He was very beautiful but full of pride and ego
All that glitter is not gold
Beauty isn't necesseraly always good
Do not be deceived
Malena kembali terhenyak, merasa topik pembicaraan mereka sepertinya sudah sedikit jauh. Padahal seharusnya Ia terus lanjut bertanya untuk mendapatkan respon reflek, karena akan mengundang mulut menjawab lebih dulu sebelum berpikir.
"God's work?"
Ia malah memikirkan cerita Hanan soal seorang psikologi pertama yang mendiagnosis Ghani dengan tendensi Sociopath, malah berakhir cacat karena kecelakaan. Dan Ghani tampak santai, hanya menatapnya lekat seperti selalu, namun perlahan irisnya bergulir ke kaki jenjang nan mulus yang menarik perhatiannya sejak awal.
"nobody knows" gumamnya masih bisa terdengar, sampai Malena mengubah posisi kakinya menjadi normal kembali.
"all female?"
Ghani menjilat bibirnya kilas lalu berdengus senyum, kembalikan pandangan pada netra yang simpan emosi cukup baik. "you ask to many questions doctor".
"kamu ngga punya jawaban atau memang menghindari menjawab?"
"saya menjawab semua yang kamu mau tahu, itu belum cukup?" geleng Ghani, bibirnya setengah mencebik.
Serasa Malena tengah berhadapan dengan remaja yang tidak bisa ditebak pikiran maupun sikapnya, mengundang rasa penasaran untuk terus menggerus setiap lapisan.
Perlahan Ia kembali pada mode profesional selayaknya seorang dokter yang
bertanggung jawab, "saya ngga bisa memulai terapi kalo kamu ngga menceritakan apapun. Dan kamu ngga mengijinkan saya menemukan masalah untuk bisa dibantu" ucapnya bernada lembut penuh prihatin, Ia sengaja bertingkah demikian agar terkesan tidak terlalu kaku perbincangan mereka.
Dan mungkin Ghani belum sadar, kalau sejak awal dirinya bertanya itu sudah termasuk ke dalam sesi konseling. Pria itu kembali menghembus nafas berat, "i can do that. But i
need your laps as my pillow, that is the final deal doctor" dengan gaya bersedekap yang terkesan defensive seperti yang dilakukan Malena.
"tapi saya butuh pakaian yang lebih tertutup, tolong" pintanya dengan sopan.
Itu terdengar sebagai sebuah persetujuan bukan? Yang mana Ghani kemudian beranjak, bukan menuruti apa yang Malena pinta, pria itu malah melepaskan kaos yang tengah dikenakannya begitu saja. Malena terkejut saat Ghani melempar kaos yang jatuh ke
pangkuannya begitu saja, "pakai saja itu" titahnya dengan menongkak pinggang.
Tidak disangka Ghani akan semakin bersikap setidak sopan itu padanya yang sangat menjaga kesopanannya, tetapi Ia tidak memprotes apapun dan memilih menuruti agar tidak memperpanjang hal. Dengan tenang memakai kaus sang empu yang beraroma hanya sabun dan tubuh, setidaknya itu bisa menutupi belahan dada gaunnya. Ia juga secara cepat menggulung rambutnya dengan pola sederhana agar tidak mengganggu selama dirinya bekerja.
Sementara Ghani yang telanjang dada masih berdiri menongkak pinggang di hadapannya, hanya diam memperhatikan sang dokter yang tengah menyiapkan diri. Sampai wanita itu balik menatapnta, lalu menepuk bantal yang dipangku.
Tanpa ragu dan kecanggungan, Ghani mengambil pembaringan di sofa panjang tersebut. Dan menarik bantal untuk dibuang begitu saja, lalu menaruh kepalanya di kedua paha sang empu yang terkejut bukan main. Namun sekali lagi Malena tidak dapat memprotes, meski dua tangannya refleks menutupi dadanya sendiri.
Beberapa kali Ghani bergerak mengatur posisi baringnya, dan Malena hanya bisa diam melindungi diri dari ketidaksengajaan.
