Chereads / Mantanku jadi Kakak Tiriku / Chapter 4 - 4. KAGET

Chapter 4 - 4. KAGET

Could wake up in make up and play dumb. Pretending that I need a boy. Who's gonna treat me like a toy.

Lagu Sit Still Look Pretty memenuhi seluruh ruang di kamar Lola.

Lola memegang sisir di depan mulut seperti mikrofon. Ia menatap pantulan dirinya di depan cermin yang tampak semrawut. Ia mulai bernyanyi seperti di konser.

I know the other girlies wanna wear expensive things like diamond rings. But I don't wanna be the puppet that you're playing on a string. This queen don't need a king.

Lola duduk di atas kursi rias. Ia mulai menyisir rambutnya yang sepanjang punggung. Ia biarkan rambutnya tergerai dihiasi sebuah bandana mutiara.

"Ya. Benar. Ratu ini enggak butuh raja. Aku bisa membeli apa pun yang kumau tanpa Rendy," ujar Lola menghibur diri.

Sejujurnya ia masih terbayang dengan ciuman Rendy kemarin. Itulah yang membuatnya tidak berhenti sakit hati.

Lola bangun. Ia berputar bak putri. Gaun pendek berwarna putih tulang yang melekat di tubuhnya membuatnya tampak anggun.

Lola pun keluar kamar. Ia melihat pintu di depannya masih tertutup rapat. Sepertinya Rendy belum bangun.

Lola berjalan menuju ruang makan. Bagas sudah duduk di sana. Sedangkan Mona tampak menyajikan masakan.

"Selamat pagi, Pa," sapa Lola.

"Selamat pagi putriku yang cantik," sahut Bagas.

Makanan sudah tersaji semua, Mona pun duduk di samping Lola.

"Sudah lama sekali aku enggak melihat pemandangan sehangat ini di rumah. Aku senang melihatnya," ujar Bagas yang sudah lama tidak merasakan arti keluarga.

"Oh, ya, Pa. Aku mau tanya," pinta Lola.

"Mau tanya apa, Nak?" sahut Bagas.

"Kamar di depan kamarku itu miliknya siapa, ya, Pa?" tanya Lola.

"Itu kamarnya Rendy. Anakku. Aku belum sempat mengenalkan dia ke kalian. Soalnya semalam dia pulang. Sekarang juga belum bangun kayaknya. Emang dasar anak bandel," jelas Bagas.

Matilah kamu, Lola! Sekarang kamu akan hidup bersama Rendy dan melihatnya setiap hari!

Oh, Tuhan. Engkau menciptakan bumi seluas 510,1 juta km persegi. Dan kota Surabaya seluas 326,81 kilometer persegi. Tapi, kenapa Engkau menciptakan duniaku dan Rendy hanya seluas telapak tangan? batin Lola.

"Ini enggak papa kita makan duluan, Pi?" tanya Mona. "Lah, Rendy gimana? Masak enggak ikut?"

"Enggak papa. Dia kalau enggak bangun sendiri, enggak bakal bisa dibangunin. Nanti sore aja kita makan bersama di luar berempat," ujar Bagas.

Lola makan teramat pelan. Pikirannya sibuk menebak tindakannya ketika bertemu Rendy nanti. Haruskah ia berpura-pura bego? Atau berpura-pura senang karena akhirnya tinggal bersama mantan untuk selamanya?

Belum selesai Lola berpikir, yang dipikirkan datang tiba-tiba. Tampak kucel, rambut semrawut, matanya lengket sekali.

"Pagi, Pa," sapa Rendy sembari berjalan menuju kulkas untuk mengambil air dingin. Sepertinya ia belum menyadari perubahan di sekelilingnya.

Bagas dan Mona tampak terkejut melihat penampilan Rendy. Sedangkan Lola malah tertawa.

"Rendy! Kamu habis ngapain aja kemarin malam?" tegur Bagas.

Usai minum, Rendy pun menjawab, "Party, Pa. Sama teman-teman. Biasa."

"Teman yang mana?" tanya Bagas.

"Rico, Hendra, Gerald; seperti biasa," jawab Rendy.

"Apa mereka juga yang meninggalkan bekas bibirnya di lehermu itu?" tanya Bagas.

