Nafasnya tersengal-sengal menerobos kabut yang masih mengambang. Suara cipratan air dan bunyi tapak kaki yang terburu-buru cukup menarik perhatian orang-orang yang baru memulai aktivitas. "Lari yang kencang!" sorak suara berat di pinggir jalan yang membuat kaki Arsen hampir saling bersilangan. "Oh hai.. Pagi, Mr Ogar!" senyum Arsen kikuk sambil terus melangkahkan kakinya. Pak Ogar yang menyaksikan aksi Arsen hanya bisa tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.
Arsen merupakan remaja yang cukup dikenal di desa Gornaboa— walaupun mungkin tidak semua orang tau namanya. Banyak alasan yang membuat Arsen cukup dikenal, dia pernah melempari petasan ke salah satu toko dan berteriak "Racavati!" sehingga semua orang yang mendengar ledakan petasan tersebut terlihat panik dan timbul kegaduhan. Pernah juga ia mengambil buah jualan salah satu pedagang lalu kabur sambil tertawa dengan wajah mengejek penjual tersebut. Atau dilain waktu ia hanya berjalan di sepanjang jalan sambil menyapa para pedagang dengan gaya dan lagak seorang bangsawan, kepalanya mendongak dengan dagu terangkat, mata sedikit redup dengan tatapan merendahkan, tangan kanan terlipat dipunggung sedangkan tangan kiri terangkat seolah olah menyapa para rakyat jelata. Masih banyak hal konyol yang dilakukan Arsen sebelum ia beranjak remaja dan memantapkan diri berkeinginan mempelajari Elemen dasar.
Tujuan Arsen pagi itu cukup jelas yaitu bayangan dari stasiun kecil yang lebih mirip gubuk tempat berteduh yang berada di ujung jalan. Terakhir kali dia menunggu di stasiun ini yaitu lima tahun lalu saat dia mendapatkan undangan untuk menghadiri demonstrasi penggunaan Nyaya. Demonstrasi itu diadakan di alun-alun ibu kota pemerintahan, Moriga. Ada beberapa anak unggul secara akademis yang mendapatkan undangan untuk menyaksikan demonstrasi penggunaan Nyaya. Dari desa Gornaboa yang mendapatkan kehormatan itu adalah Arsen dan Naria, sedangkan dari desa lain masing-masing juga mengirimkan dua perwakilan kecuali desa Cerbi yang mengirimkan tiga perwakilan kembar. Ketiga perwakilan tersebut dimitoskan memang merupakan perwujudan dari spirit desa tersebut.
"Kira-kira lima menit lagi" batin Arsen. Terakhir dia melihat jarum jam yaitu jam besar yang dilingkari kolam kecil di tengah desa menunjukkan pukul 7.33. Dia mulai memperlambat langkahnya. Stasiun yang berada di penghujung jalan sudah terlihat mengerucut kecil. Udara dengan lembut menyentuh pangkal tenggorokannya. Sambil matanya menyapu ketenangan pagi yang menyelimuti desa, Arsen berniat menikmati lima menit langkah kaki yang akan dia rindukan ketika tidak lagi berada di sini.
Pikirannya terusik. Seseorang terasa seolah sedang menatapnya. Perasaan yang muncul ketika belakang leher seperti ada yang mengusik tak dapat Arsen hiraukan begitu saja. Kakinya yang bergerak maju mundur dihentikan tiba-tiba lalu lehernya memutar ke arah kanan mencari sumber yang mengusik suasana hatinya itu. Hanya beberapa orang yang lalu lalang sibuk dengan urusan mereka masing-masing, bahkan hanya untuk sekedar berhenti memperhatikan orang yang sedang beraktivitas.
Di seberang jalan dia melihat seorang gadis seusianya di dalam gang kecil yang diapit dua pertokoan. Sebelah kiri merupakan toko kelontong dan di sebelah kanan restoran kecil yang selalu siap menyajikan sarapan buat orang-orang yang kelaparan. Arsen tau dia mengenali gadis itu. Mata merah yang semakin menyala di dalam redupnya gang yang belum sepenuhnya tersentuh matahari membuat nama yang muncul di kepalanya semakin menguat. Karena hanya Naria satu-satunya remaja seusianya yang dia tau bermata merah.
