Setelah hampir lima jam kita bersama di dalam kamar hotel. Sore itu Rima mengajak keluar hotel untuk sekedar ngopi dan menatap indah kota Yogyakarta. Aku setuju saja, walau sebenarnya kalo boleh memilih menikmati kebersamaan dengan Rima di sebuah kamar hotel, bisa melakukan apa saja, tak ada yg pernah mengganggu. Mengungkapkan bahasa cinta yg selama ini terpendam. Lebih indah di banding apapun. Tapi aku tak harus menjadi egois, aku ingin juga membuat Rima bahagia dengan caranya. Rima pakai kemeja putih dan rok batik yg dia beli tadi pagi. Kemeja tampak simpel, tapi karena bra yg Rima pake berwarna hitam dan menampilkan size payudara yg besar, jadi tampak menonjol. Size payudara Rima masih terlihat pantas dengan tubuh semampainya, tidak berlebihan, tapi tetap setiap lelaki yg melihat dia, pasti matanya tertuju ke arah itu, awalnya agak risih kalo jalan dengan Rima, karena selalu saja banyak lelaki memandang Rima dengan tatapan buas, awalnya ingin melarang semua orang memandang begitu ke Rima. ingin rasanya menutupi dada milik Rima agar tak terlihat tapi percuma tak akan tertutupi. Akhirnya aku biar kan mereka berkhayal, selama tidak menyentuh fisik Ratu pujaan hati ku, silahkan saja. Sore ini aku memakai pakaian senada dengan Rima tapi celananya batik komprang. Awalnya kita mencari tempat ngopi di sekitar hotel sambil berjalan kita menemukan tempat yg agak terbuka dengan halaman cukup luas duduk di bangku kayu alam terbuka, makanan sederhana pisang goreng, tempe mendoan dan makanan khas Yogyakarta.
" Aku besar dengan didikan orang Jawa, ibuku sangat menghargai Totokromo, dan ibu bilang orang Jawa, jangan sampai hilang jawanya." Rima memulai cerita tentang masa kecilnya. Sambil kita menikmati kopi panas.
"Daerah mana dulu mami tinggal?" Tanya ku
"Berpindah-pindah, terakhir dan yg paling lama di Seleman" ucap mami sambil menyeruput cappucino panas, sepertinya mami Rima sangat menikmati sore itu, di sudut tempat ngopi ada bangunan joglo tiga orang pemain musik Gendingan selalu mengalunkan musik tradisional Jawa. Sampai selesai magrib kita masih di sana, tak lama mami mengajak ku naik becak menjauh dari jalan Malioboro, mami mengajak makan sate yg tusuknya dari jari-jari sepeda. Ini ciri khas daerah sini. Rasanya enak kita menikmati malam itu, dan mami bilang besok dia mau ke pantai, aku manut maunya mami. Karena dia bagai seorang guide profesional, menerangkan semua yg dia tau, tentang sejarah kota, tentang makanan, tentang kisah tokoh-tokoh Jawa Mataram, banyak yg dia tau tentang sejarah. Aku menikmati cerita mami. Pulang kita kembali memakai becak, sepertinya mami sangat menikmati kendaraan tradisional ini, selalu memberi uang lebih dari harga yg mereka tawarkan. Sesampai di hotel mami masih memesan minuman tradisional Jawa di cafe hotel. Entah apa yg dia pesan aku pasrahkan pada mami. Sesampai di kamar. Mami menghampiri aku dan memeluk aku.
"Aku mandi dulu ya..udah lengket badan ku" seperti meminta ijin untuk membersihkan diri, sebelum kita bercinta lagi.
"Boleh engga aku yg lepas semua baju kamu" pinta ku sambil mengecup bibir nya. Mami menatap ku tersenyum dan menganggukan kepala. Mami meletakan tanagnya di pinggang ku, kita berdiri berhadapan, yg aku lakukan pertama membuka kancing bajunya, satu persatu hingga tampak payudaranya ya hanya tertutup bra hitam sebagian payudaranya di biarkan terbuka, kulit putih bersih mengundang aku mencium dadanya, sambil aku menyentuh bra-nya, bagai mengagumi benda kristal.
"Aku sangat suka banget payudara ini" komentar aku dan menyentuh semua sisinya.
"Apa engga terlalu besar Rio, aku suka malu" jawab mami menatap ku.
