa. Mereka merasa bahwa keberhasilan dan perhatian yang didapatkan Aji seolah-olah mencuri sorotan dari kehidupan mereka. Perlahan, rasa iri ini tumbuh menjadi kebencian. Sekelompok orang yang sebelumnya hidup dari hasil manipulasi dan kelicikan, mulai melihat Aji sebagai ancaman bagi mereka di desa.
Didorong oleh ketidakpuasan, sekelompok orang ini mulai merencanakan sesuatu yang gelap. Mereka merasa bahwa Aji adalah ancaman bagi mereka dan bertekad untuk menghentikannya. Mereka mulai merencanakan strategi licik untuk menyingkirkan Aji dari desa, tanpa menyadari betapa jauh tindakan mereka akan berdampak pada semua orang.
Bab 2: Ketidakpuasan
Di sebuah ruangan gelap di sudut desa, sekelompok pria berkumpul di meja perjudian, larut dalam permainan yang keras dan gaduh. Lampu minyak yang redup menambah suasana suram. Wajah-wajah lelah mereka menunjukkan kemarahan dan frustrasi.
Salah satu pria, Danu, dengan mata liar dan penuh hasrat, mengedarkan kartu sambil tertawa sinis.
"Kalian tahu, Aji itu terlalu banyak perhatian. Aku sudah muak melihatnya," katanya dengan nada kasar, sambil melemparkan kartu ke meja.
"Ya, aku setuju," sahut Sardam, pria bertubuh kekar yang terlihat tidak sabar. Dia menatap kartu di tangannya, lalu mendengus. "Dia membuat kita terlihat buruk. Baru saja dia mulai dikenal, dan hasil karyanya sudah menjadi yang paling dicari. Kita yang sudah lama berbisnis ini malah tenggelam dalam bayangannya."
Bedu, pria lain di meja itu, mengangguk setuju.
"Dia terlalu cepat mendapatkan semua itu. Kita sudah lama berkecimpung dalam bisnis ini, tapi dia yang baru mulai sudah menjadi pusat perhatian," katanya, suaranya penuh kebencian.
Danu mengangguk, senyum licik menghiasi wajahnya.
"Kita harus melakukan sesuatu. Tapi apa?" tanyanya.
Setelah beberapa putaran, Danu tiba-tiba berbicara dengan nada yang lebih rendah, tetapi penuh niat jahat.
"2 hari ini Aji tidak ada di desa. Sepertinya dia sedang ke desa lain dalam waktu yang lama. Kita bisa memanfaatkan kesempatan ini," kata Danu, matanya menyipit saat dia memandangi yang lain satu per satu.
Sardam mengangkat alis, penasaran. "Apa yang kau maksud?"
"Bagaimana kalau kita melecehkan istrinya, Lestari?" kata Danu, suaranya penuh kebencian. "Dia sendirian di rumah selama Aji tidak ada. Kita bisa memanfaatkan kesempatan ini."
Bedu terdiam, wajahnya menunjukkan ketidakpastian. "Kau serius? Itu sangat berisiko. Jika kita ketahuan, bisa-bisa kita semua terlibat dan malah menghadapi konsekuensi yang jauh lebih berat."
Sardam mengangguk setuju. "Ya, dan jika warga desa mengetahui apa yang terjadi, bisa jadi kita sendiri yang berada dalam bahaya."
Danu mengangguk, wajahnya menunjukkan bahwa ia mempertimbangkan risiko tersebut. "Baik, kalau begitu kita perlu alternatif lain. Kita harus memikirkan sesuatu yang lebih aman tapi tetap efektif."
Danu merenung sejenak, sementara suasana di ruangan menjadi hening. "Bagaimana kalau kita fitnah Aji?" kata Danu akhirnya. "Kita bisa menyebarkan rumor bahwa dia menjual bahan mentah Kayu Merbalu ke desa lain secara diam-diam. Kita buat cerita bahwa dia mengkhianati desa kita demi keuntungan pribadi."
Sardam menatap Danu dengan penuh perhatian. "Kau punya ide yang menarik. Tapi, bagaimana kita bisa memastikan bahwa semua orang akan percaya pada fitnah ini?"
Danu tersenyum licik. "Kita akan membuat bukti palsu. Misalnya, dokumen atau surat yang seolah-olah menunjukkan bahwa Aji telah melakukan transaksi ilegal dengan desa lain. Kita juga bisa menyebarkan desas-desus bahwa dia telah mengalihkan bahan mentah Kayu Merbalu untuk kepentingan pribadi."
Bedu mengangguk setuju. "Itu bisa bekerja. Tapi kita harus sangat berhati-hati dengan bukti-bukti yang kita buat. Jika ada yang curiga, rencana kita bisa gagal."
