Bab 4: Kembalinya Aji
Setelah sepuluh hari yang penuh ketegangan, Aji akhirnya kembali ke desa pada suatu pagi yang seharusnya damai. Langit cerah, dan angin berembus lembut.
Namun, saat Aji mendekati desa, ia mulai merasakan ada yang tidak beres. Orang-orang yang biasanya menyapanya dengan senyum hangat kini hanya menatapnya dengan tatapan sinis dan penuh kebencian.
"Ada apa dengan mereka?" pikir Aji dalam hati, merasa semakin cemas saat melihat perubahan sikap yang drastis.
Ia mencoba menyapa salah satu tetangga yang biasa ramah kepadanya.
"Selamat pagi, Pak Budi! Bagaimana kabar Anda?" sapa Aji dengan ceria, berharap bisa memecahkan ketegangan yang terasa di udara.
Pak Budi hanya menoleh sekilas tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan melanjutkan langkahnya, wajahnya menunjukkan rasa jijik. Aji merasa semakin bingung dan cemas. "Ada yang salah?" tanya Aji, tetapi Pak Budi tetap diam dan menjauh darinya.
Merasa semakin tertekan, Aji mempercepat langkahnya menuju rumahnya. Semakin dekat ia ke rumah, semakin jelas ketidakberesan terasa. Ketegangan di udara semakin tebal, dan rasa khawatir di hati Aji semakin membesar.
Bab 5: Kengerian di Rumah
Aji akhirnya tiba di rumahnya dan dikejutkan oleh pemandangan yang menghancurkan hatinya. Rumah yang seharusnya berdiri kokoh kini hanya tersisa puing-puing dan abu hitam. Asap masih mengepul tipis dari sisa-sisa kayu yang terbakar. Seluruh harta benda dan kenangan bersama istri dan anaknya telah lenyap dalam kobaran api.
"Apakah ini mimpi?" teriak Aji putus asa, berlari ke sisa-sisa rumahnya, mencoba menggali abu dengan tangan kosong, berharap menemukan sesuatu, apa pun, yang bisa menyelamatkan harapannya.
Namun, yang ia temukan hanyalah abu yang dingin dan tak bernyawa.
Aji berteriak, memanggil nama istri dan anaknya. "Lestari! Saka!" Tapi hanya keheningan yang menjawab.
Air matanya mulai bercucuran, jatuh ke tanah yang kini menjadi kuburan bagi seluruh dunia yang pernah ia kenal.
Dengan tubuh gemetar, Aji bangkit dan berlari ke arah tetangga terdekat, berharap ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi.
"Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara penuh emosi.
Tetangga-tetangga yang melihatnya hanya menjawab dengan tatapan dingin dan penuh kebencian.
Salah satu pria dari kerumunan berteriak, "Kami tahu itu semua karena kutukanmu, Aji!"
Aji terkejut, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa yang kalian bicarakan? Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu!" jawabnya, suaranya mulai teredam oleh kebisingan kemarahan massa yang semakin besar.
Seorang wanita dari kerumunan berteriak, "Kau telah membawa malapetaka pada desa ini! Kau harus pergi sebelum lebih banyak lagi yang hancur karena ulahmu!"
"Pergi dari sini, Aji!" teriak seorang pria lain, sambil melemparkan batu kecil ke arahnya. "Jangan kembali lagi!"
Meskipun Aji terus berusaha menjelaskan, suaranya tenggelam dalam riuhnya massa. "Dengarkan aku! Aku tidak bersalah! Tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan!" teriak Aji, namun tidak ada yang mendengarkan.
Orang-orang mulai mendorong-dorong Aji, melemparinya dengan batu dan tanah. Salah satu batu yang dilemparkan mengenai kepalanya, darahpun mengalir. Rasa sakit dan pendarahan membuatnya semakin lemah.
Aji, dengan tubuh gemetar dan kepala berlumuran darah, akhirnya memutuskan untuk melarikan diri. Ia berlari menjauhi desa, meninggalkan kerumunan yang semakin marah dan kehancuran yang menyelimutinya. Dalam pelariannya, Aji merasakan rasa sakit yang mendalam.
Bab 6: Jeritan Hati
Saat Aji menjauh dari desa, rasa sakit semakin membebani hatinya. Dia berhenti di bawah pohon, jauh dari kerumunan dan kebisingan desa. Aji jatuh ke tanah, menangis dan menjerit. "Kenapa ini harus terjadi?" teriaknya, suaranya penuh dengan kesedihan dan kemarahan.
"Aku telah membantu mereka selama ini," isaknya di antara tangisan, "Dan inilah balasan yang aku dapatkan. Orang-orang yang aku perlakukan dengan baik, membalasku dengan perlakuan yang keji seperti ini."
Aji menatap langit dengan penuh kemarahan dan kesedihan. "Tuhan, kenapa Engkau membiarkan ini terjadi? Aku tidak mengerti mengapa aku harus menderita seperti ini."
Dengan sakit hati yang mendalam, Aji meremas tanah di sekelilingnya, merasakan setiap luka yang ia rasakan.
"Aku berjanji," katanya dengan tekad, "Aku akan mencari membalas semua ini."
Air mata bercampur dengan darah di wajah Aji, tetapi tekadnya semakin menguat. Dengan perlahan, ia mencoba berdiri, tubuhnya goyah akibat beban yang begitu berat.
Namun, tiba-tiba pandangannya mulai memudar. Dunia di sekelilingnya berputar, suara-suara malam yang hening tiba-tiba terasa begitu jauh.
Aji merasakan gelap yang perlahan menyelimuti matanya. Tubuhnya melemah, dan dalam sekejap, semuanya menjadi hitam.
Bersambung...
Nantikan lanjutan ceritanya yaa. Update setiap Jum'at