Naria memalingkan wajah ketika pemuda berambut klimis itu mendekat. Dia menyaksikan air yang terus mengucur dari tangan kanan nya. Kepalanya seperti baru mendapati udara segar saat menyadari bahwa dia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak pernah dipertontonkan pada orang lain. Terlanjur, pemuda bermata coklat karamel yang ada di sebelahnya telah menyaksikan luapan air tersebut yang sekarang sudah melambat. Tangannya bergetar. Tangan kiri yang tadi menjulai bergerak gelagapan berusaha menutupi air tersebut agar berhenti. "Tidak, tidak seharusnya ada yang melihat ini!" kata-kata itu bergema di kepalanya.
"Aku sudah melihatnya." Suara datar Arsen seakan memaksa Naria untuk menerima kenyataan.
Naria tidak membalas. Dia masih menunduk memaksakan tangan kirinya untuk membuat batu tersebut berhenti mengeluarkan air. Rambut bergelombang sebahu yang diikat ekor kuda menjuntai menutupi wajahnya. Arsen tidak tau bahwa di saat itu mata Naria membelalak waspada akan langkah apa yang harus dia lakukan selanjutnya untuk mengantisipasi tindakan Arsen.
Arsen masih berusaha untuk tenang. Sesekali dia menggerakkan tenggorokannya agar kata-kata yang akan keluar tidak terdengar bersemangat, heran, kaget atau semacamnya. Dari dekat tatapannya juga sudah tidak sejajar dengan Naria yang hanya setinggi dagunya. Keadaan tersebut membuat ia dapat mengatur raut wajah agar seirama dengan tarikan udara yang mengisi paru-parunya.
"Aku heran kenapa kamu ada di sini. Aku kira kamu sudah berada di Akademi?" Arsen berusaha mengalihkan topik agar Naria sadar bahwa apa yang baru saja terjadi bukanlah suatu masalah. Walaupun demikian, sesekali Arsen juga memutar kepala untuk memperhatikan apakah ada orang lain yang melihat kejadian barusan. Beruntung, tidak ada orang lain yang terpaku seperti dia menatap ke arah Naria.
Pikiran Naria yang mendengar pertanyaan Arsen beralih fokus. Sejenak dia mulai membayangkan alasan kenapa dia menolak undangan Akademi Unsur. Bayangan Ibunya terbaring lemah di atas kasur yang mengalami penyakit aneh sejak tiga tahun lalu, bayangan ekonomi untuk memenuhi hidup dan membeli perobatan ibunya setiap minggu, lalu bayangan akan saudara laki-lakinya yang setiap hari berjudi dan mabuk-mabukan yang ketika pulang hanya mengutuk dan menyumpahi ibunya ikut menerobos masuk ke dalam labirin pikirannya. Seketika itu juga dia muak dan langsung melupakan akademi lagi.
"Bukan urusan mu." Hanya sepatah kata yang dikeluarkan dan Naria bersiap meninggalkan Arsen di sana. Batu ditangannya juga sudah berhenti mengucurkan air.
"Tentu urusan ku! Kamu yang terbaik!" Arsen meninggikan suaranya takut gadis yang mengenakan celemek itu langsung pergi begitu saja. Saat itu dia menyadari bahwa Naria bekerja di restoran kecil di sebelah kanannya.
Naria menghentikan langkah. Ada kata-kata yang menggantung di pangkal lidahnya yang bergejolak ingin dikeluarkan, namun dadanya tiba-tiba terasa sesak seperti dihimpit oleh gang kecil ini. Kepalanya yang sudah sedikit memutar kembali diluruskan dan dia benar-benar meninggalkan Arsen di sana sendirian.
Arsen masih tidak percaya dengan apa yang dia alami pagi ini. Beban emosi yang ditanggung Naria seperti merambat menjalar ke sekujur tubuhnya melalui gang sempit yang perlahan semakin temaram dari gelap. Dari balik kaca restoran yang menempel di atas tumpukan kayu, Arsen melihat Naria mulai mengelap meja seolah tidak terjadi apa-apa. Hatinya gelisah.
