Naria menghampiri Arsen dengan nampan yang di atasnya pie apple dan susu coklat. Kali ini nampan tersebut berisi makanan yang siap santap. Tidak seperti dua kali pertama Arsen mengasihani Naria yang membawa setumpuk piring kotor dengan sisa-sisa makanan.
"Mr. Musto mengatakan jika ini gratis", Naria menggeser pie dan susu coklat kehadapan Arsen. Asap tipis masih mengepul dari kedua hidangan tersebut.
"Wahhh…" Arsen menggosok-gosokkan kedua tangannya.
"Kau mengatakan apa saja pada pria tua itu?" sambung Naria setelah menghempaskan badan ke kursi bulat yang memiliki sandaran setengah melingkar.
"Aku mengatakan jika kau berbakat."
"Ada la..— "
"Ini sungguh enak!" Arsen mengerang ketika lidahnya tak berhenti mengeluarkan liur setelah menyantap sesendok pie apel.
Naria menatap seakan tak percaya bahwa pemuda didepannya lebih peduli pada pie apel yang dirinya sendiri telah muak terhadap hidangan tersebut. Memang tidak dipungkiri, pie apel buatan restoran Mr. Musto memang yang terbaik di desa ini sehingga apabila kau membicarakan tentang pie apel, pikiran orang-orang langsung membayangkan restoran kecil ini.
"Sepertinya Bapak tersebut memberikan ceramah kepadamu." Arsen melanjutkan setelah meneguk coklat panas. Wajahnya juga memerah menikmati minuman kental tersebut.
"Dia memintaku untuk ikut dengan mu." Naria menghela nafas
"Lalu masalahnya?"
Naria menundukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata. Setelah tiga suapan pelan pie apel yang dinikmati Arsen penuh penghayatan, Naria lalu mengangkat kepalanya pelan.
"Hidupku tak jauh lebih mudah dari mu." Suaranya yang lirih tak dapat menutupi raut wajahnya yang dipalingkan.
Arsen mencoba menatap Naria seksama sembari tetap menyuap pie apelnya yang tinggal seperempat. Tatapan itu tidak kentara, namun dari sudut bola mata yang bergerak-gerak, Arsen paham arti dari raut wajah itu.
"Tentu saja hidupku lebih mudah!" Arsen mencoba berkelakar.
"Aku tidak memiliki siapa pun untuk dikhawatirkan!" sambungnya terkekeh.
Naria tertunduk lagi. Benar saja, dugaannya bahwa Naria memiliki sesuatu atau seseorang yang harus dipedulikan lah yang membuat langkah dan mimpinya harus tertahan.
"Apa itu adik mu?" Arsen berkata pelan dan datar.
Naria menoleh cepat dan melihat pemuda kurus itu menggantungkan sendok suapan terakhir dimulutnya. Mata Arsen yang membesar menyiratkan bahwa pertanyaan itu bermakna ganda dan itu hanya tebakan beruntung jika benar. Namun, Naria sadar bahwa responnya yang mendadak merupakan jawaban yang cukup atas pertanyaan Arsen. Dia paham maksud pertanyaan itu.
"Ibu ku." Naria membuang muka.
"Tidak ada lagi yang mencari nafkah untuk makan kami dan obat ibu ku." Naria mendongak dan menggosok belakang lehernya. Rasa kaku yang menumpuk di lehernya terasa menjalar seperti pegas yang melepas beban.
Arsen masih mendengarkan. Dia mengusap bibirnya dengan tisu yang tersisa sedikit di sebelahnya.
"Bagaimana bisa aku memikirkan mimpiku jika ibuku terbaring sendirian di rumah?" Lagi, Naria menunduk. Tapi kali ini air yang membendung dikelopak matanya meluap sedikit menetesi pahanya.
Menyadari perubahan suara Naria yang sedikit gemetar, Arsen lalu menggeser kotak tisu bermotif kayu yang sama dengan exterior restoran Mr Musto kehadapan Naria.
"Terimakasih." Ujar Naria tergelak menutupi kelemahannya.
"Aku akan membawa ini kebelakang." Naria meraih gelas dan piring yang hanya tersisa noda minyak dan kembali meletakkannya ke atas nampan abu-abu. Baru saja dia hendak mengangkat nampan itu, Mr Musto yang mengawasi dari belakang meja kasir bergegas menghampiri.
"Waktumu terakhir berada di dapur ku adalah saat kau mengantarkan pie ini." Mr Musto mengambil alih. Dia hanya mencerocos tanpa memperhatikan wajah Naria yang kebingungan.
"Sekarang, waktumu memulai untuk mengikuti mimpi mu." Sambung Mr Musto berkacak pinggang.
