Fotografi jenazah Zhang Yong sudah lenyap. Yang tersisa kini hanyalah satu huruf terakhir yang berwarna merah darah.
L.
Putaran terakhir dari Permainan Kematian "Drop the Hanky" telah resmi dimulai.
Di dalam kamar, Xie Qingcheng menghisap rokoknya dengan dalam. Satu tangannya bertumpu pada dinding, sementara ujung jari tangan lainnya menekan pelipisnya. Mata bunga persiknya menatap tanpa berkedip ke arah cahaya merah samar di menara penyiaran di kejauhan.
Suaranya rendah dan tegas saat ia berkata kepada orang di ujung telepon, "Beri aku daftar tersangka yang telah kalian susun untuk 'L.'"
Kapten Zheng mengucapkan beberapa kata dengan nada tulus dan serius.
"Aku tidak ingin berbasa-basi denganmu," ujar Xie Qingcheng, menekan emosinya. "Beri aku daftar nama itu."
Hening di seberang telepon.
"Tidak lama yang lalu, aku menyerahkan sebuah buku tamu yang kutemukan di Universitas Huzhou ke kantor polisi," lanjut Xie Qingcheng. "Seseorang menulis di dalamnya bahwa 'WZL' akan segera dibunuh. Pesan itu ditandatangani oleh 'Jiang Lanpei.' Aku pikir ini mungkin berguna bagi polisi, jadi aku membawanya ke sana. Tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku—buku itu tidak mungkin muncul begitu saja, terutama karena isinya sesuai dengan video kasus pembunuhan hari ini."
"Xiao-Xie…"
"Itu pesan yang ditinggalkan oleh informan kalian, bukan?"
Xie Qingcheng langsung menusuk ke inti permasalahan, membuat lawan bicaranya tak mampu membantah sepatah kata pun.
Dengan suara tertahan dan penuh emosi, Xie Qingcheng berkata, "Jadi, kalian semua sudah tahu bahwa WZL berada dalam bahaya dibunuh. Namun, mungkin ada celah besar dalam informasi yang dimiliki informan kalian. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menulis apa yang ia ketahui di buku itu sebagai peringatan agar kalian bisa menguraikannya. Jika kita hitung, kalian pasti sudah memikirkan pesan tentang WZL ini sejak lama—cukup lama untuk menyusun daftar target yang dicurigai. Zheng Jingfeng, jangan berani-beraninya kau bilang padaku bahwa kau tidak memiliki daftar itu."
Kapten Zheng menghela napas panjang. "Aku tidak bisa menyembunyikan apa pun darimu, Xiao-Xie. Dengar—aku mengerti bagaimana perasaanmu. Jika orang lain berada di posisimu, mereka juga tidak akan sanggup menanggungnya. Namun..."
Saat keheningan menggantung di udara, ujung rokok Xie Qingcheng yang menyala menyentuh kulit jarinya, membuatnya tersentak sedikit.
"Namun, kami harus menjaga kerahasiaan…"
Xie Qingcheng tiba-tiba meledak, menunjukkan emosi yang jarang ia perlihatkan, "Kerahasiaan? Kerahasiaan macam apa?! Saat ayah dan ibuku meninggal, kalian tidak menemukan apa pun! Pada akhirnya, kalian hanya menyimpulkan itu sebagai kecelakaan lalu lintas! Berapa lama aku berbicara dengan kalian saat itu? Berapa banyak yang sudah kukorbankan untuk mencari kebenaran?! Kalian tahu segalanya, tapi tetap tidak bisa menemukan satu pun bukti! Selama bertahun-tahun… Aku punya seorang adik perempuan, jadi pada akhirnya aku menyerah—aku hanya bisa melakukan sebatas yang aku mampu… Tapi sekarang, orang-orang ini membuat kekacauan tepat di depan mataku, dan kau masih ingin membicarakan kerahasiaan denganku?!"
"Xie Qingcheng, bagaimanapun juga, kau bukan seorang polisi. Kau harus tenang…"
"Aku ini anak dari dua korban pembunuhan, sialan!"
Zheng Jingfeng terdiam.
"Mungkin hari ini, aku bisa menemukan seseorang yang dapat memberitahuku siapa yang membunuh orang tuaku." Mata Xie Qingcheng memerah saat ia menekan dahinya ke bingkai jendela yang sedingin es. "Jadi katakan padaku, bagaimana aku bisa tetap tenang?"
