Chereads / Elemental Mastery - Aleatory / Chapter 5 - Steadfast

Chapter 5 - Steadfast

Ms. Cayden masih memutar pedal gas yang mengatur aliran Nyaya saat dia mendengar Naria berkata 'belok kanan di sini.' setelah melewati barisan pertokoan.

Nyaya merah sebagai sumber penggerak harus dikendalikan dengan hati-hati. Dengan memanfaatkan energi panas Ms. Cayden dapat menggerakkan motor tersebut, tentunya dengan pengendalian pemahaman dan bayangan akan bagaimana energy tersebut terbentuk dan berasal. Akibat fatal kelalaian adalah motor tersebut akan terbakar atau meledak jika Ms. Cayden tidak dapat mengatur pikiran dan emosinya.

Kendaraan mereka memasuki jalanan berbatu besar dan berkerikil. Tubuh mereka naik turun menahan lonjakan dan getaran, sehingga Ms. Cayden terlihat kewalahan mengendalikan pikirannya. Motor tersebut kadang bergerak tiba-tiba seperti didorong, atau kadang kala hampir berhenti mendadak. Untuk beberapa saat dengusan nafas Ms. Cayden terdengar terburu-buru, namun dia sadar jika tidak mengendalikan diri bisa-bisa dia akan membakar mereka semua.

"Ini sangat sulit." Ms. Cayden menyerah. Dia memberhentikan motor dan mengamati Arsen di sebelahnya.

Arsen dan Naria saling bertatapan lalu mengusulkan jika mereka jalan kaki saja. Ms. Cayden mengangguk pelan menahan nafas berat. Sesaat dia terdiam memikirkan inovasi apa yang harus dilakukan tehadap sidecar. Jika hanya badan motor dia akan sangat mudah melewati jalan bebatuan ini, gumamnya. Dia menekan tombol yang sama saat membuka sidecar itu dan dalam sekejap ekstensi tersebut terlipat ke sisi motor. Nyaris tak terlihat.

"Terasa sangat dekat berjalan kaki." Arsen mengayunkan tangan seolah dia adalah kupu-kupu yang bersiap untuk mendarat.

Naria lalu mendorong pagar papan setinggi pinggang yang sudah berlumut dan mengajak mereka masuk.

"Rumah mu lumayan besar." Arsen menggosokan ujung jari pada lumut kering.

"Yah, orangtua ku memiliki kesukaan yang berlebih terhadap rumah." Naria menjawab santai tanpa menoleh. Kali ini dia mendorong pintu rumah.

Rumah itu terbuat dari beton yang telah menghitam dan menghijau karena sudah tua dan tak terawat. Bagian dalam yang gelap dan kusam hanya mendapat satu sapuan cahaya dari jendela belakang yang terbuka. Kursi-kursi dan meja makan yang berada sejajar dengan jendela menyiratkan bahwa di rumah ini pernah tinggal empat orang. Begitu juga tumpukan koran di sebelah cerobong asap perapian dan asbak kosong di atas meja kecil di depannya.

"Aku akan bicara pada ibu ku." Naria bersiap meninggalkan mereka dan seketika Ms. Cayden langsung menggapai tangannya.

"Bisa aku saja yang bicara? Kamu dapat mengemas barang mu dulu." dia menatap Naria penuh arti.

Naria mengangguk dan mengarahkan Ms. Cayden ke ruangan tempat ibunya terbaring.

"Halo buk." Ms. Cayden duduk di kursi kayu tempat Naria biasa duduk menyuapi ibunya. Tangannya menggenggam dan membelai ruas jari-jari terbungkus kulit lunak yang terasa hampir tak berdaging.

Ibu Naria memutar kepala sangat pelan. Bahkan pergerakan jarum jam yang berdetik keras terasa lebih cepat.

"Saya Cayden Turnpaugh, pemandu bakat dari Akademi Unsur." Dia mulai memperkenalkan diri saat tatapan mereka beradu.

Hanya sesaat itu saja dia kembali memalingkan wajah menghadap jendela. Ms. Cayden tetap membicarakan maksud kedatangannya. Dia hanya mengerti bahwa rambut memutih dan selubung kulit dengan sisa sedikit daging cukup menggambarkan betapa tak berdayanya wanita ini.

"Saya yakin Ibu sudah tau apa itu Akademi Unsur?" Tanyanya retoris

Seolah ikut mengiyakan pertanyaan Ms. Cayden, angin yang masuk melalui jendela membelai wajah Mrs. Kalesen, membuat tatapannya berubah sedih dan kosong. Ingatan akan Mr. Kalesen yang menghilang dalam malam gelap berhujan setelah membuatnya lumpuh dan memberikan warna semerah darah pada mata Naria, muncul seperti aliran sungai Tuberus.

"Saya akan membawa Naria untuk belajar di sana." sambungnya

Sewaktu Ms. Cayden menjelaskan panjang lebar ke Mrs. Kalesen perihal apa yang dilakukan jika Naria datang ke Akademi, Naria menarik tangan Arsen sambil memberi tanda untuk tidak bergerak tiba-tiba. Hanya dengan tatapan dan goyangan kepala, Arsen mengerti bahwa dia harus melangkahkan kaki pelan senatural mungkin — walaupun dia masih belum yakin kemana Naria akan membawanya. Mereka keluar lewat pintu belakang.

