Chereads / Case File Compendium (TL NOVEL BL) / Chapter 37 - His Parents Were Killed in the Crash

Chapter 37 - His Parents Were Killed in the Crash

"Temanmu?" tanya He Yu tanpa basa-basi begitu Xie Qingcheng selesai menutup telepon dan kembali ke ruangan.

Xie Qingcheng tidak berniat memberikan penjelasan lebih lanjut kepada He Yu. Berdasarkan anggapan bahwa orang-orang penting cenderung memiliki ingatan yang pendek, ia mengira He Yu sudah melupakan Chen Man—seseorang yang kebetulan hanya pernah makan bersamanya sekali. Maka, ia hanya menjawab dengan singkat, "Kurang lebih, ya. Dia baru saja selesai bekerja dan ingin datang ke sini. Aku menolaknya."

Setelah menutup pembicaraan mengenai Chen Man, Xie Qingcheng membawa semangkuk mi yang baru selesai dimasaknya keluar dari dapur. Saat Xie Qingcheng sibuk dengan pekerjaannya, Tuan Muda He hanya berdiri di samping, memperhatikan seperti seorang tokoh penting. Ia tidak menunjukkan niat sedikit pun untuk membantu, hanya ingin mencari tahu lebih banyak tentang Chen Man.

"Mengapa dia begitu ingin bertemu denganmu?" tanyanya dengan nada menekan.

"Sudah kubilang, dia temanku."

"Dia cukup muda, bukan? Berapa usianya?"

"Hampir seumuran denganmu."

"Profesor Xie memiliki banyak pertemanan yang melampaui batasan usia," kata He Yu sinis. "Bukankah perbedaan generasi menjadi kendala?"

Xie Qingcheng merasa He Yu sedang mengada-ada. Ia meletakkan sumpitnya dengan suara keras di atas meja dan menatapnya dingin. "Apa kau pikir kau bisa seenaknya menginterogasi orang? Kau terlalu ingin tahu. Apa hubunganku dengan orang lain ada kaitannya denganmu?"

He Yu terdiam.

Memang benar… Ini bukan urusannya. Setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan, ia merasa dirinya bertindak tidak masuk akal—mengapa ia harus peduli dengan hal semacam ini?

Xie Qingcheng mendorong semangkuk mi dengan telur mata sapi di atasnya ke hadapan He Yu. "Makanlah. Aku akan menelepon ayahmu."

♛┈⛧┈┈•༶✧༺♥༻✧༶•┈┈⛧┈♛

Sementara itu, di salah satu gedung perkuliahan Universitas Huzhou, Zhang Yong bersembunyi di sudut gelap sebuah kantor dengan pintu yang terkunci rapat.

Butiran keringat besar mengalir di dahinya. Ia menyekanya dengan sapu tangan, tetapi kain itu sudah begitu basah hingga air dapat diperas darinya.

Sepasang matanya yang kecil seperti biji kacang hijau terpaku pada pintu logam—satu-satunya akses masuk ke ruangan itu. Ia telah menatapnya dalam waktu yang sangat lama.

Sejak foto jasad Wang Jiankang tersebar, ia tahu bahwa dirinya akan menjadi target berikutnya.

Bagaimana tidak? Ia pun pernah terlibat dalam perancangan eksperimen biologis terhadap korban yang dipaksa dikirim ke Rumah Sakit Jiwa Cheng Kang. Ia juga mengambil bagian dalam eksploitasi terhadap wanita-wanita yang telah kehilangan kewarasannya, menjadi bagian dari transaksi kekuasaan dan seks yang tidak terungkap saat para pria berkuasa membuat kesepakatan besar.

Rumah sakit jiwa itu memiliki banyak pasien yang cantik, beberapa di antaranya adalah mahasiswa Universitas Huzhou yang telah diperdaya untuk menerima "pengobatan" di sana. Para wanita itu patuh dan menurut, membangkitkan hasrat untuk menodai mereka dalam diri banyak pria. Mereka juga dianggap sebagai pilihan yang aman—hampir tidak ada yang peduli dengan kondisi psikologis mereka atau mempercayai ucapan mereka.

Beberapa dari mereka disiksa hingga kehilangan akal sehat, bahkan mengalami amnesia total yang membuat mereka melupakan segala kebejatan yang telah dilakukan para pria itu terhadap mereka.