Di seberang telepon, masih tak ada suara.
"Bagaimana aku bisa mempercayai kalian, Zheng Jingfeng? Sudah sembilan belas tahun berlalu, tapi kalian masih belum memberiku jawaban. Bahkan sekarang, kalian bahkan tidak bisa menghentikan para peretas di balik video ini untuk menyusup ke sistem kalian. Kau tidak perlu memberitahuku—aku sudah tahu bahwa niat jahat mereka hanya akan semakin menjadi-jadi. Seberapa besar kemungkinan mereka bisa lolos lagi kali ini?"
"Zheng Jingfeng, Pak Zheng, apakah kau tahu rasanya dibiarkan dalam kegelapan selama sembilan belas tahun, tanpa pernah mendapatkan secuil pun kebenaran?! Aku sudah bertahan dan menunggu selama ini."
"…Aku tahu. Tapi…"
"Aku mengerti bagaimana sembilan belas tahun terakhir ini bagi kalian, tapi bisakah kalian memahami bagaimana rasanya satu hari ini bagiku?"
"…Aku mengerti, aku mengerti," gumam Zheng Jingfeng seolah tak tahu harus berkata apa.
Xie Qingcheng terdiam sejenak. Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti mengalirkan darah.
"Kapten Zheng. Jika kau benar-benar mengerti, maka berikan aku daftar nama tersangka 'L' itu." Setelah hening sesaat, ia menambahkan, "Jika tidak, aku akan mencari cara untuk menemukannya sendiri."
Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Zheng Jingfeng akhirnya berkata, "Ah, Xiao-Xie, dengarkan nasihat Paman Zheng ini…"
Ia kembali mengucapkan kata-kata penenang dengan nada tulus dan serius, tapi bagi Xie Qingcheng, ini adalah batas kesabarannya. Amarahnya meledak.
Dengan suara keras, ia menendang kursi di sampingnya hingga terbalik.
"Persetan denganmu! Apa gunanya semua omong kosong ini?! Hentikan omong kosong tidak berguna ini!"
Ia membanting ponselnya ke atas meja dan menekan dahinya ke dinding. Ia begitu marah hingga tanpa sadar menghantamkan kepalanya dengan keras, membuat lebam merah keunguan mulai terbentuk.
Tak satu pun orang di dunia ini—bahkan Xie Xue—pernah melihatnya dalam keadaan seperti ini sebelumnya.
Dada Xie Qingcheng naik turun dengan kasar. Matanya merah sepenuhnya, dipenuhi kemarahan dan keputusasaan.
Ia terdiam sejenak, lalu kembali menatap menara penyiaran di kejauhan.
Siaran langsung yang ditayangkan di ribuan ponsel di seluruh kampus juga diproyeksikan ke sisi gedung itu.
Di bawah huruf L, permainan Drop the Hanky perlahan berlangsung.
Xie Qingcheng memaksa dirinya untuk tenang. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih kembali ponselnya. Setelah mengatur napasnya, ia menekan nomor Chen Man.
Beep… beep…
"Halo, Xie-ge."
"Chen Man." Suara Xie Qingcheng terdengar serak. "Aku butuh bantuanmu. Bisa kah kau membantuku?"
Chen Man terdiam sejenak. "Ge, aku akan melakukan apa pun yang kau minta. Tapi…" Nada suaranya terdengar penuh beban. "Tapi aku tahu apa yang sedang kau coba lakukan sekarang."
Xie Qingcheng sudah mencapai batasnya. Dengan tangan gemetar, ia meraba-raba mencari sebatang rokok dan menyelipkannya di antara giginya, tetapi koreknya menolak menyala.
Kesal, ia melemparkan korek api itu ke samping dan menggigit filter rokok dengan keras. "Kau tahu?"
"Aku tahu. Semua petugas keamanan di Huzhou sedang memantau kejadian ini. Semua menara sinyal di Universitas Huzhou telah diretas dan dipaksa menayangkan video pembunuhan ini. Kami telah berhasil melacak peretasnya, tapi kami menerima ancaman anonim—jika kami menghentikan video ini, beberapa lokasi di seluruh Huzhou akan diledakkan. Kami tidak bisa memastikan apakah ancaman itu nyata, tetapi kami juga tidak bisa mengambil risiko." Suara Chen Man terdengar lelah. "Xie-ge, aku tahu apa yang ingin kau lakukan."
