Chereads / Hantu Tongkah / Chapter 3 - Chapter 3 - Siapa Mereka?

Chapter 3 - Chapter 3 - Siapa Mereka?

Pagi yang cerah plus ombak tepi laut membuai kapal-kapal nelayan, speedboat, serta pompong yang berlabuh. Elang berserakkan di udara demi mendeteksi makanan yang terhanyut di permukaan air laut kuning yang lawa itu.

"Aduh, lama banget nih kapal berangkatnya. Kebanyakan gaya!" Keluh Ropi dengan duduk di atas pagar kapal.

"Nungguin guru-guru, makanya lama." Ucap Ayi yang tegak bersandar di pagar kapal.

"Tapi keterlaluan gak sih, sudah setengah jam lebih kita menunggu. Lama-lama jadi ikan asin juga dibuatnya, sudahlah tempat yang ada perteduhannya penuh." Gerutu Ropi seperti itu.

"Ya ampun Idiot, ini panas pagi malah tambah sehat kita. Makanya jika orang berbicara didengarkan. Kan guru kita bilang mereka akan pergi pukul sembilan, karena mereka akan mengabsen kehadiran kita." Sahut Lisa dengan serius, karena dia sebenarnya juga lumpeng dengan penuhnya kapal mini alias tidak terlalu besar itu.

"Ya itu benar, kamu sih keasikan ngobrol dengan Taher tadi." Tambah Ayi.

"Baiklah, aku selalu salah dan kalian selalu benar. Kalian suci dan aku penuh dosa." Ucap Ropi dengan humoris.

"Hahaha!" Ayi melontarkan tawa gelinya.

"Tapi benarkan, aku selalu saja salah dimata kalian."

"Ah sudahlah, guru-guru kita telah tiba tuh. waktunya berangkat!" Seru Ayi dengan si karangan kedamaian yang selalu digenggamannya itu.

Akhirnya kontingen SMA Negeri 101 di Desa Tanah Merah mulai berlayar menuju pantai Bidari. Tapi bukan mereka saja yang turut bergegas, melainkan kapal-kapal pengangkut sekolah lain dan warga sipil juga bertaburan. Suasana perairan sangat sibuk karena memang festival ini sangat langka dan unik bagi kalangan masyarakat setempat.

****

Huuu …! Hahahaha …! Wow yeee …!

Seruan para penonton bergemuruh di pantai lumpur yang luas itu. Sementara itu disambut atau dibuka dengan persembahan tari suku Duanu yaitu Tari Menongkah yang bergema musiknya bernuansa pantai laut. Tarian yang diperagakan oleh siswa-siswi Sekolahnya Ayi, Lisa, dan Ropi. Ternyata lombanya akan segera dimulai.

Kapal kontingen sekolah pun baru tiba di pantai. Tampaklah hamparan lumpur yang luas tempat area lomba menongkah itu dengan ujung sekalinya dibuntui hutan bakau, lalu bibir pantai dengan spesialnya di alasi kulit-kulit kerang yang mati dan kering serta bewarna putih yang mana menjadi injakan keberadaan para penonton, tenda-tenda, dan lain-lainnya.

Bapak kesiswaan langsung mengkoordinir peserta agar langsung turun ke pantai dan penonton agar mengambil posisi khusus dan siap untuk mendukung saat lomba akan dimulai.

"Wow! Benar-benar ramai sekali festival ini. Pantas saja festival ini mencetak rekor MURI. Pesertanya aja lebih dari lima ratusan, belum lagi penonton." Gumam Lisa mengamati festival itu sambil menempati posisi.

Seluruh peserta lomba yang disebut Penongkah telah tersusun sepanjang tepi permukaan lumpur, senyuman pepsodent berjejer turut menyertai karena antusias penuh.

"Oke semuanya, Selamat datang di Festival Manongkah Kerang Heritage di pantai Saresah Bidari Tanah Merah, Inderagiri Hilir, Riau! Piak Duanu Lap Neh Dolak! Salem buet sangelen!" Ucapan pembuka oleh panitia acara dengan semangatnya. "Nikmati lah pertunjukan lagu, syair, dan musik Duanu, makanan khas Duanu, dan lomba Manongkah Kerang tercinta!"

