When you have go through hell and survive
You become a lot more grateful for things but still scared.
Suasana yang tenang dan sunyi, angin berhembus menghantam tumbuhan yang ada menimbulkan suara deru cukup kuat. Kaca jendela yang sengaja tidak ditutup gordennya, menampilkan situasi halaman belakang yang gelap, dan satu jendela kecil
berjeruji tetap terbuka karena AC kamar sengaja dimatikan sang empu.
Malena bergelung di antara selimut tebal, bersama sebuah buku bekas bacaan tertinggal karena jatuh tertidur baru saja. Tetapi dalam tidurnya, Ia gelisah. Tidak seperti biasanya,
meskipun bermimpi buruk, Ia akan tersentak bangun. Namun kali itu, matanya seperti terlengket oleh cairan lem, tapi tubuhnya terus bergerak hingga terbebas dari selimut seutuhnya. Merasa keadaan sedikit panas, tubuhnya berkeringat tertampar cahaya lampu nakas membuatnya berkilau. Ia bisa mendengarkan suara deru angin berhembus kencang, berusaha menembus kaca yang tertutup tapi hanya bisa masuk lewat satu-satunya jendela yang terbuka.
Hembusan kuat angin itu berhasil masuk dan menjilat tubuhnya membawa sedikit kesejukan, meskipun dengan gaun tidur tipis tidak merasa itu membantu karena panas itu terasa dari dalam tubuhnya yang terus berkeringat. Nafasnya terhembus kasar, secara tenggorokannya ikut kering akibat dehidrasi. Ia seharusnya bisa bangun kan? Tetapi bahkan kelopak matanya tidak bisa terbuka meski sudah dipaksakan, panas terlalu menyiksanya hingga rasa angin sebelumnya tak lagi membantu.
Hingga rungunya samar-samar mendengar suara pintu terbuka, terlalu samar sampai Ia tak bisa menebak pintu mana lagi yang terbuka. Fokusnya hanya pada tubuhnya yang panas dan banjir keringat, membasahi gaunnya yang begitu tipis menerawang. Tubuhnya bergerak untuk mengais tempat dimana ranjang terasa dingin atau dimana angin berhembus lebih terasa, sampai di satu titik ketika kakinya menggantung di udara karena keluar dari ranjang, Ia akhirnya bisa merasakan hembusan angin yang perlahan membuatnya tenang. Kemudian menjalar dengan begitu halus, naik menuju paha, menuju punggung, dan menuju wajahnya.
Ia akhirnya bisa sedikit lebih tenang, meskipun tenggorokkannya makin terasa kering dan ingin tersadar agar bisa mengentaskan dahaga itu. Dahaga yang sialnya membuatnya kembali gelisah, menelan kasar saliva dan melenguh. Tubuhnya mendadak meremang, akibat hembusan angin yang menerpa telinga dan tengkuknya terlalu pasif.
Itu tidak seharusnya terjadi kan? Kenapa anginnya hanya terhembus di satu titik?
Pada akhirnya Ia sadar dari tidurnya, namun tetap saja pandangannya gelap karena kelopaknya masih tertutup rapat. Ini tidak terasa seperti dirinya berada diambang hilang kesadaran ketika hendak tidur, pikirannya sadar dan itu membuatnya mendadak gelisah panik. Apalagi saat merasa dan menyadari kalau sapuan dingin itu bukan berasal dari hembusan angin, rasanya sedikit kasar seakan meraba bagian-bagian tubuhnya dari
luar gaun hingga ke kaki.
Yang ada dipikirannya saat itu hanya ucapan dalam hati bahwa dirinya harus bangun. Tapi itu terlalu sulit, terutama karena tubuhnya yang benar-benar lemas dan kelopaknya tertutup bagai kena lem, dan mendadak panas tubuhnya kembali datang seperti gelombang yang menimbulkan denyutan pada bagian-bagian tertentu disertai dengan sapuan yang masih tetap terasa. Ia tidak percaya dengan hal-hal paranormal, Ia berpikir
mungkin saja dirinya mengalami sleep paralyze dan itu membuatnya memaksa diri untuk bisa bangun. Mengingat sangat banyak hal untuk membuat pikirannya fokus, dan berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan ujung jemarinya.