"Hmmm ini ukuranya masih cocok dengan tinggi dan badan mami. Sexy banget" puji aku.
" Cuma kamu yg memuji," sambil Rima mencubit hidung ku.
"Beneran aku suka banget," kembali aku meletakan wajahku di dadanya.
"Kamu engga bosen Rio? Payudara nenek -nenek yg sudah turun gini." Rima mengelus kepala ku yg berada di antara ke dua dadanya.
"Payudara terindah yg pernah aku miliki"
"Gombal banget" mami memeluk aku, jemari ku melepaskan kaitan bra dan tampak terlepas dada Rima dari jepitan bra nya, aku mundur untuk melihat lengkap payudara Rima.
"Iiih kenapa aku kok masih saja malu deh kalo di liatin kamu" jemari Rima menutup mata ku. Kini rok batik yg Rima pakai aku lepas hanya satu tali pengikat, kain jatuh terlepas, CD hitam transparan tapak menggunduk indah di vagina Rima, aku segera menurunkan CD nya. Aku menurunkan tubuh ku dengan berdiri di tumit. Wajah ku ada di depan vaginanya. Rima menutup dengan jemarinya.
"Engga boleh cium dulu, aku udah keringetan, aromanya pasti engga sehat" wajah Rima tampak serius menatap aku.
"Sekali aja" pinta ku memegang kedua pahanya ketika akan menjauh.
"Rio..please No no no" sambil kepalanya menggeleng. Kakinya coba mundur menjauhi wajah ku.
"Aku keringetan mau mandi dulu" Rima memohon pada ku. Dan Rima berhasil menghindar dari ku dan berlari kecil ke arah toilet di kamar, sambil dia lemparkan senyum manisnya sebelum menutup pintu toilet.
Sedang asik merokok di teras kamar sambil ngopi, menikmati malam suasana Yogya. Rima menyentuh pundak ku sambil berjalan di depan ku duduk di sebelah kursi teras kamar hotel memandang kota Yogya saat malam. Rima mengenakan dres hijau muda lembut, lengan dan pundaknya agak terbuka, potongan dada agak rendah, ada kancing dari dada hingga paha, sebagian di biarkan terbuka bagi belahan dress-nya, enak di lihat, santai tapi juga sexy saat Rima yg pakai untuk ukuran umur Rima daster menjadi salah satu pilihan wajib busana rumah, tapi aku lihat Rima memilih jenis lain, yg tetap bebas bergerak dengan baju tipis tapi juga modis. Seperti dress yg mami pakai saat ini, bila tak ada pengikat pinggang tampak bagai daster tanpa lengan, busungan dada makin tampak terbentuk karena ikatan di pinggangnya.
"Riiiooo, bisa engga sih kalo ngeliat aku, engga usah lama-lama, aku masih malu kalo kamu udah begitu ngeliatnya" Rima cemberut tanpa menatap aku.
"Mami yg salah, kenapa selalu Keliat sexy di mata aku, bisa enga sih biasa aja kaya ibu-ibu yg lain?" Jawab aku sambil senyum ke dia. Dia hanya menjulurkan lidah ke arah aku.
"Baju-baju yg suka aku pake keliatan sexy ya, kan tertutup Rio??" Sambil dia memperhatikan tubuhnya dari atas ke bawah.
"Bukan bajunya, tapi asesoris dalamnya" mata ku menatap tubuhnya. Rima melotot ke arah ku sambil mengeretakkan giginya pertanda gemas, kalo saja dia duduk dekat aku pasti sudah beberapa kali cubitanya mendarat.
"Sana kamu mandi, mau keluar lagi engga?"
"Aku mau keluar di dalam aja boleh?" Jawab ku, seenaknya. Rima bingung menatap aku,
"Maksud aku, kamu mau keluar hotel lagi, atau mau istirahat?" Mami coba menjelaskan. Aku senyum, sambil menghampiri Mami dan berbisik di telinganya.
"Aku mau ML aja, keluar di dalam boleh engga??" Segera aku masuk kamar menghindari tanganya sudah melayang ingin mencubit ku, kepalanya menggeleng geleng sambil berdecak.
Selesai mandi ku lihat Rima duduk di sofa, saat melihat ku, dia berdiri
"Rio, aku mau jajan makanan di luar, temenin ya, sebentar aja" sambil Rima menghampiri aku, yg masih berkimono mandi.