"Kalimat tadi apa terjemahannya, ya?" Saring Ayi di atas papan tongkahnya.

"Aku juga gak tahu, mungkin itu pepatah dan bahasa masyarakat Suku Duanu." Ropi menjawab tapi turut tidak yakin.

"Iya benar, Kulop. Itu pepatah azimat Duanu, Itu artinya Tidaklah Duanu Hilang Di Laut." Sahut seorang penongkah tua yang termasuk peserta juga tepat di sebelah kanan Ayi. Wajahnya berciri khas tersendiri dan mengetahui hal itu, mungkin saja dia juga orang Duanu.

Dia peduli sekali, bagus! Ayi memuji dalam batinnya.

"Oh begitu, terima kasih ya Bapak Duano, eh Duanu, eh Duano." Ucap Ropi tersenyum tebal.

"Hei! Ropi, ada ada aja kamu. Hahaha! Duanu dan Duano sama saja gak?" Ayi tertawa berat paksa.

Bapak itu pun ikut tertawa. Lalu dia ingin berbicara, namun ...

"Bersiaplah para penongkah kita semua!" Teriak panitia dengan spontan lalu menjelaskan. "Kita akan mulai! Letakkan satu kaki kalian di atas papan tongkah dan satu di atas lumpur. Itu trik tingkah mutlak dalam manongkah. Lalu dorong dan berselancarlah dengan bebasnya tanpa ragu. Burulah kerang-kerang sebanyaknya, juga udang, dan lainnya yang terselip."

Tampak peserta menyimak dan memahaminya.

"Tapi saya akan tanya terlebih dahulu, apakah kalian sudah siap?!" Sang Panitia mengkonfirmasi kesiapan.

"Siaaap!!!" Balas para penongkah dengan semangat tinggi secara jamak dan bergema di pantai lumpur itu.

"Oke, kalau sudah siap kita akan hitung mundur. Tiga ..! Dua ..! Sa.. tu Mulai!" Teriak Panitia itu.

Mendengar kata mulai maka berselancarlah para penongkah dengan ramainya di hamparan lumpur. Mereka mendorong salah satu kaki di lumpur dan salah satu tangannya mengambil kerang-kerang dan lainnya yang terselip. Mereka berserakan diibaratkan segumpal meises yang tercecer di lantai, namun indah di mata.

"Yeee! Buru kerang sebanyaknya! Ayo!" Sorak semangat penonton di sepanjang pantai tak terkecualikan kontingen sekolah Ayi, Lisa, dan Ropi.

"Ayo Ayi! Ropi! Semangat! Kalian pasti bisa!" Teriak Lisa dari kejauhan, Ayi dan Ropi pun mengangkat jempolnya.

Sebenarnya Ayi dan Ropi masih kaku, begitu juga teman-teman seper kontingen mereka. Mereka agak lambat berselancar, dibandingkan para penongkah lain sangat jauh bedanya. Meskipun ada yang perempuan tapi gerakkan mereka sangat profesional.

"Lumayan sulit juga, kalau begini dari kita pasti kalah." Kata Ropi dengan pesimisnya.

"Aku tidak masalah kalau kalah, yang penting pengalamannya dan bakal mudah menguraikan ide dalam karangan novelku, sebab sudah terjun langsung ke lapangan, hehe." Ungkap Ayi bahagia.

"Tapi aku salut dengan ibu-ibu Duanu itu loh, mereka lihai sekali." Ropi kagum.

"Karena mereka sudah terbiasa, kelihatannya manongkah ini pekerjaan sehari-hari mereka."

Ropi terangguk-angguk benar.

Menongkah sambil mengobrol yang dua pria itu lakukan sedangkan penongkah lain fokus terhadap tujuan. Tangan yang terlatih begitu gesitnya memburu kerang demi kerang.