"Aku tidak bilang aka..— " kali kedua hari ini omongannya disela begitu saja. Sekarang dengan telapak tangan terangkat dari pria gendut menjulang dihadapannya. Arsen pun juga baru sadar bahwa Mr Musto lebih tinggi darinya. Badan lebar pria tua itu benar-benar memberikan tipuan visual jika kau tidak sungguh amati.
"Ada orang dari Akademi di luar yang menunggu kalian berdua." Mr Musto menggoyangkan leher kedepan memberikan arahan.
Arsen dan Naria memutar kepala. Mereka tidak melihat siapa pun yang terlihat seperti menunggu dari balik kaca selain seseorang bertopi koboi yang dari tadi sudah duduk di sana membolak-balikan koran sambil mengepulkan asap rokok berkali-kali. Alis mereka sama-sama mengernyit ketika kembali menatap Mr Musto yang membalas hanya dengan anggukan.
Naria mungkin menyadari keberadaan orang itu, tapi tidak dengan Arsen. Saat masuk ke dalam restoran yang ada dibenaknya hanya bagaimana cara bicara dengan Naria sehingga dia tidak terlalu mempedulikan sekitarnya. Bahkan topi koboi nyentrik —berhiaskan selingkaran bulu berwarna-warni, sekarang membuat Arsen berpikir betapa anehnya fashion orang itu.
"Selamat pagi Arsen…" wanita itu masih dalam posisi duduk saat mengangkat topi ketika Arsen dan Naria telah berdiri dihadapannya. "…Naria"
Wajah Arsen seperti ikan yang bernafas ketika menyadari bahwa orang yang duduk dengan satu kaki terlipat, mengenakan mantel kulit panjang, ternyata adalah seorang wanita.
"Panggil aku Cayden, aku pemandu kalian." Lanjutnya menepis tatapan heran mereka berdua.
"Selamat pagi Ms. Cayden." Balas Arsen sopan.
"Maksudmu penguntit?" Naria meregangkan tangan kebelakang merapikan rambutnya.
Wanita berkulit hitam itu terkekeh. Dia berdiri dan meletakkan topinya di atas meja di sebelah asbak yang hampir penuh puntung rokok. Jika dilihat dari bentuk puntung tersebut Arsen yakin bahwa Wanita ini yang membakar semuanya.
"Bisa dibilang begitu." Ms. Cayden ikut merapikan rambut keritingnya yang menjuntai sepunggung.
"Akademi memang mengirimkan pengawas ke tiap desa untuk memastikan siswa-siswa terbaik memang berangkat ke sana." Dia kembali meletakkan topi koboi berbulu di atas kepalanya.
Secara berhadapan Arsen mulai menyukai fashion Ms. Cayden walaupun masih bukan seleranya. Mantel kulit hitam sepanjang lutut, baju biru dongker berenda tidak disetrika, celana coklat tua yang menggantung semata kaki. Keseluruhan diapit oleh sepatu dan topi koboi berwarna abu-abu mendung. Satu-satunya warna vibrant ditubuhnya hanyalah selingkaran bulu-bulu lembut pada tonjolan topinya.
"Tapi kau tidak menguntit ku?" Arsen merendahkan volume suaranya.
"Tentu saja aku mengawasi mu. Hanya saja kau tidak akan menyadarinya." Bantah Ms. Cayden.
"Aku tau." Arsen tersenyum jahil "Aku hanya ingin mendengar pengakuan Akademi bahwa aku juga salah satu yang terbaik."
Ms. Cayden menghela nafas memasang wajah datar mendapati dirinya terjebak oleh kelakar kecil dari seorang pemuda yang haus pengakuan.
"Lalu kenapa sekarang kau memunculkan diri?" Naria memecah rasa canggung.
"Aku sudah tau garis besar kondisi mu." Ms. Cayden membelai pangkal lengan Naria. Tatapannya seteduh pohon rindang dikala hujan.
"Tidak ada waktu sekarang untuk menjelaskan," imbuhnya sambil mengeluarkan Nyaya merah dari saku mantel.
"Aku akan menjelaskan detailnya nanti. Sekarang kita menuju rumah mu dulu Naria."
Ms. Cayden berjalan duluan dan menyapukan tangan tanpa menoleh agar mereka mengikutinya menuju sepeda motor yang terparkir di sisi gang satu lagi. Sebelum Arsen sempat bertanya dia harus duduk dimana, Ms.Cayden telah lebih dulu menekan tombol yang memunculkan sidecar setelah meletakkan Nyaya merah pada lingkaran kecil dibagian kepala motor.
Wajah datar Arsen berubah menjadi sumringah. Dia segera meloncat naik dan duduk di atas sidecar tanpa dipersilahkan. Secuil hal-hal yang belum pernah dia saksikan sebelumnya terjadi begitu saja dihadapannya. Dia lalu membayangkan keajaiban apalagi yang dapat dia saksikan setelah belajar di Akademi.