Chereads / Diantara Kebohongan / Chapter 15 - 15

Chapter 15 - 15

I learned that every mortal will taste death;

But only some will taste life.

Hanan berulang kali mencoba untuk menelpon nomor kontak Malena sehari setelah Ghani menghubunyinya, namun sama sekali tidak ada balasan apapun dari dokter tersebut. Dia telah menerima perawatan Dr. Annelise, dan sekaligus membagikan alasan kenapa dirinya mendadak syok setelah menerima telpon yang memicu kecemasannya kembali. Meski sudah bisa mengendalikan dirinya, Dia belum bisa tenang jika belum mendapat balasan dari sang dokter di Tanah Air sana. Tentu saja khawatir, takut kalau sesuatu yang buruk terjadi pada Malena. 

Wanita itu selalu meyakinkan dirinya bahwa Ia akan baik-baik saja, tetapi wanita itu pasti tidak berpikir seperti dirinya mengenai sosok Ghani dan apa yang bisa pria itu lakukan.

Itu kekhawatirannya sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon nomor klinik langsung, tentu saja untuk menanyakan apakah Malena sedang memiliki kesibukan. Yang mana Dia menerima kabar mengejutkan dari Andira sendiri, bahwa Malena telah mengundurkan diri pagi tadi melalui sebuah surel kepada kepala klinik Metama secara pribadi. Dengan alasan personal yang tentunya tidak di bagikan oleh sang kepala klinik kala melakukan rapat rutin, bersama para pegawai klinik. Namun menyebar kabar bahwa Malena memutuskan untuk pensiun dini, entah dari mana asal mula kabar tersebut.

Dia tidak bisa percaya, tidak mungkin Malena melakukan itu di tengah kesibukan memenuhi jadwal pasien selain dirinya. Apalagi mendengar sedikit curhatan Andira tentang sang dokter yang sangat suka bekerja, dan mungkin akan mengabdikan seumur hidupnya menjadi seorang dokter kejiwaan. Tetapi kenyataan yang menghampiri mereka justru, membuat semuanya tidak dapat dipercaya secepat itu.

Mereka memang terakhir berhubungan via telepon adalah beberapa hari lalu, dimana Malena mengatakan kepadanya bahwa Ghani mendatangi kediamannya dan mengajaknya bertemu seseorang tetapi panggilan itu diputus sepihak. Namun Malena memberinya pesan keesokan harinya, yang bertuliskan bahwa Ia akan menolak

permintaan Ghani dengan alasan kesibukan. Lalu mereka istirahat berkontak selama beberapa hari belakangan karena agar intensitas mereka tidak terlacak siapapun, permintaannya sendiri, dan bertepatan Malena memang juga tengah sibuk bekerja.

Kini dirinya malah terkurung di apartemen saking khawatir mengenai Malena, tidak menyangka permintaan tolongnya malah akan menyeret dokter cantik itu ke ranah yang berbahaya. Dia takut kalau Ghani ternyata benar-benar tergait dengan rencana yang dibuat mereka, atau malah sudah mengetahui tentang rencana mereka dan malah ingin menyingkirkan Malena seperti para dokter yang sudah-sudah.

Seharusnya Dia merelakan saja ibunya yang memang sengaja memilih tinggal bersama Ghani, meski dirinya pun sangat ingin melihat dan merasakan perhatian seorang ibu. Tapi tidak bisa- egonya berkata Dia harus menyelamatkan ibunya dari si sulung sociopath yang manipulatif itu atau ibunya akan berakhir seperti ayahnya dan dia kehilangan kesempatan untuk meminta maaf secara langsung.

Itulah alasan kenapa dirinya meminta waktu cuti kerja dari kantor untuk kembali ke Indonesia, meskipun secara harfiah tidak benar-benar mengenyampingkan urusan kantor karena Dia masih mengerjakan pekerjaan via online. Setidaknya Dia mendapat keringanan dan kesempatan untuk menyelesaikan masalahnya. Namun kali itu, Dia tidak ingin sendirian.

"yang harusnya lo bawa tuh si panji, bukannya gue. Gue cewe gini bisa apa? Mana libur gua cuman beberapa hari lagi" dengus kesal seorang wanita yang usianya tak beda jauh.

