Viana dan Livia sudah segar karena baru selesai mandi. Mereka tepati janji untuk temani Saras selesaikan tugas wawancara Hadi Kusuma.
Keduanya sudah ada di ruang kerja ayah Saras. Pria itu telah sanggupi jam lima sore akan diskusi dengan mereka.
Saras juga sedang bersama mereka.
"Kalian kenapa tegang begitu? Ayahku bukan harimau," ucap Saras heran lihat kedua sahabatnya jadi diam saja dan tidak kasak kusuk seperti biasanya.
"Aku gugup, tahu!" ujar Livia.
"Aku sih santai, tapi nanti pasti gerogi juga kalau Om Hadi sudah datang," sela Viana.
"Pertanyaannya jangan banyak-banyak. Papi itu suka bicara. Nanti aku yang ketik malah kerepotan."
"Cuma tiga saja ini yang akan kita tanyakan," ungkap Viana yang disetujui oleh Livia dengan anggukan kepala.
"Sudah siap?" tanya Hadi barusan masuk dan menuju meja kerjanya.
"Selamat sore Om. Mohon maaf kami mengganggu kesibukannya. Boleh minta fotonya dulu Om bersama Saras?" pinta Viana dengan sopan.
Saras dan Livia saling menatap karena kaget dengan sikap spontan Viana. Mereka tidak ada diskusi soal foto bersama.
"Tentu saja bisa. Tapi, jangan dipublikasikan ke mana pun. Om akan tuntut kalian kalau hal itu sampai terjadi," sambung Hadi sudah melambai pada putri tersayangnya.
"Siap Om! Kami akan sampaikan di catatan wawancara ini bahwa hanya untuk kepentingan tugas kampus dan bagi siapa pun pun yang menyebarkannya tanpa ijin, akan dilaporkan dan diurus sesuai hukum yang berlaku."
"Tepat sekali. Kalian memang cerdas dan calon pemimpin masa depan," puji Hadi yang memang terkenal sangat hebat dalam berbahasa sehingga jadi salah satu diplomat ulung di negara mereka.
"Baik Om. Saya Livia akan bertanya dan nanti pertanyaan penutup dari Viana. Sedangkan Saras akan mencatat semua percakapan kita sore ini. Kalau boleh tahu, menurut Om, gender dan politik itu seperti apa kaitannya?"
Hadi mengangguk-angguk mengerti saat dengarkan penjelasan dari Livia sebelum beri tanggapan.
"Tentu saja sangat terkait. Dari sudut pandang gender, perlu ada kesetaraan dari semua semua kelompok, laki-laki mau pun perempuan, dalam akses, partisipasi, kendali dalam berbagai proses politik. Tidak boleh ada yang tersingkirkan atau diabaikan."
"Kalau misalnya Saras ingin terjun ke politik, apa catatan-catatan penting yang harus Saras pegang agar bisa jadi politikus yang berhasil?"
"Wah, kalau pertanyaannya seperti ini, sudah menyangkut anggota keluarga sendiri, Om tidak mau berkomentar."
"Oke baik Om. Kami hargai itu. Kalau begitu kami ganti, apa yang harus diperhatikan oleh semua kaum perempuan, jika ingin terlibat dalam ranah politik?"
"Harus berani mencoba dan pantang menyerah. Masyarakat kita ini memang sudah lama sekali dikuasai oleh budaya patriarki. Tidak akan mudah untuk kelompok perempuan ambil andil dalam pengambilan keputusan tingkat tinggi yang berskala luas dan terkait dengan aset-aset penting negara. Tetapi, harus ada yang mulai. Catatan penting juga bagi sesama kaum perempuan harus saling dukung tokoh atau pemimpin wanita untuk bisa capai tujuan kesetaraan gender tadi. Maka, mari ikut berproses. Memang melelahkan dan butuh belasan generasi bahkan lebih, untuk lihat wujud kesetaraan yang benar-benar adil dan merata, bagi semua suku dan bangsa. Bisa jadi nyawa taruhannya dan itulah konsekuensi dari sebuah perubahan jangka panjang."
"Wah. Sangat menarik memang apa yang Om sampaikan. Ini pertanyaan yang terakhir dari kami. Memang masih ada kaitan dengan Saras, putri Om. Kami harap ada sedikit saja komentar dari Om. Ada yang ingin tahu, mengapa kalau dilihat di media, tidak pernah ada foto Saras hanya foto dari abang Saras? Ada berita yang nyatakan kalau Om punya dua orang anak, tapi memang hanya anak pertama yang lebih sering muncul atau terpublikasi."