Xie Qingcheng tidak menjawab.
"Aku telah melihat hal yang sama denganmu. Aku tahu kau ingin menemukan 'L', mencegahnya terbunuh, dan menanyakannya tentang pembunuh orang tuamu serta organisasi tempat mereka bernaung." Suara Chen Man mulai terdengar tersendat. "Aku juga tahu… Aku juga tahu bahwa dage-ku berusaha mencari kebenaran demi ayahmu, demi shifu-nya, jadi dia… dia…"
Dari ujung telepon, terdengar suara Chen Man mengendus pelan, mencoba menahan tangisnya.
Tenggorokan Xie Qingcheng bergerak naik-turun, dan rasa pahit memenuhi mulutnya.
Chen Man tidak menangis di hadapannya, hanya lewat telepon, tetapi tetap saja rasanya seolah air mata itu menetes langsung ke dalam hatinya.
"Jadi, kau tidak bisa melakukan ini untukku?" tanya Xie Qingcheng dengan suara lirih.
"Aku tidak bisa… Itu peraturan… Aku hanya petugas berpangkat rendah; aku tidak memiliki akses ke informasi dengan tingkat keamanan setinggi itu… Dan aku… aku seorang polisi… Aku…"
Xie Qingcheng tidak berkata lebih jauh.
Ia bisa saja memaki Zheng Jingfeng atas kasus ini, meskipun pria itu adalah orang yang lebih tua darinya. Tapi dengan Chen Man, itu bukan pilihan.
Ia hanya menghela napas panjang dan berkata dengan suara yang tak terhingga lelahnya, "Baiklah, kalau begitu."
"Xie-ge, aku—"
Xie Qingcheng sudah lebih dulu menutup teleponnya.
Ia berbaring di tempat tidur, membiarkan waktu berlalu, menit demi menit. Seluruh tubuhnya terasa dingin—dari ujung jari hingga ke lubuk hatinya…
"Ayah! Ibu!"
"Jangan ke sana! Xie Qingcheng! Jangan!"
Pada malam badai sembilan belas tahun yang lalu, ketika akhirnya ia menyadari bahwa dua tubuh yang membeku di dalam genangan darah itu adalah orang tuanya, ia kehilangan kendali dan mencoba berlari ke arah mereka.
Rekan-rekan kerja ayahnya menahannya, beberapa dari mereka bahkan bergegas maju untuk menghentikannya.
"Siapa pembunuhnya? Siapa pembunuhnya? Siapa pengemudi itu?!"
Tidak ada yang menjawab.
"Lepaskan aku… Biarkan aku melihat lebih jelas. Mungkin ini hanya kesalahan, mungkin kalian salah orang…?!"
Semua polisi yang ada di sana menangis, tetapi tangan-tangan yang menahannya tak mau melepaskannya.
"Xiao-Xie, jangan seperti ini."
"Pengemudinya melarikan diri, tapi kami akan menyelidikinya… Kami pasti akan mengungkap kebenarannya dan memberikanmu penjelasan…"
Tetapi, penjelasan seperti apa yang mereka berikan kepadanya?
Baru kemudian ia mengetahui bahwa tidak ada yang melarikan diri. Saat rekaman keamanan diperiksa, terlihat bahwa truk itu tidak memiliki pengemudi. Kendaraan itu tampaknya dikendalikan dari jarak jauh, diperintahkan untuk menabrak kedua orang tuanya dan kemudian meledakkan diri. Dalam hitungan detik, api melalap habis kendaraan itu, menghilangkan semua bukti yang mungkin ada di dalam kabin.
Bersih tanpa jejak.
Begitu bersih hingga setelah sembilan belas tahun berlalu, kasus itu tetap tak terpecahkan.
Xie Qingcheng berbaring di tempat tidur, tubuhnya semakin terasa membeku. Tangannya gemetar begitu hebat hingga ia tak bisa menyalakan rokoknya. Dengan susah payah, ia membuka ponselnya dan menatap berulang kali pada gambar-gambar yang tersimpan di dalamnya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan suara klik yang lembut.
Xie Qingcheng dengan cepat mematikan layar ponselnya dan menutup mata.