"Bekas bibir? Apa maksud Papa?" Rendy heran. Ia lekas menyalakan kamera depan ponselnya untuk bercermin. Ia langsung terperanjat menemukan mark asing memenuhi lehernya.

Rendy memang mabuk kemarin. Namun, tidak mungkin ia sampai membuat kesalahan bersama perempuan lain.

"Enggak, Pa! Aku enggak ngapa-ngapain. Sumpah! Ini enggak seperti yang Papa bayangkan!" bela Rendy.

Perhatian Rendy teralih seketika mendengar suara tawa perempuan.

Mata Rendy melebar menemukan perempuan yang ia tinggalkan sendirian kemarin malah duduk santai di ruang makan. Dan siapa juga tante satu lagi di sebelahnya?

Telunjuk Rendy mengarah ke Lola. "Lu ngapain di sini? Lu segila itu, ya? Sampai nekad masuk ke rumah gue?" tuduh Rendy.

"Jangan ngawur, ya! Gue masih waras, Wlee!" sahut Lola.

"Lu—"

Ucapan Rendy terpotong pertanyaan Bagas. "Lho, kalian saling kenal?"

"Dia ini orang gila, Pa! Papa kok biarin dia makan sama kita, sih?" tuduh Rendy.

Lola memasang wajah menggemaskan dan berbicara dengan suara yang mendayu-dayu. "Papa. Masak aku katain orang gila sama Kakak Rendy?" Lola menekankan suaranya saat menyebut nama Rendy.

"Ngapain lu panggil papa gue kayak gitu? Dia itu bukan mertuamu!" tegas Rendy.

"Cukup Rendy! Kamu sudah kelewatan!" seru Bagas menengahi pertengkaran kedua anaknya.

Rendy tercengang. "Papa belain orang gila itu?" tanyanya.

Bagas menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha untuk tidak meluapkan emosi ke putranya. Ia mengerti kenapa Rendy bertingkah buruk begini.

"Dia bukan orang gila. Dia itu adik kamu," ujar Bagas.

Rendy malah tertawa. Lelucon macam apa ini?

"Aku enggak pernah tahu almarhum mama hamil lagi? Apa maksudnya, dia anak selingkuhan Papa?" tanya Rendy.

"Sebenarnya Papa habis menikah lagi kemarin sore dengan mamanya Lola," jelas Bagas.

Jederrr!

"APA?" pekik Rendy.

Din tarararararadin tarararararadin tarararararadin tararararara.

"Dan dia Mona," Bagas menunjuk Mona yang hanya menyimak sedari tadi, "dia mama baru kamu. Jadi, Papa harap kamu bisa menganggap Mona dan Lola sebagai keluargamu sendiri."

"Aku dan orang gila ini jadi keluarga?" Rendy menunjuk Lola. "Sampai kapan pun aku enggak bakal sudi!"

Din tarararararadin tarararararadin tarararararadin tararararara.

Rendy melangkah cepat meninggalkan ruang makan. Meski aslinya, ia kelaparan.

Muka Bagas berubah sedih. Ia khawatir ego besar Rendy akan sangat merepotkan Mona dan Lola nantinya.

"Aku harap kalian bisa sedikit sabar menghadapi Rendy. Aku akan berusaha membuatnya mengerti meski aku tidak yakin akan berhasil," ujar Bagas.

"Enggak papa, kok, Pi. Aku bisa, kok, sabar banget," sahut Mona menenangkan. "Enggak papa kalau anakmu belum bisa menerima kehadiranku. Karena yang paling penting di hidupku sekarang adalah kamu, Pipi."

Lebih tepatnya, UANGMU.

"Padahal, aku pengin banget bisa makan bersama kalian berempat nanti sore. Aku sangat kangen dengan kehangatan keluarga." Bagas amat sedih.

"Tenang aja, Pa. Biar aku yang bujuk Kak Rendy," ujar Lola tiba-tiba.

"Jangan gegabah, Lola. Nanti kalau dia semakin membencimu gimana?" larang Mona. Ia mengkhawatirkan posisinya di rumah ini.

"Mama tenang aja. Aku pastiin nanti sore Kak Rendy akan ikut kita makan bersama," tegas Lola penuh percaya diri.

Lola mengambil piring kosong dan mengisinya dengan nasi. Kemudian memindahkannya bersama sepiring lauk dan air ke atas nampan. Ia pun beranjak menjauh dari ruang makan.