Gayanya modis, surai coklat digelung sederhana, duduk bersedekap dada dengan raut tertekuk. Hanan fokus mematut laptop di hadapan, jemarinya sibuk menari di keyboard.

"kalo sama panji yang ada kita semua berantem nanti, lo mau masalah ini sampe ke om dan tante semua?"

Wanita itu mencebik, "lah, salah lo ngapain juga nyusahin diri buat berurusan sama si sodara psikopat lo itu!"

Namanya Sarah, adik sepupu yang hanya berjarak satu tahun dari Hanan. Tinggal dan menetap di Singapura sejak beberapa tahun silam karena bekerja di perusahaan otomotif ternama di bagian keuangan. Kebetulan yang dimanfaatkan Hanan, Sarah juga tengah berada di waktu cutinya. Dan Panji yang sebelumnya disebutkan adalah kakaknya, yang tetap tinggal dan menetap di Ibukota bersama keluarga kecilnya karena meneruskan jabatan di salah satu perusahaan milik keluarga.

"kan gua udah cerita sama lo" menghela nafas lelah, sebagai tanda bahwa Dia memang lelah.

Tapi Sarah tidak bisa diam begitu saja, "maksud gua kenapa lo ngga nekat culik aja nyokap lo terus bawa kabur. Daripada korbanin orang lain buat jadi pengalihan, itu sama aja lo juga jahat ngorbanin keselamatan orang lain. Mana dokter lagi, kasihan tahu kalo sampe dia kenapa-napa!" ketus Sarah tegas. 

Mereka berada di penerbangan kelas bisnis, dan situasi sedang tenang karena semua penumpang tengah beristirahat, Sarah sebisa mungkin menahan suaranya. Bagaimana tidak kesal? Kalau Dia tawari berlibur ke Indonesia oleh Hanan dan bahkan dibelikan tiket gratis, nyatanya sepupunya itu malah menyeretnya ke dalam pesawat dengan cerita yang berbeda lagi. Dan Dia sudah tidak bisa mundur saat pesawat lepas landas dari bandara Internasional Singapura menuju Indonesia, membuatnya sangat ingin mencekik kakak sepupunya itu tapi tak mau berlabel kriminal seperti Ghani.

"kalo dokternya nuntut sampe ke pengadilan gimana? Terus ngelaporin ghani dan nama keluarga kita ikutan nyangkut? Lo siap jadi samsak sama bokap gua dan om tirta?!" cecarnya menggebu, membuat Hanan hela nafas kasar seraya menutup laptopnya.

"ah berisik banget! Makanya jangan sampe hal buruk kejadian" balas Hanan dengan mencoba kembali sabar.

Sarah berdengus sinis membuang pandangan sejenak, "yah gimana ngga bakalan kejadian? Orang lo aja nekat mau kesana sekarang, ngga mungkin masalah ini ngga akan jadi memanas".

"lo ikut gua ke rumah nyokap, dia ngga bakalan ngamuk karena ada lo"

Mendengar itu semakin terkejut Sarah, "imbecile! Are you out of your fucking mind silly?!" tangan kirinya naik hingga kehadapan wajah Adnan yang menolak melihat, "lo ngga lihat ini? Lihat ini?! Jari gua hampir putus gegara si anjing itu!" menunjuk jari manisnya yang memiliki bekas jahitan melingkar meski samar.

Hanan tentu tidak lupa dengan itu, sudah dibilang dirinya bukan satu-satunya korban Ghani. Dan alasan Sarah bermigrasi hingga ke Singapura saat masih remaja karena untuk menghindari kemarahan dan ketakutannya akibat menjadi korban kenakalan Ghani, yang dengan tidak sengaja telah mematahkan jari manisnya ketika mereka masih berada di sekolah dasar yang sama. Ghani kakak kelas mereka, dan dirinya bersama Panji sekelas, sementara Sarah berada di kelas 3 saat itu.