Nada dering teleponnya terus berbunyi, panggilan masuk satu per satu—dari rekan kerja lama orang tuanya, dari Xie Xue, dari Chen Man. Namun, ia tidak mengangkat satupun. Ia hanya berbaring di sana, membiarkan suara dering yang terus-menerus itu menusuk gendang telinganya seperti bilah pisau yang tajam.
Lalu, tiba-tiba, dering itu terputus. Disusul dengan suara perangkat yang dimatikan.
Xie Qingcheng masih berbaring dengan satu tangan menutupi matanya. Baru sekarang ia membuka matanya sedikit, menatap kosong ke arah pemuda yang baru saja mematikan ponselnya.
"Aku mendengar semuanya," kata He Yu.
Xie Qingcheng hanya diam menatapnya.
"Kau tidak pernah memberitahuku bahwa orang tuamu meninggal seperti itu."
Xie Qingcheng menoleh ke samping. Pada akhirnya, ia tidak menangis, hanya matanya yang memerah parah. Ia ingin bangkit dan pergi—He Yu tidak mungkin memahami hal-hal seperti ini. Xie Qingcheng jelas tidak ingin membicarakannya dengannya.
Ia duduk dan mengangkat rokok dengan tangan yang masih gemetar. Beberapa kali ia mencoba menyalakannya, tetapi kekuatan di tangannya seakan lenyap, membuatnya gagal berkali-kali.
Lalu, pemantik itu diambil dari jarinya.
Dengan suara klik yang tajam, He Yu menyalakan pemantik Zippo miliknya dan mendekatkannya ke ujung rokok di bibir Xie Qingcheng.
Tanpa berkata apa-apa, Xie Qingcheng menerima bantuannya. Ia menarik napas panjang dari rokok yang akhirnya menyala, membiarkan asapnya mengalir masuk ke paru-parunya. Perlahan, gemetar yang mengguncang tubuhnya pun mereda sedikit demi sedikit.
He Yu duduk di sampingnya, diam-diam mengawasi saat Xie Qingcheng menghabiskan rokoknya.
Dalam hati, He Yu berpikir bahwa Xie Qingcheng sebenarnya sangat luar biasa.
Bahkan dalam situasi seperti ini, ia hanya kehilangan sedikit ketenangannya; ia tidak benar-benar hancur atau mengalami kehancuran mental.
He Yu jarang melihat sisi rapuhnya.
Xie Qingcheng yang ia kenal selalu merupakan sosok yang teguh dan tak tergoyahkan. Namun, saat ini, ia tampak begitu lemah. Kerapuhan yang ia tunjukkan—setelah mencoba meminta bantuan dari semua orang yang dikenalnya, hanya untuk menemui jalan buntu—membangkitkan perasaan aneh dalam diri He Yu.
Sebuah dorongan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Keinginan untuk mengulurkan tangannya.
He Yu tiba-tiba merasa bahwa Xie Qingcheng, dalam keputusasaan dan kesunyiannya, tampak… begitu familiar. Ia menatapnya lama, sebelum akhirnya ia teringat sesuatu.
Pemandangan ini…
Ini persis seperti saat penyakitnya kambuh ketika ia masih kecil—ketika ia berusia delapan, sembilan, atau sepuluh tahun… setelah Xie Qingcheng menjadi dokternya.
Setiap kali rasa sakitnya mencapai puncaknya, He Yu selalu sama seperti sekarang—tak berdaya dan diam, enggan mengungkapkan apa pun kepada siapa pun.
Bagaimana Xie Qingcheng memperlakukannya waktu itu?
Itu sudah lama sekali.
He Yu terkejut sendiri—kenapa ia masih mengingatnya?
Hari itu, vila keluarganya sunyi seperti kuburan yang ditinggalkan. Begitu hening hingga suara sekecil apa pun bisa terdengar dengan jelas.
Ia duduk sendirian di tangga batu, di samping hamparan hydrangea yang sedang bermekaran. Tanpa menangis atau mengeluh, ia mengeluarkan sebilah pisau perak yang tajam. Dengan tenang, ia menyayat kulitnya sendiri, seolah-olah yang ia potong bukanlah bagian dari tubuhnya, melainkan sekadar kantong kulit yang tak memiliki hubungan dengan sistem sarafnya.
