Gelas teh diletakkan ke meja hadapan Ghani, "terima kasih kamu sudah bantu kami sebelumnya" lalu Ia duduk di kursi kosong lainnya.
Entahlah Ia harus merasa bersyukur telah ditolong, atau waspada karena kedatangan Ghani yang juga sama seperti Adnan, tanpa pemberitahuan dan janji sebelumnya. Ia memperhatikan Ghani yang menyesap tehnya, lalu tersenyum simpul mengarahkan
pandangan ke sosok bocah kecil yang sejak tadi terus menempeli Malena.
Benar, Diana sejak mereka masuk ke rumah tidak sekalipun melepas Malena meski tidak lagi dalam gendongan, gadis kecil itu hanya sibuk mencuri tatap dengan raut penasarannya. Tidak berbeda dengan Jihan yang memilih menyibukkan diri dengan
mengerjakan tugas di buku sekolahnya di ruang santai, si sulung itu juga penasaran dengan si pria asing yang menolong dan melindungi bibi dan adiknya sebelumnya, meskipun Dia masih menyimpan kesal pada Diana yang juga kerap meliriknya dari kejauhan.
"now that feels better".
Jawaban itu terkesan sangat pongah, dengan sikap seakan Ghani merasa sebagai seorang pahlawan kesiangan. Ia tidak lupa, dengan sikap God Complex Ghani yang berlebihan. Tetap saja Ia merasa tujuan Ghani datang terlalu abu-abu, membuat kepalanya kembali dipenuhi dengan asumsi liar, hingga kehilangan fokus soal masalah sebelumnya.
"diana main sendiri dulu yah, tante mau ngobrol sebentar" dengan suara bujuk yang halus, tapi si kecil itu malah menggeleng.
"ngga mau" semakin memeluknya erat dan berniat naik ke pangkuan.
"hey little girl" panggil Ghani, menarik perhatian keduanya.
"sini" memanggil Diana yang makin meringsek pelukan Malena karena malu.
Sampai Dia merogoh kantong celananya, dan menggenggam sesuatu dalam kepalan tangan. "look what i got? You know what is this?".
Membuka kepalan tangan dan memperlihatkan sekuntum bunga Melati putih. Diana yang paham dengan bahasa asing itu jelas merasa tertarik karena mengetahuinya.
"flower" jawab Diana setengah berbisik karena malu, tetap bersembunyi dalam pelukan Malena seakan sang bibi adalah ibunya.
"good. Sekarang perhatikan yah"
Ghani mulai melakukan beberapa trik sulap murahan menggunakan kedua tangannya, yang mana sangat menarik perhatian Diana selaku bocah baru lahir kemarin. Gadis kecil itu perlahan bergerak melepas Malena, dan mendekatinya yang sibuk melakukan
beberapa teknik ilusi mata dan kecepatan tangan dari sulapnya. Bermain-main dengan Diana yang perlahan memunculkan senyum manis gigi susu, bahkan Malena sendiri harus menahan senyum karena Ghani berhasil mengalihkan Diana darinya. Hal tersebut juga bukan hanya dilihat Malena dan Diana yang mengalaminya, melainkan sosok Jihan yang beberapa kali mencuri tatap, mendadak terpaku pada aksi Ghani dalam melakukan trik sulap murahnya. Tapi si sulung itu masih keras hati, Dia menolak untuk terkagum dan mencoba mengabaikannya.
Sulap terakhir dilakukan Ghani, adalah menarik sesuatu dari kedua telinga Diana yang tergelak renyah karena merasa geli. Lalu mengarahkan kepalan tangannya ke hadapan wajah Diana,
"tiup tiga kali".
"1. 2. 3 taraa" seru Ghani pelan seketika membuka kedua tangannya, Diana langsung terkejut semringah melihat dua buah permen tangkai cukup besar.
"sekarang?".
Reaksi kagum anak-anak yang belum pernah melihat trik sulap sebelumnya, tentu lebih terkesan murni dan tanpa dibuat-buat.
"permen" seru Diana semangat, kembali menjadi dirinya yang ceria. Melihat itu, senyum Malena terbentuk tanpa disadarinya.
Diana menoleh padanya dengan senyum semringah, "can i?" bertanya untuk sebuah persetujuan, dan Malena mengangguk. Tetapi belum sempat Diana mengambil permen tersebut, "tunggu" Ghani kembali menutup tangannya dan membuat mereka kebingungan.