Tetapi Sarah kecil sudah pintar menjelaskan situasi, dan mengakui bahwa itu perbuatan Ghani hingga dirinya hampir kehilangan jarinya. Sangat disayangkan karena Ghani tidak mendapat hukuman apapun akibat pandai mengelaknya, masa itu yang disalahkan adalah kerusakan pada pintu pagar di sekolah. Dan ibunya, ibunya jelas tidak ingin Ghani disalahkan atas apapun oleh kedua orang tua Sarah.

Raut Sarah begitu kesal, tatapannya tajam sedikit berkaca. Tentu saja karena ingatan menyakitkan itu kembali menghantam benaknya, dan kemarahan itu tidak pernah hilang dari Sarah. Mereka bertatapan dengan tendensi yang berbeda, hening karena Hanan tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Sampai Sarah membuang pandangan ke arah luar jendela, kembali menyender dan bersedekap dada.

"pokoknya gua ngga mau ketemu sama dia atau datang ke tempat nyokap lo lagi, titik!" tegasnya ketus. 

Berakhirlah dua saudara sepupu itu saling diam seribu bahasa, hilang dalam benam masing-masing bahwa mereka adalah korban dari ketidaksengajaan Ghani dan tidak pernah mendapatkan ketidakadilan.

***

Hal yang sama juga terjadi pada Kanya, Dia yang terus uring-uringan karena menunggu pesan balasan yang tak kunjung datang dari Malena, pun nomor wanita itu tidak aktif ketika dihubungi. Sampai-sampai mas Tio yang sudah mendapati kecemasan istrinya sejak pagi itu, hanya bisa menatap dengan heran dan jengah.

"udahlah bu, mungkin dia saat ini sedang ngga mau diganggu" ucapnya, tak mengalihkan pandangan dari laptop di pangkuan.

Kamar yang seharusnya menjadi tempat istirahat mereka, malah jadi ruang kerja masing-masing yang masih buka mata akibat tak ingin membuat kedua putri mereka ikut begadang semalaman karena melihat orang tua mereka masih terjaga.

Mba Kanya menggeleng pelan, "ada yang ngga beres, apapun itu aku bisa rasa. malena ngga mungkin seperti ini" gusar mematut smartphone yang digunakan untuk terus menghubungi sahabatnya itu.

Dia sangat terkejut ketika tiba di klinik dan mendengar berita dari direktur klinik Metama langsung yang menginformasikan bahwa Malena mengundurkan diri pagi tadi, dari surel, dan sebuah surat fisik yang ditujukan langsung kepadanya. Selaku seseorang yang sangat mengenal baik wanita itu.

*Aku hanya ngga ingin keluarga mba Kanya rusak dan berantakan, jadi aku memutuskan untuk berhenti agar mba Kanya ngga merasa sendirian. Menjadi perempuan itu memang sial mba, meski aku ngga sama sekali menyesal telah lahir. Dan aku minta maaf kalau ini tiba-tiba, tapi sepertinya lebih baik seperti ini. Mba ngga perlu khawatirkan apapun, aku akan selalu baik-baik saja di tempat aku sekarang.*

Pesan itu ditulis tangan, dan sama persis dengan tulisan tangan Malena yang Dia kenal. bahkan terbubuhkan tanda tanga, menandakan bahwa itu adalah pesan asli yang tidak dibuat-buat. Lantas apakah dirinya percaya Malena akan semudah itu mengundurkan diri dan pensiun dini? Sementara Malena saja dikenal dengan sosok dokter yang cukup ambisius, serta sangat berdedikasi terhadap tanggung jawab pekerjaannya. Padahal baru saja kemarin mereka berbincang, dan sama sekali Malena tidak mengeluhkan apapun kecuali mendengarkan keluhannya. Klinik tentunya menjadi berdampak atas keputusan tiba-tiba Malena, terutama para pasien yang masih harus ditangani wanita itu. Para pengurus klinik menjadi panik kebingungan mencari solusi, segera harus mencari dokter pengganti dalam waktu cepat untuk dapat bisa menangani sisa pasien Malena yang pastinya tidak akan mudah disetujui karena mereka sudah terikat dengan Malena.