Setiap kali penyakitnya kambuh, He Yu selalu menyukai bau darah—bahkan, ia menginginkannya. Ia tahu bahwa ia tidak memiliki hak untuk menyakiti orang lain, tetapi terhadap tubuhnya sendiri, tidak ada batasan yang mengikatnya.
Saat ia menatap tetesan darah yang perlahan mengalir dari tangannya, ia merasakan sesuatu merayapi hatinya. Seperti lumut yang tumbuh liar, sadisme yang bersemayam di lubuk jiwanya merembes keluar, menjalar ke seluruh tubuhnya…
Tiba-tiba, sebuah suara yang tenang terdengar dari balik hamparan hydrangea di musim panas itu.
"Hei, bocah nakal."
He Yu tersentak. Namun, ia segera menyembunyikan pisaunya tanpa perubahan ekspresi. Dengan tangan di belakang punggungnya, ia menampilkan wajah yang masih kekanak-kanakan dengan kepolosan yang dibuat-buat. Ia mendongak dan melihat Xie Qingcheng yang lebih muda berdiri di antara bunga-bunga, mengenakan jas putih panjang.
Xie Qingcheng mengangkat alisnya. "Apa yang kau sembunyikan?"
"…Tidak ada."
He Yu tidak pernah membuka hatinya kepada siapa pun. Ia berharap Xie Qingcheng hanya akan melewatinya begitu saja.
Pisau tajam yang ia sembunyikan menekan kulitnya, dan ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menahan dorongan yang begitu kuat dalam dirinya—keinginan untuk menggunakannya pada orang lain.
Namun, Xie Qingcheng malah menangkap pergelangan tangannya dan menariknya ke depan.
Pisau berlumuran darah itu jatuh ke tanah dengan suara dentingan.
Tatapan Xie Qingcheng tertuju pada luka di pergelangan tangan He Yu, yang masih mengeluarkan darah.
Tubuh He Yu menegang seketika. Ia menunggu Xie Qingcheng memarahinya—seperti yang dilakukan orang-orang lain.
Namun, setelah sekian lama hening, yang keluar dari mulut Xie Qingcheng hanyalah sebuah pertanyaan.
"…Apa itu tidak sakit?"
He Yu tertegun.
Orang tuanya tahu bahwa ia sakit. Tetapi mereka memperlakukan penyakitnya sebagai sebuah aib, terutama ibunya.
"Kau tidak boleh menyakiti orang lain, jadi kau harus belajar mengendalikan dirimu sendiri," ibunya selalu mengingatkan. "Ibu bisa memahami ketidaknyamanan fisikmu, tetapi bagaimana mungkin seorang anak sepertimu merasakan penderitaan psikologis seperti itu? Itu karena kau tidak cukup kuat."
He Yu muda hanya mendengarkan ibunya dengan tenang, sebagaimana ia melakukan setiap pelajaran yang diterimanya. Ia hidup sesuai dengan tuntutan orang tuanya, membentuk dirinya menjadi trofi, penghargaan, dan pujian yang tak berkesudahan. Ia telah dihancurkan menjadi kepingan-kepingan kecil, setiap fragmen tubuhnya diletakkan di bawah mikroskop untuk diperiksa.
Ia tidak boleh melakukan kesalahan.
Setiap kali penyakitnya kambuh, ia dengan hati-hati menyembunyikan rasa sakitnya, menguburnya jauh di dalam hatinya yang telah mengeras.
Ia harus menjadi luar biasa; bahkan ketika sakit pun, ia tidak diperbolehkan berteriak. Kalaupun ia berteriak, itu tidak akan ada gunanya—tidak ada seorang pun yang benar-benar akan memperhatikannya. Lama-kelamaan, ia kehilangan kemampuannya untuk mengekspresikan rasa sakit. Sejak saat itu, semua itu tak lagi berarti.
Ia seperti seekor naga jahat yang menakutkan dalam dongeng, yang tidak pernah keluar dari pulau terpencilnya: ia menyiksa hatinya sendiri dan menggigit anggota tubuhnya sendiri, menyalurkan penyakit yang menyimpang—yang hanya membawa kekecewaan bagi orang lain—ke dalam luka-luka yang tidak bisa ia tunjukkan kepada siapa pun.
Selama ia tidak menyakiti orang lain, bukankah itu berarti ia tidak bersalah karena sakit?