"mama tolong" monolog batinnya, karena suaranya seperti tertahan di tenggorokan dan yang keluar malah hembusan nafas terengah.
"mama tolong malena!".
Ia terus bergumam dalam hati kalimat tersebut, meminta pertolongan dari sang ibu yang berkata akan selalu melindunginya apapun yang terjadi. Dan rupanya itu berhasil,
perlahan Ia merasa tekanan yang dirasa berangsur berkurang, dan nafasnya yang sebelumnya terengah perlahan menjadi lebih tenang.
Meskipun rasa tubuhnya masih begitu panas, setidaknya Ia merasa jemarinya bisa digerakkan, begitu juga dengan jemari kakinya yang berhasil menekuk untuk membantu saraf pada tubuhnya kembali normal. Kemudian dengan satu paksaan kuat, Ia mencoba membuka kelopak matanya yang begitu berat. Dengan tubuh yang perlahan dipaksa beranjak duduk, tangannya sampai meremat kuat sprei di bawah tubuhnya. Dan ketika Ia berhasil membuka mata dengan pandangan kabur, cahaya terang menyilaukan membuatnya kesulitan fokus pada satu titik. Nafasnya terengah seperti Ia baru saja
berlari berkilo-kilo meter, begitupun dengan detak jantungnya yang memacu kencang, dan rasa panas tubuhnya masih terasa meski tidak separah sebelumnya.
Surai legam panjangnya terurai menutupi wajah, dengan kepala menunduk dalam Ia mencoba memfokuskan pandangan dengan hanya memperhatikan seprai berwarna putih yang dicengkramnya. Sementara pandangannya belum fokus sempurna, tangannya memilin sprei yang berantakan dengan raut keheranan diantara surai
yang menjuntai. Ia ingat bahwa sprei di kamarnya berwarna sage, begitu juga dengan rasa ranjangnya yang seharusnya empuk sementara ranjang dengan sprei putih ini terasa sedikit lebih keras.
"sudah sadar sepenuhnya?"
Kepalanya sontak beralih ke asal suara, matanya membulat seiring penglihatan mulai jelas. Tubuhnya mendadak kaku mendapati sosok Ghani yang dalam keadaan shirtless hanya mengenakan celana sepaha, duduk santai di single sofa menghadapnya. Raut pria itu tetap pongah, dengan senyum menyeringai di wajah, dan surai yang terlihat basah
karena titik-titik air jatuh di tubuh telanjangnya.
Malena masih terpaku dengan jantung serasa berhenti, antara terkejut dan berpikir semua itu hanya mimpi, karena merasa memang selalu bermimpi tentang pemilik jelaga di sana itu. Namun mimpi kali ini terlalu terasa begitu nyata, karena jarinya masih memilin sprei untuk meyakinkan dirinya bahwa ini hanya mimpinya. Ternyata bukan.
Dan karena keterdiaman Malena yang nampak belum percaya dari bagaimana Ia mengedarkan pandangannya, Ghani beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati dokter mungil itu yang perlahan beringsut menjauh ke sudut ranjang tapi kakinya duluan ditangkap Ghani yang menariknya kuat hingga kembali terbaring.
Wanita itu memiringkan wajahnya ketika Ghani merunduk mengukungnya, dengan jantung yang terus berdegup tak karuan bisa merasakan hembusan nafas dingin yang menerpa tengkuk leher dan telinganya, mengundang remang yang menggelitik di sekujur tubuhnya. Ia mencoba berontak tapi itu percuma, karena kuncian Ghani pada tubuhnya begitu kuat. Ini jelas bukan mimpi dan mungkin mimpi sebelumnya juga bukan murni sebuah mimpi, tapi dirinya di lecehkan dalam keadaan tidak sadarkan diri?