"Boleh.." Aku dengan santai mengganti baju di depannya. Rima membantu aku dengan mengambil apa yg aku mau pakai, mata nya melirik ke Belibis ku yg tergantung.
"Hmmm..lagi bobo aja segitu, pantes aja terus berasa malam pertama terus" Rima bergumam sambil tersenyum, entah bicara dengan siapa?
"Apa mam?" Aku mendekatkan telinga ke arah wajahnya.
"Engga, aku ngomong sendiri," Rima senyam senyum sendiri.
"Iiih penyakit mami kambuh" sambil aku pura-pura menjauh.
"Enak aja" dia mencubit perut ku.
"Kamu punya pacar?" Tanya mami tiba-tiba
Aku tak segera menjawab, masih ragu, jujur atau aku berbohong.
"Engga apa-apa punya juga, aku engga ngelarang kok" mami memegang tangan aku. Aku masih bimbang menjawab dengan pertanyaan tiba-tiba.
"Yuk, kayanya aku liat ada wedang jahe dan gorengan dan lain-lain tadi di dekat sini" mami mencairkan suasana, menggandeng tangan ku untuk segera keluar kamar, sambil menitipkan dompenya ke aku.
Kita berjalan kaki menuju Malioboro, di sepanjang jalan tampak ramai orang menikmati malam itu, kita berjalan ke luar dari area Malioboro, ada beberapa angkringan di sana, mami pesan wedang jahe, sambil mengambil beberapa cemilan. Aku menikmati kopi susu jahe, dan duduk di sudut area yg di siapkan oleh mereka. Tampak beberapa pasangan muda dan setengah baya asik menikmati jajanan ini, mereka bersendagurau.
Rima asik menikmati telur puyuh sambil menyeruput wedang jahe. Mami bilang
" ini jajanan favorit saat masih muda dulu, sama teman-teman kumpul saat malam Minggu, dulu di Malioboro masih boleh orang jualan di sana, saat SMP jajan di sini ya cukup murah meriah, bisa lama ngobrol di angkringan, terkadang ada kumpulan lelaki datang ikut gabung, tapi dulu aku terlalu menikmati suasana dan makanannya jadi hampir tidak peduli dengan mereka yg kenalan atau sekedar ngumpul bersama saja. Makanan favorit aku ya ini, telur puyuh, bakwan jagung." Mami menceritakan semua seolah kenangan itu indah. Aku mendengarkan cerita masa indah itu, ternyata Yogya adalah kota kelahiran Mami dan masa muda mami yg selalu di kenang. Aku mengambil tissu dan membersihkan remah di pipi mami. Mami tersipu.
"Romantis banget sih kamu" sambil mami mengelus pipi ku dengan bahu tangannya, karena jemarinya sibuk menikmati makanan, aku ikut memakan apa-apa yg mami bilang enak. Tiba-tiba ada suara perempuan dewasa menegur kita.
"Rima??" Sepontan kita menengok ke arah suara itu. Seorang perempuan seumur mami dengan tampilan agak rapih, kalo di banding kita yg santai karena menikmati malam sebelum tidur, wanita ini tampak merawat wajahnya dan penampilannya, badannya pun terawat.
"Karlina, ya?" Mami tampak ragu, dan berdiri di hadapan perempuan itu dengan tatapan ramah.
"Iya ini aku Lina" mereka saling berpelukan dan cipika cipiki. Dan berbasa basi, ternyata Lina ini telah memperhatikan kita sedari tadi. Dia menengok ke arah aku,
"Ini anak kamu?" Lina bertanya menyelidiki
"Eh. Ini Rio, Rio ini Tante Lina, temen sekolah SMA mami dulu," mata Rima menatapku penuh arti. Aku coba menyelamatkan suasana.
"Alo Tante, aku Rio"aku berdiri sambil senyum dan berbungkuk. Wajah ku coba santai, dan memposisikan diri sebagai anak mami.
"Kelas berapa kamu sekarang?" Tanya Lina menyelidik.
"Kelas tiga SMA, Tante" sambil senyum dan duduk kembali, menghindari pertanyaan berikut.