Setiap noda darah yang terasa manis dan pahit adalah tanda yang ia tinggalkan di tubuhnya sendiri. Hanya demi mencoba menjadi orang yang "normal," ia memilih untuk membelenggu dirinya sendiri. Satu-satunya persembahan yang pernah ia berikan kepada penyakit jahat ini adalah darahnya sendiri. Ia sudah lama terbiasa dengan hal itu.
Namun, dokter pribadinya ingin membebaskannya dari belenggu besi yang ia pasangkan sendiri; ingin melangkah masuk ke dalam sarang naganya yang dingin dan gelap; ingin menyentuh bekas luka di tubuhnya, yang beragam bentuk dan ukurannya, dan bertanya kepadanya, "Hei, iblis kecil, apakah itu tidak sakit?"
Gema raungan lemah dari seekor naga muda terdengar di dalam hatinya—lemah, tetapi penuh amarah. Namun, saat pria itu berusaha menyentuh lukanya, ia menyeret tubuhnya yang berdarah dan terluka menjauh dengan panik, ekor naganya yang berduri menghantam tanah dengan gelisah.
Ia tidak terbiasa dipertanyakan. Apalagi diperhatikan.
Tidak sakit.
Tidak sakit. Jangan melihatku seperti itu! Aku tidak akan menyakiti siapa pun, jadi jangan pedulikan aku, jangan tanyakan apa pun, jangan mendekat. Tinggalkan aku sendiri...
Namun, tangannya tertangkap. Sang dokter muda menggulung lengan bajunya, mengungkapkan lengan bawahnya yang selama ini ia sembunyikan.
Pisau dingin itu jatuh ke lantai.
Apa yang dilihat dokter itu adalah bahwa, untuk menekan dorongan menyakiti orang lain saat penyakitnya kambuh, bocah ini telah mengukir luka demi luka pada dirinya sendiri. Darah hangat masih menetes dari luka-luka yang bersilangan.
Sepertinya naga muda itu begitu ketakutan hingga ia menjatuhkan topeng manusianya yang lembut dan cerdas, menampakkan moncong kecil naga yang jelek, penuh bekas luka, dan tak terkatakan menyedihkan di bawahnya. Ia menghantamkan ekor naganya yang berduri dan memperlihatkan taring tajamnya saat ia meraung, mengerahkan seluruh pertahanannya untuk mengusir penyusup itu dari sarangnya, "Ini bukan urusanmu. Jangan sentuh aku."
Dokter muda itu mengabaikan keberatannya. Ia mengangkat anak itu dan meletakkannya di atas salah satu bahunya. "Jangan banyak bergerak."
He Yu mulai meronta. Ia membenci bau disinfektan yang melekat pada tubuh Xie Qingcheng serta aroma samar obat-obatan yang tercium dari lengan bajunya. Ia juga kehilangan seluruh kemampuannya untuk menyembunyikan dorongan kekerasannya sendiri. Desisan pelan yang keluar dari sela giginya yang terkatup rapat adalah ancaman sekaligus peringatan.
"Lepaskan aku, atau aku mungkin akan melukaimu..."
"Bagaimana kau akan melukaiku?" tanya dokter itu dengan nada acuh tak acuh. "Apa kau sudah memiliki rencana?"
Saat mereka tiba di ruang perawatan khusus di vila, dokter itu melemparkan He Yu kecil ke atas sofa anak-anak yang empuk lalu membanting pintu hingga tertutup rapat. Kemudian, Xie Qingcheng mengambil masker sekali pakai dari laci dan mengenakannya. Ketika ia berbalik, satu-satunya yang bisa dilihat He Yu hanyalah sepasang mata yang dalam dan penuh ketajaman.
Itulah pertama kalinya He Yu dipandang lebih dari sekadar "anak teladan." Di bawah tatapan intens itu, rasanya seolah-olah ia tiba-tiba menjadi bayi canggung yang kesalahan dan keterlambatannya bisa dimaafkan. Seolah-olah ia bahkan bisa mengulurkan tangan untuk meminta permen, dan itu bukanlah hal yang salah.
Maka, ia membeku. Ia bahkan lupa untuk melarikan diri.
Xie Qingcheng mencuci dan mendisinfeksi tangannya di wastafel. "Berikan tanganmu," katanya. "Aku akan membalut lukamu."