"ini lebih nyaman dari sebelumnya, thanks doctor" gumam Ghani yang tidur telentang dengan wajah lurus menghadap langit-langit. Dia juga tak lupa tersenyum pada Malena yang masih dalam posisi tangan memeluk diri, tetapi pada akhirnya Malena menurunkan kedua tangannya dan menaruh ke dalam posisi nyaman di sisi tubuhnya.
"so… the answer is?"
"which one?" tanya Ghani balik, yang membuat Malena sedikit menundukkan dan memiringkan kepalanya.
"ah.. 4 males and 5 females including you. Tapi ngga semua dapat privilege ini, hanya 2 dokter termasuk kamu" kedua tangan Ghani kembali bersedekap di pembaringan, dengan sisa kakinya yang menggantung lewat dari sandaran sofa.
"kenapa?"
"why what?"
Berat kepala Ghani tidak seberapa, yang membuat Malena sedikit kaku ialah karena posisi wajah Ghani membuat hidung bangirnya hampir mengenai ujung payudaranya. Jika Ghani dengan tidak sengaja menoleh, atau bergerak mengubah posisi kembali. Tapi
Ia mencoba mengabaikan hal tersebut, saking gugup memikirkan kemungkinan terburuk, Ia sampai menahan laju nafasnya agar jangan jatuh mengenai langsung wajah si empu.
"kenapa melewati garis batasan seperti ini hanya untuk sebuah konseling?".
Jujur, Ia belum pernah mendapati seorang pasien dengan sikap manja seperti Ghani, memang ada beberapa yang ingin perhatian seperti pelukan, tapi hanya sebatas pelukan menenangkan. Tidak seperti Ghani yang manja ingin perhatian atau perlakuan seperti mereka memiliki ikatan, sampai Ia kesulitan harus menaruh kemana perhatian pandangannya karena Ghani selekat itu dan tidak beralih dari menatapnya sejak berbaring. Sampai dirinya berpikir Ghani pasti tengah berusaha untuk menggodanya kembali, terutama karena tubuh shirtless yang atletis terpampang jelas jika pandangannya bergulir sedikit saja.
"hanya karena nyaman, tubuh manusia itu ada yang menguarkan aroma alami menenangkan. And i like yours"
Malena bukanlah tipe wanita semudah itu, Ia sangat menjunjung harkat dan martabat seorang wanita terhormat, terutama karena dalam agamanya yang melarang wanita bersentuhan dengan pria yang tidak memiliki ikatan sah sebuah pernikahan.
Oh, Ia cukup religius bisa dibilang, sangat rajin menjalankan kewajibannya tanpa pernah putus dan selalu membantu mereka yang memang membutuhkan. Meskipun dokter selalu dengan pemikiran logis dan ilmiah mereka, Ia berusaha mengimbanginya
dengan sisi agama yang dianutnya.
"kenapa kamu pikir kamu butuh psikiater?"
Melihat Malena yang sejak awal terus berusaha menghindari kontak mata dengannya, Ghani tak bisa menahan senyum karena itu terkesan lucu. Dia bahkan sengaja beberapa kali menyamankan kepalanya sembari menutup mata agar Malena bisa mengambil kesempatan meliriknya, karena Dia tahu Malena sangat menahan diri untuk tidak melakukan itu.
"karena semua orang punya trauma untuk disembuhkan, and i need mine to be healed too".
Menemukan Ghani yang menutup mata nampak nyaman berbaring, Malena beralih menatap wajah tegas yang tersenyum seakan senang berhasil dengan rencananya. Tapi Ia malah hilang dalam benak, kala perasaan menyeruak dalam dada yang membuat detak jantungnya berdebar mengundang rasa malunya.
"kenapa kamu ngga mengabaikan saja perempuan aneh yang ngga suka dengan tempat itu, dan memilih acuh saja sewaktu kamu lihat dia datang lagi?"