Melihat penolakan Malena, Ghani tidak peduli dan tetap mengamati bagaimana fitur pahatan berlekuk halus nan tajam di hadapannya lebih jelas. Membawa tangannya bergerak naik untuk mencengkram rahang yang lebih tua untuk meluruskan wajah agar menatapnya, dan agar Malena tahu yang terjadi ini bukan mimpi.
Malena mencebik dengan tatapan tajam, dua tangannya sudah terkepal kuat dalam cengkraman. Bahkan Ghani tidak menjaga jarak seperti sebelumnya, dua netra saling beradu dengan tendensi berbeda. Rasanya menakutkan berada di bawah kungkungan pria dengan pikiran tidak seratus persen waras, apalagi Ghani dalam keadaan shirtless serta menatapnya lekat dengan senyum menyeringai. Ini lebih menakutkan daripada ketika Ia bermimpi tentang Ghani yang selalu memegang kapak dan meneror untuk membunuhnya. Terutama karena kesengajaan Ghani menempelkan tubuh mereka,
dan Ia bisa merasakan ketegangan yang menekan pahanya semakin membuatnya merasa jijik.
"Does it feel like a dream to you?" bisik Ghani dengan suara husky.
Mendapati semua reaksi yang Malena tampilkan di rautnya, Dia semakin gencar ingin mengerjai. Buat Malena bergerak tidak nyaman saat pucuk hidung Ghani menggerus lehernya menuju telinga, karena sensasi itu menggelitik sekujur tubuhnya.
"jangan!" tersentak begitu kedua pergelangannya dicengkram kuat oleh Ghani yang makin menunduk sehingga jarak mereka begitu tipis.
Dan kembali Ghani melakukan pelecehan yang sangat tidak senonoh terhadapnya, "or this?" menyentuh dan meremas payudaranya dari luar gaun tipisnya.
"stop! Stop" sentaknya, sembari berusaha menggerakkan kakinya yang terkunci dalam himpitan.
Ghani hampir hilang akal karena melihat pemandangan di bawahnya, kemolekan Malena dalam balutan gaun tidur setengah menerawangnya. Tapi Dia juga tidak ingin Malena terlalu memberontak dengan penolakan, meskipun Malena tidak berteriak, mungkin tahu itu tidak berguna. Dia bukannya ingin membuat Malena ketakutan, tapi hanya ingin menyadarkan wanita itu bahwa yang terjadi bukan mimpi. Malena memang berada di
tempatnya, di kediamannya, di pendopo dalam wilayah Semesta. Karena tidak mau berlaku terlalu jauh, dan membuat Malena akan lebih melawan.
Dia terpaksa beranjak dari mengunci Malena yang langsung beranjak duduk dan beringsut menjauh dengan tatapan tajam, bahkan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia melangkah mundur hingga mencapai lemari kayu besar, "Do you think all of this just a dream, niana?"
Malena kembali mengedarkan pandangannya dan melihat sudut lengkungan dengan banyak jendela di segala sisinya dengan gorden menerawang tersingkap apik, ruangan yang menjadi begitu terang karena terpapar sinar matahari dari luar. Pemandangan tumbuhan hijau berupa pepohonan, dan langit biru cerah berawan putih menggantung tinggi di luar sana. Interior ruangan sendiri lebih dominan dengan pahatan kayu furnish meski tidak banyak memiliki perabotan, hanya ada dua single sofa berbahan rotan furnish yang salah satunya sempat di duduki Ghani, teleskop besar mengarah ke luar jendela yang terbuka di sudut ruangan, meja setinggi lutut berbahan dasar kaca, lemari kayu di mana Ghani tengah mengambil pakaiannya, dan ranjang yang di dudukinya pun kerangkanya berbahan dasar kayu.