Danu menatap Bedu dengan penuh keyakinan. "Tentu saja. Kita akan membuat dokumen itu terlihat sangat meyakinkan. Bahkan, kita bisa menggunakan beberapa barang dari rumah Aji untuk menambah kesan bahwa dokumen-dokumen itu asli."
Sardam menambahkan, "Kita juga harus mengatur waktu penyebaran rumor ini dengan baik. Jangan sampai Aji kembali dan melihat apa yang telah terjadi sebelum semua sudah terlambat."
Danu memikirkan hal itu sejenak. "Kita akan mulai menyebarkan dokumen dan rumor malam ini juga. Setelah itu, kita pastikan bahwa semua orang tahu tentang 'penemuan' ini. Dengan begitu, kita akan membuat Aji tampak seperti pengkhianat di mata warga desa."
Bedu menunjukkan ekspresi khawatir. "Tapi bagaimana jika Aji kembali lebih cepat dari yang kita kira? Kita harus siap menghadapi kemungkinan itu."
"Jangan khawatir," jawab Danu, "kita akan pastikan semua bukti dan rumor tersebar sebelum Aji pulang. Dan jika perlu, kita bisa mengatur agar dia dituduh oleh beberapa orang yang dianggap terpercaya di desa."
Sardam menambahkan, "Kita juga perlu membuat suasana di desa menjadi semakin tidak stabil. Dengan begitu, warga desa akan lebih mudah terpengaruh oleh berita buruk tentang Aji."
Danu dan para penjudi akhirnya sepakat dengan rencana tersebut. Mereka mulai menyiapkan dokumen palsu, menyusun desas-desus, dan merencanakan langkah-langkah untuk menyebarkan fitnah. Mereka juga memutuskan untuk membuat beberapa barang di rumah Aji yang tampak mencurigakan agar bukti yang mereka buat semakin meyakinkan.
Malam itu juga, mereka mulai menyebarkan informasi tentang fitnah tersebut. Mereka mengumpulkan warga desa dan kepala desa di balai desa, menunjukkan dokumen dan surat palsu yang seolah-olah menunjukkan keterlibatan Aji dalam penjualan bahan mentah Kayu Merbalu ke desa lain. Suasana balai desa menjadi tegang dan penuh kebingungan saat para penjudi memaparkan "bukti" dan menyebarkan desas-desus tentang Aji.
Mereka yakin bahwa langkah mereka akan membawa perubahan besar, meskipun mereka menyadari bahwa mereka harus tetap waspada terhadap reaksi selanjutnya dari warga desa.
Bab 3: Pertemuan
Mereka berkumpul di sebuah ruangan gelap, merencanakan langkah mereka selanjutnya. Danu, Sardam, dan Bedu memutuskan untuk segera melaksanakan rencana mereka.
"Kita perlu membuat kepala desa mengadakan pertemuan mendadak," kata Danu dengan serius. "Agar semua warga tahu tentang 'penemuan' kita."
Sardam mengangguk setuju. "Kita harus memastikan bahwa semua orang percaya pada fitnah kita. Dengan begitu, kita bisa menghancurkan reputasi Aji sebelum dia kembali."
Bedu menambahkan, "Dan setelah itu, kita bisa mengontrol semua kayu Merbalu yang selama ini dia kelola."
Danu mengambil inisiatif dan menuju balai desa untuk berbicara dengan kepala desa, Rudi. Setelah beberapa saat, Danu tiba di balai desa dan menemui Rudi yang tengah menyelesaikan tugasnya.
"Danu, ada apa?" tanya Rudi, menatap Danu dengan tatapan penasaran.
Danu, berusaha terlihat khawatir, berkata, "Kepala Desa Rudi, kami perlu mengadakan pertemuan mendadak dengan warga desa. Ada hal penting yang harus dibahas segera."
Rudi mengangkat alis, bingung. "Pertemuan mendadak? Apa yang begitu penting?"
"Aku tidak bisa menjelaskan semuanya di sini, tetapi pertemuan ini akan sangat penting untuk desa kita," jawab Danu dengan nada mendesak.
Rudi melihat keseriusan di wajah Danu dan akhirnya setuju untuk mengadakan pertemuan malam itu juga. Ia segera mengirim pengumuman kepada warga desa.
Beberapa saat kemudian, balai desa dipenuhi oleh warga. Lampu minyak bergetar, menerangi wajah-wajah yang penasaran dan tegang. Rudi, yang tampak kebingungan, berdiri di depan, siap memulai pertemuan.
"Terima kasih telah datang dengan cepat," kata Rudi, berusaha menenangkan suasana. "Danu meminta pertemuan mendadak, dan sekarang kita akan mendengarkan apa yang ingin disampaikannya."
Danu berdiri di depan, bersama Sardam dan Bedu, dan memulai presentasi mereka. Dengan nada menuduh, Danu berbicara.
