Hadi Kusuma masih berbicara dengan putrinya, Saraswati.
"Kalau begitu, nanti kamu temui mami kamu saja dan sampaikan tentang pemuda yang bernama Natan itu."
"Oke, Pi. Saras bisa pamit sekarang?"
"Apa kamu tadi berjumpa dengan pria sembarangan di kampus?"
"Tidak, Pi. Saras hanya bersama Livia dan Viana. Saras juga masih ingat dengan petuah Papi untuk tidak asal bergaul dengan pemuda di luar sana."
"Bagus kalau begitu. Kamu memang putri Papi yang cerdas."
"Terima kasih Papi. Ingat, Papi juga jangan kerja keras terus. Istirahat tepat waktu, biar selalu sehat," nasihat Saras sok tua. Begitulah cara Saras bercanda dengan papanya yang kalau sudah bekerja sangat serius dan galak.
Tapi, sisi lainnya, akan terlihat seperti para ayah pada umumnya kalau sudah berurusan dengan putri bungsunya.
Saras pun bergegas keluar dan ingin segera jumpalitan di kasurnya tapi sayangnya, niatnya tertunda lagi.
"Eh, kamu mau ke mana Saras?" cegat ibunya sebelum ia sempat raih pintu kamarnya.
"Aduh, Mami. Saras baru saja dari ruang kerja Papi."
"Ya, kamu memang hiburan untuk Papi. Rumah ini ternyata sepi kalau kamu tidak ada. Papi tanya apa?"
"Iya, Mi. Saras tadi bilang ke Papi kalau Natan itu mampir ke kampus Saras hari ini dan buat ulah. Jangan sampai Mami termakan omongan Natan apa pun itu bentuknya. Dia memang berniat buat hidup Saras tidak tenang."
"Oh, ya? Lupakan Natan kalau memang begitu. Kalian sepertinya memang tidak cocok. Begini saja, kalau ada kesempatan lain, kamu akan Mami perkenalkan dengan pemuda yang berbeda. Jangan khawatir, Mami akan atur semuanya dengan baik."
"Jadi, makan siang kemarin memang sengaja diatur oleh Mami?"
"Bukan begitu. Kebetulan saja kita berjumpa dengan mereka. Mami jadi terinspirasi akan ada acara yang serupa yang bisa pertemukan kamu dengan jodohmu suatu saat nanti," elak Anita Kusuma, istri dari Hadi.
Hampir saja ketahuan kalau ia dan suaminya memang ngotot agar menjodohkan Saras.
Semuanya karena anak pertama mereka yang laki-laki juga belum mau menikah karena masih mengejar karier.
Mereka takut, kedua anaknya sama-sama pilih jalan hidup modern yaitu tidak berkeluarga sama sekali supaya tidak repot.
Mungkin, mereka tetap akan punya pasangan, tapi tidak ingin punya anak.
"Terserah Mami saja. Saras mau istirahat sekarang. Berjumpa dengan Natan telah menyedot semua energi positif Saras."
"Ya, sudah. Ingat bangun untuk makan malam."
'Aku tidak akan pernah mau dijodohkan dengan apa pun atau siapa pun pilihan kalian. Tadi aku dengan cepat setuju, hanya supaya aku bisa bebas dari papi dan mami,' batin Saras sambil berlari masuk ke dalam kamar tidurnya.
Di ruang kerja Hadi.
"Ternyata Saras tidak tertarik dengan anak dari temanmu itu, Pi, si Natan. Katanya ia buat ulah di kampus."
"Kita coba atur dengan pemuda yang lainnya saja. Mami masih simpan 'kan daftar yang kemarin."
"Iya, masih ada. Tapi, kalau lihat gelagat putri kita, dia masih belum mau menikah."
"Aku tidak minta dia menikah secepatnya. Tapi, aku mau dia sudah terikat dengan pria yang tepat. Aturanku soal tes keperawanan masih berlaku kalau dia tetap tidak mau ikut aturan main yang sudah aku tetapkan."
"Kita sudah bahas ini berulang kali. Aku yakin, putri kita tidak akan setuju."
"Jadi, Mami belum sampaikan juga padanya soal aturan ini? Apa harus aku yang bicara langsung pada Saras?" tanya Hadi dengan sorot mata tajam menatap istrinya.
"Tidak! Jangan! Bukan begitu maksud Mami. Aku sudah bicara tapi Saras tidak mau seperti itu," balas Anita gagap. Dia memang belum bahas ulang lagi secara serius dengan putrinya soal ultimatum dari Hadi.