Penonton bersorak ria dan beryel-yel, ada yang merekam, foto-foto, dan jalan-jalan di pantai, serta melihat pertunjukan musik dan syair Duanu.

"Ropi, kesini sebentar." Panggil Ayi terkesan mendadak, si Ropi pun menghampiri dengan penasaran.

"Ada apa sih? Padahal kerang ditempatku banyak tuh." Ucap Ropi.

"Lihatlah di sana, siapa para penongkah itu?" Pemuda itu bertanya-tanya dengan serius seraya menunjuk ke suatu arah.

****

"Yukie, lebih baik kita berjalan-jalan dulu. Melihat pertunjukan musik di sana, aku penasaran sekali." Lisa mengajak teman di sebelahnya.

"Yuk, aku juga penasaran." Terima Yukie.

Ternyata di sana penampilan sebuah perkusi oleh anak-anak Suku Duanu dengan rolah-nya.

Alat-alat musiknya berupa botol berisi air dan sendok, sebuah ember dan stick, ember yang ditepuk dengan tangan kosong, dan lainnya, serta beberapa vokalis.

Mereka menyanyikan lagu-lagu daerah yang ada di Sumatera seperti Soleram, Bungong Jeumpa, Ayam Den Lapeh, dan lainnya dengan aransemen-aransemen tersebut.

"Oh, jadi mereka membawakan lagu-lagu daerah di Sumatera, ya. Aku pikir lagu-lagu dengan berbahasa Duanu." Lisa berkata setelah mata bersaksi dan telinga mendengar.

"Kayaknya iya, tapi kan yang namanya perkusi semua seru sekali Lisa." Ucap Yukie.

"Ya kamu benar." Balas Lisa.

Mereka pun ingin beranjak, namun ...

Kami anak suku Duanu dan usilan tua namaku

"Eits!" Mereka pun terhenti seketika, apa itu? Ternyata Sekumpulan pendendang itu mencoba menyanyikan sebuah lagu.

Menggaung pesisir pantai Inderagiri Hilir nan pandai

Dari Concong, Belaras, Bekawan, Sungai Rumah, Patah Parang, dan lainnya

Di penghujung selatan rantau persada Riau berhiaskan pohon bakau

Oh angin laut tegarkanlah jiwaku

Oh Matahari bakarlah semangatku

Sambil bermain aku menongkah merapah lumpur mencari nafkah

Bersama elang ombak lautan ku dendangkan lagu kehidupan

Ow ea eo .. Te kiyu kikik bekerju

Ow ea eo .. Te kiyu kikik betulken

Ow ea eo .. Neh mari kikik besamu

Ow ea eo .. Menjelajah pantai Dolak

Dari Concong, Belaras, Bekawan, Sungai Rumah, Patah Parang, dan lainnya

Di penghujung selatan rantau persada Riau berhiaskan pohon bakau

Oh Angin laut tegarkanlah jiwaku

Oh Matahari bakarlah semangatku

Sambil bermain aku menongkah merapah lumpur mencari nafkah

Bersama elang ombak lautan ku dendangkan lagu kehidupan

Ow ea eo .. Te kiyu kikik bekerju (Ke sini kita bekerja)

Ow ea eo .. Te kiyu kikik betulken (Ke sini kita betulkan)

Ow ea eo .. Neh mari kikik besamu (Lah mari kita bersama)

Ow ea eo .. Menjelajah pantai Dolak (Menjelajah pantai Laut)

Ow ea eo ... Ea eo!

Ow ea eo ... Ea eo!

Ow ea eo ... Ea eo!

Ow ea eo ... Ea eo!!!

Tap! Tas! Tap! Tas! Tap! Tas! Tepukan penonton mengepung suasana.

"Woow! itu kejutan buat kita semua." Lisa dan Yukie turut bertepuk seraya mengapresiasi.

"Ini dia, sebuah semarak festival yang turut berkancah." Sebut Lisa.

Kemudian, beberapa saat ...