"...Aku baik-baik saja. Aku tidak peduli," jawab He Yu sambil memalingkan wajah dan menggenggam lengannya yang berdarah, menolak untuk mempercayai pria itu.
Xie Qingcheng mengangkat alis. "Kau sudah terbiasa dengan bau darah dan kekerasan, jadi kau bahkan tidak peduli lagi jika melukai dirimu sendiri, benar begitu?"
He Yu menjawab pelan, "Ya. Itu tidak bisa diubah, jadi aku tidak ingin membuang waktumu untuk mengobatiku."
"Aku dibayar untuk ini," balas Xie Qingcheng dengan nada datar.
He Yu menatapnya.
"Iblis kecil, menurutmu melukai diri sendiri itu hal yang benar? Bahwa menjadi haus darah dan bengkok di dalam adalah sesuatu yang harus dibiarkan begitu saja? Mengapa kau tidak menghargai dirimu sendiri? Jika kau terlalu terbiasa dengan bau darah, kau akan kehilangan semua emosi manusiawimu. Seiring waktu berlalu, kau hanya akan semakin mati rasa, semakin terganggu, dan menjalani seluruh hidupmu seperti sebatang rumput liar atau sebongkah batu. Tidakkah kau akan menyesal? Tidakkah itu menyakitimu?"
♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛
Rasanya seolah percakapan itu baru terjadi kemarin.
Meskipun Xie Qingcheng pada akhirnya telah meninggalkannya dan hubungan mereka memudar, He Yu selalu mengingat hari itu.
Itulah pertama kalinya seseorang pernah mengulurkan tangan kepadanya dan bertanya, Tidakkah itu menyakitimu?
Mengapa kau tidak menghargai dirimu sendiri...
He Yu memperhatikan pria itu menyelesaikan rokoknya dengan kepala tertunduk.
"Xie Qingcheng, kau ingin tahu siapa yang diyakini polisi sebagai L, bukan?" tanya He Yu tanpa basa-basi.
Xie Qingcheng tidak segera bereaksi.
"Jangan terlalu kecewa. Mungkin aku bisa membantumu."
Kepala Xie Qingcheng terangkat dengan cepat, matanya yang menyerupai bunga persik membelalak saat menatap He Yu.
"Jangan lupa," kata He Yu, "aku juga seorang peretas."
Xie Qingcheng menatapnya lekat-lekat.
"Mereka menggunakan peralatan paling canggih. Sebenarnya, aku sudah meneliti jenis peralatan ini sejak pertama kali dirilis, hanya karena kebiasaan. Aku berhasil mencegat serangan mereka ke ponselku barusan, jadi aku memiliki gambaran umum tentang perangkat lunak yang mereka gunakan. Mungkin aku bisa mengalahkan teknisi yang mereka pekerjakan."
He Yu tidak sedang bercanda. Ekspresinya begitu serius, hampir khidmat—seolah-olah dia tengah menghadapi gunung tak tergoyahkan yang selama ini menjulang tinggi di hadapannya dan berkata, Aku sudah dewasa sekarang; aku bukan lagi anak kecil tak berdaya yang dulu duduk di antara hamparan bunga hortensia musim panas bertahun-tahun lalu.
Xie Qingcheng tertegun sejenak. Pikirannya kosong, perasaannya kusut dan tak beraturan. Beberapa saat kemudian, ia mendengar dirinya bertanya, "Mengapa... kau ingin membantuku?"
He Yu awalnya terdiam. Kemudian, tiba-tiba, ia mengulurkan tangannya kepada Xie Qingcheng. Sama seperti bertahun-tahun lalu, ketika Xie Qingcheng dengan keberaniannya mengulurkan tangan kepada seorang anak yang tengah mengalami kambuhnya penyakit, tenggelam dalam keputusasaan, dan melukai dirinya sendiri demi meredakan dahaga haus darahnya terhadap kekerasan.
"Karena dulu kau melakukan hal yang sama untukku."
Keheningan pun menyelimuti.
"Aku tidak pernah menyukaimu, Xie Qingcheng. Tapi..."
Seolah-olah aroma ladang hortensia dari musim panas yang subur kembali berhembus, ketika seseorang yang berdiri mengulurkan tangan kepada seseorang yang duduk—
"Dokter Xie... Aku juga tidak pernah melupakanmu."