Jika mereka hamil, itu juga bukan masalah besar—para pria itu telah bekerja sama dengan Liang Jicheng selama bertahun-tahun, dan Liang Jicheng sangat memahami cara menangani hal semacam itu. Ia tahu bagaimana mencari peneliti yang dapat dipercaya untuk menghilangkan semua bukti kejahatan.

Namun…

Namun, bukan dirinya yang menginginkan melakukan perbuatan bejat itu sejak awal! Jelas-jelas seniornya yang menyeret Zhang Yong ke dalamnya, menggoda dengan iming-iming keuntungan besar serta kenikmatan tak terbatas. Senior itu menyuruhnya mengurus semua urusan tersebut, mengatakan bahwa mereka adalah saudara dalam satu perahu; jika terjadi sesuatu, mereka akan menanggung akibatnya bersama-sama.

Setelah Rumah Sakit Jiwa Cheng Kang hangus terbakar, pria itu bahkan menenangkan mereka, mengatakan bahwa semuanya telah dibersihkan dengan sempurna. Ia meyakinkan mereka bahwa penyelidikan paling jauh hanya akan berhenti pada Liang Jicheng. Sedangkan untuk sisanya—orang mati tidak bisa berbicara, jadi mereka tidak perlu khawatir.

Tapi Wang Jiankang tiba-tiba mengalami kematian yang mengerikan.

Nama belakang Zhang Yong, beserta salah satu rekannya, juga muncul dalam video pembunuhan itu, diikuti dengan ancaman mengerikan yang tersembunyi dalam permainan "jatuhkan saputangan." Saat Zhang Yong pertama kali melihat menara siaran, ia baru saja keluar dari gedung perkuliahan. Ia langsung ketakutan setengah mati; dengan panik, ia berlari sambil menelepon seniornya dengan penuh kepanikan.

Panggilan tersambung. Zhang Yong mendengar musik lembut yang menenangkan di latar belakang, serta suara samar seorang terapis pijat asing yang bertanya seberapa kuat tekanan yang diinginkan.

Nyawa mereka hampir berakhir dengan tragis, namun pria ini masih bersantai di spa.

"Halo… Halo?" Mata Zhang Yong hampir melotot karena kebencian dan ketakutan. Meskipun ia merendahkan suaranya, kemarahannya tak dapat disembunyikan, apalagi rasa takutnya. "Halo?!"

"Oh." Pria di ujung telepon tertawa kecil. "Direktur Zhang. Ini sudah larut. Ada keperluan apa?"

Zhang Yong begitu marah hingga seluruh pembuluh darah di kepalanya terasa akan meledak. Dengan suara yang penuh kemarahan, ia berkata, "Jangan pura-pura bodoh! Wang Jiankang sudah mati! Dia mati! Kau bilang Cheng Kang sudah bersih dan menyuruh kami untuk tidak khawatir, lalu apa yang terjadi sekarang?! Jelaskan padaku!"

"Mm… Bagus. Sedikit lebih keras di bagian bahu," pria itu berkata dalam bahasa Inggris kepada terapis pijatnya. Lalu, dengan nada yang menyebalkan lambatnya, ia kembali berbicara kepada Zhang Yong. "Temanku, Cheng Kang memang sudah dibersihkan. Tapi anjing-anjing itu masih berkeliaran di sana dan tidak mau melepaskan jejak. Mereka bersikeras mengikuti aroma darah dan menelusurinya sampai ke pintu kita. Jadi menurutmu, apa yang harus kita lakukan?"

"Kau tidak peduli?!" seru Zhang Yong. "Kau harus mencari jalan keluar! Kau yang paling diuntungkan dari semua ini. Kau…"

Pria di ujung telepon memotongnya dengan tawa kecil. "Direktur Zhang, sebagian besar hal di dunia ini memang tidak adil. Kau sudah dewasa, bukankah seharusnya kau memahami itu?"

Zhang Yong basah kuyup oleh keringat. Menatap ponselnya, ia menyadari bahwa orang itu tidak akan mengulurkan tangan untuk membantunya; bahkan mungkin, orang itu justru akan mencelakainya. Situasi seperti ini memang merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari mencoba membujuk seekor harimau untuk mengorbankan kulitnya sendiri.