"janji dulu, kamu akan bagi sama kakak kamu di sana. Deal?" Ghani hanya menggestur Jihan di sisi lain, yang tengah berpura-pura sibuk pada bukunya.
"iya, deal" angguk Diana mantap, lalu Ghani membuka tangannya dan memberikan dua permen tersebut.
"thank you om" dengan suara imutnya, Diana sempat mendekat untuk mengecup pipi Ghani yang sedikit terkejut, sama seperti Malena yang langsung kehilangan senyum tapi mata membulat.
Diana kemudian berlari menjauhi dapur membawa dua permen tangkainya, dan Ghani kembali mengangkat gelas tehnya untuk dinikmati.
"easy peasy" ucapnya, tersenyum lebar hingga satu lubang cacat di pipi kirinya terbentuk dalam.
Itu teknik cara mengusir anak-anak yang selalu mudah dilakukan, dan Malena cukup terkagum? Karena Ghani ternyata pandai membujuk anak kecil. Maksudnya Ia tak menyangka Ghani akan sangat ramah terhadap anak-anak, meskipun Ghani tidak mengubah intonasi suaranya seperti biasanya ketika orang dewasa berinteraksi dengan anak-anak.
"kita ngga punya janji sebelumnya, saya ngga tahu kenapa kamu datang".
Oh, Malena menyadari bahwa Ia telah kembali pada dirinya, padahal sebelumnya sempat tersenyum begitu tulus. Tetap saja, kewaspadaannya belum hilang meski Ghani mahir mengambil perhatian anak kecil.
"hm.. Hanya kebetulan lewat" santainya, dengan bahu menggendik kilas.
Tapi tatapan Malena berubah memicing, "kamu mengintai di sekitar rumah saya? Tempat ini jauh dari Semesta mu".
Terkesan itu sebuah tuduhan yang menyudutkan Ghani, meski bukan karena dirinya mencoba sarkas atau menyinggung. Tentu Ia tidak lupa dimana Ghani tinggal, apalagi melihat Ghani datang menggunakan sepeda. Sangat tidak mungkin mengayuh sepeda selama kurang lebih satu jam menempuh perjalanan hanya untuk berasalan kebetulan lewat, lewat hendak kemana?
"pft, you're not the only person i know lives here" acuh Ghani.
Malena sempat terhenti bicara karena suara penolakan Jihan karena Diana, tapi nampak si bungsu tengah berusaha memperbaiki hubungan mereka.
"kalo gitu beritahu saya siapa dan dimana rumahnya, biar saya ngga berasumsi kalo kamu emang sengaja ngintai tempat ini" Ia hanya mencoba untuk menalar rasa penasarannya.
Seketika senyum Ghani menipis, netra sipitnya lekat beradu tatap dengan Malena yang penuh kecurigaan. Dengan keadaan suara penolakan dan pengusiran Jihan terus terdengar, dan Diana masih berusaha membagi permennya.
"just a person i know" balas Ghani seadanya, "lebih penting daripada itu-"
"aku ngga mau! Jangan ganggu pergi sana!" bentak Jihan kencang sebelum kemudian berlari ke arah halaman belakang, meninggalkan Diana yang hanya berdiri memegang dua permen tangkainya dengan wajah murung hendak menangis lagi.
Membuat Malena beranjak dari duduknya, "jihan" tapi dirinya tertahan oleh cengkraman lembut Ghani.
Tatapan Ghani begitu tajam nan lekat, tapi cengkramannya lembut dan hangat.
"You owe me for what happened, malena" ucap Ghani dengan suara motononnya.
Ia menggeleng, "saya gak-" belum sempat bicara, suara tangisan Diana kembali terdengar meski tidak semelengking sebelumnya.
"tolong lepas" titahnya, dengan sengaja menarik tangannya dari genggaman.
Ghani dengan tidak rela melakukannya, membuang pandangannya ke arah lain ketika Malena berlalu menuju Diana yang terus menangis. Memilih untuk kembali menikmati tehnya sejenak, menikmati suara tangisan bocah itu yang mengganggu rungunya.
"udah sayang jangan nangis yah, ayo kita cari kak jihan sama-sama"
Dia bisa mendengar suara lembut Malena yang coba menenangkan gadis kecil itu, sebelum lewat ekor mata melihat wanita itu menggendong si bungsu yang henti menangis menuju ke halaman belakang. Mereka meninggalkannya sendirian, menatap nanar gelas milik Malena yang berisi cairan teh belum disentuh sang empu sama
sekali.