Setelah beberapa langkah menyentuh rerumputan yang masih menyisakan embun, mereka sampai pada sebuah tumpukan bata berbentuk persegi panjang seperti prasasti.

"Masuk duluan." Naria mengangkat papan kecil di balik tembok satu sisi itu.

"Kau yakin?" Arsen meraba langkah pertamanya. Cuma ada beberapa anak tangga. Akan tetapi keadaan yang gelap membuat pikirannya menjadi liar.

"Kau tidak ingin tau bagaimana aku bisa memiliki Nyaya?"

Arsen kentara saja tidak bergeming. Salah satu hal yang mengganjalnya akhirnya akan terlepas. Dia meluncur melupakan pikiran liarnya.

Naria menyalakan lilin kecil yang persis ditempatkan di sebelah tangga. Cahaya berwarna layung perlahan memenuhi ruangan. Menyapu sudut-sudut ruangan, rak buku, serta meja kayu yang terlihat jelas sudah usang dalam remang-remang. Serangga dan hewan pengerat juga ikut berlarian sembunyi takut diperhatikan.

"Ini ruangan Ayah ku." Naria berjalan perlahan ke tengah.

Dari titik dia berdiri semakin jelas ruangan itu memberi tau apa saja yang dilakukan Ayahnya di dalam sana. Simbol-simbol beberapa gambar hewan, bangun datar, dan bentuk-bentuk aneh yang mereka tidak mengerti menghiasi lantai dan tembok.

"Ayah mu Rasavadi?" Arsen bertanya tidak yakin. Sebagian dari bentuk pola dan simbol terlihat menyeramkan dan dia tidak mau merusak suasana.

"Entah lah." Jawabnya bimbang.

"Aku juga baru tau setelah dia menghilang begitu saja." Naria meletakkan cawan lilin tersebut di atas meja.

"Jika dia memang Rasavadi seharusnya dia tidak malu untuk memberitahu keluarganya." Arsen mengoceh begitu saja seolah-olah Naria tidak memiliki ikatan dengan pemilik ruangan ini. Sesaat setelah dia mengakhiri kalimatnya, dia sadar telah mengatakan sesuatu yang tidak pantas.

"Maaf."

"Tak apa. Aku juga tidak mau memikirkannya." Naria berjalan ke balik rak paling belakang yang diikuti Arsen.

Di sana ada beberapa kardus yang berisi lembaran kertas tua dan gulungan perkamen. Namun yang dituju Naria merupakan kotak kayu yang di atasnya diisi syal rajut warna abu-abu yang dia berikan sebagai hasil kerajinan tangan untuk ayahnya. Di sebelah syal itu terdapat buku tebal catatan harian biasa.

"Aku mempelajarinya dari sini." Naria menyodorkan buku polos hitam itu kehadapan Arsen.

Arsen membuka buku tersebut dan membolak-balikkan beberapa halaman. Sesekali dia berhenti sesaat, mengernyitkan dahi, dan kembali melanjutkan. Tidak banyak yang dapat dia tangkap juga karena penerangan yang tidak begitu jelas.

"Sepertinya ini catatan khusus untukmu." Arsen menutup buku itu dan mengembalikannya ke Naria.

"Ada beberapa halaman yang secara terang-terangan Ayahmu menulis namamu."

"Di halaman depan dia juga menuliskan 'Dear my sweet bean' Naria" Naria mengusap sampul buku itu.

"Aku melewatkannya." Ujar Arsen saat matanya teralihkan pada sampul buku di bawah buku yang diambil Naria.

"Itu terlihat menyeramkan." Arsen menunjuk buku merah menyala yang bersampul hexagram dalam posisi terbalik.

"Lupakan itu." Naria menaruh kembali buku di tangannya dan mengangkat kotak kayu itu. Dia lalu mengangkat kotak tersebut dan menyerahkannya pada Arsen.

"Jika kau tak keberatan." Ujarnya yang dibalas anggukan Arsen.

Ms. Cayden sudah berdiri di pintu saat mereka keluar dari rubanah tersebut. Tanpa bertanya macam-macam dia hanya tersenyum ke arah mereka. Ms. Cayden lalu menjelaskan apa yang akan terjadi pada Ibu Naria. Bahwa Ibunya akan ditempatkan di griya lansia dan akan dirawat penuh oleh Akademi membuat Naria dapat melepaskan beban pikiran.

"Aku juga telah menghubungi Akademi dan perwakilan yang akan membawa ibu mu sedang dalam perjalanan." Ms. Cayden menerangkan.

"Aku akan mengemas barang ku." Ujar Naria memperlihatkan kotak yang berisi syal.

"Baik lah, aku akan menunggu di depan." Ms. Cayden menyalakan rokoknya dan berjalan memutar dari sisi samping.

Selesai mengemas barang Naria tidak lupa meninggalkan secarik surat untuk saudaranya. Naria menuliskan pokok penting dari surat itu dan tidak lupa pula dia menambahkan beberapa kata seperti 'keinginan mu terwujud', 'bersenang-senang lah', 'lakukan semua sesuka mu' di akhir kalimatnya. Surat itu dia letakkan di atas meja kopi di depan perapian.