Saras melihat meja yang akan mereka tuju sekaligus penghuninya. Pria asing yang sudah jadi idola kedua sahabatnya, sekarang ada di depannya.
Saras enggan melangkah dengan cepat buat Livia harus seperti menyeretnya, jadi timbulkan suara yang menarik perhatian Wira.
Asdos itu naikkan salah satu alisnya saat melihat pemandangan di depannya, tapi hanya sekilas lalu tunduk lagi untuk lanjutkan mengaduk kopinya.
'Sungguh indah dunia ini kalau selalu dikelilingi oleh cewek muda yang cantik-cantik. Sayangnya, mereka datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang tidak ingin berurusan dengan makhluk yang bernama wanita,' batin Wira.
"Siang Pak. Maaf mengganggu. Boleh kami duduk?"
"Kalian sendiri sudah tahu kalau saya tidak ingin diganggu."
'Sombongnya. Kesambet apa tadi pagi?' batin Saras mulai resah. Hatinya memang tidak tenang saat diajak tadi, seperti bakal terjadi sesuatu.
"Makanya kami minta maaf!" balas Livia.
"Aturan tak tertulis di kantin ini, siapa pun harus bisa saling sapa dan kenal. Tanpa terkecuali!" sambung Viana asal bunyi tapi agak nyambung.
"Aduh, maafkan teman-teman saya. Kami tidak akan ganggu Bapak asisten lagi!" imbuh Saras tidak ingin ada percakapan panjang. Ia segera merangkul bahu Livia dan Viana untuk berbalik dan tinggalkan kantin.
Wira jadi terpantik untuk mengerjai Saras karena tampangnya yang lucu bagi Wira. Dari cewek berani yang minta dicium olehnya beberapa waktu lalu, dan sekarang tampak patuh dalam perannya sebagai mahasiswa.
"Tunggu! Kalian pernah ada di kelas saya, bukan?"
"Iya, Pak. Itu benar!" sambung Livia sudah dengan sigap balikkan badan sambil rapikan pakaiannya.
"Saya Viana!"
"Saya Livia. Kecuali teman kami ini yang belum hadir di kelas Bapak. Waktu itu, dia minta ijin!" imbuh Livia sudah dorong Saras agak sedikit maju.
Saras membeliak dan menggigit ujung bibirnya karena tidak menyangka Livia serius jadikan dia sebagai topik utama siang itu.
Ekspresi Saras bahkan semakin buat Wira tertawa dalam diam. Bahkan ia rasakan hatinya sejuk melihat wajah manis dan imut di depannya. Bersih tanpa polesan mencolok atau merona seperti riasan mahasiswa lainnya. Tanpa gincu yang merona, sehingga tampak merah muda bening. Wira sekilas ingat dengan permainan singkat mereka di awal berjumpa dan manisnya labium Saras.
"Siapa nama kamu?" tantang Wira kembali pada perannya sebagai asdos.
"Saras."
"Nama lengkap?"
"Saraswati Kusuma."
"Hubungan dengan Hadi Kusuma?" cecar Wira.
"Itu ayahnya Saras!" timpal Livia dan Viana bersamaan.
Saras berbalik mendelik pada kedua temannya, kirimkan sinyal agar mereka tidak ikut campur.
'Gawat, bisa berabe kalau terlalu kujahilin. Rupanya ini putrinya Hadi. Aku lebih sering baca berita tentang abangnya. Pasti sangat disayang makanya jarang dipublikasikan, atau Hadi tipe diplomat yang bagus secara teori tapi kolot dalam perilakunya. Menarik untuk ditelusuri,' batin Wira.
"Oke. Setahu saya, berita yang ada lebih sering menyebutkan anak laki-laki dari Hadi Kusuma. Kalau benar pengakuan kalian, buktikan bahwa kamu memang anaknya Hadi Kusuma. Saya ingin karangan 3000 kata tentang pandangan Hadi Kusuma terkait 'Gender dan Politik'. Kumpulkan di jam kuliahku minggu ini."
Mata Saras membeliak sempurna, melotot seperti akan keluar dari rongganya, tajam menatap Wira.
"Kalau masih kurang, saya bisa berikan …"
"Cukup Pak. Bisa. Akan disiapkan seperti permintaan Pak Wira. Kami pamit," sergah Livia sudah menggandeng lengan atas Saras untuk segera beranjak dari sana.
Ketiganya berjalan menjauh dari Wira, sedikit menyeret Saras.
Saras masih sempat menoleh sekali lagi ke arah asisten dosen yang tampak puas. Tidak hanya menyeringai, ia bahkan sempat kirimkan satu kedipan mata pada Saras begitu netra mereka bertemu.