"Sama anak aku yg pertama juga SMA kelas tiga, " tante Lina memperhatikan aku, melihat aku tak berminat ngobrol, Rima segera ambil alih,
"Kapan dateng ke Yogya?" Rima coba menarik perhatiannya dan ngobrol bercerita tentang pertemuan kemarin teman-teman SMA nya . Aku menyadari pasti Tante ini kenal mama aku. Tapi aku engga mungkin menunjukan jati diri aku, aku pura-pura sibuk dengan HP, agar tidak banyak di tanya
Sesekali aku melirik ke Tante Lina, dia sedang menatap ku, sambil bercerita. Taklama lelaki lebih tua menghampiri dan senyum ke Rima dan juga ke aku. Tante Lina tak memperkenalkan lelaki itu. Aku curiga ini bukan suaminya. Tampak Tante Lina segera mengakhiri percakapan. Dan pergi masuk ke mobil yg parkir di depan angkringan. Rima masih membalas lambaian tangan Lina saat pergi, Tante Lina melirik ku tajam penuh arti. Aku terdiam. Mami duduk lemas tak berkata apa-apa. Mukanya tampak pucat. Aku mengerti apa yg mami pikirkan. Ingin aku memegang tanganya, tapi tak aku lakukan.
"Mam, masih mau jajan atau kita balik hotel?" Aku menatap mami, mata mami lesu
"Sebentar ya, kaki ku lemes" sambil dia tersenyum, coba untuk menenangkan diri.
"Mami tenang, aku akan selalu temani Mami dalam segala suasana, jadi mami engga sendiri" jawab ku sambil menatap matanya, Rima menoleh ke arah ku sambil tersenyum, matanya tampak lelah
"Makasih ya Rio" Rima tampak terpukul, aku mengerti kondisinya, kemungkinan terburuk adalah kehilangan teman-teman SMA nya atau di jadi bahan gosip di SMA nya.
"Mam, Tante Lina engga tau aku, aku engga pernah ketemu dia." Aku coba menenangkan apa yg di pikirkan Rima.
"Tapi dia terus liatin kamu" Rima tampak sedih.
"Aku engga pernah ketemu dia, kemarin juga engga dateng kan ke tempat mami?" Tanya ku
"Dia engga dateng, kita engga akrab sama dia, Lina tuh mau Dateng kalo ada lelakinya. Dia tuh type cewe genit. Aku kurang suka dia, dan mulutnya itu yg aku takutin" Rima terdiam.
"Yuk balik ke hotel aja" ajak aku. Rima berdiri mengikuti, setelah selesai membayar apa saja yg ku makan, Rima tampak tak bersemangat lagi.
"Mau naik becak atau jalan aja" aku khawatir dengan keadaan Rima.
"Jalan aja yuk, aku butuh udara segar" jawab Rima coba menenangkan diri. Aku berjalan di sampingnya dengan kaku, aku harus bersikap bagaimana? Bagaimana cara menenangkan dia, apa yg harus aku lakukan agar mencair suasana ini. Rima hanya diam.
" Kok jadi diem sih Rio" sambil mami merangkul lengan ku ke dadanya.
"Aku bingung mesti gimana, biar kamu engga khawatir" jawab ku jujur
"Kalo bingung pegangan makanya, nih kaya aku" Rima menatap aku tersenyum.
" Iiiih..Mami " aku menggenggam jemarinya yg ada di tangan ku.
"Aku sayang kamu" aku berbisik di telinganya.
"Makasih Rio, aku juga sayang kamu" Rima mampu menutupi ke cemasan pada dirinya.
"Kenapa aku mesti maksa kamu keluar ya" Rima seolah menyalahkan dirinya atas apa yg terjadi.
"Rima, ini sudah terjadi, dan keputusan itu kita berdua yg memutuskan, jadi berhenti menyalahkan kamu" aku menatap serius wajah nya. Sempat dia menatap aku dan menunduk. Rima menarik panjang nafasnya seolah mengisi udara penuh dan menghembuskan masalah di dadanya keluar.
"Aku masih lemes" wajahnya manja menatap aku.
"Mau aku gendong?" Tanya ku sambil tersenyum.
"Mauuuu" sambil di bergelayut di pundak ku
"Sini aku gendong" aku merangkul pinggangnya.
"Iiihh nanti ada yg liat lagi" sambil Rima menolak aku gendong.
"Masih jauh yaaa" Rima tampak lemas
"Itu sedikit lagi di balik lampu merah" kata ku sambil menunjuk.