***
Ketika sore menjelang, mba Kanya akhirnya datang untuk menjemput kedua putrinya selepas menyelesaikan kegiatannya. Dia sempat mendapat telepon dari Malena yang mengatakan ada pertengkaran diantara dua putrinya akibat sebuah boneka, itu membuatnya khawatir ingin segera datang menjemput mereka karena merasa sungkan
kepada Malena. Tetapi ketika dirinya datang ke kediaman Malena, Dia mendapati kedua putrinya sudah dalam keadaan baik-baik saja dan bahkan terlihat akur, membaca buku bersama di ruang santai.
Malena sepertinya telah menangani masalah tersebut dan berusaha membuat mereka akur kembali. Namun memang sebelumnya, Diana langsung berlari memeluknya ketika melihat dirinya datang.
"kamu tahu, gimana aku ngga berubah setelah menikah kalo dua anak ini sering banget berantem gara-gara mainan, pusing" keluh Kanya, yang hanya bisa buat Malena senyum masam karena sudah paham.
"biasalah mba".
Menurutnya, banyak hal yang berubah jika seorang wanita telah menikah dan memiliki anak. Diri sendiri tidak lebih penting ketimbang mengurus keluarga mereka, dan itu menyedihkan sebenarnya. Ia tahu, Kanya banyak merelakan waktu senggang selepas bekerja untuk mengurusi kedua anaknya dan suaminya. Padahal dulu sebelum menikah, mba Kanya adalah salah satu teman yang selalu datang mengunjunginya setiap hari atau mengajaknya keluar untuk sekedar bersantai.
"tapi aku bisa bilang kamu hebat sih mendamaikan mereka secepat ini, aku sama mas tio kadang-kadang harus hukum merek berdua biar bisa akur lagi, dan itu butuh berhari-hari".
Kini mba Kanya merasa seperti terbelenggu, oleh kedua anaknya dan suaminya. Ia tidak menganggap mereka sebagai beban bagi mba Kanya karena itu adalah pilihan Kanya sendiri yang memang mendambakan memiliki keluarga, tetapi sama seperti mendiang
ibunya dahulu, seorang ibu akan rela menepis kebiasaan atau kesenangan mereka untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri. Sementara dirinya merasa baik-baik saja sendirian, berpikir untuk membangun sebuah rumah tangga bersama orang lain adalah penjara yang mengerikan menurutnya.
"kamu kapan ke klinik lagi? Lusa nanti kita ada forum pertemuan kan di hotel Five Seasons, kamu udah punya materinya?".
Senyumnya kembali masam, "itu, sebenarnya aku ngga ikut mba" pengakuan yang membuat Kanya terkejut heran, "aku udah hubungi pak Juan, biar beliau saja gantikan aku".
"loh kenapa memangnya?".
Suara-suara dua gadis belia di ruang tengah kembali terdengar, tapi bukan karena perkelahian, melainkan karena mereka tengah bermain bersama. Jangan mengira dengan boneka barbie rusak yang sudah berada di tempat sampah, mereka memiliki banyak stok mainan yang selalu disimpan Malena untuk mereka mainkan jika berkunjung.
"tadi siang adnan kemari, dan minta maaf soal omongannya beberapa waktu lalu".
mba Kanya semakin terkejut, "what? Terus gimana?". khawatir.
Ia merasa tidak siap untuk membeberkan semua fakta, sebab Ia pun belum bisa memikirkan apa yang harus dilakukan ketika keadaan tengah kacau sebelumnya.
"aku ngga sempat bicara banyak karena posisi aku lagi gendong diana, pun kami terpisah sama pagar".
Raut Kanya begitu serius, "tapi kamu ngga masukin dia ke rumah kan?" antara penasaran dan kaget.
Malena menggeleng lesu, "aku ngga mau buat anak-anak ketakutan".
mba Kanya menghela nafas, "syukurlah, aku ngga yakin kedatangan dia itu niatnya cuman minta maaf" dengan nada yang menyiratkan kecurigaan.
"aku mau minta maaf sama mba karena ngga sempat juga konfrontasi dia soal apapun. Dan-"
"mama!" teriakan Diana yang berlari mendekati mereka dengan gelak tawa menghentikan obrolan sejenak, Diana langsung memeluk sang ibu dengan gestur manja.
"jangan dulu ganggu nak, main aja sama kakak sana".
Malena hanya bisa tersenyum melihat sifat manja Diana kembali, lalu Ia menengok Jihan yang sibuk memberesi ceceran mainan ke dalam kotaknya kembali.