Cukup lama dia berdiri mematung di sebelah lampu jalan yang padam dengan bola mata bergerak-gerak mengikuti pergerakan Naria. Sesekali gadis itu hilang dari pandangannya, tapi tatapannya masih mengarah ke dalam restoran kecil. Piring-piring yang tersusun rapi serta gelas-gelas yang berjejer di balik konter kecil tempat orang memesan makanan yang dari tadi berpindah tempat tidak dapat membuyarkan pikirannya yang setengah hampa. Matanya kembali bergerak hanya ketika gadis itu kembali dari sudut-sudut yang tak dapat dijangkau penglihatannya. Dia tau dari dulu bahwa dia selalu mengagumi gadis bermata crimson itu. Dia mengagumi pencapaian, dedikasi, dan kepintaran gadis berkulit pucat yang namanya berada dimana-mana saat di sekolah umum. Dan dia tidak menyangka akan menemukan gadis 'kelas atas' itu berada di restoran kecil —yang pintunya saja berderik ketika dibuka— menghidangkan makanan untuk orang-orang yang kelaparan.
Hanya ada tiga meja yang terisi saat Arsen memilih duduk di meja kosong di bagian sudut. Papan persegi yang disangga kaki besi berkarat menahan beban tubuh Arsen yang bertopang dagu pada punggung tangannya. Sesekali dia melihat ke arah jalan dan menyadari bahwa angkutan yang dia tunggu sudah pergi tak menunggunya. Angkutan tersebut tidak pernah telat dari jam yang ditentukan, dan sekarang jam kayu yang menggantung di atas rak piring sudah menunjukkan pukul delapan.
"Apa kau sudah memesan sesuatu anak muda?" pria tua gemuk mengenakan celemek yang sama dengan Naria berdiri di sebelah Arsen.
"Be.. Belum Pak" jawabnya terperanjat
"Well, kalau begitu apa kau akan memesan sesuatu?"
"Biasanya penduduk sini akan langsung memesan ke bar. Aku tau kau penduduk sini." Pria berkumis tebal itu tanpa basa-basi mencurigai alasan Arsen duduk lama di dalam restorannya. Dia sudah memperhatikan cukup lama disela-sela kesibukan. Namun, wajah Arsen yang berubah seketika menjadi kebingungan menepis sedikit rasa curiganya.
"…Jangan-jangan kau belum pernah sekali pun mencicipi hidangan restoran ku?!" Pria itu menunjuk-nunjuk wajah Arsen dengan senyum tak percaya.
Arsen menunduk dengan kedua tangannya terangkat "Kau menemukan tersangkanya." Ujarnya lesu yang diiringi cekikikan pria yang kira-kira sudah berusia lima puluhan itu.
"Kali ini serius.." pria itu berdehem
"Apa kau menginginkan sesuatu dari Naria?" seketika wajahnya setenang air yang sebelumnya sehangat kopi pagi.
Arsen tau bahwa dia tidak boleh asal bicara. Pria tua ini seperti seorang komandan perang yang siap bertempur kapan saja. Lebih baik mengatakan apa adanya dari pada cari gara-gara, pikirnya.
"Aku ingin tau alasan Naria tidak pergi ke Akademi Unsur." Dia memilih kata-katanya
"Dia sangat pintar dan berbakat!" Arsen membayangkan bagaimana kejadian sejam yang lalu tapi tidak membicarakan detailnya. Dari mejanya dia melihat Naria berhenti bergerak dari posisi membersihkan sisa-sisa santapan pengunjung yang telah pergi. Suaranya cukup keras untuk terdengar dijarak dua meja di sebelahnya —dia yakin Naria menguping pembicaraannya dengan Pak tua berkumis tebal.
Pria itu mengatupkan bibirnya dan mengangguk pelan. Dadanya membusung yang disusul suara dengusan napas yang berat. Dia lalu memutar kepala ke arah kanan melihat punggung Naria yang berjalan ke arah dapur membawa nampan yang dipenuhi piring kotor.
"Kau benar.." Pria itu menepuk-nepuk kedua tangannya pada sisi-sisi perutnya.
"Walaupun aku tidak tau bagaimana nilai akademisnya, aku tau dia sangat pintar dan berbakat." Tatapannya masih layu dan bersiap meninggalkan meja nomor 4 setelah mengatakan akan membawakan Arsen sepiring Pie apel.