"Kok jadi jauh ya" Rima semakin lambat jalanya.
"Mau aku panggilin becak" meski rasanya aneh tinggal empat atau lima bangunan lagi.
"Engga usah lah" jawab Rima.
"Mau istirahat dulu" sambil aku memegang kursi di trotoar jalan malioboro.
"Aku mau cepet sampe kamar.." Rima menolak istirahat.
Masuk kamar, dia langsung mencuci muka dan rebah di ranjang. Aku mengambil air hangat dan memberikan pada Rima. Dia menatap aku sayu dan meminum sedikit air
"Sini..aku mau di peluk kamu" Rima merengek manja, kali ini dia yg lebih muda dan aku menjadi dewasa. Aku menghampiri
Rima, bersandar ke sandaran Ranjang duduk di sebelahnya, merangkul tubuhnya, Rima merangkul pinggang ku dan rebah di paha ku.
"Sayang, kayanya kamu berpikir terlalu jauh deh, karena kita melakukan hubungan rahasia, makanya ada rasa khawatir, saat ketemu temen SMA mami yg mungkin kenal mama juga." Sambil aku mengelus rambutnya hingga ke pundaknya.
"Sebenernya kan temen mu itu cuma melihat kamu sama aku lagi jajan bareng di Yogya, yg terlintas pertama ya ibu dan anak, sisanya bisa keponakan, bisa sodara, bisa siapa saja, bukan sebuah masalah." Rima tak memandang ku, tapi matanya menatap kosong ke satu titik, yg pasti dia mendengarkan ucapan ku.
"Kalau pun menjadi masalah, kita bicarakan bersama, aku akan selalu ada di samping kamu, kita harus tetap berdua menjalankan permasalahan yg ada." Rima menatap aku, merubah posisinya, menyilangkan kedua tanganya di atas pangkal paha ku, sambil jarinya menelusuri guratan atau temukan kain celana ku dan menatap ke situ, pertanda dia sedang berpikir tentang sesuatu. Masalah buat ku, wajahnya tepat menghadap penisku, dan guratan yg iya buat dengan jari tanpa dia sadari tepat berada di atas penis ku. Saat ini kita sedang berbicara hal yg serius tapi otak kotor ku tetap normal bekerja.
"Iya aku berpikir semua tentang "kalau begini ,kaleu begitu" bisa jadi itu sebuah kekhawatiran aku saja, aku takut kehilangan kamu, juga takut kamu kena masalah." Rima tak menatap aku sejenak, kemudian lebih memilih menyandarkan dagu di kedua telapak tanganya memandang satu titik di atas paha ku. Aku merapihkan rambutnya yg hanya sepanjang pundaknya, rambutnya agak coklat tua, hidung mancung, oval bentuk wajahnya, bibir tipis tapi berbentuk indah sempurna. Ada kerutan di antara tulang pipi yg menonjol dan batang hidung yg mancung, bagai perempuan Thailand. Bola mata lebih banyak coklat, itu alasan mengapa Mami Rima sering memakai kaca mata anti uvi, karena retina mata berwarna lebih rentan dengan sinar matahari, alis tertata rapih, bukan karena hasil lukisan tangan, dagu lancip, yg selalu membuat dia tampak cantik adalah bibirnya tak pernah berhenti tersenyum tulus saat berbicara atau berhadapan dengan lawan bicaranya, tatapan matanya selalu teduh dengan warna mata indah. Rima bangkit duduk di hadapan ku, mencium bibir ku dan beranjak hendak bangkit dari Ranjang, aku menggenggam jemarinya.
"Mau kemana?" Tanya aku
"Mau pipis" masih dengan wajah manjanya menatap ku dengan sorot mata sendu.
Setelah beberapa saat, di hadapan ku kini Rima yg berbeda, wajahnya tampak segar, rambut basah di sekitar wajah, senyum bahagia terpancar di situ, dia mengenakan Lingerie hitam dengan tapi tipis di pundaknya menyangga dada yg full memenuhi penyanggah, hingga tampak sebagian payudara tak tertampung, kulit leher, pundak setengah dada terbuka memancarkan cahaya birahi, ada renda transparan diantar payudaranya menambah indah pemandangan, panjang lingerie hanya setengah dari pahanya, pahanya Rima masih kencang , kaki nya terlukis sempurna dari bawah hingga setengah dari paha, Rima tak butuh Bra, aku melihat guratan CD hitam di balik lingerie tipis yg iya kenakan. Aku langsung menegakkan posisi duduk ku, sambil tersenyum nakal, semua telah ku telusuri setiap lekukan tubuhnya. Rima menghampiri aku duduk di sampingku dan menghadap ku, sebagian tumitnya menindih paha ku. Tanganya langsung menutup mata aku.