Zhang Yong menatap menara televisi berwarna merah darah itu, seolah baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ia melemparkan ponselnya ke dalam semak-semak agar tidak bisa dilacak, lalu berlari panik kembali ke dalam gedung perkuliahan.

Kini, ia bersembunyi dalam gemetar di salah satu kantor di gedung tersebut.

Universitas Huzhou memiliki begitu banyak gedung—totalnya mungkin ada ribuan kantor dan ruang kelas.

Ia bahkan telah melepaskan jam tangan pintar ber-GPS miliknya, sehingga ia merasa seharusnya aman bersembunyi di ruangan ini. Jika berhasil bertahan hingga pagi, ia memutuskan untuk menyerahkan diri kepada pihak berwenang. Ia tidak akan lagi terjebak dalam harapan kosong—jika menyerahkan diri, mungkin ia masih bisa mendapatkan keringanan hukuman. Itu jauh lebih baik daripada nasib yang menimpa Wang Jiankang—ditelanjangi dan dicekik hingga mati…

Ingatan itu membuat Zhang Yong kembali gemetar. Ia menelan ludah dengan susah payah, membayangkan bahwa ia hampir bisa melihat siluet Jiang Lanpei bergoyang di depannya—sosok wanita bergaun merah dan sepatu merah, hantu yang datang untuk menjemputnya…

"Pah!" Dengan tubuh bergetar, ia mencoba menguatkan dirinya dengan suara lirih. "Pah, pah, pah! Apa yang kau pikirkan! Tidak mungkin ada hantu! Hantu tidak ada!"

Namun, seolah ingin membantah ucapannya, suara tawa pelan seorang wanita tiba-tiba terdengar di ruangan terkunci itu.

"Hee hee…"

Zhang Yong tersentak berdiri, wajahnya berubah karena ketakutan. "Siapa di sana? Siapa?!"

Namun, suasana kembali sunyi, seakan-akan suara tawa lembut itu hanyalah halusinasinya belaka.

Punggung Zhang Yong yang gemuk dan basah oleh keringat menempel erat pada dinding yang dingin. Ia sengaja memilih kantor ini karena tidak memiliki jendela, hanya satu pintu. Ruangan itu sempit; bahkan tidak ada lemari tempat seseorang bisa bersembunyi.

Dari mana suara itu berasal?

Zhang Yong benar-benar kuyup oleh keringat, seperti ikan yang baru saja ditangkap dari air, dan jantungnya berdebar begitu kencang seolah akan meloncat keluar dari dadanya.

Lalu, seperti dalam sebuah permainan pembunuhan yang membutuhkan ritual seremonial, musik itu kembali terdengar.

"Jatuh… jatuh… jatuhkan saputangan… letakkan perlahan di belakang temanmu, jangan sampai dia tahu…"

Tapi Zhang Yong tidak membawa ponsel!

Dari mana asal suara musik elektronik bernada nyaring itu? Di mana ponselnya?

Ia mencoba menenangkan diri dengan harapan terakhir—mungkinkah seseorang meninggalkan ponselnya di kantor ini?

Zhang Yong berusaha berdiri sambil mencari sumber suara. Perlahan, ia menggerakkan matanya—yang membelalak seperti mata kodok—ke arah langit-langit… dan melihat ke atas…

"Aaaaaaaaah!"

Teriakannya begitu nyaring hingga menggema di seluruh gedung perkuliahan.

Lagu itu berasal dari panel akses AC di langit-langit!

Ventilasi itu telah terbuka entah sejak kapan. Seorang wanita berambut hitam, mengenakan gaun merah, duduk di ruang sempit di atasnya, menatap ke bawah dengan ekspresi datar. Ia tersenyum tipis.

Zhang Yong memang sudah memiliki penyakit jantung; pada saat itu juga, wajahnya langsung pucat pasi, seputih mayat, sementara bibirnya dengan cepat membiru. Jimat Buddhis yang tergantung di lehernya berayun dengan keras, mengikuti napasnya yang tersengal-sengal.

Tiba-tiba, napasnya terhenti. Sambil mencengkeram dadanya, ia mundur dua langkah sebelum jatuh tersungkur ke lantai dengan suara berdebum.