"Everything you felt niana, even before you wake up" ucap Ghani, disela mengenakan pakaiannya.
Pakaian yang selalu sama, kaos singlet hitam dengan celana dungarees denim. Ia pernah
sempat berpikir kalau Ghani mungkin jarang berganti pakaian karena semua yang dikenakannya selalu sama, kaos atau singlet dan dungarees denim. Tapi kini Ia melihat sendiri, kalau isi lemari Ghani memang penuh dengan dungarees denim berwarna sama
yang menggantung dan jejeran tumpukkan pakaian berwarna gelap di atasnya, entah kaos lengan atau kaos oblong.
Ketika Ghani lepas memakai pakaian dan menoleh sembari menyugar rambut panjangnya hanya dengan menggunakan jemari.
"kita harus sarapan sekarang. Kamu boleh tetap pakai itu, soalnya cantik. Saya ngga masalah kamu belum mandi, ngga ada yang berubah" senyumnya manis terpasang simpul, menimbulkan satu lubang cacat di pipi kirinya yang begitu menarik.
Di meja makan, tepatnya di ruang makan. Meja kotak yang hanya memiliki dua kursi kayu saling berhadapan, telah masing-masing di duduki oleh Ghani dan Malena. Tetapi berbeda dengan Ghani yang santai menyantap sarapannya, Malena hanya duduk diam
menatap kosong sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi setengah matang yang menggoda aromanya. Ghani melihat itu, tidak sekalipun mengalihkan perhatiannya
dari Malena sejak awal.
Kunyahanya memelan, "kenapa ngga dimakan? Tenang aja, ngga ada apa-apanya kok" lalu berdengus senyum sebelum kembali menyuap makanan.
"Cuman yang di teh kemarin, pun dosisnya dikit"
Sesantai itu Ghani bersikap dan berucap, padahal Malena sudah angkat pandangan dengan tajam mengarah penuh kecurigaan.
"yeah… apapun yang kamu pikirkan itu benar, apapun yang kamu perkirakan itu benar"
Menangani Malena memang tidak sulit, karena Malena sendiri tahu harus melakukan apa dan bertindak bagaimana agar menghindari kekacauan dan atau hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun diantara keterdiaman Malena dengan raut tidak terbaca kecuali kecurigaan dan kewaspadaan yang sengaja ditunjukkan, Ghani tahu bahwa sang dokter sangat cepat tanggap memahami situasi.
"saya ngga pamit untuk pulang karena saya emang ngga pulang. Saya hanya di kamar yang ngga mungkin akan dibuka. Terus gimana dengan sepedanya? Oh, gampang, sembunyikan saja di bagasi mobil kamu. Daripada nyewa taksi untuk bawa kamu dan semakin menimbulkan kecurigaan, kenapa ngga bawa sekalian mobil kamu jadi orang akan percaya kalo kamu lagi ngga di rumah" jelas Ghani disela menyantap sarapannya, tanpa diminta oleh sang empu.
Malena seketika paham kenapa kemari Ia tidur cukup awal, bahkan selepas makan malam biasanya akan bekerja sedikit pun tidak sempat saking mengantuk dirinya. Ia menelan paksa saliva, "kenapa?" bukan karena hanya itu yang bisa dirinya tanyakan, tetapi pertanyaan 'kenapa' secara harfiah sudah cukup untuk mencari sebuah alasan.
"karena lebih baik begini, saya ngga harus selalu datang ke sana jauh-jauh untuk ngintai kompleks kamu. Itu menjengkelkan, dan menyusahkan" kekeh Ghani berdengus, tetap menyantap makanannya dengan santai.