Perlahan tangannya bergerak menyisir ujung surai legam yang menyebar di pahanya menggunakan ujung jemarinya, memaksa Ghani untuk membuka mata hingga kehilangan senyum karena merasakan usakan tarikan halus di kepalanya, tetapi Malena tetap pada kegiatannya seakan tidak malu meski sudah ketahuan. Tatapan Malena nampak kosong tanpa emosi apapun, nada suaranya juga halus dan begitu sulit untuk ditebak maksudnya.
Dia menjadi bingung dengan sikap Malena yang demikian, terutama karena kedua iris yang tidak menampilkan emosi apapun kala menatapnya.
"bagaimana kalau sebenarnya dia ngga benar-benar tertarik dengan tempat itu atau semua yang ditunjukkan kepadanya setelahnya?"
Malena jelas membicarakan tentang pertemuan mereka kala itu, semua yang terjadi. Apa maksud Malena, Ia sejak awal tidak ingin berkenalan? Tidak juga bermaksud untuk mendapatkan kesempatan kedua itu? Dan menyesal karena berakhir membawanya pada sebuah masalah kini? Tentu saja itu yang dipikirkan oleh Ghani, yang merasa Malena menuduhnya atas apa yang terjadi secara tidak langsung.
"you joking right?" dengusnya dengan raut datar.
Usakan pada rambut terhenti, "why would i?" dan itu membuat Ghani merasa kehilangan satu kenyamanan.
"karena saya tahu kamu berasumsi banyak soal saya yang mungkin akan balas menyakiti kamu karena perkataanmu sendiri, yang mana itu ngga terjadi. Atau kecemasan kamu soal sesuatu yang mungkin saya masukkan ke dalam air minum, yang mana itu juga
ngga terjadi kan?" cecar Ghani bernada sinis, "dan sekarang kamu berasumsi kalau semua yang baru saja saya katakan adalah kebohongan, kalo kamu adalah satu-satunya orang yang dapat privilege ini".
"kenapa kamu menyebut privilege? Ini bukan seperti saya memangku sebuah mahkota" balasnya bernada mencemooh terlalu samar.
Mungkin saja semua yang dilakukan Ghani memang salah, tapi niatnya memang ingin mengundang untuk membantu menyembuhkan apapun masalah yang tengah dihadapinya, dan Ghani hanya menggunakan cara yang salah.
"i am worth more than just a crown, doctor" aku Ghani bangga.
Dengar kepongahan itu, Malena tersenyum mencebik. Kemudian kembali mengusak surai jelaga dimana sang empu sempat mengepal kuat kedua tangannya dalam persedekapan, karena kali itu jemari menggerus sampai ke kulit kepalanya dan menimbulkan geli ke sekujur tubuhnya.
"then tell me everything, ghani" Malena membawa satu tangannya yang sudah siap dengan gestur hendak menjentik ke hadapan wajah Ghani yang masih menatap fokus, "tell me everything".
Ctak!
***
Mungkin dengan menaruh kecurigaan berlebihan bukanlah hal yang seharusnya dilakukan, tetapi karena alasan yang dapat membahayakan nyawa atau keselamatan seseorang- merujuk pada perkataan Sarah- memang benar. Dia tentu tidak bisa abai pada permasalahan, terutama Malena telah hilang kabar selama dua hari berturut.
Dia dan Sarah telah mendatangi klinik untuk menanyakan informasi jelasnya, karena berhubung Dia terdaftar sebagai salah satu pasien Malena. Dan menjadi bukan satu-satunya pasien yang datang dengan komplain tentang penukaran dokter akibat
pengunduran diri Malena yang kesannya sangat tidak etis dilakukan, karena pengobatan beberapa pasien seperti dirinya belum selesai. Tetapi dengan peraturan yang ada, mereka tidak bisa melakukan apapun selain menerima keputusan pergantian dokter terapis atau membatalkan kontrak.