"Kalau begitu sana temui Saras dan bicarakan lagi sebelum dia keluar rumah dan bertingkah seenaknya saja. Dia sudah mulai dewasa dan tidak bisa kita kontrol pergaulannya. Makanya, sebagai orang tua, kita perlu buat aturan dan batasan yang jelas dan tegas."
"Baiklah. Jangan lupa diminum air jahenya," sahut Anita segera tinggalkan ruang kerja suaminya.
Tanpa menunda lagi, Anita langsung hampiri kamar Saras.
Ia ketuk beberapa kali barulah Saras bukakan pintu.
"Iya, Mi? Ada apa?"
"Mami boleh masuk?"
"Saras mau tidur sebenarnya," balas Saras malas-malasan.
"Masih dengan pakaian kuliah seperti ini? Mami janji, kita bicara tidak akan lama."
"Baiklah. Sepuluh menit, ya Mi?"
"Ini soal aturan dari Papi. Kita sudah pernah bahas dan kamu marah-marah waktu itu. Masih ingat?"
"Soal gaya berpacaran itu, Mi?"
"Betul. Tentang tes keperawanan setiap bulan."
"Itu aturan yang gila, Mi. Apa kata Livia dan Viana kalau mereka tahu. Papi bersikap seperti Saras hidup di jaman purbakala."
"Kamu harus bantu Mami untuk yakinkan papi kalau kamu itu bisa dipercaya, tanpa harus adakan segala macam tes yang aneh itu."
"Entah papi dapat ide dari mana. Saras juga bingung caranya ubah pendirian papi. Apa mungkin Bang Dewo bisa bicara tentang hal ini pada papi?"
"Kamu benar. Mami akan coba telepon abangmu. Tapi, kalau tetap tidak berhasil, apa yang bisa kita tawarkan sebagai aturan pengganti pada papimu?"
"Saras tahu, Mi. Kalau papi tetap memaksa, maka Saras akan minggat dari rumah dan tinggal sendiri. Saras sudah bukan usia anak-anak lagi, secara undang-undang. Saras bisa hidup sendiri kalau Saras mau dan mampu."
"Aduh, itu sama saja kamu bunuh Mami perlahan-lahan. Cari cara yang lain, Saras."
"Itu cara paling ampuh. Begini saja, Saras permudah lagi tawarannya."
"Iya, coba berikan ide yang lain."
"Tidak ada tes keperawanan setiap bulan tapi, Mami boleh periksa tubuh Saras setiap malam atau kapan pun Mami suka. Jika ada bekas sentuhan para pria, maka Saras bersedia ikut tes apa pun yang papi syaratkan."
"Kalau papi menolak?"
"Kita kembali ke aturan dari Saras tadi yaitu pamit untuk tinggal sendiri jadi Mami dan papi tidak perlu lagi malu karena perilaku Saras."
"Aduh, ini memang berat. Ya, sudah. Mami coba nanti malam bicara dengan papi. Sekarang pasti sudah mulai rapat. Tidak bisa diganggu lagi. Mami coba telepon abangmu saja dahulu. Mungkin dia punya pendapat yang lain."
"Oke, Mi. Tapi, Saras yakin, kali ini papi tidak akan berani paksakan aturannya."
"Mami ke kamar dulu. Kamu sudah bisa istirahat sekarang."
"Salam paling manis buat bang Dewo."
Anita melambai dan Saras menutup pintu kamarnya dan mengunci dengan cepat. Ia langsung masuk ke dalam kamar mandi karena sudah gerah.
Saras baru selesai mandi dan berganti pakaian saat ponselnya berdering.
Panggilan video dari sahabatnya.
"Kalian ganggu saja. Aku mau tidur karena kesal dengan Natan kampret itu!"
"Jangan teriak. Coba lihat di depan sana," bisik Livia.
Rupanya mereka masih ada di dalam ruangan, ikuti mata kuliah umum dasar.
"Kalian masih tatap muka dengan dosen? Kenapa lama sekali?"
"Hush! Jangan bawel. Sudah lihat dosen tamunya belum?" sambung Viana berbisik lagi.
Saras memicingkan kedua matanya dan melihat dengan seksama sosok yang sedang ada di depan.
Gadis itu langsung menutup kedua matanya dengan tangan hingga Livia dan Viana jadi heran dengan sikapnya.
"Ada apa? Kenapa?" bisik Livia karena mereka takut ditegur jika ketahuan sedang asyik menelepon.
"Silau!" sahut Saras langsung matikan ponselnya.