Sikap Malena juga usahakan untuk tenang, pandangannya selalu tetap terkunci pada Ghani agar pria itu tahu bahwa dirinya tidak mencoba melawan. "saya punya banyak hal untuk dilakukan, saya punya pekerjaan, saya punya kehidupan, dan saya harus pulang"
Ghani menggeleng kemudian melepas sendoknya, "tidak, kamu tinggal disini dulu" lalu menenggak gelas berisi air putih.
"kenapa?" kedua tangannya saling meremat di pangkuan, ketika mendapati pandangan Ghani malah tertuju pada tubuhnya yang masih memakai gaun tidur.
"karena harus"
"lebih spesifik"
Dia menggeleng kilas, "nothing specific, saya hanya mau kamu di sini. Jadi pengobatan saya akan lebih maksimal karena dekat dengan kamu" kemudian beranjak membawa peralatan bekas makannya ke wastafel, "lagipula, saya lebih nyaman berada di tempat ini ketimbang rumah kamu dokter" meskipun belum habis, Dia tetap membuang sisanya ke tempat sampah.
Mengingat itu kepalanya menoleh sebahu ke tempat Malena duduk tenang, "jangan tersinggung tapi, i am your patient remember".
"kamu bisa lakukan itu dengan mendatangi saya di klinik atau-"
"tidak" potong Ghani, lepas mencuci peralatan makannya dan menaruhnya ke tempat semula. Dia berbalik untuk menatap punggung sempit Malena yang duduk tegak di kursi, dengan kepala sedikit menengok sebahu.
"saya ngga suka keluar jauh dari sini, rasanya ngga nyaman. Dan anggap saja ini 50 persen dari bayaran untuk kamu karena jadi dokter terapis saya, dengan tinggal disini"
Panas-dingin kembali mendera sekujur tubuh Malena yang membuatnya menghela nafas halus, usaha agar semua reaksi tubuhnya mungkin akibat obat itu tidak terlihat oleh Ghani yang tengah mengamatinya.
"kamu sadar kan, orang-orang akan cari saya kalo saya ngga ke klinik atau ngga ada di rumah dalam kurun waktu lama tanpa alasan apapun atau tanpa pesan tertinggal. Ini tindakan bodoh"
Ia terakhir berada dalam situasi yang begitu menekan dirinya, ketika melakukan ujian di universitas dan melakukan wawancara dengan beberapa dokter psikiater ternama untuk mendapatkan gelar pasca dua kali kelulusannya. Dimana Ia berjanji tidak ingin kembali merasakan berada dibawah aura intimidasi yang menyiksa batinnya, namun kini perasaan itu kembali seakan menekan alam bawah sadarnya karena tekanan yang perlahan menyelubunginya. Dan Ia sama sekali tidak menyukai hal itu, seperti menekan gestur pergerakannya karena terlalu diperhatikan.
"tenang saja dokter, saya juga udah mikir sampe ke situ" Ghani bergerak mendekat, setelah puas mengamati belakang Malena yang juga sama menariknya dari depan.
Dia duduk di kursinya kembali, dengan gestur santai tangan ke meja dan menjadikan
kepalan tangan sandaran wajahnya. "ngga akan ada yang cari kamu" jeda Ghani dengan senyum manisnya, "kecuali ada yang secermat itu mencurigai semua pesan yang saya tinggalkan mewakili kamu dokter"
Tebakannya, bahwa Ghani pasti telah mendengar cukup banyak perbincangan antara dirinya bersama mba Kanya kemarin. Membuatnya teringat akan Hanan yang telah berulang kali memperingatinya agar berhati-hati dalam berinteraksi dengan Ghani, tapi bagaimana? Ia tidak menyangka ternyata ketakutan Hanan beralasan, dan tentu untuk melindunginya dari sang kakak yang memang seberbahaya itu.
"apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan nada penuh penekanan, agar Ghani tahu aura intimidasinya tidak berlaku terhadapnya.
