Setelah menyelesaikan aksi perdamaian, Mona dan Lola keluar bersama untuk menemui kedua pangeran mereka. Mereka terkejut melihat kedua pangeran itu ngobrol begitu akrab, seperti orang yang saling mengenal.
"Pipi," panggil Mona, sembari memegang lengan kiri Bagas.
Bagas pun menoleh. "Sudah selesai?" tanya Bagas. Ia beralih melihat putri barunya yang terlihat lebih tenang dibanding sebelumnya.
Mona mengangguk. "Kalian akrab sekali?" tanyanya.
"Oh, iya. Dia ini Dimas. Sebenarnya dia keponakanku," ujar Bagas.
Lola terkejut. Kebetulan macam apa ini? Seketika bumi seluas 510,1 juta km persegi ini terasa hanya seluas telapak tangan.
Dimas mengangguk. Kemudian menyodorkan tangannya. "Salam kenal, Tante. Saya Dimas, teman dekatnya Lola."
Mona menerima sodoran tangan itu dengan baik.
"Maaf, Tante. Saya kemaleman nganterin Lola. Tapi, saya jamin kami enggak ngapa-ngapain, kok, Tante," ujar Dimas.
Usai beramah tamah, Bagas pun pamit pulang. Kebetulan Lola dan Mona harus mengemasi pakaiannya dan segera tinggal di rumah Bagas. Karena Bagas tidak betah harus menginap di kontrakan sempit Mona meski cuma semalam. Kipasnya saja cuma satu. Itu pun dipindah-pindah setiap hari.
Sesampainya di rumah Bagas, Lola agak terkejut. Rumah Bagas tidak seperti rumah orang kaya pada umumnya. Rumah itu memang besar tapi sederhana.
"Aku membeli rumah ini setelah kematian mendiang istriku. Agar aku dan anakku bisa sembuh dari duka itu. Dan agar kami bisa lebih dekat dalam rumah yang kecil ini," ujar Bagas sesampainya di dalam rumah.
Lola tidak mengerti apa Bagas sedang merendah atau memang dalam pandangan orang kaya, rumah sebesar ini memang kecil?
"Sayangnya, aku malah terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga kami jadi semakin jauh." Bagas mengembuskan napasnya yang terasa berat.
Mona memeluk suaminya. "Tenang, Pi. Mimi sudah di sini. Mimi dan Lola pasti bakal bantu memperbaiki hubungan kalian berdua."
"Terima kasih, Mi." Bagas terharu.
Lola sadar mereka berdua adalah orang tuanya yang baik. Lola sangat menghargai itu. Tapi, sumpah, Lola jijik dengan cara mereka berdua memanggil satu sama lain.
Ya, Tuhan! Kuatkanlah Lola dalam cobaan baru yang sedang Lola cobain ini.
Mereka bertiga pun beranjak menuju kamar yang disediakan untuk Lola. Agar Lola bisa segera beristirahat.
Lola sangat menyukai kamarnya. Kamar bernuansa merah muda. Banyak sekali boneka dan aksesoris cantik. Bahkan di dalam lemari sudah berisi beberapa baju cantik yang tampak feminim. Semuanya sudah disiapkan dengan baik untuknya.
Ah, Lola tidak peduli dengan semua baju itu! Malam ini, ia hanya ingin berendam dalam bathtup dan tidur hanya mengenakan mantel mandi. Daki-daki kemiskinan yang menutupi kulitnya harus disingkirkan dengan air hangat.
Ketika hendak menutup pintu kamar, Lola melihat pintu kamar di depannya masih terbuka. Ia berniat untuk menutup pintu itu dulu. Namun, perhatiannya malah tertarik pada foto besar berwarna putih abu-abu di dinding atas ranjang.
Lola pun nekad masuk. Matanya membelalak dan mulutnya terbuka lebar setelah berhasil mengenali siapa orang di foto itu.
"Rendy?"
Bagaimana mungkin?
Perhatian Lola pun menyapu ke sekeliling kamar. Ada banyak sekali foto Rendy di kamar itu.
Tiba-tiba pintu kamar menutup dengan suara yang keras. Jantung Lola rasanya jatuh. Ia menoleh. Bola matanya seperti mau keluar melihat Rendy sudah di depannya.
