Saras tiba di ruangan lebih awal dari Livia dan Viana. Dia sudah siapkan alasan kalau sampai kedua sahabatnya itu mengejarnya dengan banyak pertanyaan nanti.
"Hei, kamu sudah tiba duluan rupanya," teriak Livia sambil menepuk pundak Saras dari belakang.
"Iya, memangnya kalian saja yang bisa datang lebih awal. Sesekali aku juga bisa, seperti pagi ini."
"Heran saja karena biasanya kamu paling suka telat di antara kita bertiga."
"Viana pasti masih rempong karena hari ini 'kan dia ulang tahun."
"Wah, sampai lupa. Jadi, kamu sudah siapkan hadiah untuk Viana?"
"Sudah dan belum. Aku masih kurang yakin apa memang akan kujadikan sebagai hadiah atau aku cari lagi yang lain."
"Aku juga benar-benar lupa. Urusan rumah buat aku tidak konsentrasi akhir-akhir ini."
"Ada apa sih, Sayang berdua? Coba berbagi biar aku bisa bantu," ucap Viana sudah ada di samping Saras dan Livia.
"Happy birthday!" sambut Saras dan Livia kompak langsung berebut memeluk sahabat mereka.
"Panjang umurnya, mudah rejekinya berlimpah senantiasa dan enteng jodoh," ucap Livia panjang kali lebar.
"Tambah sehat dan cantik terus dan selalu jadi teman curhat terbaikku," sambung Saras.
"Aku merasa tidak bertambah usia sebenarnya, tapi karena sudah terlanjur diberi selamat, maka aku ikut bahagia. Sebenarnya aku lupa kalau hari ini, sembilan belas tahun yang lalu, aku lihat bumi untuk pertama kalinya."
"Aku tidak punya hadiah khusus jadi aku traktir makan siang saja. Tempatnya kamu yang pilih. Terserah di mana saja, asalkan masih di kota ini."
"Aku ingin coba semua jenis menu yang ada di salah satu restoran cepat saji favoritku. Boleh?"
"Tentu saja. Setelah kuliah kita cap cuss! Oke?" balas Saras berikan tepukan tos lima jari pada Viana.
"Eh, dosen sudah datang," seru Livia agar mereka segera duduk di tempat masing-masing.
Mereka pun fokus pada perkuliahan hari itu sampai dengan pukul satu siang.
"Akhirnya selesai juga. Aku sudah mau pingsan. Benar-benar lapar, euy?" sungut Viana karena dia memang telat bangun dan hanya sempat makan satu lembar roti tawar polos di mobil dalam perjalanan ke kampus.
"Makan dulu camilan yang ada dalam mobil ini. Ke mana kita sekarang Viana?" tanya Saras mulai nyalakan mesin karena dia yang menyetir.
"Jalan saja ke arah taman kota. Nanti aku tunjukkan posisi rumah makannya."
"Eh, jangan jalan dulu. Coba lihat di sana, itu apa yang nampak bergerak?" tanya Livia yang sedang mengunyah springles tapi matanya menatap ke arah mobil yang diparkir di seberang.
"Tidak usah ditanya lagi, sudah pasti orang pacaran Li. Sampai nungging begitu, apa lagi coba. Kamu jadi orang jangan terlalu tolol!" sambung Viana setelah mereka sempat diam untuk melihat ke arah yang dimaksud Livia.
"Jadi, kita jalan sekarang atau gimana?" tanya Saras yang masih berhenti karena perkataan Livia.
"Eh, itu bukannya kakak senior dari jurusan kita? Aku hafal benar wajahnya yang perempuan," sambung Livia masih terus saja memandang ke pasangan yang sedang asyik bercumbu, saling memagut satu dengan yang lain tanpa sadar kalau ada orang lain di sekitar mereka.
"Aku coba putar balik dan lewati mobil mereka, ya? Jadi, lebih jelas lagi tampangnya dan biar mereka juga tahu kalau mau pacaran itu sebaiknya di kamar dan bukannya di tempat parkir seperti sekarang!" imbuh Saras.
"Apalagi di siang bolong begini, amit-amit deh! Sungguh kegatelan!" sambung Livia.
"Kalau sudah kesambet ya… seperti itu, serasa dunia milik berdua saja. Yang lainnya hanya numpang," tambah Viana begitu mereka sudah lewati mobil yang dibicarakan.
"Itu memang kakak senior yang di tingkat akhir. Astaga, bajunya sampai sudah hampir copot begitu!"
"Dari mana kamu tahu?" tanya Viana.
"Aku dan dia ada di bawah asuhan dosen pendamping yang sama."
"Ow, berarti kamu memang tidak salah orang. Biar saja, toh dia juga sudah hampir lulus. Mungkin, bagian dari salurkan beban karena tekanan selesaikan skripsi."
"Eh, jangan ngobrol terus dan lupa tunjukkan arahnya. Nanti kita kelewatan," seru Saras menyela serunya percakapan dua sahabatnya.