"Naria" bisiknya pelan. Banyak tanda tanya bermunculan di kepalanya yang ditumbuhi rambut lebat yang dia poles ke arah samping namun sekarang sudah lepek dibasahi keringat. Dia mencoba melambaikan tangan pelan seolah tidak yakin bahwa gadis itu adalah gadis yang sama menemaninya ke acara demonstrasi di kota Moriga. Apa yang dia lakukan di sana? Bukan kah dia yang terbaik dari desa ini? Apa dia tidak menyukai menguasai kemampuan mengolah elemental? Apa dia bekerja untuk restoran kecil ini atau toko kelontong yang di sebelahnya? Aku kira dia orang yang berkecukupan, tidak mungkin dia bekerja begitu keras sepagi ini, apalagi toko kelontong atau restoran kecil??!!
Naria tidak membalas lambaian tangan itu. Dia tau bahwa anak muda tersebut adalah Arsen —sinar pagi yang mulai merangkak naik menelanjangi seluruh tubuhnya, menampilkan sesosok remaja berkulit coklat dibungkus celana panjang hitam menggantung yang dipadu dengan kemeja lusuh bermotif kotak. Dia masih menatap Arsen, tangannya masih terpaku pada sesuatu yang tidak begitu terlihat jelas dari seberang jalan. Tatapan datarnya seolah-olah mengatakan bahwa dia ingin ikut melangkahkan kaki bersama Arsen menuju stasiun kecil yang akan mengantarkannya ke Akademi Unsur. Sejenak dia berpikir untuk meletakan benda serupa batu kecil yang ada digenggamannya, akan tetapi berujung pada dia menggenggam benda tersebut dengan sangat kuat. Sepercik cahaya biru muncul dari kegelapan. Emosi Naria yang tidak dia sadari membuat batu di genggamannya bereaksi dan tiba-tiba air meluap-luap keluar dari genggamannya.
Mata Arsen membesar dan kelopak matanya melebar seakan memaksa ingin keluar dan menyaksikan nyala biru tersebut dari dekat. Apalagi setelah melihat ada luapan air yang tiba-tiba dan menciprat membasahi kaki Naria. Organ lunak yang bersarang di kepalanya sontak mengeras tidak mempercayai hal kedua yang dilihatnya. Hal pertama yaitu Naria, gadis pintar tak banyak omong yang dia sangka merupakan anak berkecukupan yang hanya menghabiskan waktunya untuk belajar belajar dan belajar terlihat berada di antara gang gelap dengan pakaian yang terlihat sangat biasa.
Arsen bergegas menghampiri Naria. Tujuannya yang akan dicapai dalam lima menit terlupakan begitu saja. Dia hanya terfokus pada satu pernyataan yang terselubung pertanyaan ragu "Aku yakin barusan dia melakukan rapalan!"
"Bagaimana bisa?!"
"Aku tau dia pintar, tapi apakah sungguh sangat seberbakat itu?!"
"Darimana dia mempelajarinya?!"
Selangkah dua langkah, sekarang Arsen telah berada di sisi seberang tempat dia memergoki Naria melakukan satu hal yang sangat ingin dia kuasai. Memang sangat sulit untuk mempelajari pemahaman akan perapalan elemental bagi masyarakat biasa. Selain sumber pembelajaran yang benar-benar dijaga, pengajaran juga harus melalui tenaga pendidik yang memang mendapatkan lisensi khusus dari otoritas yang mengatur hal tersebut. Belum lagi mendapatkan Nyaya yang terbilang cukup mahal dan sulit. Terlebih, jika kau tidak cukup pintar untuk memahami bagaimana elemen tersebut berasal, bekerja, dan terbentuk, sangat mustahil bagi seseorang untuk bahkan meneteskan air dari Nyaya yang paling kuat sekalipun. Setidaknya begitulah yang dipahami Arsen dari selentingan yang dia tangkap selama ini.
"Aku harus tau!" Arsen seperti hewan yang terbius mangsa lezat saat dia sudah berada di seberang jalan tepat di antara gang yang sama.
***Racavati -- Sebutan untuk kelompok pengguna elemental yang tidak mengikuti aturan otoritas
Nyaya -- Materi padat berukuran kecil sebagai medium perapalan