Rendy tampai kacau dengan kemeja yang kancingnya terbuka beberapa. Rambutnya pun semrawut. Apalagi wajahnya. Sudah seperti orang tidak terawat.
"Kamu!" seru Rendy.
Mati aku, batin Lola. Ia ketahuan. Ia ketakutan. Jika papanya tahu, ia mungkin akan mempermalukan mamanya.
"Kamu udah nunggu lama, ya?" tanya Rendy. Seketika memeluk Lola.
Jantung Lola berdegup kencang. Kali ini beda. Ini bukan sebatas rasa takut.
Lola tidak mengerti apa maksud ucapan Rendy barusan. Jangan-jangan, Rendy sebenarnya masih cinta sama Lola?
Senyum terbesit di wajah Lola. Pipinya pun memerah.
Tiba-tiba Rendy melepaskan pelukannya. Dalam satu detik, ia menjatuhkan ciumannya di bibir Lola.
Lola tidak mengerti harus bagaimana. Ia tidak pernah berciuman sebelumnya. Ini adalah kali pertamanya seorang lelaki menyesap bibirnya. Ia pun memejamkan mata dan menikmati alurnya.
Bau menyengat menggelitik hidung Lola. Mata Lola terbuka seketika. Ia baru menyadari kalau Rendy sedang mabuk rupanya. Pantas saja perilakunya tidak seperti Rendy yang selama ini Lola kenal.
Ini tidak benar! Lola pun mendorong Rendy sehingga ciuman itu terlepas. Namun, lelaki itu malah tidak sadarkan diri dan jatuh ke pundak Lola. Lola yang tidak siap menahan beban itu pun terjatuh ke atas ranjang. Ia tidak bisa bergerak karena Rendy terbaring di atasnya.
Lola semakin tidak bisa melepaskan diri saat tangan Rendy mengenggam tangannya.
Ah, bukannya Lola tidak bisa melepaskan diri. Sebenarnya, dengan keadaan Rendy yang tidak sadarkan diri ini, Lola masih kuat mendorong tubuh Rendy menjauh. Namun, tidak. Lola malah pasrah. Karena sejujurnya, Lola merasa nyaman dengan keadaannya saat ini.
Selama tiga bulan berpacaran dengan Rendy, Lola tidak tahu kalau ternyata senyaman ini berada dalam pelukan Rendy.
"Sebentar aja," bisik Lola. "Kayak gini sebentar, ya. Habis ini aku pergi."
"Jangan pergi," pinta Rendy menyahuti. Kini wajah Rendy bersembunyi pada leher Lola.
Seperti ada sengatan listrik di tubuh Lola sekarang.
"Kumohon jangan pergi ..., Vio ..., Viona ...."
Petir pun kembali memenuhi layar televisi.
Din tarararararadin tarararararadin tarararararadin tararararara.
Lola langsung mendorong tubuh Rendy sekuat tenaga sehingga ia bisa bangun. Senyumnya lenyap. Ia marah.
"Apa? Viona? Bukan Lola?" Lola tidak habis pikir.
Jadi, pelukan dan ciuman itu semata-mata untuk Viona?
Dan bisa-bisanya, Lola dengan sangat percaya diri menikmati semua itu?
Lola menggosok bibirnya dengan bajunya. Dengan kasar seolah ada najis yang barusan menempel.
Hati Lola amat sakit setelah melepaskan ciuman pertamanya untuk orang yang tidak akan mengingat itu.
Tidak bisa! Bukan Lola namanya kalau menerima kerugian dengan tabah dan ikhlas. Itu istri Indosiar namanya.
Lola menemukan ide terbaik untuk membalaskan dendam. Ia pun pergi ke kamarnya untuk mengambil lipstik merah menyala. Ia memakai lipstik itu dengan setebal-tebalnya. Kemudian kembali memasuki kamar Rendy.
Ia meninggalkan mark bibirnya di leher dan dada Rendy. Kemudian ia membuka lemari pakaian Rendy. Ia mencari pakaian paling tepat untuk menjadi korban selanjutnya.
Ia pun mengambil jaket kampus. Kemudian meninggalkan dua mark bibir di sana.
Lola tertawa puas usai menyelesaikan misi balas dendamnya. Ia pun kembali ke kamar sembari membayangkan kekacauan apa saja yang berhasil ia ciptakan.
Lola pun berendam dalam bathtup dan menyanyikan beberapa lagu kemenangan.