Sangat disayangkan, banyak dari mereka yang berakhir dengan percekcokan antara dirut klinik dan beberapa dokter terapis pengganti Malena, sebab memulai konseling dari awal lagi dengan dokter baru tentunya memakan waktu untuk membentuk sebuah ikatan. Itulah sebabnya Dia harus berusaha bisa menemukan dimana Malena, setidaknya mengetahui wanita itu aman baru Dia juga bisa tenang.
"gua mohon sama lo nan, gua ngga mau ikut. Lo bilang panji aja, temenin lo ke sana" keluh Sarah, yang terus menolak untuk ikut ke alamat di mana ibu Hanan atau bibinya berada.
"sekali ini aja sar, please, gua cuma mau mastiin kalo apa yang ghani bilang waktu nelfon gua itu bener".
Hanan sebisa mungkin tetap merendah, agar mereka tidak berakhir cekcok sebelum melakukan perjalanan. Sebab Sarah begitu berapi, Dia tidak ingin bertemu dengan Ghani yang bisa memancing emosi secepat bencin tersulut api dan mungkin akan menimbulkan kekacauan.
"gua ngerti lo masih berharap ada sedikit kasih sayang dari nyokap lo nan, tapi gua beneran ngga mau lagi nginjak tempat itu! Sorry gua ngga bisa!" gebu Sarah, sampai terdengar hela nafas kasar saking kesalnya.
Tapi Hanan tetap tenang, menundukkan kepala dengan penuh permohonan. "lo ngga perlu ikut masuk, lo tinggal di mobil aja ngga masalah".
"tetep ngga mau, gua ngga mau" tolak Sarah sekali lagi, membuang pandangan ke luar jendela dan bersedekap dada.
Serasa Hanan berada di situasi genting dengan waktu yang sempit, tetapi Dia tak boleh gegabah dengan memaksa atau Sarah akan lebih nekat dalam bertindak. Pilih pinggirkan sejenak mobilnya agar bisa bicara lebih tenang, "tolong sar, sekali ini aja. Gua mohon sama lo tolong gua"
"satu-satunya sodara sepupu yang gua percayai dan masih bisa gua harap itu cuman lo sar. Hanya kita yang terluka parah karena dia"
Tidak ada opsi lain, tidak ada niatan mundur. Pun meminta pada Sarah tidak semudah yang diperkirakan, mkarena kebencian wanita itu terhadap Ghani sudah terlalu mendarah daging.
"gua bersalah karena ngga bisa nolongin lo masa itu, ngga bisa ngelindungi dan membela lo dari ghani seperti janji gua. Makanya sekarang gua mohon sar, gua minta tolong lo buat bantuin gua sekali ini aja. Biar gue tebus semua kesalahan gue, dengan beri orang itu pelajaran berarti". ucap Hanan penuh kesenduan.
Mendengar itu Sarah hampir saja menitikkan air mata karena mengingat momen masa kecil mereka yang kerap bermain bersama, Hanan memang selalu lebih baik daripada saudara sepupunya yang lain, lebih peduli dan lebih bertanggung jawab menjaganya
meski usia mereka hanya terpaut satu tahun, ketimbang kakaknya sendiri si Panji. Hanan juga bukan tipe orang yang selalu meminta bantuan meskipun dalam kesulitan, Dia selalu berusaha sendiri tanpa ingin menyulitkan atau merepotkan orang lain, termasuk ketika berusaha menjalani pengobatan untuk menyembuhkan traumanya.
"biar gua tebus rasa bersalah gua ke lo, gua juga ngga mau jadi orang dibalik kemalangan yang mungkin nimpa dokter malena" dengan menahan suara bergetar si Hanan karena merasa cukup putus asa.
Sarah menoleh dengan mata berkaca, bersitatap mereka dengan nanar dan sendu. Kenapa mereka harus hidup dalam trauma oleh karena perbuatan saudara mereka sendiri? Kenapa satu-satunya keluarga yang kacau hanya milik Hanan? Dan apa karena Ghani sehebat itu dalam mengemban sebuah bisnis gurita raksasa sehingga sanak keluarga mereka yang lain tidak mau berurusan terlalu jauh dengannya?
"please, gua berutang budi sama lo".