"nanti mama beliin permen yah? Yang kayak tadi siang aku sama ka jihan makan".
Senyum Malena perlahan berubah menipis, menatap Kanya yang menatapnya terheran.
"permen apa?".
Oh, kenapa Diana harus mengingat permen yang telah habis dimakan dan membawa topik lain yang pasti akan dibahas.
"itu yang bulatnya besar terus rasa buah, enak" Diana menggestur kepalan tangannya untuk membentuk seberapa besar bulatan permen pemberian Ghani, sementara Malena hanya bisa menahan diri karena Ia memang tak ingin membahas soal kedatangan Ghani siang tadi.
"permen yang mana sih len?" tanya Kanya heran.
Diana menggeleng, mengambil wajah ibunya. "bukan dari tante malena, tapi om pesulap".
"om pesulap siapa?" semakin terheran mba Kanya.
"pasien aku yang beberapa hari lalu pernah datang" balas Malena, berharap itu sudah cukup jadi jawaban.
"pasien yang mana?"
Ia belum sempat menjawab, karena Diana terus merecoki batasan.
"ada yang pesulap mama, dia pakai baju monyet terus bawa sepeda gitu".
"diana ayo main sini" teriak Jihan yang menggoyangkan sebuah papan tulis kecil.
Yang membuat Diana langsung melepas pelukan dari sang ibu kemudian lari meninggalkan area meja makan, "kak jihan! Nanti mama beli permen kaya yang tadi siang itu!".
Kanya yang sempat terdiam setelah mendengar ucapan putri bungsunya, lantas menatap Malena dengan raut keheranan yang menyimpan pertanyaan. Dia tahu siapa yang Diana maksud, sebab ciri-ciri itu dirinya ketahui hanya dimiliki oleh satu orang yang dianggapnya adalah tamu Malena yang kurang sopan.
***
Di belahan bumi lainnya, suasana siang yang penuh dengan kesibukan aktivitas. Hanan baru saja turun dari sebuah taksi di hadapan gedung apartemen tingkat 3 yang lokasinya tidak jauh dari kantornya, masih dengan balutan busana kantor yang terbalut jubah panjang karena angin musim dingin mulai berhembus.
Dia menengok kiri-kanan sebelum menyebrang, tapi getaran pada smartphone memaksanya untuk tetap diam sejenak. Merogoh kantong jubahnya untuk mengambil smartphone, berpikir jika itu bukan telpon dari salah satu temannya, mungkin saja itu telpon dari Malena. Tetapi ketika Dia melihat nomor tidak dikenal yang terpampang
dilayar, mendadak rautnya menegang. Jempolnya seketika kaku untuk digerakkan, meskipun Dia tidak yakin siapa yang menelpon. Itu terjadi karena respon tubuhnya yang masih memiliki trauma akan nomor asing, apalagi Dia merasa tidak pernah bertukar nomor dengan siapapun.
Dengan menghembus nafas kasar, Dia mencoba untuk melawan rasa takutnya dan menggeser tap hijau pada layar kemudian mendekatkan smartphone ke telinga.
"halo?"
Ada sedikit jeda keheningan yang membuat alisnya mengerut heran, belum sempat dirinya dirinya menjauhkan smartphone tiba-tiba suara berat dan sedikit sumbang menyapa dari seberang.
*my little brother. How are you doing there*.
Respon tubuhnya seketika mendadak kaku, tatapannya kosong seakan pikirannya entah lari kemana, dan rematan pada smartphonenya mengerat.
"dari mana lo dapat nomor gua?" ketusnya penuh penekanan.
Terdengar suara kekehan dari seberang yang kemudian membawa fokus kembali pada dirinya, membuatnya memundurkan langkah agar tidak mengganggu pejalan kaki lainnya yang lalu lalang.
*banyak cara, lo ngga usah sok bisa sembunyi dari gua sampai selama ini*.
Hanan selama itu juga bukan hidup damai meskipun telah menerima pengobatan terapi sana-sini, tetapi tetap saja jika dihadapkan kembali dengan penyebab semua luka mentalnya, itu seperti tidak berguna. Setiap kali berurusan dengan Ghani, itu dengan mudah membawa semua ingatan memilukan dan menyakitkan untuk kembali.
Dia mencoba melawan rasa takut dan traumanya untuk bisa bergerak maju dari keterpurukan yang sempat menimpa, dengan sengaja pergi sejauh mungkin hingga melepaskan sangat banyak hal dan memulai kehidupannya dari bawah. Dan seakan semua usahanya tak ingin sia-sia dilakukan, Dia mencoba untuk melawan rasa yang membelenggunya.