Satu jam kemudian, mereka sampai juga di restoran all you can eat yang dipilih oleh Viana.
"Aku bahagia sekali. Aku akan coba makanan yang selalu tidak bisa kumakan karena cepat habis atau waktu itu aku sudah kekenyangan!" ucap Viana penuh antusiasme.
"Aku cari tempat duduk. Langsung saja, nanti kita gantian," kata Saras berbelok arah dari kedua sahabatnya.
Lima menit menanti di meja, Livia akhirnya sudah muncul dengan bakinya.
"Silakan lanjut. Tinggalkan saja tasnya, aku tidak ke mana-mana dulu," kata Livia sebelum duduk.
Saras mengangguk dan menuju deretan meja hidangan yang panjang membentang di bagian tengah dari sisi sebelah kanan, searah pintu masuk.
Ia berpapasan dengan Viana yang kedipkan matanya karena kedua tangannya penuh dengan baki dan minuman.
Saras masih menatap setiap menu yang ada dan belum ambil wadah dan baki. Ia berjalan perlahan dan berhenti di meja es krim dengan baragam rasa. Setelah tentukan pilihannya barulah ia bergeser ke menu utama. Ia akan kembali nanti untuk makanan penutup.
Saras sudah tahu apa yang ingin ia makan. Ia tunduk untuk mengambil piring yang ditata di bagian bawah meja hidang.
Saat ia meluruskan badannya dan mundur selangkah untuk seimbangkan tubuhnya, ia berasa menabrak sesuatu.
"Eh, maaf!" suara seorang pria menarik perhatian Saras dan ia menoleh.
Rupanya ia bertubrukan dengan pria yang asing tapi bukan baru bagi Saras.
"Selamat siang Manis. Kamu suka makan di sini juga?" sapa si pria dengan santainya.
"Hati-hati kalau jalan!" balas Saras ketus. Ia tiba-tiba amnesia dan berbalik tinggalkan pria tersebut.
"Galaknya! Aku ingat pertama kali kita berjumpa, kamu sangat jinak," bisik pria itu sambil berjalan melewati Saras dan tidak menoleh balik sama sekali.
Saras bisa rasakan parasnya memerah. Ia berbalik arah agar tidak berpapasan dengan pria tanpa nama tersebut.
Jantungnya sudah berdetak tak karuan karena ia tidak akan pernah lupa dengan paras pria yang pernah ia rayu. Bahkan, setelah kejadian memalukan itu pun mereka tidak saling berkenalan. Jadi, Saras tidak pernah tahu namanya sama sekali.
"Lama sekali kamu di sana, dan piringmu hanya berisi spaghetti?" tanya Viana heran.
"Aku tadi tabrakan dengan seseorang saat ambil piring, jadi aku hanya sendok menu yang paling dekat dengan posisiku dan tidak lanjutkan berkeliling lagi. Nanti saja. Aku habiskan dulu apa yang sudah aku ambil ini."
"Aku tadi sepertinya lihat asisten dosen yang kemarin," ucap Viana sambil menatap ke tempat duduk yang ada di sekitar mereka.
Livia dan Saras ikut melihat ke sekeliling restoran dan salah satu dari mereka menangkap bayangan dari kakak senior perempuan yang mereka pergoki sedang pacaran di mobil.
"Eh, coba lihat ke arah jarum jam angka sembilan. Senior tadi yang ada parkiran sepertinya baru tiba. Ia janjian dengan seseorang di sini juga," ucap Livia.
"Itu dia asisten dosennya. Duduk di sana! Siapa namanya Livia?" balas Vania.
"Asdos yang mana?"
"Mata kuliah umum kemarin. Asdos tamu yang profesor Imam bawa sebagai asisten barunya," jelas Viana pada Livia.
"Eh, iya betul. Itu 'kan asdos yang kamu maksud. Dia lagi sama senior yang aku bilang. Eh, si dosen pake cium kening si cewek lagi," ucap Livia tampak syok karena mereka jelas melihat senior perempuan tadi baru selesai pagutan dengan pria lain.
"Wira! Wira! Aku ingat namanya. Dia jadi dosen idolaku sekarang. Untung aku akhirnya ingat," ucap Viana puas dengan keberhasilannya.
'Hm, jadi namanya Wira. Pantas pakaiannya tampak rapi karena ia memang asdos. Kalau sampai Livi tahu kalau aku sudah pernah ciuman dengannya, mereka pasti akan menggempurku sampai remuk. Sebaiknya, aku bungkam saja,' batin Saras sambil menyimak percakapan kedua sahabatnya.
Diam-diam Saras ikut amati dengan serius aktivitas di meja seberang yang sedang hangat mereka perbincangkan. Ia perhatikan dengan lekat wajah dari pria pujaan Viana tersebut dan juga kekasihnya. Sesuatu terjadi dalam hatinya tapi Saras tidak paham apa yang ia rasakan.