Take me
In my language
And in best years there is the children's of joyful elation
Deep in the sea
The thread of poetry weaves my sails
And my ships are embroidered with flowers of nostalgia
Take me
And open up this universe window
I am mad
And infatuation is my rhyme
And I am a child in this madness of mine
Open up and take over a dream that sprouts, vein bleading from my blood like jasmine
Minggu pagi yang tidak begitu cerah tapi cuaca cukup hangat, kediaman Malena kedatangan mobil mini SUV putih yang tak lain adalah mba Kanya beserta kedua putrinya. Sebenarnya klinik libur, tetapi mba Kanya memiliki beberapa agenda untuk dilakukan dan suaminya juga sibuk bekerja sehingga kedua putri mereka memutuskan untuk bermain ke kediaman Malena yang dengan senang hati mengiyakan. Malena tentu paham dengan krisis keluarga mereka, jadi selalu bersedia untuk menjadi pengasuh sejenak.
Tetapi mba Kanya sempat mengamati perbedaan bagaimana Malena terkesan lebih ceria daripada biasanya, memang, Malena selalu sangat talktive ketika bersama Jihan dan Diana. Namun kali itu, Dia bisa merasakan aura bahagia terpancar dari wajah Malena yang semangat bermain bersama kedua putrinya. Sempat membuatnya enggan untuk menceritakan perihal masalah yang telah disimpannya cukup lama selama beberapa hari
belakangan. Sehingga berakhirlah duduk perbincangan antara Malena dan mba Kanya dengan serius, sementara Jihan bersama Diana sudah menginvasi rumah dengan suara dan mainan mereka.
Mba Kanya tidak bisa lagi diam dari Malena terlalu lama, Dia harus membagikan ceritanya agar Malena tahu apa yang tengah dihadapi bersama keluarganya- terkhusus mas Tio selama mereka tidak berkontak saking sibuknya bekerja. Dan itu membuat Malena perlahan kehilangan aura keceriaannya.
*ini bukan masalah tentang hubungan kami saja sebenarnya, tapi soal pekerjaan aku juga. Kamu tahu pekerjaan kita selalu berhubungan dengan orang-orang yang ngga sehat mental. Dan yang dia takutkan kalau aku semakin lama berkecimpung di sini,
sesuatu yang buruk dan berbahaya mungkin saja akan menimpa aku atau anak-anak aku*.
*aku pergi ke luar kota pas itu bukan sekedar untuk pekerjaan, tapi untuk istirahat sembari berunding. Dia mau aku berhenti jadi psikolog. Karena sehari sebelum aku titip diana dan jihan ke kamu, aku dapat kiriman parsel dari orang ngga dikenal. Isinya
bukan sesuatu yang mengerikan, tetapi mengancam. Foto keluarga aku yang wajahnya di rusak semua, dan aku ngga tahu itu di datang dari siapa*.
*aku ngga bisa nebak itu dari siapa karena aku sendiri ngga merasa pernah bermasalah dengan satu pun pasien aku. Dan mas tio juga melihat itu, jadi dia makin gencar nyuruh aku buat berhenti. Tapi aku ngga bisa begitu saja berhenti, ini pekerjaan yang aku
suka dan sudah lama aku berkecimpung di dunia ini, tapi baru kali ini aku dapat ancaman kayak begitu. Dan waktu kami datang ke rumah kamu malam itu, aku tahu kamu sadar ada yang terjadi di antara kami, ya itu karena kami sempat cekcok di rumah
sebelumnya. Aku ngga bisa berhenti, sampai dia ngancam minta cerai kalo aku tetap kerja sebagai psikolog*.
*kamu tau seberapa aku menyukai pekerjaan ini dan membantu orang-orang, tapi aku juga takut kalau keluarga aku kena imbasnya, terutama pernikahan aku sama mas tio. Aku ngga bisa dengan resiko itu*.
*aku minta beberapa hari untuk berpikir sebelum aku memutuskan, mungkin mencari solusi bagaimana baiknya dan dia setuju. Dia juga bawa bukti itu beserta sepucuk surat yang isinya caci-maki yang bilang aku ngga pantas jadi dokter, kalo aku harus berhenti sebelum sesuatu yang buruk menimpa keluarga aku. Tapi polisi sulit untuk cari siapa pengirimnya karena ngga ada nama maupun alamat pengirim, bahkan CCTV di sekitar rumah dan kompleks ngga nangkep wujud pelakunya*.