Langit-langit gedung perkuliahan itu memiliki serangkaian balok horizontal dengan ruang kosong yang cukup besar di atasnya. Para mahasiswa sudah terbiasa mendengar suara kucing atau tikus berlarian di sana. Sementara itu, unit pendingin udara di ruangan tersebut adalah model lama dengan casing luar yang dapat dilepas, menutupi panel akses perawatan. Zhang Yong tidak pernah menyadari bahwa ruang merayap di atas sana ternyata cukup luas untuk menampung seseorang dengan nyaman.

Wanita itu melompat turun dari panel akses, di tangannya tergenggam belati yang berkilau dingin.

"Kau... Itu kau...!"

Meskipun ketakutannya hampir melumpuhkannya, Zhang Yong masih bisa mengenali wajah wanita itu. Wajah yang begitu halus dan cantik—tetapi saat ini, dalam pandangannya, itu adalah wajah arwah jahat yang merangkak keluar dari neraka!

Jiang Liping!

Itu Jiang Liping!

"Karena kau sudah melihat wajahku, kau tidak akan hidup lebih lama dari hari ini." Jiang Liping mendekatinya dengan senyum manis. "Bagaimana kau ingin mati? Pisau? Pistol? Keduanya cepat dan tidak menyakitkan..."

"K-Kau bekerja untuk mereka?! K-kau bukan hanya pelacur, kau juga... kau juga bekerja untuk mereka!"

"Benar, aku bersama mereka." Jiang Liping tersenyum lembut. "Kalau tidak, untuk apa aku repot-repot menghabiskan waktuku di antara bajingan menjijikkan sepertimu?"

Zhang Yong terus mundur, selangkah demi selangkah... Tangan kanannya masih mencengkeram dadanya. Dalam pandangan periferalnya, ia melihat pintu logam ruangan itu di belakangnya. Lalu—

Bang!

Entah dari mana ia menemukan tenaga—mungkin karena dorongan naluriah untuk bertahan hidup yang teramat kuat—tiba-tiba ia berlari seperti binatang liar, menerobos pintu dengan kasar dan melarikan diri keluar dari gedung.

Mata Jiang Liping meredup.

Zhang Yong kabur?

Namun, itu tidak masalah.

Area ini sudah dikepung dengan jebakan di setiap sudut; pria itu hanya memilih cara mati yang berbeda.

Jiang Liping tahu bahwa tidak perlu mengejar pria yang sudah separuh gila itu—dan lagipula, ia tidak bisa mengejarnya karena polisi berjaga di luar. Jika tidak, ia tidak akan repot-repot menyelinap masuk melalui ventilasi langit-langit.

Ia menekan mikrofon khusus ke bibir merahnya dan berbicara pelan.

"Laoban, Zhang Yong melarikan diri dari Ruang 4406. Ia keluar menuju pintu 3. Aku akan pergi melalui pintu 6. Kirim beberapa orangmu untuk menjemputku."

Meskipun ketakutan hampir membuatnya kehilangan kendali, Zhang Yong berhasil melarikan diri dari gedung perkuliahan. Teriakan dan gerakannya yang panik menarik perhatian polisi, yang segera mendekat dengan mobil patroli mereka.

Zhang Yong tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari nanti suara sirene polisi—yang dulu merupakan mimpi buruknya—akan terdengar seperti penyelamat ilahi. Keringat mengucur deras di wajahnya saat ia berteriak sekuat tenaga, suaranya serak karena ketakutan. "Tolong! Tolong! Saya menyerah! Saya memiliki informasi penting! Selamatkan saya… Ada seorang pembunuh di dalam gedung itu…!"

Ia terengah-engah saat berlari, jimat di lehernya berayun di dada. Namun, bahkan dalam situasi genting ini, ia tidak menyadari cahaya elektronik samar yang berkedip dari lubang kecil di dalam jimatnya…

Mengetahui dirinya telah melakukan banyak dosa, Zhang Yong berdoa dengan hati penuh rasa bersalah, memohon perlindungan dari para dewa. Namun, apakah doanya dikabulkan?

Sayangnya, yang datang bukanlah dewa, melainkan iblis dan monster.