"mata ini kalo melihat aku, seperti mampu menembus baju yg aku pakai, aku berasa telanjang di depan kamu, meski aku sering telanjang di depan kamu dan kamu sudah sering menyentuh bahkan mencium setiap centi tubuh aku, tetap saja aku merasa malu dan bikin gelisah dari pertama ketemu kamu sampe hari ini rasanya tetep sama, aneh deh" setelah bicara banyak dia mencium bibir ku.
"Iiih rasanya aku biasa aja natapnya, salah ya cara aku melihat" tangan ku coba meraih pinggangnya, karena agak jauh, aku menarik pahanya untuk mendekat, dia menggeser duduknya , setelah dapat pinggangnya aku minta duduk di pangkuan aku. Dia menuruti mau ku, tapi tetap menutup mata ku dengan telapak tangannya.
"Sayaaaang kenapa mesti di tutupin sih? " Aku mulai perotes sambil menghalau tanganya agar menyingkir. Kini malah tangan nya menutupi dadanya.
" Aku selalu kagum sama bentuk badan kamu, di mataku kamu perempuan paling sempurna, seandainya ada kekurangan pun tertutupi oleh cinta dan kasih sayang kamu melebihi orang-orang di sekitar ku" aku melingkari tangan di pinggangnya.
"Mungkin itu yg membuat aku gerogi atau malu, kamu memperhatikan setiap centi tubuh aku, sedang aku merasa ada kekurangan di beberapa tempat dan takut kamu melihat itu" Rima melingkarkan tangan di leher aku.
"Aku terlanjur mencintai kamu, apa adanya" sambil mata aku menatap mata indahnya.
" Cuma kamu satu-satunya perempuan yg sangat dekat dengan aku, cuma dengan kamu aku bercinta. Kamu pengalaman pertama ku, dan semoga menjadi yg terbaik, sepanjang perjalanan hidup aku" aku menarik tubuhnya untuk memeluknya
"Aku selalu sayang kamu" aku berbisik di telinganya.
"Iiiihh aku melayang tau, sama rasanya seperti pertama kali di cintai seseorang yg aku cintai " Rima mempererat pelukannya.
"Kirain cuma saat ABG aja rasa kaya gini, ternyata udah setua ini masih aja begini" Rima menambahkan seolah berbicara dengan diri sendiri.
"Sayang, kamu cantik banget sih malam ini"
Aku melepaskan pelukan, agar bisa melihat seluruh tubuhnya.
"Pasti ada maunya, kalo Kamu udah ngomong gini?" Rima menyilangkan tangan di bawah dadanya.
"Beneran sayang, kamu cantik" aku senyum dan memegang pundaknya.
"Makasih" Rima tetep seperti posisi menunggu apa yg akan aku katakan berikutnya.
"Ya udah engga jadi" aku mengelus pipinya
"Apa kamu mau apa?" Tanya Rima sambil memegang pipi ku juga.
"Aku boleh ga minta di ciumin ini nya" tangan ku memegang penis ku.
"Mmm..Sebenernya udah lama aku mau, tapi engga bisa, kamu yg ajarin ya " Sambil tangan Rima langsung memegang penis ku dari balik celana batik komprang ku. Aku menganggukan kepala bersemangat.
Rima mulai melepaskan celana ku dan langsung menggenggam batang penis ku, mulai mengelus, dia mengambil posisi tidur dengan kepala tetap berada di depan penis kudua tangan sudah memegang penis ku.
