Chereads / Jejak Sang Perawan 25 Tahun Kemudian / Chapter 8 - Wira Gigit Jari

Chapter 8 - Wira Gigit Jari

Suasana kampus sedang sepi karena hampir semua mahasiswa ada di dalam ruangan untuk mata kuliah siang.

Wira bergegas menuju perpustakaan karena ada janji dengan pustakawan untuk ambil jurnal yang sudah ia pesan.

"Ini memang kebiasaan buruk. Selalu saja ada sampah dalam saku celana," gumam Wira keluarkan gumpalan kertas dan kulit permen yang tidak lolos sensor saat masuk jasa laundry.

'Mesti cari tempat sampah dulu kalau begini. Biasanya ada di depan, apa mungkin dipindahkan ke dalam? Ke belakang saja, pasti ada di dekat gazebo,' batin Wira sudah sampai di depan gedung perpustakaan.

Wira berjalan memutar dari samping gedung.

Desain area perpustakaan dilengkapi dengan taman di bagian belakang dengan beberapa gazebo, jadi bagi mahasiswa yang ingin lanjutkan diskusi, atau kerjakan tugas sambil merokok atau ngemil, bisa pakai fasilitas tersebut.

Wira akhirnya temukan tempat sampah yang ia cari. Kebetulan ada di setiap gazebo.

Ia hampiri yang paling dekat posisinya. Semakin dekat, Wira temukan fakta lainnya. Ada sepasang kekasih yang sedang bercengkerama. Wira hentikan langkahnya tapi apa yang telinganya tangkap, tidak bisa ia abaikan begitu saja.

"Jangan Andre, ini tempat umum. Nanti saja!" ucapan dari suara si cewek.

"Sedikit saja. Cuma kupilin, tidak akan kubuka," balasan dari suara pria.

"Aku harus konsultasi dengan dosen pembimbing setelah ini. Nanti kalau aku basah bakal tidak nyaman."

"Kamu selalu seksi di mataku. Harusnya aku kurung dirimu setiap hari agar tidak sulit seperti sekarang!"

"Andre, aww!" suara desahan si cewek.

"Kamu diam! Jangan bergerak! Orang-orang malah akan curiga. Mau kumakan sebentar saja, karena sudah mengeras sempurna."

"Andre, please!"

"Kamu selalu nikmat Sayang. Sebaiknya kita ke mobil sekarang! Aku sudah tidak tahan lagi!"

Leher Wira menegang. Rahangnya mengeras. Seluruh rambut di permukaan kulitnya meremang.

Pasangan itu memang membelakanginya, hingga tidak akan terlihat oleh mereka. Apalagi, kalau mereka sedang asyik begitu.

Sampah yang harusnya bisa ia lemparkan ke dalam wadahnya, Wira masukkan kembali ke dalam saku celananya.

Dengan perlahan ia mundur dan berbalik untuk tenangkan diri.

Meski ia tidak melihat dengan jelas wajah si perempuan, tapi indera pendengarannya tidak mungkin salah.

'Desahan itu begitu kukenal. Terasa ada di sisiku. Itu pasti suara Indah. Kenapa aku begitu bodoh. Pantas saja ia mulai sering telat kalau janjian. Dia juga pernah datang dengan aroma parfum yang beda. Rupanya ia baru selesai berjumpa dengan pria tadi. Andre namanya. Apa rekan sesama dosen juga atau mahasiswa? Gobloknya aku telah ditipu oleh wanita yang lebih muda dariku. Sial!' batin Wira.

Niat awalnya untuk mengambil jurnal ia lupakan begitu saja. Ia tinggalkan kawasan perpustakaan kembali ke ruang kerjanya.

Wira memang sudah satu minggu resmi punya meja sendiri sebagai asisten dari profesor Imam.

Dia bisa datang menjelang jam kuliah saja dan kembali berkantor di kampus induknya setelah mengajar.

Tiga puluh menit lagi ia akan masuk kelas.

Wira memilih untuk berbelok ke kantin untuk melepaskan dahaganya.

Ponselnya ia non aktifkan karena ia tidak ingin berbicara dengan Indah, setidaknya untuk hari itu.

Dalam situasi yang tidak nyaman seperti sekarang, Wira lupa kalau ia sebenarnya sudah buat aturan pribadi untuk tidak berada dekat dengan mahasiswa selain untuk urusan perkuliahan.