Rencana para konspirator telah lama berjalan. Begitu seseorang berlutut meminta pertolongan dari para dewa, sepasang mata akan mulai mengawasi—meneliti kelemahan dan keraguannya.

Zhang Yong hanyalah bagian yang telah membusuk dalam organisasi itu, sesuatu yang cepat atau lambat akan disingkirkan.

"Tolong… Tolong… Aaaaah, selamatkan saya!"

Teriakannya membuat sekelompok polisi yang berjaga segera berlari ke arahnya, lengkap dengan senjata. Mata Zhang Yong bersinar penuh harapan saat ia berusaha keras mencapai para polisi itu. Ia seperti seseorang yang hampir tenggelam di tengah badai, berenang mati-matian menuju daratan…

Ia tidak ingin mati, ia tidak ingin mati…

Ia hampir sampai…

Sedikit lagi…

Ia bahkan bisa melihat wajah tegang tetapi tegar dari polisi yang paling dekat dengannya. Dengan air mata mengalir di wajahnya, Zhang Yong mengulurkan tangannya…

"Selamatkan saya! Saya akan bicara, saya akan memberitahu segalanya, saya—"

Bang!

Sebuah suara menggelegar yang memekakkan telinga tiba-tiba menghentikan jeritan terakhirnya.

Sesaat kemudian, keheningan mencekam menyelimuti tempat itu.

Tepat saat Zhang Yong melewati persimpangan, hanya beberapa langkah sebelum mencapai polisi, salah satu truk pendingin milik kantin universitas yang diparkir di dekatnya mendadak meraung hidup. Dalam sekejap, kendaraan besar itu melaju kencang dan menabrak Zhang Yong dengan keras, tepat ketika ia hendak menyerahkan diri!

Semua orang tertegun, mata mereka terbelalak saat menyaksikan tubuh Zhang Yong terpental tinggi ke udara sebelum membentur tembok dengan suara gedebuk yang mengerikan.

Krak! Kepalanya retak seketika, darah menyembur ke segala arah. Bahkan sebelum tubuh gemuknya menghantam tanah, Zhang Yong sudah tidak bernyawa. Tubuh tak bernyawa itu hanya sempat diterangi oleh lampu depan truk untuk sesaat sebelum kendaraan tersebut melindasnya—menghancurkan setengah bagian tubuh Zhang Yong hingga tak lagi bisa dikenali…

Berikut terjemahan dalam bahasa baku:

---

Setelah beberapa saat hening dalam ketakutan, seorang polisi yang bermata tajam tiba-tiba berteriak, "Kapten Zheng!" Suaranya tegang akibat kejutan luar biasa yang baru saja ia alami. "Cepat lihat! Tidak ada siapa pun di kursi pengemudi truk itu! Tidak ada yang mengendarainya! Truk itu bergerak sendiri! Bagaimana bisa terjadi?!"

Petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus tak terduga ini adalah Zheng Jingfeng, seorang penyelidik kriminal veteran. Ia berdiri tidak jauh dari persimpangan dan menyaksikan dengan jelas kejadian yang baru saja berlangsung. Saat menyaksikan adegan itu, penyelidik tua itu tiba-tiba teringat akan sesuatu—sebuah kasus dari sembilan belas tahun yang lalu, yang kini seolah terulang kembali di hadapannya.

Bayangan-bayangan mengerikan dari masa lalu melintas di benaknya, membuat ekspresi Zheng Jingfeng berubah drastis. Ia berteriak sekencang mungkin, "Semua merunduk! Cepat, tiarap!"

Sebuah ledakan dahsyat mengguncang udara saat api tiba-tiba berkobar dari truk pendingin tanpa pengemudi itu. Dalam hitungan detik, seluruh bagian depan kendaraan tersebut telah dilalap api yang mengamuk…

Dengan batuk tersedak akibat asap, Zheng Jingfeng berusaha bangkit dari tanah. Napasnya tersengal saat ia menatap mesin baja yang kini terbakar hebat. Truk tanpa pengemudi, kabin yang tiba-tiba terbakar setelah menabrak seseorang, serta tubuh di tanah yang sebagian telah tergilas…

Dalam cahaya api yang berkobar, ekspresi penyelidik kriminal veteran itu berubah sangat suram…

Seolah-olah ia telah kembali ke hari itu, sembilan belas tahun yang lalu…

Adegan di hadapannya sekarang hampir persis sama seperti saat itu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang yang tergeletak di bawah roda kendaraan pada waktu itu adalah dua rekan dekatnya, pasangan suami istri:

Xie Ping dan Zhou Muying.