*dan pasien terakhir yang aku kunjungi kemarin itu, dia sampai harus dibawa ke rumah sakit karena mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Aku merasa gagal dalam membantu meski keluarganya bilang itu bukan salah aku, tapi tetep aja, aku udah
bersumpah demi pekerjaan ini*.
*menurut kamu aku harus bagaimana lena? Aku sayang dengan pekerjaan aku dan aku ngga bisa pensiun begitu saja, tapi disisi lain aku juga ngga bisa korbankan pernikahan aku atau anak-anak aku*.
*aku sempat curiga sama si adnan, aku tahu dia benci sama aku karena terus melindungi kamu. Tapi aku ngga ada bukti untuk nuduh dia, meskipun aku udah kasih tahu mas tio dan juga jadi curiga sama dia*.
"tante lena!".
Suara teriakan Jihan menyentaknya dari lamunan, Ia menoleh dan mendapati Diana tengah menarik rambut Jihan hingga tertunduk dalam, dan sementara Jihan mencengkram boneka barbie yang terlihat berantakan serta berusaha melepaskan cengkraman Jihan dari rambutnya.
"punyaku! Balikin punya aku!!" teriak Diana melengking.
Ia tetap di duduknya, hanya menatap Diana yang kesal menarik rambut kakaknya. Namun dengan hanya tatapannya, gadis kecil itu perlahan nampak melembut. Dan saat Jihan merasa cengkraman tidak sekuat sebelumnya, dengan segera Dia menyentak lepas cengkraman adiknya lalu segera berlari mendekati Malena yang masih duduk tenang di tempatnya.
Yang lebih tua bersembunyi di belakang sofa tempat Malena duduk, sedangkan Diana hanya bisa berdiri di sana dengan raut menyesal dan menundukkan pandangannya.
"katanya kakak udah besar, ngga usah main boneka lagi" gumam Diana terdengar bergetar, tapi masih bisa di dengar mereka.
Sedetik kemudian gadis kecil itu menangis dengan suara melengkingnya, memeka telinga Malena yang tidak terbiasa akan suara demikian. Jihan menutup mulutnya dengan boneka yang dipegangnya, menertawai adiknya yang dirasa dungu dan tidak mampu melawan. Namun lengannya dicengkram oleh Malena, yang Dia tatap balik memberinya raut menegang. Buat senyumnya berubah kaku, lalu menghilang.
"kamu harus tanggung jawab jihan, bukannya jadi sombong dan menyebalkan". ucap Malena dengan nada pelan, terdengar tegas.
Raungan Diana semakin memeka, akibat merasa tidak ada yang membelanya. jihan bukannya menuruti perkataan Malena, malah melempar boneka barbie tersebut ke lantai lalu menyentak lepas cengkraman yang lemah itu. Malena diam saja membiarkan Jihan berlari ke arah teras belakang, sementara Ia menghela nafas untuk menyabarkan dirinya atas sikap dua gadis kecil yang saling bertolak belakang itu.
Ia akhirnya beranjak, mendekati Diana yang menangis dengan kepala mendongak. Gadis kecil itu lantas menjulurkan kedua lengannya, menginginkan pertolongan pada satu-satunya dewasa yang ada. Dengan mudah Malena mengambil Diana ke dalam gendongannya, yang memeluk lehernya begitu erat dan menyimpan wajah di lehernya. Tangisan itu semakin jelas di telinganya, membuatnya dengan pelan dan sabar membujuk Diana agar tenang dari tangisan.
Ia tidak terbiasa mengerasi mereka berdua seperti yang mas Kanya atau mas Tio lakukan, apalagi mereka mengenalnya sebagai pribadi yang sangat-sangat lembut tidak seperti ibu mereka. Pergi ke dapur lalu membuka kulkas, menuangkan jus strawberry kesukaan gadis kecil dalam gendongan yang masih terisak. Sebisa mungkin membujuk agar Diana berhenti menangis tanpa menyuruh atau memerintah, dan itu tidak butuh waktu lama karena Diana akhirnya kembali tenang meski masih sesenggukan.