"gua ngga ada urusan lagi sama lo! Berhenti ganggu hidup gua!" sentaknya kesal, mengubah ketakutan dan kecemasannya jadi amarah, terutama kepada orang yang telah memberinya kesulitan itu. Kakaknya sendiri.
*ya ya ya.. Santai aja, bukan mau ganggu kok. Cuman mau ngasih tahu, kalo mama nanyain lo*.
Balasan santai dan acuh itu membuatnya makin naik pitam, "sinting! Mama cuma sayang sama lo! Gua bukan anaknya lagi sejak dia ngusir gua dari rumah sialan itu! Berkat orang gila kayak lo!" ketusnya sedikit meninggi, tapi pejalan kaki yang lalu lalang tidak peduli dan hanya berlalu meski memberinya tatapan heran.
Tapi Ghani malah tertawa renyah di seberang sana, membuat jantungnya seakan memacu akibat adrenalin emosi. Netra sipitnya dipaksa membulat, mengedarkan pandangan ke segala arah murni karena kecemasannya muncul lagi.
*jangan nyalahin diri lo sendiri yang mentalnya emang lemah
gitu, lo sendiri yang anggap dia lebih sayang ke gua. Terserah*.
"mau lo apa sih?! Kurang cukup bikin gua sengsara selama ini?! Gua udah ngalah untuk banyak hal dan sekarang lo masih berani gangguin gua!".
Dia kesal, waktunya untuk pengobatan malah tertunda. Tapi Dia punya alasan untuk menghadapi dokter terapisnya, setidaknya Dia bisa mencoba melawan keterbelengguannya. Dan itu berhasil, mungkin.
*bocah tolol, gua nelfon baik-baik karena mama memang nanyain lo. Dia pengen lihat lo, mungkin untuk yang terakhir kalinya*.
Sontak Dia terhenyak, netranya kini hanya terpaku pada satu bangunan di hadapan yang sering dirinya datangi. Pikirannya mendadak terlempar ke sosok yang selama ini tidak pernah dilihatnya lagi secara langsung kecuali dari foto kenangan yang masih dirinya simpan dan selalu dirinya bawa di dompet.
*little did you know boy. Dia sakit setelah lo pergi dari rumah dan kesehatannya terus menurun, sekarang dia pengen ngeliat lo sebelum dia mati, mungkin*.
Mendengar itu, sudut bibirnya berdenyut, rahangnya mengerat. "bangsat! Itu hanya akal-akalan lo biar gua balik dan biar lo bisa terus gangguin gua kan?!"
Dia tak bisa lagi menahan diri dari kesabaran, "Gua dah tahu otak dan rencana busuk lo buat ngancurin gua kayak lo ngancurin hidup isyana! Ngga akan lagi gua kemakan sama kebohongan busuk lo sialan!"
Pip!
Dia abai pada pejalan kaki yang hanya meliriknya kilas selama berlalu-lalang, kepalanya mendadak pusing dan berdenyut sakit. Jantungnya berdetak terlalu kuat dan seakan udara menipis di sekitarnya, hingga menyebabkan sekujur syaraf tubuhnya kebas. Dia jatuh terduduk di tangga milik bangunan lain di belakangnya, tangannya yang gemetar di paksa untuk bergerak mengepal-bebas di paha. Sampai tak lama kemudian, ada seorang wanita paruh baya yang berbalut pakaian santai dan selimut hangat. Datang dan mendekati Hanan yang masih tidak awas dengan sekitar, rautnya terlihat khawatir.
"my godness, Hanan. Are you okay?" tanyanya dengan nada khawatir.
Hanan mendongak dan penglihatannya yang sebelumnya gelap karena diserang kecemasan, berangsur membaik setelah dirasa sesuatu yang hangat membalut tubuhnya. Wanita itu, membantunya berdiri dan memegangnya erat seraya membantunya berjalan menyebrangi jalan. Wanita yang keluar dari bangunan yang
sempat ditatap Adnan sebelumnya. Wanita yang telah menjadi dokter terapisnya dan seharusnya sudah ditemui sejak tadi, jika saja panggilan itu tidak terjadi. Dr. Annelise juga sebenarnya sudah melihat kedatangan Hanan dari jendela ruangannya, tetapi
karena mengetahui pria itu tengah mengangkat telfon, Dia menunggu. Tak menyangka akan melihat pria muda itu mendadak jatuh terduduk dengan raut penuh teror hampir pingsan.