Berbeda dalam kasus Indah. Karena, ia jumpa dengan Indah karena dikenalkan oleh saudaranya. Bukan saat mereka ada di latar kampus. Kebetulan saja juga, Indah sedang kerjakan skripsinya dan sebentar lagi akan tamat dari kampus yang jadi tempat Wira mengajar sekarang.

Harusnya ia pergi ke kafe depan kampus dan bukan masuk ke kantin yang lebih banyak dikunjungi para mahasiswa.

Sudah kepalang tanggung, ia akhirnya nekad beli minuman di sana. Untungnya, kantin tidak terlalu ramai jadi ia bisa sedikit lega.

"Mahasiswa baru, ya? Transfer dari mana?" tanya penjaga kantin.

Wira membeliak. Dia agak kaget juga masih dikira sebagai mahasiswa. Padahal, ia merasa sudah berpenampilan sangat rapi seperti gaya para dosen pada umumnya.

Selain itu, Wira juga takjub. Kehadirannya bisa dideteksi sebagai orang baru. Artinya, si penanya hafal semua orang yang sudah pernah berkunjung di kantin. Maka, naluri usil Wira keluar.

"Tahu dari mana kalau saya mahasiswa baru?"

"Ya, biasanya seperti itu. Satu, karena dosen tidak pernah berbelanja di sini. Dua, banyak mahasiswa pindahan yang munculnya rapi seperti ini tapi kemudian lebih santai setelah seminggu kuliah di sini. Biasanya tebakan saya tidak pernah meleset."

"Cerdas juga analisa kamu. Kuliah di jurusan mana?"

"Fakultas Urusan Rumah Tangga tentunya. Kalau jurusan yang lain, mana mungkin bisa hafal semua pengunjung kantin?" sambutnya dengan lantang tapi dengan nada bercanda, sambil melirik ke teman-teman pelayannya yang di sekitar.

Semuanya tergelak dengar ocehan dari teman mereka, termasuk Wira.

Namanya Wati. Dia yang memang paling cerewet, berani dan sok kenal sok dekat dengan semua pengunjung. Wati dijuluki pembuat onar dalam arti positif di kantin. Semua mahasiswa yang sering nongkrong di sana sudah tahu tabiatnya.

Sementara di sisi lain, tepatnya sudut kantin.

Tiga serangkai sedang mojok dengan minuman es teh dan sepiring kentang goreng, menanti kelas berikutnya.

Siapa lagi kalau bukan Livia, Saras dan Viana.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba, dosenku idolaku ada di depan mata!" ucap Viana dengan memasang tampang manja.

Ia dengar keseruan di bagian pelayan dan ia dapati ada sosok Wira di sana.

"Mana? Mana?" tanya Livia ikut antusias.

Saras seperti biasa hanya bisa meringis kalau kedua sahabatnya sudah heboh seperti ini.

Ia bahkan fokus pada es teh dan layar ponselnya.

 "Arah jam tiga!" tegas Viana sudah tegakkan tubuhnya.

"Aku ada ide," sambar Livia sudah berdiri.

"Jangan aneh-aneh. Sebentar lagi kita masuk kelas. Aku tidak mau telat. Dosen kali ini galak," sambung Saras.

"Apaan?" pancing Viana menatap Livia.

"Kalau dia duduk, kita ajak ngobrol. Yah, sepuluh menit harusnya sudah cukup."

"Setuju! Setuju! Tapi, topiknya apa?" sahut Viana.

"Aku tidak ikutan ya… kalian saja," sambar Saras seraya menyeruput minumannya.

"Tidak bisa. Kamu itu yang akan jadi alasan kita bicara dengannya. Kita perkenalkan kamu karena kemarin tidak sempat hadir saat kuliah tatap muka," jelas Livia lantang.

"Setuju! Itu ide yang sangat cemerlang. Dia sudah duduk di sana. Ayo, sekarang waktunya sebelum kita telat." Viana sudah ambil semua buku-buku yang berserakan di atas meja dan Livia juga tarik tangan Saras agar berdiri dan ikut dengan mereka.

Saras sampai hampir tersandung kursi karena agak malas-malasan dengan rencana kedua sahabatnya.

Ia sebenarnya tidak mengira kalau pertemuan di kantin siang itu, akan mengubah jalan hidupnya.