"surat pengunduran diri dari klinik karena kamu mau pensiun dini" aku Ghani dengan senyum simpulnya yang manis, meskipun itu sama sekali tidak menarik Malena.
Dia dengan sikapnya yang kelewat santai, banyak memberi reaksi ketika lawan bicaranya hanya duduk diam bagai patung dengan tatapan tajam menusuk.
"ideku pasti berhasil, kalo dokter mengundurkan diri. Dokter itu pasti juga ikut mengundurkan diri kan? Dia ngga akan kena teror lagi sama cowok gay yang necis itu" semringah Ghani merasa bangga.
Malena jelas terkejut meski yang tertampil hanya raut datar, terutama pengetahuan Ghani soal Adnan. Ia tak mau memberi reaksi apapun selain menampilkan poker face
yang terselip kecurigaan dan kewaspadaan. "dari mana kamu tau sebanyak itu?".
Menahan rasa penasaran itu sulit, Ia tidak terbiasa dengan menanyakan pertanyaan. Tetapi dalam situasi kasusnya sekarang ini, ia sangat butuh untuk tetap fokus dan mencari tahu motif Ghani yang sebenarnya.
Bahu Ghani menggendik kilas, tidak sama sekali berniat menjawab itu. Semakin menyiksa batinnya yang penuh dengan pertanyaan, namun Ia lebih mengutamakan ketenangannya. Maka dari itu, Ia bergerak mundur menyender kursi, lalu memangku kakinya dan bersedekap kedua lengan. Pasang senyum mencebik, balas menantang pria di depan sana.
"liar" Ia memutuskan memakai sikap yang sama dilakukan Ghani jika berbincang dengannya, pongah dan seakan menantang.
Mengundang senyum semakin merekah dari Ghani yang berhasil memancing sang dokter, karena akhirnya Dia bisa melihat sosok asli Malena? Dia kemudian menggestur
kepala ke arah dinding sebelah belokan menuju pintu utama tanpa lepas pandangan dari Malena yang melirik sekilas, "lihat yang di sana itu?" sebuah alat interkom yang kurang lebih sama seperti di kediamannya.
"kita punya sistem rumah yang sama, tapi punyamu itu gampang diretas karena cuman level 3, punyaku level 1 jadi jaringannya lebih aman dan mudah disambung ke sistem manapun yang saya mau".
Malena tidak mengetahui alat itu bisa melakukan hal tersebut, dan Ia juga tidak tahu kalau interkom tersebut memiliki tingkatan keamanan. Karena saat dirinya memasang benda itu, murni hanya untuk membuatnya tetap aman dari hal-hal yang tidak diinginkan karena dirinya tinggal sendirian, dan selama itu pula tidak ada hal aneh atau kejadian mengganggu yang menimpanya.
"itu artinya kamu menculik saya" tuduhnya yang membuat senyum Ghani berubah masam.
"i had to doctor, but sorry not sorry".
Meskipun perutnya sudah beberapa kali bergejolak karena aroma nasi goreng yang mengguggah rasa laparnya, Ia mencoba untuk tetap fokus menginterogasi Ghani. Karena Ia tidak tahu, sebanyak apa Ghani akan memberinya kesempatan untuk berbicara atau bertanya.
"ini pelecehan dan ilegal, saya bisa nuntut kamu ke pengadilan ghani" nada suaranya tenang, tidak ada kesan mengancam tapi Ghani seharusnya tahu bahwa itu tetap saja sebuah ancaman.
Ghani mundur menyandarkan punggung, lalu bersedekap dada juga namun dengan pandangan yang mengedar sejenak. "mari kita bahas tentang alasan kamu ada di sini sebagai terapis saya".
Pernyataan itu seakan memberitahu Malena secara tidak langsung, bahwa kesempatan untuk keluar dari tempat tersebut yang tak lain dan tidak bukan adalah pendopo di wilayah Galeri Semesta, adalah sesuatu yang kecil kemungkinannya terjadi.