Berhubung Ia sendiri hari itu, berhubung hari liburnya dan Andira tidak datang karena tengah berada di klinik. Ia jadi sedikit kewalahan untuk mengurus rumah sekaligus kedua gadis itu, ditambah pekerjaannya memeriksa dokumen.
Selepas berhasil menenangkan Diana, kepalanya menoleh ke arah teras belakang di mana temukan kepala Jihan tengah mengintip di balik pintu yang langsung hilang karena ketahuan. Ah- yang satu itu akan berpikir tidak ada yang memihaknya, padahal sikapnya tidak bermaksud demikian.
"tunggu sini yaah, tante lena mau ambil jemuran di belakang". sambil mengelus kepala gadis kecil yang tengah nikmati jus strawberrynya, langsung lepas sedotan tunjukkan wajah murung.
"aku mau ikut tante". rungut Diana manja tahan sesenggukan.
"sebentar saja nak, nanti takut hujan. Tante ngga bisa sambil gendong".
"sebentar aja yah". ulangnya beri senyum manis sambil mencubit gemas pipi gembul Diana yang masih merengut.
Saat Malena keluar di teras belakang, Ia mendapati sosok Jihan tengah berada di ujung halaman sedang memukul-mukul semak tanaman yang ada. Gadis itu sempat menoleh, tetapi langsung buang wajah kala Malena berjalan mendekat. Dia kesal, karena sang bibi lebih menaruh perhatian kepada adiknya ketimbang dirinya yang dikasari sebelumnya.
Malena menjaga batas antara dirinya dengan Jihan yang terus mengacuhkannya, menaruh kedua tangannya ke belakang tubuh dengan pandangan terbuang ke arah lain.
Sedang Malena nampaknya tengah membujuk Jihan yang terus acuh ketika diajak bicara, kejadian itu disaksikan oleh Diana yang memegang gelas berisi setengah jusnya dari sela jendela tertutup gorden. Dia tenang memperhatikan kakaknya terus bungkam sementara Malena mengajaknya bicara, menganggap Malena sudah membohonginya.
Di halaman belakang itu, Jihan tidak lagi memasang wajah tertekuk meski tidak sama sekali menanggapi omongan Malena. Justru rautnya tidak terbaca, akibat nasihat dari sang bibi sebelumnya.
Ting! Nong!
Suara bel itu tidak sama sekali mengalihkan mereka, Malena akhirnya berbalik dan meninggalkan Jihan yang tetap diam dengan raut nampak bersalah. Kala kepalanya menengok ke bahu, menatap punggung sang dewasa yang kian menjauh dan muncul sosok Diana yang membuka tangan ingin di gendong. Dia balik dan tidak ingin melihat wajah adiknya itu, mendengus kesal di balik tubuhnya sembari memukul semak menggunakan tangan dengan lebih kencang.
Sementara itu, sosok yang berdiri di luar pagar besi setinggi 3 meter adalah Adnan, dengan mobilnya yang terparkir di bahu jalan tepat di depan pagar. Wajahnya penuh harap saat melihat sosok Malena keluar dari rumah, sedikit terheran meski tidak terkejut dengan gadis kecil di gendongan wanita itu.
"saya ngga ada waktu untuk meladeni kamu" ujar Malena tanpa basa-basi, sengaja berdiri cukup jauh dari pagarnya.
"setidaknya sambutlah tamu dengan sopan, aku mau ngomong sesuatu sama kamu" suaranya pelan, mtdaik perduli dengan gadis kecil yang belum paham apapun itu.
Tapi Malena menggeleng, "ngga bisa di dalam, ada anak-anak dan aku takut tetangga ngeliat aku bawa masuk laki-laki"
Adnan sempat menoleh ke lingkungan sekitar yang cukup lenggang, tak merasa ada satupun yang akan melihat. Dia berdengus tahu bahwa itu hanyalah alasan, bagi Malena untuk menolaknya lagi.
"aku mau minta maaf malena, soal omongan aku malam itu, aku ngga bermaksud. Aku-"
"mau masuk tante" rengek Diana yang memeluk Malena erat, menyembunyikan wajah.