"Kalian semua harus tahu bahwa Aji terlibat dalam penjualan bahan mentah Kayu Merbalu ke desa lain secara ilegal. Ini adalah pelanggaran besar terhadap desa kita."
Rudi terkejut mendengar tuduhan ini. "Apa? Aji terlibat dalam penjualan ilegal? Apakah ada bukti yang mendukung tuduhan ini?"
Sardam mengeluarkan dokumen-dokumen palsu dan menunjukkan kepada warga. "Kami memiliki bukti-bukti yang cukup untuk mendukung tuduhan ini. Dokumen-dokumen ini menunjukkan transaksi yang merugikan desa kita."
Warga desa mulai terbagi menjadi dua kubu. Beberapa orang, yang terpengaruh oleh fitnah, mulai berteriak dan mendukung keputusan untuk menghukum Aji.
"Dia sudah terlalu lama mengambil keuntungan dari kita!" teriak salah satu warga dengan nada marah. "Dia tidak hanya merugikan desa, tetapi juga mengkhianati kepercayaan kita!"
Seorang wanita berdiri dan berteriak, "Apa yang membuatmu yakin bukti ini benar? Aji sudah lama membantu kita!"
Namun, ada juga suara-suara yang membela Aji. Rudi, berusaha menenangkan situasi, berdiri dan berseru.
"Jangan mudah percaya pada bukti-bukti ini! Aji adalah orang baik. Dia selalu membantu kita dan tidak mungkin melakukan sesuatu seperti ini."
Warga yang terpengaruh oleh fitnah melawan, "Jangan hanya karena dia sering membantu, berarti dia tidak bisa berbuat jahat!"
Sardam, dengan nada menekan, menanggapi, "Jadi, kita harus biarkan dia terus merusak desa kita? Bukti ini jelas menunjukkan bahwa dia telah menipu kita semua. Lihatlah dokumen ini!"
Rudi mencoba menenangkan suasana dengan keras. "Kalian harus mendengarkan! Aji telah melakukan banyak hal baik untuk desa ini. Kita tidak bisa hanya mengandalkan dokumen-dokumen ini untuk mengadili seseorang. Kita perlu bukti yang lebih jelas"
Namun, tekanan dari massa dan kebisingan perdebatan membuat situasi semakin tegang. Warga yang merasa tertekan dan tidak tahu harus percaya pada siapa, akhirnya mulai cenderung pada keputusan mayoritas.
Bedu, yang berdiri di samping Danu dan Sardam, menambahkan dengan tegas.
"Jika kita tidak bertindak sekarang, lebih banyak kerugian akan datang. Kita harus menghukum Aji untuk menyelamatkan desa."
Warga yang mendukung keputusan ini mulai berteriak lebih keras. "Kita tidak bisa terus bergantung pada orang yang sudah mengkhianati kita!"
Sementara itu, beberapa warga yang mencoba melawan diabaikan dan diserang secara verbal oleh mereka yang terpengaruh oleh fitnah. Rudi, yang berusaha keras untuk mempertahankan pendapatnya, dikelilingi oleh orang-orang yang sudah terpengaruh.
Akhirnya, setelah desakan yang terus-menerus dan teriakan marah, mayoritas warga sepakat untuk mengeksekusi Aji malam itu juga, walaupun Aji tidak ada di rumah. Suasana menjadi sangat tegang, dengan beberapa orang berseru penuh kemarahan dan sebagian lainnya dengan berat hati mengangguk setuju.
Ketika berita tentang "pengkhianatan" ini menyebar di seluruh desa, suasana semakin tegang. Aji, yang tidak tahu bahwa ia telah menjadi target dari rencana licik ini, sedang berada di desa lain. Di rumahnya, hanya ada istri dan anaknya yang tidak mengetahui bahaya yang mendekat.
Rumah Aji dikelilingi oleh kerumunan yang marah. Di jalanan yang gelap, teriakan mereka bergema.
"Bakar! Bakar! Bakar!" seru mereka kompak, penuh amarah.
Tanpa memperdulikan keberadaan istri dan anak Aji di dalam rumah, mereka langsung mulai membakar rumah tersebut. Api mulai menyala di bagian depan rumah, dan seiring dengan membesarnya nyala api, mereka memastikan bahwa tidak ada jalan keluar bagi istri dan anak Aji.
Beberapa warga mencoba mencegah tindakan kekerasan ini, tetapi suara mereka tenggelam dalam riuhnya amarah kerumunan.
Desakan untuk melaksanakan hukuman semakin kuat, dan ketidakadilan yang menimpa Aji semakin jelas. Dengan suara riuh dan kobaran api yang membakar rumah dan semua kenangannya.
Bersambung ....
Nantikan lanjutan ceritanya yaa. Update setiap Jum'at