Pertunjukan syair Duanu, Lisa dan Yukie menikmati keberadaan mereka dimana bagian para lansia Duanu berdiri dengan kecerian tiada tara. Ternyata nikmat didengar, sebab… ya bahasa nya itu terasa combo manjul gitu.

Beberapa menit telah dimanjakan, akan tetapi perut gadis tomboi itu pula yang turut ingin dimanja. Beruntungnya disana juga tersedia para penjual kuliner, mereka pun menghampiri segera.

Menikmati makanan khas Duanu dimana terdapat olahan beberapa macam seafood, seperti siomay kerang saus asam cabe, sate kerang, udang nenek rebus saus asam cabe, kijing dan lokan goreng, ikan asin berbumbu, dan lainnya. Itulah tampak makanan khas Duanu yang klasik.

Dalam setiap langkah kaki berjalan juga terasa klasik sekali. Kebising-seruan dalam angin laut menerpa mengantar dua gadis itu kembali menonton perlombaan Menongkah.

"Yang mana Ayi? Aku gak tahu." Ropi kebingungan melihat arah yang Ayi coba tunjuk sedari tadi. "Soalnya banyak penongkah yang memakai baju abu-abu gelap di sana."

"Ya itulah yang aku coba tunjuk Ropi. Kamu lambat konek sih." Ujar Pemuda dari Negeri Jiran itu.

"Coba kamu bilang mereka yang berbaju abu-abu gelap itu loh, kan aku pasti langsung mengerti. Kamu yang gak jelas malah bilang aku lambat konek, gimana sih." Balas Ropi seraya tidak menerima.

"Ya maaf, aku salah." Ayi berkata.

"Emang mengapa mereka?" Tanya Ropi.

"Perhatikan mereka baik-baik, mereka aneh sekali menongkahnya." Ayi menjawabkan maksudnya.

Mata di balik kribo hitam mulai serius menatap.

"Memang seperti itu Ayi, kan kamu sendiri bilang bahwa masyarakat Duanu sudah terbiasa dengan manongkah. Aku heran mengapa kamu tiba-tiba jadi konselet sih, kamu demam ya?"

"Bukan itu Ropi, coba kamu lihat dulu cara mereka manongkah, mereka gesit sekali. Dibandingkan yang lain para penongkah yang berbaju abu-abu itu semuanya over power sekali berselancarnya, seolah-olah memakai mesin tapi kelihatannya tidak pula begitu." Jawab Ayi dengan sedetailnya.

"Ah sudahlah, fokus saja dengan perlombaan ini, dah!" Cetus Ropi dengan tidak mau heran akan hal itu.

Entah kenapa Ayi terkesan serius dan terbius terhadap apa yang dilihatnya itu. Detik demi detik saat salah satu dari rombongan yang dia curigai berselancar ke area yang lebih dekat dari pandangan, hal itu membuat mata seorang pemuda itu bersiaga untuk menangkap.

Salah satu penongkah itu tiba-tiba saja mendongak di tempat.

"Ya ampun!!!" Pekik Ayi setelah melihat wajah salah satu penongkah mistis itu.

Terlihat pipi yang pecah bengkak, lidah menjulur ke bawah, dan darah yang mengalir dari mata terlihat jelas dan menyeramkan.

"Ih ... si... siapa itu, seram sekali dia." Ayi berespon terkejut.

Mulut seperti gatal ingin memberitahu Ropi namun dia terkesan kaku akan efek kekagetan itu.

****

"Wah mereka hebat sekali menongkahnya, feeling aku pasti mereka yang bakal menang." Kata Yukie dengan yakin hingga Lisa ikut penasaran.

"Siapa? Yang mana?" Tanya Lisa melirik-lirik para peserta manongkah.

"Itu lho, mereka yang berbaju abu-abu itu. Gerakan mereka cepat dan indah sekali." Jawab Yukie.

Ketika Lisa melihat spontan matanya terpusat kesana seolah-olah dia mengamati secara mendalam.

"Mereka mengagumkan tapi terlihat aneh", Gumamnya sama halnya seperti Ayi.