"Iiiihhh besar banget ya, sampai berurat begini" Rima mengagumi penis ku yg sudah hampir full. Aku memberikan keterangan mana yg paling sensitif dari keseluruhan bentuk, di lubang atas kepala penis, di sisi sepanjang kepala penis dan di bawah di antara dua buah buah jakar. Rima mencoba satu-satu yg ku sebutkan tadi, waw..terasa nikmat jilatan yg iya lakukan, aku memberi tahu saat kepala penis masuk kemulit dan lidah berada di lubang atau lidah berputar mengelilingi kepala, itu akan terasa nikmat buat aku, Rima langsung mencoba, beberapa kali tersedak terus berusaha mencoba, saat percobaan itu sudah menimbulkan rasa nikmat. Rima sambil tersenyum dan bagai menemukan mainan baru, setiap kali percobaan selalu iya menatap wajah ku, seakan ingin melihat apa reaksi di wajah ku.
"Udah dulu iiih" aku coba menghentikan apa yg terus Rima lakukan, karena makin lama makin terasa ngilu dan bisa membuatku klimaks, bikin malu baru pertama coba kok udah klimaks. Rima tak mau menghentikan permainannya malah makin bersemangat.
"Iihh sayang, kan tadi bilangnya mau belajar dulu..udah atuh iiih" aku semakin terangsang, bagai mana tidak tangannya terus saja mengurut tak henti-hentinya.
"Aaaggghhhh" tiba-tiba dia menghisapbuah jakar ku kedalam mulutnya, rasa ngilu dan makin aku di buat birahi tinggi.
"Mam, ML aja yuk " pinta aku coba menarik tubuhnya. Dia menggeleng
"Aku mau sampe kamu keluar" Rima tersenyum nakal.
"Aduuuh" aku coba menikmati semua, tak mungkin di tolak maunya, Rima begitu menikmati permainan barunya, dia menghisap kepala penis ku bagai menikmati ice cream, terkadang di jilat dan di masukan kedalam mulutnya, rasa hangat dan ngilu juga geli, menyatu dengan tangan Rima tak pernah berhenti terus mengurut sambil mengocok batang penis ku, alhasil aku tak tahan atas semua rangsangan yg di buat Rima.
"Sayang aku engga bisa nahan, aku mau keluar sayang" aku mengelus rambut Rima yg terus menikmati mengeluarkan dan memasukan kepala penis ku, kocokan nya semakin cepat, justru kata-kata di jadikan alasan untuk segera mempercepat keluar. Dalam hitungan detik, kelamin ku berdenyut-denyut men coba merasakan rangsangan itu semakin intens.
"Aaaaggghhhh... sayang.." sperma ku muncrat kedalam mulut Rima beberapa kali, bukanya di sudahi kegiatan Rima, sempat kaget ada sesuatu yg masuk ke mulutnya, dia menghentikan sebentar lalu semakin menghisap, jemarinya mendorong dari bawah pangkal penis ku dan mendorong keluar ke lubang di kepala penis ku, seperti menghisap sumsum tulang dia terus mendorong dan menjilati lubang di kepala penis ku. Hingga tak tersisa, kini semakin ngilu lidah itu di penis ku.
"Sayang..udah iiih" aku menarik tubuh Rima agar bisa aku peluk dengan cara memegang kedua ketiaknya. Rima menyerah dan ikut naik ke atas tubuh ku, hingga wajahnya ada di depan ku, aku mengelap beberapa tetes sperma di wajahnya.
"Baru belajar udah bisa bikin aku keluar" aku menatap ke dalam matanya. Rima hanya senyum sambil mengedipkan matanya.
"Rio ternyata enak ya, Oral sex itu dan aku suka rasa sperma. Gurih dan harum" Rima senyam senyum menatap ku. Aku mencubit hidungnya.
"Gantian aku bakal bikin kamu keluar pake mulut aku." Dengan wajah ku mengancam.
"Rio..iiihhh, aku kan baru coba " wajah Rima panik membayangkan serangan aku di vaginanya.
"Aku juga mau bikin kamu klimaks pake lidah aku" mata ku menatapnya.
"Rio..iiihhh kan kmu udah pernah, ML aja ya" Rima coba nego, Aku tak menjawab aku masih merasakan nikmat Oral yg Mami Rima lakukan.
"Gimana? Apa aku udah lulus cara oralnya."
"Dengan aku keluar, otomatis kamu lulus"
"Asiiiik, tapi lain kali aku boleh lagi ya" pinta mami dengan wajah memohon.
" Kalo kamu bolehin aku ciumin punya kamu" aku memegang pipinya.
"Iya boleh terserah kamu" Rima terpaksa harus setuju, agar bercinta kita punya banyak variasinya. Itu mempengaruhi hubungan kita.