"Nah, ini kalian bisa sampaikan alasan yang benar kepada kalangan sivitas akademika. Waktu Saras lahir di luar negeri. Di saat yang sama, sedang ada isu yang terkait dengan pelecehan dan penculikan anak. Waktu itu di negara kita sendiri, ada kasus pedofilia yang sangat marak dibahas di media. Itulah alasan utama kami sebagai orang tua tidak secara terbuka ceritakan tentang Saras. Hal ini tentu saja terbawa sampai sekarang dan Om akhirnya putuskan untuk tidak mempublikasikan lagi tentang anggota keluarga Om termasuk kedua anak Om. Kalau kalian telisik lebih jauh lagi, berita tentang Dewo itu juga adalah kliping foto yang lama dan belum ada foto terbaru dari putra dan putri saya di media cetak mana pun selain foto keluarga kami."
"Terima kasih banyak Om. Semakin jelas informasinya. Ini keunggulannya kalau dapatkan berita dari pihak nara sumber utama, Viana," ucap Livia.
"Paling terakhir dari kami, apakah Om punya pertanyaan untuk kami?" sambung Viana.
"Nah, Om suka kalau seperti ini. Kita sudah selesai dengan pertanyaan formal. Sekarang Om ingin tahu yang tidak formal saja. Jadi, kalian tidak perlu catat untuk dilaporkan."
Saras juga ikut berhenti mengetik karena hendak menyimak apa yang akan disampaikan oleh ayahnya.
"Kalian sudah punya pacar laki-laki?" tanya Hadi yang langsung disambut dengan delikan oleh Saras.
"Belum ada, Om. Kami masih mau kuliah dulu," jawab Livia.
"Orang tua kami tidak setuju kalau kami pacarana saat kuliah," sambung Viana.
"Kalau Saras, sudah punya pacar belum?" imbuh Hadi bertepatan dengan Anita yang masuk dengan satu nampan penganan.
"Mami, ini Papi tanyanya aneh-aneh!" lapor Saras.
"Ayo, jangan takut. Jawab yang jujur. Sudah punya belum?" todong Hadi lagi.
"Saras kalau sampai sudah punya pacar dan belum cerita ke kami, berarti pengkhianatan namanya, Om. Kami selalu bersama di kampus, jadi kami pasti tahu misalkan Saras jalan dengan cowok," terang Livia.
"Iya, Om. Kami selalu bersama ke mana pun, jadinya sering dipanggil tiga serangkai atau tiga sekawan. Kami butuh pacar yang mungkin juga bertiga, biar lebih asyik nantinya bisa gaul bersama."
"Hussh! Diam!" bentak Saras dan Livia bersamaan pada Viana.
"Jangan dimasukkan ke hati ya, pertanyaan papi Saras. Itu hanya bercanda saja. Silakan dinikmati dulu penganannya," kata Anita menyela perbincangan seru mereka.
Tiga sekawan itu akhirnya kembali ke kamar Saras karena Hadi dan istrinya ada agenda makan malam di luar.
"Lihat hasil foto ini, kamu sangat cantik Saras," ucap Livia sebelum ia kirimkan dokumennya ke surat elektronik Saras agar bisa dilampirkan ke dalam lembar tugas yang hampir rampung diketik oleh sahabatnya itu.
"Untung saja kalian datang di saat hati papi sedang bahagia. Aku juga baru tahu alasan sesungguhnya kenapa jarang sekali diajak foto keluarga jika berurusan dengan kantor papi."
"Sudah pasti Om Hadi itu sangat sayang dan melindungi kamu dari pengaruh dunia media yang jahat dan kotor. Apalagi untuk keluarga kalian yang sering jadi sorotan, karena kerja ayahmu."
"Kalau itu memang aku percaya. Papi sudah pernah sampaikan juga pentingnya kami paham tuntutan dan harapan masyarakat karena ada darah papi yang mengalir dalam nadi kami."
"Tapi, Om Hadi memang keren. Papaku juga keren tapi sekarang selain Pak asdos Wira, idola baruku adalah papanya Saras," imbuh Viana mulai kumat.
"Eh, Livi. Menurut kalian, apa untungnya bagi Wira setelah baca tugas yang aku kerjakan ini?"
"Itu kalau dia benar baca maka dia akan tahu harapan Om Hadi tentang mendukung hak perempuan."
"Kalau khusus tentang aku sebagai anak perempuan dari Hadi Kusuma?" sambung Saras.
"Tidak ada yang dia dapat karena tadi 'kan Om Hadi menolak untuk jawab," balas Viana.
"Iya, benar-benar," sambung Livia.
Saras mengangguk dan lanjut rampungkan ketikannya.
'Tapi, aku pikir agak beda. Mungkin kalau kalian tahu seperti apa relasi yang sudah terbentuk antara aku dan Wira, pasti kalian akan setuju denganku. Dia sepertinya punya niat terselubung yang belum bisa aku deteksi,' batin Saras.