Dia merasa dongkol, selalu saja ada gangguan, dan Malena tampak lebih peduli dengan bocah itu. Pun cara menatap Malena akan dirinya seperti mencurigainya, meskipun Malena selalu menatapnya demikian.
"Aku tahu itu kelewatan, dan aku minta maaf"
Sesekali Diana akan menoleh pada Adnan dan kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Malena, seperti Dia tidak suka dengan sosok Adnan.
"iya ngga apa-apa, memang benar apa yang kamu omongin. Tapi itu buat aku sadar, sekali-duakali alasan akan menjadi sebuah kebiasaan".
Ia tak bisa lagi berpikir rasional untuk jawabannya, karena Diana terus merengek dan bergerak di gendongan meminta untuk masuk ke dalam rumah kembali. Disaat itu, Adnan melihat sosok bocah perempuan yang lebih besar tengah berdiri di ambang pintu dan menatap mereka. Dan sesenggukan Diana kembali terdengar, membuat Malena hilang fokus darinya.
"lebih baik kamu pulang, dan tolong jangan pernah ganggu saya lagi" tegas Malena dengan suara pelan tapi penuh penekanan.
Kriing! Kriing!
Belum ada selangkah Malena hendak berbalik, suara bel sepeda itu kembali menarik perhatiannya, dan kali itu Adnan juga. Sosok Ghani yang tidak disangka Malena akan muncul, membuatnya terkejut samar. Pria itu turun dari sepeda dan berjalan santai mendekati pagar, mengamati Adnan yang juga melakukan hal yang sama.
"halo dokter, selamat pagi" sapa Ghani santai.
Dan Malena berpikir cepat untuk keluar dari situasi yang aneh itu dengan mengundang Ghani masuk, "udah datang, mari masuk". senyum Malena terpasang kaku.
Ia langsung membuka pagar dan membiarkan Ghani masuk dengan terpaksa, sempat pria itu mengerling genit kala mencolek pipi Diana yang kebingungan dalam gendongan.
"kamu harus pergi, saya masih ada pekerjaan" usir Malena sekali lagi.
Sementara Adnan terheran karena pria itu langsung diundang masuk sedangkan dirinya tidak, "tunggu!".
Dia menahan lengan Malena kuat kala pintu pagar hendak di tutup, jelas membuat sang empu terkejut berusaha melepaskan diri. Begitu juga dengan Diana yang kebingungan dan mendadak ketakutan, semakin mengeratkan pelukannya pada Malena.
"kamu ngijinin dia masuk dan aku tidak?" gebu Adnan mulai tak terkontrol.
Ghani yang melihat hal tersebut langsung memarkir sepedanya ke tembok terdekat, raut wajahnya sangat tidak ramah kala mendekati Malena yang berusaha lepas dari cengkraman sementara pria bergaya necis itu mencoba masuk.
"lepas adnan. Dia pasien aku" sentak Malena, takut ada tetangga yang melihat. Apalagi suara rengek Diana kembali terdengar.
"aku ngga percaya".
"hei" tegur Ghani, berjalan mendekati Adnan yang refleks lepas cengkraman dari lengan Malena yang juga mundurkan langkah.
"saya ini pasien pertama dokter malena. Kamu harusnya mengantri" ucap Ghani dengan pongahnya, terus berjalan maju sementara Adnan mundur hingga keluar dari halaman dan Ghani langsung menutup pagar serta menguncinya.
Malena yang tadinya mundur dan berusaha menenangkan Diana, kembali maju untuk menarik lengan baju Ghani yang menoleh sebahu.
"dia bukan pasien" katanya, lalu menatap tajam Adnan di luar pagar.
"lebih baik kamu pulang, dan jangan pernah datang lagi".
Adnan berakhir pergi dari kompleks perumahan Malena dengan emosi kesal yang kian memuncak, namun diantara itu ada kebingungan dan rasa penasaran akan sosok pria sebelumnya yang mengaku adalah pasien Malena. Sementara dirinya tahu, selama pengamatannya terhadap semua pasien Malena yang kerap datang ke sana, pria itu baru pertama kali dirinya lihat. Dan akhir pekan adalah waktu libur bagi Malena, yang menandakan bahwa mereka berdua berbohong dan bersekongkol untuk mengusirnya. Apalagi baru dirinya sadari, bahwa pria itu terkesan familiar bagi dirinya.