"Drop, drop, drop the hanky, set it lightly behind your friend's back, no one let him know…"

Korban kedua telah tewas.

Sekali lagi, dari tak terhitung banyaknya perangkat seluler, lagu anak-anak yang menyeramkan itu bergema di seluruh Universitas Huzhou.

Seluruh kampus kini menyerupai perut raksasa yang tengah bergolak; setelah beberapa saat hening, ia mulai bergejolak ketika ribuan mahasiswa dan dosen serentak berteriak panik, menghasilkan gelombang suara menggelegar yang mengguncang universitas.

Tak terhitung banyaknya kepala menunduk, menatap layar ponsel mereka dengan ngeri. Figur-figur elektronik kecil yang berdiri di belakang huruf Z kini terhenti—gadis itu telah menangkap anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu terjatuh ke tanah, dengan saputangan merah terang tergeletak di belakangnya saat api berkobar di tubuhnya.

Beberapa detik kemudian, video pembunuhan itu berubah lagi. Kali ini, yang muncul adalah foto lain, diambil dari atas menggunakan lensa telefoto. Gambar tersebut menampilkan lidah api yang melahap bagian depan truk pendingin. Mayat Zhang Yong tergeletak di depan binatang buas yang menyala itu, setengah tubuhnya telah hancur menjadi serpihan daging…

"Ada korban lagi!"

"Aku mengenalnya! Itu Zhang Yong! Dia direktur Kantor Pertukaran Akademik Internasional!"

"Jadi, Z adalah Zhang Yong…"

Berikut terjemahan dalam bahasa baku:

Gambar ini tercermin di mata ribuan orang melalui layar berbagai perangkat. Di antara mereka, sepasang mata tajam berbentuk bunga persik menatap adegan ini dengan ketidakpercayaan yang teramat dalam.

Xie Qingcheng membeku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Darah dalam nadinya seolah-olah berubah menjadi es dalam sekejap.

Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa hari ini, pada hari ini, dalam kasus pembunuhan berantai melalui video ini, ia akan melihat adegan yang persis sama: sebuah mobil menabrak seseorang secara tiba-tiba, lalu meledak menjadi kobaran api…

Seakan-akan ada tangan tak kasat mata yang tiba-tiba mencengkeram lehernya dan menariknya masuk ke dalam kegelapan pekat.

Gambar tubuh Zhang Yong dalam video itu kini bertumpang tindih dengan mimpi buruk yang tidak pernah bisa ia lupakan.

Mimpi buruk yang telah menghantuinya selama sembilan belas tahun…

Dan jawaban yang telah ia cari sekian lama dengan sia-sia, sebelum akhirnya menyerah…

Saat kegelapan yang membekukan merayapi tubuhnya, cangkir di tangan Xie Qingcheng terlepas dari jari-jarinya yang dingin. Cangkir itu terjatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.

"Xie Qingcheng, ada apa?"

He Yu menyadari ada yang aneh dengan orang di sampingnya. Reaksi Xie Qingcheng terhadap foto ini sangat berbeda dari yang sebelumnya.

Ketika Wang Jiankang dibunuh, Xie Qingcheng bereaksi seperti orang biasa. Ia melihat foto itu, menganalisisnya, mematuhi instruksi polisi, lalu kembali ke asramanya. Ia melakukan apa yang seharusnya, menjaga batasannya dengan jelas.

Namun setelah melihat foto Zhang Yong, Xie Qingcheng sama sekali tidak memperhatikan He Yu. Ia bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menganalisisnya.

Sebaliknya, setelah terdiam sejenak, yang ia lakukan hanyalah mengambil ponselnya dan menelepon seseorang, wajahnya pucat pasi.

Tanpa sepatah kata pun kepada He Yu, ia kemudian masuk ke kamar Xie Xue dan menutup pintu tepat di hadapan He Yu.

He Yu hanya sempat mendengar Xie Qingcheng berkata kepada orang di ujung telepon: "Kapten Zheng, ini aku…"