Mas Tio hanya menggeleng pertanda jengah, saking istrinya terlalu perduli pada teman dokternya itu. "meskipun kamu ngga pernah dengar dia mengeluh soal pekerjaannya, bukan berarti itu baik-baik saja".

Perkataan mas Tio yang bertepatan dengan kebetulan yang terpikirkan itu, seketika membuat mba Kanya tersadar. Bahwa Malena memang tidak mengeluhkan apapun selain mendengar keluhannya, bisa saja- bisa jadi Malena berpikir di sela perbincangan mereka dan memutuskan tanpa memberitahukan dirinya? Tidak mungkin hanya karena dirinya, Dia tidak ingin mempercayai hal tersebut. 

Malena mungkin berpikir cepat untuk sebuah jalan keluar agar teror gangguan itu berhenti, dengan memilih keluar dari klinik dan ingin mencari tempat lain di mana tidak satu pun tahu kepindahnnya. Dan kini Dia merasa bersalah, karena merasa Malena malah mengorbankan karirnya untuk mengembalikan kenyamanan dirinya beserta keluarga kecilnya. Oh- sangat disayangkan, apakah Jihan dan Diana akan kehilangan sosok bibi mereka?

Mba Kanya menoleh dengan raut tidak santainya kepada sang suami yang masih fokus mematut laptop, sampai pria itu tersadar dan mengangkat pandangannya.

Kedua lengannya terbuka dengan bahu menggendik, "masuk akal kan?" aku mas Tio santai, karena mendapati tatapan mendelik istrinya yang lantas buang pandangan dengan helaan nafas kasar.

Entah Dia harus bagaimana lagi untuk setidaknya bisa mendapat balasan dari Malena, sesederhana wanita itu mengangkat panggilannya meski hanya sebentar pun sudah cukup. Setidaknya, Dia bisa meminta maaf secara langsung jika benar alasan Malena memutuskan pensiun dini, adalah demikian karena ingin membantu menyelamatkan pernikahannya.

Dan sebelum keinginannya terpenuhi, Dia tidak bisa percaya atas apapun yang mengatas namakan wanita itu jika bukan dari sang empu sendiri. Terutama pengetahuannya tentang sosok pria corduroy denim yang dipanggil "om Pesulap" oleh putri bungsunya, pria yang baru pertama kali dirinya lihat selama mengenal Malena bertahun-tahun lamanya.

Selain tendensi pria itu terkesan aneh, ketidak ramahannya ketika mereka

bertemu, dan kedatangannya di luar jadwal pekerjaan Malena. Sayang sekali, saat itu Dia datang ketika pria itu sudah pulang hanya selang beberapa menit.

***

Malam di kediaman Ghani ternyata tidak seindah kala hari terang, suasana gelap gulita di luar sana nampak menyeramkan jika diperhatikan terlalu lama. Suara-suara hewan dari luar sana tidak dapat menebus dinding pendopo, keindahannya berdiri di atas bukti seakan menjadi pemandangan paling indah diantara wilayah tersebut.

Pantulan bayangan dari kaca di hadapan yang sengaja tidak di tutupi gorden, menjadi sarana bagi Malena yang jatuhkan diri ke dalam lamunan panjang. Ia masih dalam mode penguasaan diri dan ketenangan yang baik, duduk di sofa begitu sopan. Kenakan gaun panjang berbahan sifon dengan corak flower printed, yang belahan lehernya berbentuk V cukup dalam. Terpaksa Ia kenakan karena pilihannya hanyalah gaun tidurnya yang cukup tidak senonoh, atau gaun yang tengah dirinya pakai.

Kata Ghani, gaun itu milik salah seorang wanita yang pernah sempat tinggal bersamanya

beberapa bulan lalu, Ia tidak ingin banyak bertanya meski merasa kasihan dan penasaran dengan siapapun yang pernah berhubungan bersama Ghani. Ia tidak banyak melakukan hal menuruti rasa penasarannya, atau mencoba kabur ketika Ghani beraktivitas macam biasanya, berjalan-jalan di Galeri Semesta setelah mengamati mereka lewat teleskopnya.