'My goodness! Dia mau kerjain aku rupanya. Awas kamu!' batin Saras kesal.
"Sekarang kalian puas? Sudah berikan tambahan tugas untukku?" umpat Saras dalam perjalanan menuju kelas.
"Iya, kami minta maaf. Kami pikir dia ramah. Ternyata, killer juga. Semua dosen sama saja di mana pun kampusnya."
"Tua mau pun muda tak ada belas kasihannya," imbuh Viana menimpali Livia.
"Kalian harus tanggung jawab. Papi pasti tidak sudi aku wawancarai. Jadi, kalian yang lakukan saja. Aku yang akan ketik hasilnya dan kumpulkan."
"Iya! Iya! Nanti kita menginap di rumahmu satu malam biar beres tugas tambahan ini."
Sementara Wira merasa lebih lega setelah diganggu oleh Saras dan teman-temannya.
Ia langsung masuk kelas untuk tunaikan tugasnya. Setidaknya, ia lupa akan masalah pribadinya sesaat.
Setelah mengajar, Wira langsung pulang ke apartemennya.
Begitu ia buka pintunya, ia dapati alas kaki Indah sudah tertata rapi di tempat biasa.
Memang Wira berikan satu kunci apartemennya untuk wanita yang dekat dengannya. Agar permudah mobilitas saja karena dia bukan tipe pria yang betah antar dan jemput pasangan.
Baginya, wanita mandiri jauh lebih mudah untuk dijadikan teman hidup daripada yang sebaliknya.
Wira pernah punya pacar di masa kuliah yang anak rumahan. Ia lelah untuk penuhi setiap keinginan dari pacarnya waktu itu, sehingga ia minta putus. Ia tidak ingin hal yang sama terulang lagi pada hubungan yang baru.
Wira tidak jadi masuk ke dalam kamar. Ia sudah bisa bayangkan ritual apa yang akan terjadi begitu ia melihat Indah.
Ia jadi ingat saat pertama Indah minta untuk berkunjung ke apartemennya.
"Apartemen ini atas nama kamu atau keluargamu?" tanya Indah.
"Masih milik keluargaku."
Wira sudah buka pintu dan persilakan Indah untuk duduk.
"Apa kamu sudah punya seseorang yang selalu hangatkan suasana yang dingin di sini?" teriak Indah karena memang Wira menghilang ke dalam kamar.
"Pasangan tetap maksudmu? Pacar sedang kucari. Belum ada yang cocok. Masih belum menetap," balas Wira dari dalam.
"Apa aku tidak masuk kriteria dari wanita yang kamu cari?"
Wira harus menelan salivanya karena tiba-tiba saja Indah sudah ada di dalam kamarnya tanpa bajunya lagi, hanya tersisa celana jeans dan bra yang sama sekali tidak membantu sembunyikan apa pun.
Itulah awal mulanya Wira dan Indah dekat. Mulai saat itu, Wira tidak sanggup menolak pesona dari Indah. Bahkan ada saat di mana Wira kewalahan untuk puaskan kekasihnya itu karena ia harus membagi waktu antara bekerja dan tidur yang cukup.
Jika ada Indah di apartemennya, maka waktu tidurnya akan terpangkas dan pernah ia mengajar dengan keadaan setengah mengantuk. Hasilnya, ia ditertawakan oleh mahasiswanya.
Sejak saat itu, ia mulai disiplin diri untuk tidak selalu ladeni gairah dari Indah.
Wira tersadar dari lamunannya dan sudah siap untuk hadapi Indah, kekasihnya.
Wira kirimkan pesan pada wanita itu untuk segera keluar karena ia ingin bicara di ruang tamu.
Tak lama kemudian, Indah sudah muncul dengan hanya kenakan selimut dan rambut yang tergerai di bahunya.
Wira langsung tersadar kalau ia selalu dihadapkan dengan godaan yang sama.
Ia tatap mata Indah dan berkata dengan lembut.
"Kembalikan kunci apartemenku. Sebaiknya kita putus. Maaf, aku sudah tidak bisa lagi penuhi segala yang kamu inginkan dan butuhkan."
"Ada apa, Sayang? Kamu sudah tidak cinta lagi padaku?" balas Indah lepaskan selimut di tangannya dan maju dengan tubuh polos untuk menyentuh Wira.
"Jangan mendekat, kumohon. Tolong pakai lagi pakaianmu dan tinggalkan kunci di atas meja. Aku ada urusan penting sekarang!" tegas Wira memilih untuk sambar ranselnya dan kenakan lagi sepatunya untuk keluar dari apartemen.
Ia akan kembali begitu ia yakin Indah sudah tidak ada.