****

Ayi yang masih bertanya-tanya mencoba mendekati rombongan yang menjadi targetnya itu. Tapi entah mengapa dari kejauhan perlahan-lahan mereka juga ikut menjauh. Ayi padahal ingin membuktikan mereka, atau sekedar kostum yang membuat dia terkejut hebat tadi. Tapi sayangnya, hal itu tidak berhasil.

"Hei Ayi!" Pekik Ropi. "Ada apa denganmu? kenapa kau terobsesi terhadap mereka, ha? Biarkanlah mereka dan lanjutkan menongkahmu!"

Ayi pun berhenti bereaksi, dia berpikir sepertinya itu memang takkan berhasil.

"Tapi aku akan mencari kebenarannya." Gumamnya disertai ambisi.

Tak lama toak pun berbunyi menandakan berakhirnya lomba.

"Perhatian! Lomba telah berakhir, diharapkan para peserta manongkah berkumpul di garis finish." Pengumuman dilanturkan, dengan begitu semua para penongkah pun bergerak menuju garis finish.

Di sana mereka menunggu antrian penimbangan kerang yang telah diburu.

"Semoga aku menang Ya Tuhan. Juara tiga saja bersyukur sekali, hihihi. Punyaku juga banyak tuh." Pemuda berambut kribo itu berkhayal dalam hatinya, entah dia iseng saja atau tidak.

Kemudian suatu hal yang yang bisa dikatakan langka terjadi telah terjadi. Setelah menunggu cukup lama pengumuman juara pun dikumandangkan dan akan tetapi, yang menjadi masalahnya pemenang yang juara satu, dua, dan tiga tidak ada muncul sama sekali untuk pengambilan hadiah.

Berkali-kali dipanggil seolah-olah para pemenang tidak ada di area pantai itu lagi. Massa menjadi sibuk dan gelisah, mengapa bisa terjadi demikian dan bagaimana solusinya. Jika salah satu saja itu sering terjadi tapi kali ini ketiga-tiganya menghilang sekaligus.

"Walau bagaimanapun ini tidak mudah Pak, jika kita mengganti para pemenang dengan yang lain pas ketika itu pemenang sebenarnya muncul harus bagaimana?" Tanya salah seorang panitia kepada atasan.

"Kalau seperti ini solusinya adalah didiskualifikasi saja. Karena ini juga peraturan dalam perlombaan." Terang ketua panitia itu.

"Baik Pak." Dengan terpaksa panitia memerintahkan anggotanya mengevaluasi ulang pemenang. Namun anehnya lagi penongkah berperingkat 4 dan 5 juga tidak ada yang memaparkan batang hidung, semuanya menjadi sibuk kebingungan dengan hal itu.

"Evaluasi kembali peringkat selanjutnya." Kata si panitia kepada anggotanya. "Kok bisa jadi begini, aneh sekali."

Sekali lagi dievaluasi ulang lalu diumumkan kembali Pemenang juara 1-3 yang sebenarnya berperingkat 8, 9, dan 10 barulah penongkah hadir dan maju menuju panggung juara.

Ternyata dari kontingen sekolah mereka bertiga itu ada yang mewakili, yaitu Taher yang juara 2 yang padahal sebenarnya peringkat 9. Sebab disebutkan dan dinilai seimbang antara buruan lainnya selain kerang saja.

"Maaf sebelumnya kepada hadirin, bahwasanya telah terjadi masalah. Tujuh pemenang sesungguhnya telah didiskualifikasi karena tidak ada disini secara tidak wajar dan digantikan oleh penongkah lain yang berperingkat berikut." Ucap Panitia itu.

"Bagaimana mungkin ke tujuh pemenang sekaligus tidak ada diantara kami? Jelas-jelas semuanya telah berkumpul disini." Ayi bergumam seraya bertanya-tanya, matanya melirik kiri kanan dan depan belakang. "Tapi dilihat-lihat rombongan penongkah aneh itu kemana, ya? Kok tidak ada di barisan?"