Ia memutuskan hanya duduk tenang di ruang santai, membaca buku dan menunggu sampai pria itu kembali. Diamnya juga bukan berarti dirinya tidak berpikir, justru Ia harus bisa sangat mengendalikan situasi termasuk dirinya sendiri agar tidak panik atau bertindak gegabah dan membahayakan diri sendiri.

Bagaimana caranya bisa kabur tanpa menimbulkan masalah serius seperti membuat dirinya terluka. Karena biar bagaimanapun, dirinya telah diculik dan ditahan di tempat si penculik dengan dalih untuk menangani masalah mental si penculik, yang belum dirinya ketahui seberbahaya apa tendensinya.

Lantas dimana pria itu? Sebab dirinya duduk manis dengan bantal di pangkuan dan buku sengaja berdiri untuk menutupi bagian dadanya, karena Ghani tengah duduk santai di kursi hadapannya dan sibuk mematut Ipad. Tapi sesekali akan meliriknya- melirik kakinya lebih tepatnya, yang kian membuatnya tidak nyaman.

Mereka tidak berbicara apapun, tidak membahas apapun seperti yang Ia sangkakan akan terjadi ketika Ghani kembali dari jalan-jalannya. Pria itu juga diam seribu bahasa, tidak mengganggunya atau mencoba menggodanya seperti sebelumnya, meskipun cara

menatapnya bisa dikategorikan sebagai satu. Buku ditutup meski Ia belum selesai membaca, mengundang lirikan kilas Ghani seperti hanya refleks.

"kapan kamu mau mencoba konseling?" tanyanya dengan nada tenang, Ghani tidak teralih dari Ipadnya.

"nanti saja, saya lagi sibuk".

Ia sengaja memangku silang kakinya hingga belahan rok menampilkan kaki jenjang mulusnya, menyandarkan punggung lalu bersedekap dada.

"sebelumnya kamu ngga seperti ini. saya bukan orang yang naif" tentu untuk menarik perhatian Ghani yang seketika terdiam meski pandangannya masih berada di Ipad.

Pria itu nampak menahan diri keinginan untuk melirik, hingga Ipad dikunci dan pandangan naik mengarahnya.

"kalo kamu mengijinkan konselingnya sambil skinship, saya bakal bayar lebih"

Ia terkejut tapi tidak tertampil karena sudah mempersiapkan segala hal tidak masuk akal yang mungkin akan menjadi balasan pria itu, tentu saja gelengan menjadi jawaban pertama.

"my body is not for sale. Asal kamu tahu ada aturan-".

"bla bla bla.. Bilang aja berapa harganya, dua-tiga digit saya mampu bayar asal worth it" pongah Ghani membuat Malena terdiam dengan raut tidak percaya, "kenapa? Ada yang salah?"

Ghani tidak lebih daripada pria mesum yang berkedok ini-itu, menggunakan uang, rencana licik, dan memanfaatkan fisiknya yang sempurna serta wajah rupawannya untuk menjadi seorang predator berbahaya menurut Malena.

"yes. You"

Dan ia pikir jawaban itu akan membuat Ghani tersinggung, namun sama seperti sebelumnya pria itu malah tersenyum lebar dan mengangguk.

"exactly, that's why i need you doctor, that's why you're here" menyetujui dan mengakui bahwa ada yang salah dengan dirinya.

Tapi itu masih belum cukup untuk mengambil rasa percaya Malena, terutama karena Ia terus waspada terhadap apapun motif Ghani yang dirinya tebak lebih daripada sekedar ingin menjadikannya seorang terapis pribadi.

"berapa banyak orang yang kamu jadikan tempat terapi?"

"9 including you" Ghani menjawab tanpa ragu-ragu, seperti Dia selalu siap dengan semua pertanyaan Malena.

"apa berhasil, meski sedikit?"

Kepalanya menggeleng pelan, "nope. Karena mereka meninggal dan pensiun sebelum tugas mereka selesai" lalu memutus pandangan sejenak karena menaruh Ipad ke meja.

"penyakit atau kemalangan?"

Netra sipit dengan tatapan tajam itu kembali padanya, yang dapat Malena baca bahkan sebelum mulut itu mengucapkan satu kata.

"kesialan"